Arum masih merasa geram setelah ia tidak sengaja bertemu dengan Renata. Wanita perebut suami orang, dia tidak layak bahagia di atas penderitaan orang lain. Terlebih menikmati harta yang bukan hak dia. Begitu percaya diri berbicara akan menikmati harta Surya.
Sehebat apa pun seorang laki-laki, jika ia belum berkeluarga, pasti ada wanita hebat di belakangnya, yaitu seorang ibu. Jika ia sudah berkeluarga, pastilah akan ada doa istri yang menyertai dia kemana pun berada. Rezeki suami adalah rezeki istri, lewat doa-doanya yang mendatangkan rezeki untuk sang suami.
Surya seakan lupa. Larena doa seorang istri rezekinya kini berlimpah. Sebelumnya, ia hanya karyawan biasa yang memegang jabatan staf akunting. Sedangkan setelah menikah dengan Arum, dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Manager Keuangan. Arum mengehala napas panjang, dia kembali bergegas memasuki kantor Dani.
"Permisi, bisa saya bertemu dengan Pak Dani?" tanya Arum pada resepsionis.
"Sudah buat janji?" tanya wanita yang berada di belakang meja.
"Sudah, saya Arum."
Tidak lama wanita di hadapannya menelepon seseorang dan setelah itu meminta Arum masuk ke ruangan Dani.
Suasana ruangan itu masih sama seperti dulu, Dani sangat menyukai warna cokelat, juga bunga mawar yang selalu ada di meja kerjanya, tetapi sekarang ada yang berbeda yaitu foto sang istri yang terpajang di dinding menambah sempurna tempat itu.
"Pagi, Pak," sapa Arum.
Dani pria keturunan cina itu memandang tidak percaya. Arum mantan karyawan yang sangat dipercayainya kini berada di hadapannya. Beberapa tahun kemarin, bahkan belum lama juga dia terus membujuk agar Arum kembali bekerja. Namun, Arum selalu menolak setiap tawaran dengan gaji yang sangat tinggi.
"Pagi, sudah lama kita tidak berjumpa. Kenapa kamu lebih berisi?" tanyanya dengan nada mengejek.
"Bilang saja saya gemuk, Pak," ucap Arum sedikit kesal dengan ejekan Dani.
"Bukan saya yang bilang, loh." Pria berkulit putih dengan kerutan di wajah tertawa tanpa suara. Ia masih sama, suka meledek.
"Sama saja, menjurus, Pak." Wajahnya masam saat Dani bercanda garing.
Suasana sedikit mencair tak kala Dani masih seperti dulu. Humoris, baik dan perhitungan. Arum paling tidak suka dengan sifat bos yang satu iti. Dani pelit dalam soal keuangan, saat dia menawarkan gaji lebih besar, ia sangat sangsi mengingat begitu perhitungannya dia.
Dani memulai membahas pekerjaan, tidak semudah yang Arum pikirkan ketika akan bergabung kembali di dalam kantor akuntan publik milik Dani. Arum harus kembali mengerjakan tes untuk meyakinkan pria itu jika dirinya masih layak untuk bergabung dengan mereka.
Arum mengikuti tes, ia di tugaskan mengoreksi satu data keuangan milik perusahaan kecil. Banyak hal yang wanita itu lupa, tapi ia berusaha mengingat kembali. Perlahan dan akhirnya pikirannya terbuka.
"Saya diterima kembali, Pak?" tanyanya dengan tidak percaya dengan mendekap berkas lamarannya.
"Iya, kamu masih sangat berkualitas. Selamat bergabung, mulai besok kamu kembali menjadi bagian dari kantor ini. Selamat bergabung kembali," kata pria yang sudah resmi menjadi bosnya kini.
"Iya, Pak terima kasih. Sebelumnya saya mau bertanya, apa Pak Dani tahu kantor Pak Bayu?" Malu dengan pertanyaannya Arum kemudian berpura-pura menunduk.
"Bayu pengacara itu?"
"Iya."
**
Setelah Dani memberikan alamat kantor Bayu, Arum tidak menyia-nyiakan waktu. Ia berharap bisa bertemu dan membicarakan masalah perceraiannya dan masalah phak asuh anak. Senyum semringah terhias di bibir saat dia menginjakkan kaki di kantor advokat itu. Tertulis jelas nama kantor itu, Kantor Advokat Bayu Bagaskara & Partners.
Langkahnya terhenti saat dia mulai ragu karena pernah ada sesuatu yang tertunda. Takut jika pria itu tidak mau membantunya. Ia terdiam memikirkan berapa bayaran yang akan dimintanya nanti. Kembali Arum melangkah masuk dengan niat yang insyallah akan membuahkan hasil.
"Bisa saya bertemu dengan Pak Bayu?"
"Sudah ada janji?"
"Belum, Mba."
"Maaf, Mba, jika ingin bertemu dengan Pak Bayu, harus buat janji terlebih dahulu. Pak Bayu sekarang ini sedang sibuk dengan banyak kasus," ujar resepsionis itu menjelaskan
"Oh, begitu, ya begini saja, Mba. Sampaikan, saya Arum teman lamanya mencari dia. Ini saya tinggalkan nomer ponsel saya," ujar Arum sembari menuliskan nomer ponsel di sebuah kertas.
Wanita di hadapannya hanya mengangguk menerima secarik kertas yang diberikan Arum. Langkahnya terasa berat saat meninggalkan kantor itu. Rasanya ia ingin menunggu Bayu. Namun, ia mengurungkan niatnya dan memilih kembali pulang, karena besok adalah hari pertamanya mulai kembali bekerja. Ia juga tidak ingin mengecewakan Dani yang sudah menerimanya kembali.
**
Langkahnya terhenti saat melihat mobil Surya bertengger di halaman rumah kecilnya. Honda Jazz yang dua bulan lalu dibelinya untuk keluarga kecil mereka berliburan, kini sudah mempunyai majikan baru. Bukan Arum yang menikmati, tapi wanita licik itu, Renata.
"Wow, sudah merasa jadi janda, kamu? Pulang semalam ini?" tanya Surya dengan mimik wajah menghina.
"Ini baru jam delapan malam. Lagi pula apa urusan kamu datang ke rumahku dan mengatur hidupku lagi?" tanyanya dengan tatapan tajam.
Surya tak bergeming, apa yang diucapkan istrinya benar. Untuk apa dirinya masih mengurusi urusan Arum. Sedangkan ia sudah menyetujui dan menalak wanita di hadapannya. Ia mengingat ucapan Renata tadi saat ditelepon.
"Dia sepertinya bekerja, Mas di gedung itu. Mungkin dia ingin melamar sebagai office girl."
Surya tidak menanggapi perkataan Renata, ia tahu jika Arum akan kembali bekerja di posisinya yang dulu. Ia juga yakin jika wanita yang akan menjadi mantan istrinya akan dengan mudah kembali bekerja di tempat itu.
"Jangan mentang-mentang kamu kembali berkerja dengan Dani, kamu bisa sombong. Jangan-jangan benar, kamu dan dia ada hubungan spesial hingga dia terus menghubungi kamu. Jawab Arum?!" teriak Surya.
"Aku sudah jelaskan dari dulu, aku dan Pak Dani rekan kerja, dia bos aku. Dan Aku karyawannya. hanya itu tidak ada hal lain yang lebih dari itu. Harusnya kamu berkaca, pantas nggak kamu menuduh aku seperti itu? Sedangkan yang berselingkuh adalah kamu!"
Ia lelah dengan tudingan yang selalu Surya lemparkan padanya. Sedari dulu dirinya selalu cemburu dengan Dani. Arum membuang muka saat netra mereka saling bertemu. Ia tidak menampik masih ada cinta untuknya. Namun, wanita itu berusaha untuk melupakan dan membuang jauh semuanya. Belajar mencintainya, akan tetapi malah ia yang terabaikan.
"Halah, jangan membela diri. Aku tidak suka kamu bekerja di sana, kalau kamu masih tetap bekerja di sana, jangan harap kamu bisa bertemu lagi dengan Nanda dan Kaila. Mengerti!" teriaknya kembali dengan ancaman yang membuat Arum mengelus dada.
Surya melangkah masuk ke mobil, tanpa pamit pria itu sudah melajukan kendaraan dengan kencang. Ingin sekali dirinya menangis, tapi ia bertekat harus kuat menghadapi semua cobaan. Dengan menangis tidak akan membuat semua masalah selesai. Ia bertekat akan merebut kembali kedua anaknya dengan cara apa pun. Arum tersenyum saat ayahnya berdiri di daun pintu menunggunya masuk.
**
Renata menyongsong Surya saat terdengar deru mobilnya memasuki halaman. Tak seperti biasa saat melihat wajah istri mudanya ia selalu bergairah. Namun, kali ini tidak. Bahkan ia tidak menyapanya dan langsung bergegas mandi. Dipikirannya kini hanya ibu dari kedua anaknya. Sepertinya ia sangat menyesali tindakannya yang tidak berpikir panjang kala itu. Dinginnya malam tidak membuat Renata mengurunkan niat menggunakan baju tidur tipis yang membuat tubuh putihnya terlihat menggoda. Surya tak bergeming saat dia mulai bergelayut manja pada dada bidang pria berparas hitam manis itu.Sedari tadi Surya tak bergeming. Pikirannya seperti tidak ada di sana. Berulang kali Renata mencari perhatiannya, tapi pria itu hanya terdiam tak merespon apa pun yang dilakukannya. Dikecupnya bibir suaminya, akan tetapi masih sama. Surya tak membalas panggutan dari Renata. “Aku lelah.”Renata terhenyak dengan sikap Surya. Ia mengguncangkan tubuh suaminya. Tidak seperti biasanya pria itu selalu mendominasi saat
Semilir angin berhembus sangat kencang, langit pun mendung. Dingin menusuk kulit, Arum duduk di taman kota dengan satu tangan memegangi dada. Sebuah penghinaan kembali terjadi pada dirinya. Netra cokelat itu menatap nanar, bulir bening yang sedari tadi ditahan kini tumpah mengalir deras di pipi.Sakit, perih, entah apalagi yang ia rasakan. Begitu getir hidup yang dijalaninya. Sebuah harapan yang nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan. Hidup bahagia itu memang milik mereka yang mempunyai banyak uang. Beberapa kali menyeka air matanya, ia bangkit dengan sisa-sisa kekuatan.Kenapa sangat sakit, aku sudah terbiasa dengan penghinaan Mas Surya. Namun, kenapa lebih menyakitkan saat Bayu menghinaku?Dirinya kembali merasakan sesak di dada. Sekarang ia teringat kedua anaknya. Rindu itu sudah sangat membuncah mengingat begitu bahagianya saat mereka bersama. Peluk dan cium mereka yang selalu dirindukan wanita itu.Arum mengambil ponsel yang sedari tadi terus bergetar. Matanya terbelalak melihat
Arum menaruh ponsel di nakas, setelah ia menghubungi kedua orang tuanya. Takut mereka mencemaskan dirinya karena tidak pulang malam ini. Ia bangkit setelah memastikan Nanda tertidur. Sedangkan Kaila sudah terlelap sejak ia menggendongnya. Panas di tubuh gadis kecil itu pun sudah turun, memang benar anak itu rindu pada ibunya.Saat membuka lemari baju, ia menatap nanar baju tidur berbahan sutra hadiah pernikahannya dari Surya. Ia tersenyum getir saat mengingat kembali bayangan tentang kebahagiaannya empat tahun silam. Saat tubuh dan wajahnya masih di puja oleh sang suami."Apa ini, Mas?" tanya Arum saat Surya memberikan hadiah."Buka saja, setelah itu bisa kamu memakainya." Senyum mengembang pria itu membuat jantung Arum berdetak lebih kencang.Perlaham Arum membukanya. Ia menggulum senyum mendapati baju tidur yang begitu cantik. Bahan sutra membuat baju itu terlihat mewah.Surya berdecak kagum melihat tubuh Arum berbalut baju yang ia berikan. Sexy, kalimat itu yang pertama kali keluar
Tak menampik memang aura kecantikan Arum kini sudah kembali. Wajah semringah dan keramahannya membuat para lelaki di kantor mempertanyakan status wanita itu. Apa masih single atau sudah menikah? Sesosok pria dengan kemeja hitam dan celana bahan berdiri tidak jauh dari Arum. Matanya tidak berhenti memandang ke arah calon janda itu. Namun, pria itu kembali mengelus dada mencoba memastikan jika hatinya baik-baik saja.“Pak Bayu, sedang apa?” Seseorang yang juga memperhatikan Bayu mulai aneh dengan sikap tidak biasa pria itu.Sambil pura-pura memainkan ponsel, Bayu mencoba menetralisirkan keadaan. “Hanya menunggu seseorang, Pak. Silahkan duluan.”“Baik, Pak Bayu.” Pria tua itu akhirnya melangkahkan menjauh.“Hampir saja,” ucapnya sambil mengelus dada kembali.Bayu kembali mencari sosok Arum, tapi sudah tak nampak lagi. Ia melangkah menuju pergi. Pria itu terlihat sempurna di mata para wanita, tapi mereka tidak tahu jika ia terlalu lemah dalam urusan percintaan. Meskipun usianya yang sudah
Seorang mualaf? Itu yang kembali ada di benak Arum saat sudah berada di kantin kantor. Wanita itu hanya memutar-mutarkan garpu pada makanan yang ia makan. Tidak terbesit sama sekali jika Bayu sekarang sudah seiman dengannya. Pikirannya menerawang ke masa beberapa tahun lalu. Ia kembali teringat pada perbincangan yang pernah mereka bicarakan. Sore sepulang mengantar Arum ke kantor pusat, awal mereka bertemu saat Dani meminta Bayu untuk mengantarkannya. Mereka berhenti di sebuah mesjid tidak jauh dari perkantoran."Kamu, nggak salat?” Arum bertanya pada Bayu yang saat itu hanya duduk di mobil dan tidak turun."Saya non muslim, silahkan kamu ibadah, saya akan menunggu di mobil saja." Senyum tipis membuat Arum menundukkan wajah."Maaf, kalau gitu saya masuk ke dalam, ya," pamitnya."Silahkan."Bayu menatap punggung yang semakin menjauh. Cinta pada pandangan pertama yang ia rasakan pada wanita yang sedang beribadah di dalam. Sudah lama ia memerhatikannya, tapi baru sekarang bisa mendekati
Pria berkulit hitam manis itu berdiri di depan lobi kantor Arum. Mengangguk pada setiap orang yang tersenyum padanya. Terutama para karyawan wanita yang sengaja tersenyum ketika melihat seorang pria gagah dengan senyum yang sangat mempesona. Namun, tidak bagi Arum. Wanita itu memilih untuk tidak menyapa dan mencoba menghindarinya. Banyak yang tidak tahu jika pria itu berwatak tidak baik.Surya mengedarkan pandangan kesekeliling. Ia tersenyum simpul saat netranya menemukan seseorang yang dia cari. Ia menyongsong Arum lalu dengan kasar pria itu menarik lengannya hingga wanita itu sedikit meringis kesakitan."Sudah aku bilang, aku akan menjemputmu, Arum." Arum terbelalak. Ingin rasanya ia berteriak, tapi tidak ingin menjadi tontonan dan membuat dirinya malu “Lepas, Mas! Atau aku akan berteriak!" Ancamannya pun tidak digubris oleh Surya, malah pria itu semakin kasar.Surya kini memerhatikan Arum, ia seperti kembali ke masa beberapa tahun silam. Dadanya berdebar tidak karuan saat berada di
Dua sosok pria yang dulu sangat akrab kini duduk saling tatap dan saling diam. Dulu mereka sering bertukar pikiran dan bermain catur bersama. Namun, kini seperti ada jarak yang memisahkan mereka. Cukup lama mereka tidak bertemu, setelah Arum menikah dengan Surya, Bayu menjaga jarak dengan pria tua yang pernah sangat merindukan sosoknya.“Ayah, baik-baik saja?” tanya Bayu memecahkan keheningan di antara mereka. Wiryo kini menatap pria di hadapannya. Jika boleh, bahkan ia ingin memeluknya dengan isak tangis. Bayu adalah pria baik di matanya. Semula dia mengira anaknya akan memilih Bayu, akan tetapi dia tetap memilih Surya.“Ayah tidak baik- baik saja saat kamu memutus tali silahturahmi kita. Kamu tahu, Ibu tidak bisa diajak bermain catur,” ujar pria tua itu dengan tertawa renyah.“Loh, Ibu dengar, ya, kalau kalian berbisik membicarakan Ibu. Hayo, Ayah kebiasaan nih.” Ibunya Arum datang dengan membawakan minum dan kue. Wanita itu ikut duduk bersama dua pria di hadapannya.Bayu mencium pu
Wajah rentan itu terlihat sedih, ia memandang sudut rumah dengan tetesan air mata yang tak henti mengalir. Naina tidak tahu kenapa Surya mewarisi sifat kasar dan pemarah milik ayahnya. Bahkan wanita itu tidak menyangka jika dia mengikuti jejak sang ayah yang mempunyai wanita lain. Bedanya, pria itu tidak menyesal telah meninggalkan dirinya. Berbeda dengan naknya yang ingin merubah segalanya, akan tetapi semuanya sudah terlambat.Getir hidup yang pernah ia rasakan sama dengan yang menantunya alami. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Usaha agar Arum mau membatalkan gugatan perceraian mereka sia-sia. Terlebih dirinya pernah merasakan sakit dan pedih dikhianati oleh pasangan.Surya terduduk di hadapan ibunya. Penampilannya kacau, tidak pernah terbayangkan jika pernikahannya akan berakhir dengan sebuah perceraian. Nanar ia menatap sekeliling, hanya ada sang ibu yang berdiam diri tanpa kata.“Bu, Arum tidak mau membatalkan gugatan itu,” ucapnya lirih.“Sudahlah, jangan kau ganggu dia lagi. Ka
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg
Ia tertunduk lemas di hadapan sang ibu. Menceritakan nasib yang menimpanya. Sekilas ibunya hanya menatap iba, akan tetapi wanita tua itu berdecak kesal. Bahkan berulang kali mengelus dada. Lalu, menatap tajam pada anak semata wayangnya.“Lalu, kamu mau bagaimana?”“Aku nggak tahu, Bu.”“Apes banget kamu, Le. Udah jatoh ketimpa tangga pula. Udah Ibu bilang, hidup itu jangan neko-neko. Nikmati aja yang dikasih Gusti Allah, eh ini malah buat kesalahan fatal. Kehilangan berlian, eh sama kerikil juga ditendang. Sepertinya kamu kena karma dari perbuatan kamu sama mantan istrimu.” Wanita tua itu tak hentinya berbicara.“Bu, jangan menyudutkan aku.”“Loh, kenyataan. Untung Ibu kaya, kalau nggak, bisa gila Ibu tiba-tiba jatuh miskin.”“Bu.”“Yasudah, nanti Ibu hubungi Pamanmu. Kesempatan kedua pergunakan dengan baik. Awas aja kamu kalau sudah membaik perekonomian kembali sama Renata atau bersikap arogan lagi. Ibu sumpahin kere lagi kamu.”“Ibu, kok ngomong gitu?” Wajahnya memelas saat mendenga
Di rumah terpisah Surya terperangah menatap tudung nasi yang masih kosong. Sepulang kerja harusnya Renata sudah menyiapkan masakan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan jika wanita itu sama sekali tidak menyediakan makanan.Perutnya yang sudah minta di isi mulai terasa perih. Asam lambungnya juga mulai kambuh. Geram ia memanggil wanita yang sedari tadi hanya sibuk dengan kuku-kukunya. Apalagi sepulang sidang tadi, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. "Renata!" teriaknya nyaring. Wajahnya terlihat pucat menahan perih yang mulai menggangu perutnya. Sekali ia memanggil, tapi istrinya tak juga datang meghampirinya. Kembali Surya memanggilnya. "Renata!" Suaranya kian meninggi. Namun, masih saja wanita berambut pirang itu tidak juga datang. Luapan emosinya tak tertahan lagi. Ia menghampiri dan mendapati Renata sedang asik mendengarkan aerophone di telinganya. Renata berbalik saat aerophone terasa di cabut dari telinganya. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" tanyanya dengan perasaan
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen