Dua sosok pria yang dulu sangat akrab kini duduk saling tatap dan saling diam. Dulu mereka sering bertukar pikiran dan bermain catur bersama. Namun, kini seperti ada jarak yang memisahkan mereka. Cukup lama mereka tidak bertemu, setelah Arum menikah dengan Surya, Bayu menjaga jarak dengan pria tua yang pernah sangat merindukan sosoknya.“Ayah, baik-baik saja?” tanya Bayu memecahkan keheningan di antara mereka. Wiryo kini menatap pria di hadapannya. Jika boleh, bahkan ia ingin memeluknya dengan isak tangis. Bayu adalah pria baik di matanya. Semula dia mengira anaknya akan memilih Bayu, akan tetapi dia tetap memilih Surya.“Ayah tidak baik- baik saja saat kamu memutus tali silahturahmi kita. Kamu tahu, Ibu tidak bisa diajak bermain catur,” ujar pria tua itu dengan tertawa renyah.“Loh, Ibu dengar, ya, kalau kalian berbisik membicarakan Ibu. Hayo, Ayah kebiasaan nih.” Ibunya Arum datang dengan membawakan minum dan kue. Wanita itu ikut duduk bersama dua pria di hadapannya.Bayu mencium pu
Wajah rentan itu terlihat sedih, ia memandang sudut rumah dengan tetesan air mata yang tak henti mengalir. Naina tidak tahu kenapa Surya mewarisi sifat kasar dan pemarah milik ayahnya. Bahkan wanita itu tidak menyangka jika dia mengikuti jejak sang ayah yang mempunyai wanita lain. Bedanya, pria itu tidak menyesal telah meninggalkan dirinya. Berbeda dengan naknya yang ingin merubah segalanya, akan tetapi semuanya sudah terlambat.Getir hidup yang pernah ia rasakan sama dengan yang menantunya alami. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Usaha agar Arum mau membatalkan gugatan perceraian mereka sia-sia. Terlebih dirinya pernah merasakan sakit dan pedih dikhianati oleh pasangan.Surya terduduk di hadapan ibunya. Penampilannya kacau, tidak pernah terbayangkan jika pernikahannya akan berakhir dengan sebuah perceraian. Nanar ia menatap sekeliling, hanya ada sang ibu yang berdiam diri tanpa kata.“Bu, Arum tidak mau membatalkan gugatan itu,” ucapnya lirih.“Sudahlah, jangan kau ganggu dia lagi. Ka
"Asalamualaikum,” ucap Bayu yang sudah berada di daun pintu. "Walaikumsalam,” balas Arum. Bayu terdiam cukup lama menunggu pemilik rumah mempersilahkan ia masuk. Pria itu tidak berani masuk jika tidak ada orang tuanya. . "Sebentar, aku panggil anak-anak dan pengasuhnya," ucap Arum. Bayu mengangguk, mengerti maksud dari wanita itu. Ibu dua anak itu masuk ke kamar dan meminta mereka keluar. Begitu juga Laras, ia juga ikut keluar menemani anak-anak. "Ayo, Nanda, Kaila. Salam sama Om Bayu," ucap Arum. Mereka berdua anak-anak pintar, satu persatu mencium punggung tangan Bayu. "Ini Laras, pengasuh mereka." Laras mengangguk. "Ini siapa namanya?" Bayu berjongkok menyamakan tinggi Kaila. putri kecil Arum itu tersenyum memperlihatkan giginya yang sudah ompong. "Kaila, Om." "Aku Nanda, Om." "Kalian cantik dan ganteng, pasti anak -anak pintar." "Iya, Om." Kompak mereka menjawab. Tidak lama Arum datang dengan sejumlah data yang dibutuhkan olehnya untuk proses perceraiannya. "Ini, Bay." D
Suasana kanti sudah mulai ramai dengan beberapa karyawan yang sedang beristirahat atau sekedar duduk dan mengobrol. Seperti pesannya tadi pada Arum, Bayu sudah menunggu hampir setengah jam, tapi Arum belum juga menunjukan batang hidungnya. Beberapa kali dia menatap layar ponsel hendak menghubungi, akan tetapi Arum terlebih dahulu mengirim pesan.Arum :Bay, maaf, aku nggak bisa nemui kamu. Kerjaan aku masih banyak. Kalau mau ada yang di bicarakan, bisa hubungi aku atau telepon akuTerlihat sekali pria itu sangat kecewa, dia bangkit tanpa membalas pesan dari Arum. Kecewa dengan keadaan. Bayu yakin bukan karena sebuah pekerjaan, melainkan sebuah perasaan yang harus dihindari.Gugatan perceraian Arum dan Surya sudah didaftarkan, ada kelegaan karena terlepas dari pria yang dia anggap brengsek dan tidak tahu malu. Bayu sangat yakin jika dirinya akan memenangkan hak asuh anak Arum. Hanya itu yang bisa dilakukan untuk melihat orang yang dia sayang tersenyum bahagia.“Dan, dia menghidar lagi
Dalam perjalanan Nanda dan Kaila terlihat senang. Mereka tak berhenti bernyayi, tertawa juga saling bercanda. Arum sangat bahagia melihat kedua anaknya tertawa lepas bersama ayah mereka. Namun, dalam hatinya ia merasa sedih. Kembali berpikir tentang ucapan Surya. Bersatu demi dua buah hati mereka.Suasana pegunungan yang sejuk dan udara yang membuat hawa semakin dingin. Sepanjang perjalanan terlihat begitu cantik perkebunan teh yang terlihat oleh mata. Wanita itu sangat menikmati pemandangannya. Tanpa terasa sudah sampai di villa."Kita sudah sampai, ayo turun. Mau di dalam saja?" tanya Surya seraya membukakan pintu mobil."Iya, Mas."Suasana puncak mengingatkannya tentang kebahagiaan mereka yang dulu. Saat akhir pekan, Surya selalu mengajak keluarga menikmati udara sejuk di puncak. Arum duduk memandang kedua anaknya bermain lari-larian bersama ayah mereka. Sungguh pemandangan yang langka.Setelah puas bermain, Surya duduk menghampiri Arum. Wanita itu gugup seketika saat pria itu suda
Esoknya aetelah mendapat telepon dari Ayah Arum, Bayu segera datang ke rumahnya mereka. Arum terperangah dengan kedatangan pria berhidung mancung itu. Ia menatap wanita yang berhijab merah dengan dingin. Tatapannya tajam seperti ingin membunuh.“Kamu ngapain?” tanyanya heran.Sebelum Bayu menjawab, Wiryo terlebih dahulu menjawab pertanyaan Arum. “Ayah yang menyuruh dia datang.”“Untuk, apa?” Kembali ia bertanya heran.“Untuk membuka mata kamu, agar tidak memilih rujuk dengan Surya,” jawab ayahnya ketus. Lalu, pria berambut putih itu meninggalkan mereka agar leluasa berbicara. Keheningan menyelimuti suasana, semilir udara menusuk kulit tubuh. Diam dan tak satu kata pun terlontar dari bibir Arum.“Apa benar kamu mau membatalkan gugatan perceraian itu?” tanya Bayu dengan raut wajah gusar.“Belum tahu,” balas Arum singkat tanpa menatap wajah cemas dihadapannya.“Kalau begitu kemungkinan, akan?” Bayu mulai tersulut emosi.Wanita di hadapannya urung menjawab pertanyaan dari pengacaranya. Di
Setelah menunggu hampir sebulan, ini kali pertama sidang perceraian mereka digelar. Arum duduk didampingi oleh kuasa hukumnya, Bayu. Sedangkan Surya, menatap sinis pada calon mantan istrinya. Suasana tegang mulai terasa, apalagi saat hakim ketua sudah memasuki ruangan. Proses mediasi ini sebenarnya ditujukan untuk mereka yang ingin mengubah keputusan mereka. Namun, kata hati wanita itu kekeh pada pendiriannya. Perceraian yang memang seharusnya terjadi. Wanita berhijab biru itu menatap gusar pada Bayu. Pria itu tahu jika Arum sedang merasa takut. "Tenang, ada aku." Wanita itu mengangguk. Kemudian sidang dimulai dengan pembacaan pemohon atau gugatan. Ketua hakim memulai dengan berbagai macam pertanyaan dan ia mengusahakan agar pihak penggugat benar-benar memikirkan kembali keputusannya. "Apa tidak bisa dipikirkan kembali Saudari Arum? Korban dari perceraian ini adalah anak-anak. Apa Anda tidak memikirkan itu?" tanya ketua hakim. Wanita itu memberanikan diri menjawab pertanyaan hakim
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg
Ia tertunduk lemas di hadapan sang ibu. Menceritakan nasib yang menimpanya. Sekilas ibunya hanya menatap iba, akan tetapi wanita tua itu berdecak kesal. Bahkan berulang kali mengelus dada. Lalu, menatap tajam pada anak semata wayangnya.“Lalu, kamu mau bagaimana?”“Aku nggak tahu, Bu.”“Apes banget kamu, Le. Udah jatoh ketimpa tangga pula. Udah Ibu bilang, hidup itu jangan neko-neko. Nikmati aja yang dikasih Gusti Allah, eh ini malah buat kesalahan fatal. Kehilangan berlian, eh sama kerikil juga ditendang. Sepertinya kamu kena karma dari perbuatan kamu sama mantan istrimu.” Wanita tua itu tak hentinya berbicara.“Bu, jangan menyudutkan aku.”“Loh, kenyataan. Untung Ibu kaya, kalau nggak, bisa gila Ibu tiba-tiba jatuh miskin.”“Bu.”“Yasudah, nanti Ibu hubungi Pamanmu. Kesempatan kedua pergunakan dengan baik. Awas aja kamu kalau sudah membaik perekonomian kembali sama Renata atau bersikap arogan lagi. Ibu sumpahin kere lagi kamu.”“Ibu, kok ngomong gitu?” Wajahnya memelas saat mendenga
Di rumah terpisah Surya terperangah menatap tudung nasi yang masih kosong. Sepulang kerja harusnya Renata sudah menyiapkan masakan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan jika wanita itu sama sekali tidak menyediakan makanan.Perutnya yang sudah minta di isi mulai terasa perih. Asam lambungnya juga mulai kambuh. Geram ia memanggil wanita yang sedari tadi hanya sibuk dengan kuku-kukunya. Apalagi sepulang sidang tadi, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. "Renata!" teriaknya nyaring. Wajahnya terlihat pucat menahan perih yang mulai menggangu perutnya. Sekali ia memanggil, tapi istrinya tak juga datang meghampirinya. Kembali Surya memanggilnya. "Renata!" Suaranya kian meninggi. Namun, masih saja wanita berambut pirang itu tidak juga datang. Luapan emosinya tak tertahan lagi. Ia menghampiri dan mendapati Renata sedang asik mendengarkan aerophone di telinganya. Renata berbalik saat aerophone terasa di cabut dari telinganya. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" tanyanya dengan perasaan
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen