Surya berdecak kesal saat Arum masih mengenakan daster lusuh saat dia pulang. Rumah pun masih berantakan. Semua mainan milik Nanda dan Kaila masih berserakan di lantai. Ruang tamu pun seperti kapal pecah. Pria itu lalu menarik lengan istrinya dengan kasar.
"Ngapain aja kamu jam segini masih saja berdaster. Beda sekali kamu dengan Renata yang selalu tampil cantik dan wangi saat aku datang." Wajah bengis itu menatap tidak suka pada Arum.
"Mas, jangan bandingkan aku dengan dia! Wajar dia belum mempunyai anak, sedangkan aku harus mengurus anak juga rumah. Mana punya waktu untuk merawat diri," ujar Arum membela diri.
"Alah, alasan." Surya kembali masuk ke kamar tak mengiraukan Arum yang bersusah payah memasak untuknya.
Hidangan Di meja makan sama sekali tidak tersentuh. Tidak lama Surya kembali dengan baju sangat rapi. Harum parfum membuat Arum cukup tahu hendak kemana suaminya akan pergi. Ia menggigit bibir bawah, menahan sesak saat diperlakukan tidak tidak layak sebagai seorang istri.
"Mas, mau kemana lagi?" Arum kembali bertanya saat melihat suaminya kembali ingin pergi.
"Aku mau ke rumah Renata. Aku pusing sama kamu! Bahkan rasa ingin menyentuhmu pun sudah mati." Mendengar penuturan Surya membuat hati Arum kembali tercabik-cabik.
Surya melangkahkan ke luar rumah. Dilihat punggung suaminya yang semakin menjauh. Dia mengabaikan Arum, dengan berbagai alasan untuk kembali pada Renata. Setengah gaji yang diberikan Surya pun tidak mampu membeli bedak bahkan untuk sekedar daster baru. Namun, pria itu selalu menuntut dia lebih.
"Ma, Papa kok pergi lagi?" tanya Nanda saat melihat papanya pergi setelah beberapa jam pulang.
Arum menyeka air matanya, mencoba terseyum menyembunyikan kegetiran hati. Sedikit ragu menjawab pertanyaa Nanda.
"Iya, Papa ada urusan jadi nanti akan pulang lagi," jelas Arum.
Putra kecilnya mengangguk mendengar penjelasan sang mama. Lalu dia berlari ke dalam ruang tengah dan melanjutkan bermain. Rasa getir hilang saat melihat kedua anaknya tersenyum dan bahagia. Mematut diri di depan cermin, menatap dengan seksama dan menerawang masa lampau saat Surya selalu memuji kecantikannya. Namun waktu sudah mengubah semua. Tidak ada lagi pujian dan sudah tidak ada lagi kata-kata cinta. Kini tinggal kenangan yang indah dan sulit dilupakan. Hanya berpasrah pada Tuhan dengan harapan semua hanya mimpi.
Arum menatap buku tabungan yang sudah hampir habis. Mau ia pergunakan membeli baju dan perawatan wajah, tapi lebih baik untuk beli sayuran dan keperluan kedua anaknya. Mengingat Surya tidak akan memberi uang tambahan jadi ia mengurungkan niat untuk hal itu
**
Sepulang kerja tanpa berbasa-basi pada Arum, Surya langsung gegas ke kamar mandi. Memang cuaca sangat menyengat hingga membuat tubuh pria itu menjadi lengket. Kini perutnya terasa lapar, ia beranjak ke dapur. Matanya mendelik kesal saat menatap sang istri. Masih sama pikirnya, dengan daster lusuh dan wajah penuh minyak. Pikirnya kapan wanita itu berubah secantik Renata?
"Arum!" teriak Surya saat membuka tudung nasi. Netranya terus menatap kesal pemandangan di bawah tudung nasi. Ia tidak menemukan lauk yang menggugah selera. Hanya sepiring tahu dan tempe tanpa sambal. Emosi kian memuncak pada Arum yang selalu saja membuat kesal.
"Iya, Mas. Ada apa?" tanya Arum yang datang tergopoh-gopoh menghampiri suaminya.
Arum menatap heran Surya. Apa yang salah dari dirinya? Dia menatap daster lusuh yang ia kenakan. Kenapa ia begitu bodoh, kalau tahu Surya akan pulang, harusnya ia cepat berganti baju dan memakai parfum hingga menjadi harum. Setidaknya wanita itu sudah berusaha tampil cantik dan wangi.
"Ada apa, kamu bilang? Lihat ini, suami pulang hanya disuguhkan tahu dan tempe! Kemana uang belanja yang aku kasih sama kamu?" Surya menatap sinis sang istri.
Arum mengerutkan kening saat Surya berteriak tentang lauk yang dia sajikan. Apa yang salah dengan tahu dan tempe itu? Uang belanja yang dia punya hanya cukup untuk membeli lauk sederhana.
"Mas, uang belanja yang kamu kasih itu hanya cukup untuk setengah bulan. Itu pun aku menambahkannya dengan tabunganku. Bagaimana aku bisa memasak enak, jika kamu tidak memberikan uang lebih," ujar Arum membela diri.
Surya berdecak kesal, saat melihat lauk hanya tahu dan tempe selera makannya hilang. Kini hanya luapan emosi yang ia tumpahkan pada Arum. Apalagi melihat tubuh yang kesekian kali hanya berbalut daster lusuh.
"Sekarang kamu pandai menjawab ucapanku, Arum. Durhaka kamu sama suami. Bagaimana aku betah di sini, jika hanya melihat kamu yang lusuh di hadapanku. Bikin tidak selera saja! Sudah tidak berselera makan, tambah parah melihat kamu." Surya terus menerus mencerca Arum yang tidak berdaya.
Pria berselung pipi itu menggebrak meja makan. Dada Arum kian sesak saat mendengar perkataan yang membuatny kembali merasakan sakit hati. Bukan keinginan dirinya menjadi seperti ini. Jika ayah dari kedua anaknya selalu memberi uang lebih, mungkin ia bisa membeli alat make up dan baju bahkan tampil seperti saat masih gadis. Apalah daya, dia tak bisa berlaku adil, tapi menuntut lebih.
"Mas, sudah cukup kamu menghina aku. Aku selalu diam saat kamu perlakukan semena-mena. Bahkan saat kamu terus membandingkan aku dengan selingkuhanmu!" pekik Arum keras. Napasnya tersengal-sengal saat dia mulai meluapkan semua emosi yang tertahan.
"Renata istriku, bukan selingkuhanku. Jangan asal bicara kamu, memang kenyataan kok. Renata dan kamu bagaikan langit dan bumi. Dia pintar membuat aku senang, tidak seperti kamu yang bisanya membuat aku marah dan bosan di rumah," cerca Surya kian menjadi.
Keputusannya untuk mengurus anak dan suami setelah menikah adalah kesalahan. Suaminya selalu ia banggakan malah menduakan cinta dengan gadis muda yang berpenampilan cantik.
Arum pernah bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang auditor. Setelah melahirkan Nanda, ia memutuskan untuk mengurus Nanda dan berhenti bekerja. Padahal dirinya sangatlah cerdas. Atasan di kantor pun menyayangkan keputusan wanita yang sempat menjadi perebutan beberapa pria saat itu. Beberapa staf kantor saat itu masih terus membujuk agar ia mau bekerja lagi, tapi ia kekeh ingin mengurus rumah saja.
"Ya, dia memang bukan selingkuhanmu, tapi sebelum kamu menikah dengan Renata, dia adalah selingkuhanmu. Kamu benar-benar jahat, Mas." Arum sudah tidak bisa menangis lagi. Begitu berat dia menahan semua amarah yang selama ini dia pendam.
Arum jatuh tersungkur saat tangan kokoh sang suami menampar dan mendorong tubuhnya. wanita gempal itu meringis kesakitan. Netra nyalang menatap sosok Surya yang sudah tidak mempunyai rasa cinta lagi untuknya. Aliran darah mengalir lebih deras. Tangannya mengepal dan tak henti ia merutuk.
"Ceraikan aku, Mas! Ceraikan, aku!" teriak Arum dengan tatapan yang mantap. Kesabaran itu kini sudah tidak terbendung lagi. Ia meminta Surya menceraikannya saat itu. Sudah cukup penderitaan yang ia terima.
"Oh, bagus! Berani kamu membentak aku? Cerai, oke mulai saat ini kamu aku talak! Silahkan kamu keluar dari rumah ini, sekarang!" Surya tidak menyangka Arum senekat itu. Ucapan Arum juga menghujam jantungnya. Pria itu juga merasakan perih, tapi mencoba tidak memedulikan karena sebuah gengsi.
"Oke, Mas. Aku akan pergi sekarang. Aku tunggu surat cerai dari kamu," ucap Arum.
Bergegas ia masuk ke kamar dan membereskan semua baju. Hanya beberapa baju saja yang dia bawa. Wanita bermata cokelat itu mencoba kuat, ia tidak ingin terlalu larut dalam permasalahan ini. Setelah itu ia berjalan melewati Surya. Suaminya kini tidak lagi seperti dulu. Dia sudah dibutakan oleh kecantikan luar saja. Begitu juga harta yang kini dia miliki. Arum menggendong Kaila, putrinya yang berumur tiga tahun dan menggandeng Nanda, putra pertama mereka yang berusia lima tahun.
"Kita mau pergi kemana, Ma?" tanya Nanda.
"Kita mau ke rumah Nenek, Kak."
"Papa nggak ikut, Ma?" tanyanya lagi.
Arum hanya diam. Ia bingung harus menjelaskan apa pada anak laki-lakinya. Seiring waktu pasti mereka akan mengerti keadaan orang tua mereka. Nanti jika mereka dewasa.
"Papa nanti nyusul," jawab Arum.
Surya benar sudah sangat kelewatan terhadapnya. Terlebih dia berani berteriak di depan anak-anak, sampai Kaila yang sudah tertidur terbangun kembali
"Kalau mau pergi, pergi saja. Nggak usah banyak drama. Kamu sendiri yang meminta bercerai. Rasakan sendiri, emang kamu pikir jadi janda enak?" Surya bertutur dengan sombong.
"Aku lebih baik menjanda, Mas. Dari pada harus di poligami, tapi kamu nggak bisa berlaku adil padaku," ujar Arum geram.
"Bagus kalau gitu. Silahkan pergi!"
Segera dia melangkah bersama kedua anaknya. Rumah yang dulu sangat damai, kini menjadi saksi sebuah pertengkaran yang berujung perpisahan. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu taxi online yang ia pesan. Sungguh Arum muak dengan semua penghinaan Surya. Kini ia bertekat membesarkan anaknya tanpa uang pria itu.
**
Sedangkan Surya merasa dirinya sudah benar. Ia berhasil menyingkirkan Arum, istri yang jelek. Senyum tipis menghias bibir. Segera ia mengambil ponsel dan siap ber-video call dengan Renata. Wajah cantik itu kini menghiasi layar ponsel miliknya."Lagi apa, sayang?" tanya Surya pelan."Lagi kangen, nih sama kamu, Mas."Wajah Surya memerah mendengar penuturan Wanita berwajah merona itu. Ia tak sabar ingin memeluk wanita yang menjadi istri keduanya. Senyum Renata sangat menggoda. Belum lagi baju tidur yang dia kenakan, buah dada yang menggiurkan membuat dirinya kembali menelan saliva. Bergegas ia pergi ke sana untuk menuntaskan hasrat.Pria itu tidak memedulikan anak dan istrinya yang tengah malam ia usir dari rumah. Ia hanya memikirkan nafsu semata saja. Pria itu tidak berpikir panjang dengan apa yang ia perbuat. Yang ada dipikirannya adalah keindahan semata. Suatu saat penyesalan bisa saja hinggap di hidupnya dan bila saat itu terjadi mungkin ia sudah tidak bisa mengubah semua menjadi se
Wiryo, Ayah Arum sudah mendengar cerita dari tetangga mereka tentang mertua anaknya yang datang dan mengambil kedua cucunya. Pria tua itu cemas, dan memilih menutup dagangan.di pasar lalu bergegas pulang ke rumah.Istri Wiryo, ibunya Arum juga ikut cemas dengan kabar yang baru saja didengar. Di tempat terpisah, wanita tua itu juga menutup dagangan.“Ayo, Bu,” ucap Wiryo saat bertemu dengan istrinya di parkiran.“Iya, Yah. Ibu cemas dengan Arum.” Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Arum.Lalu Wiryo melajukan mobil pickup nya dengan kecepatan tinggi. Mobil yang sehari-hari mereka pergunakan untuk pergi berjualan sayur di pasar. Sesampainya di rumah, Arum berhamburan kepelukan sang ibu. Tangis pilu wanita itu sangat menyayat hati. Bagaimana dia diperlakukan tidak adil oleh keluarga Surya.“Kamu sudah obati luka kamu, Nak?” tanya Wiryo, ayahnya dengan cemas.Arum menggeleng, dia sudah tidak memedulikan luka di tubuhnya karena luka di hati wanita itu sudah sangat dalam. Sang ibu beranjak ke
Sejak kejadian beberapa hari lalu di rumah mertuanya, Arum pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Terlebih Naina, ibu mertua Arum mengancam akan merusak warung kedua orang tuanya di pasar. Ia sangat bingung apa yang akan dilakukan untuk membawa Nanda dan Kaila kembali kepelukannya. Arum terduduk lesu menghadapi semua cobaan hidup yang tiba-tiba saja datang.Pagi ini ia menemani ibunya berjualan di pasar. Namun, masih saja tidak fokus dengan dagangan. Pikiran Arum masih tertuju pada Nanda dan Kaila. Bagaimana mereka tanpa sang ibu di sana? Apa Kaila tidak menangis mencarinya? Sejumlah pertanyaan terngiang di benak wanita itu.Suasana pasar yang sangat ramai tidak juga membuat hatinya menjadi tenang. Ibu memandang pada Arum, ia sangat iba melihat keadaan yang sunggu membuat hati seorang ibu bersedih. Tatapannya kosong, harapan itu kini seperti hilang begitu saja.“Rum, lebih baik kamu pulang dulu. Tenangkan pikiranmu.”“Tidak, Bu.”“Ibu tidak apa-apa. Pulanglah, atau cari kesibukan lain.
Arum masih merasa geram setelah ia tidak sengaja bertemu dengan Renata. Wanita perebut suami orang, dia tidak layak bahagia di atas penderitaan orang lain. Terlebih menikmati harta yang bukan hak dia. Begitu percaya diri berbicara akan menikmati harta Surya.Sehebat apa pun seorang laki-laki, jika ia belum berkeluarga, pasti ada wanita hebat di belakangnya, yaitu seorang ibu. Jika ia sudah berkeluarga, pastilah akan ada doa istri yang menyertai dia kemana pun berada. Rezeki suami adalah rezeki istri, lewat doa-doanya yang mendatangkan rezeki untuk sang suami.Surya seakan lupa. Larena doa seorang istri rezekinya kini berlimpah. Sebelumnya, ia hanya karyawan biasa yang memegang jabatan staf akunting. Sedangkan setelah menikah dengan Arum, dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Manager Keuangan. Arum mengehala napas panjang, dia kembali bergegas memasuki kantor Dani."Permisi, bisa saya bertemu dengan Pak Dani?" tanya Arum pada resepsionis."Sudah buat janji?" tanya wanita yang berada
Renata menyongsong Surya saat terdengar deru mobilnya memasuki halaman. Tak seperti biasa saat melihat wajah istri mudanya ia selalu bergairah. Namun, kali ini tidak. Bahkan ia tidak menyapanya dan langsung bergegas mandi. Dipikirannya kini hanya ibu dari kedua anaknya. Sepertinya ia sangat menyesali tindakannya yang tidak berpikir panjang kala itu. Dinginnya malam tidak membuat Renata mengurunkan niat menggunakan baju tidur tipis yang membuat tubuh putihnya terlihat menggoda. Surya tak bergeming saat dia mulai bergelayut manja pada dada bidang pria berparas hitam manis itu.Sedari tadi Surya tak bergeming. Pikirannya seperti tidak ada di sana. Berulang kali Renata mencari perhatiannya, tapi pria itu hanya terdiam tak merespon apa pun yang dilakukannya. Dikecupnya bibir suaminya, akan tetapi masih sama. Surya tak membalas panggutan dari Renata. “Aku lelah.”Renata terhenyak dengan sikap Surya. Ia mengguncangkan tubuh suaminya. Tidak seperti biasanya pria itu selalu mendominasi saat
Semilir angin berhembus sangat kencang, langit pun mendung. Dingin menusuk kulit, Arum duduk di taman kota dengan satu tangan memegangi dada. Sebuah penghinaan kembali terjadi pada dirinya. Netra cokelat itu menatap nanar, bulir bening yang sedari tadi ditahan kini tumpah mengalir deras di pipi.Sakit, perih, entah apalagi yang ia rasakan. Begitu getir hidup yang dijalaninya. Sebuah harapan yang nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan. Hidup bahagia itu memang milik mereka yang mempunyai banyak uang. Beberapa kali menyeka air matanya, ia bangkit dengan sisa-sisa kekuatan.Kenapa sangat sakit, aku sudah terbiasa dengan penghinaan Mas Surya. Namun, kenapa lebih menyakitkan saat Bayu menghinaku?Dirinya kembali merasakan sesak di dada. Sekarang ia teringat kedua anaknya. Rindu itu sudah sangat membuncah mengingat begitu bahagianya saat mereka bersama. Peluk dan cium mereka yang selalu dirindukan wanita itu.Arum mengambil ponsel yang sedari tadi terus bergetar. Matanya terbelalak melihat
Arum menaruh ponsel di nakas, setelah ia menghubungi kedua orang tuanya. Takut mereka mencemaskan dirinya karena tidak pulang malam ini. Ia bangkit setelah memastikan Nanda tertidur. Sedangkan Kaila sudah terlelap sejak ia menggendongnya. Panas di tubuh gadis kecil itu pun sudah turun, memang benar anak itu rindu pada ibunya.Saat membuka lemari baju, ia menatap nanar baju tidur berbahan sutra hadiah pernikahannya dari Surya. Ia tersenyum getir saat mengingat kembali bayangan tentang kebahagiaannya empat tahun silam. Saat tubuh dan wajahnya masih di puja oleh sang suami."Apa ini, Mas?" tanya Arum saat Surya memberikan hadiah."Buka saja, setelah itu bisa kamu memakainya." Senyum mengembang pria itu membuat jantung Arum berdetak lebih kencang.Perlaham Arum membukanya. Ia menggulum senyum mendapati baju tidur yang begitu cantik. Bahan sutra membuat baju itu terlihat mewah.Surya berdecak kagum melihat tubuh Arum berbalut baju yang ia berikan. Sexy, kalimat itu yang pertama kali keluar
Tak menampik memang aura kecantikan Arum kini sudah kembali. Wajah semringah dan keramahannya membuat para lelaki di kantor mempertanyakan status wanita itu. Apa masih single atau sudah menikah? Sesosok pria dengan kemeja hitam dan celana bahan berdiri tidak jauh dari Arum. Matanya tidak berhenti memandang ke arah calon janda itu. Namun, pria itu kembali mengelus dada mencoba memastikan jika hatinya baik-baik saja.“Pak Bayu, sedang apa?” Seseorang yang juga memperhatikan Bayu mulai aneh dengan sikap tidak biasa pria itu.Sambil pura-pura memainkan ponsel, Bayu mencoba menetralisirkan keadaan. “Hanya menunggu seseorang, Pak. Silahkan duluan.”“Baik, Pak Bayu.” Pria tua itu akhirnya melangkahkan menjauh.“Hampir saja,” ucapnya sambil mengelus dada kembali.Bayu kembali mencari sosok Arum, tapi sudah tak nampak lagi. Ia melangkah menuju pergi. Pria itu terlihat sempurna di mata para wanita, tapi mereka tidak tahu jika ia terlalu lemah dalam urusan percintaan. Meskipun usianya yang sudah
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg
Ia tertunduk lemas di hadapan sang ibu. Menceritakan nasib yang menimpanya. Sekilas ibunya hanya menatap iba, akan tetapi wanita tua itu berdecak kesal. Bahkan berulang kali mengelus dada. Lalu, menatap tajam pada anak semata wayangnya.“Lalu, kamu mau bagaimana?”“Aku nggak tahu, Bu.”“Apes banget kamu, Le. Udah jatoh ketimpa tangga pula. Udah Ibu bilang, hidup itu jangan neko-neko. Nikmati aja yang dikasih Gusti Allah, eh ini malah buat kesalahan fatal. Kehilangan berlian, eh sama kerikil juga ditendang. Sepertinya kamu kena karma dari perbuatan kamu sama mantan istrimu.” Wanita tua itu tak hentinya berbicara.“Bu, jangan menyudutkan aku.”“Loh, kenyataan. Untung Ibu kaya, kalau nggak, bisa gila Ibu tiba-tiba jatuh miskin.”“Bu.”“Yasudah, nanti Ibu hubungi Pamanmu. Kesempatan kedua pergunakan dengan baik. Awas aja kamu kalau sudah membaik perekonomian kembali sama Renata atau bersikap arogan lagi. Ibu sumpahin kere lagi kamu.”“Ibu, kok ngomong gitu?” Wajahnya memelas saat mendenga
Di rumah terpisah Surya terperangah menatap tudung nasi yang masih kosong. Sepulang kerja harusnya Renata sudah menyiapkan masakan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan jika wanita itu sama sekali tidak menyediakan makanan.Perutnya yang sudah minta di isi mulai terasa perih. Asam lambungnya juga mulai kambuh. Geram ia memanggil wanita yang sedari tadi hanya sibuk dengan kuku-kukunya. Apalagi sepulang sidang tadi, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. "Renata!" teriaknya nyaring. Wajahnya terlihat pucat menahan perih yang mulai menggangu perutnya. Sekali ia memanggil, tapi istrinya tak juga datang meghampirinya. Kembali Surya memanggilnya. "Renata!" Suaranya kian meninggi. Namun, masih saja wanita berambut pirang itu tidak juga datang. Luapan emosinya tak tertahan lagi. Ia menghampiri dan mendapati Renata sedang asik mendengarkan aerophone di telinganya. Renata berbalik saat aerophone terasa di cabut dari telinganya. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" tanyanya dengan perasaan
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen