Wiryo, Ayah Arum sudah mendengar cerita dari tetangga mereka tentang mertua anaknya yang datang dan mengambil kedua cucunya. Pria tua itu cemas, dan memilih menutup dagangan.di pasar lalu bergegas pulang ke rumah.
Istri Wiryo, ibunya Arum juga ikut cemas dengan kabar yang baru saja didengar. Di tempat terpisah, wanita tua itu juga menutup dagangan.
“Ayo, Bu,” ucap Wiryo saat bertemu dengan istrinya di parkiran.
“Iya, Yah. Ibu cemas dengan Arum.” Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Arum.
Lalu Wiryo melajukan mobil pickup nya dengan kecepatan tinggi. Mobil yang sehari-hari mereka pergunakan untuk pergi berjualan sayur di pasar. Sesampainya di rumah, Arum berhamburan kepelukan sang ibu. Tangis pilu wanita itu sangat menyayat hati. Bagaimana dia diperlakukan tidak adil oleh keluarga Surya.
“Kamu sudah obati luka kamu, Nak?” tanya Wiryo, ayahnya dengan cemas.
Arum menggeleng, dia sudah tidak memedulikan luka di tubuhnya karena luka di hati wanita itu sudah sangat dalam. Sang ibu beranjak ke dapur dan mengambil kotak P3K. Sebelum itu dia membersihkan luka Arum dengan alkohol.
Rasa sakit itu tidak dia rasakan. Di benak Arum, hanyalah memikirkan kedua buah hatinya. Netranya kosong, dia seperti depresi menghadapi masalah yang bertubi-tubi .
“Nak, kamu harus kuat. Anak Ayah dari dulu selalu kuat. Ayo, Nak, Ayah antar kamu ke rumah mertuamu,” ujar Wiryo.
Arum menggelengkan kepala, ia belum bisa berpikir karena percuma saja ke sana kalau suasana masih seperti ini. Dia masih mengumpulkan kekuatan, untuk melawan ibu mertua dan Surya. Ia berpikir dan terus beristigfar menenangkan hati. Suasana rumah menjadi sangat sunyi, saat Nanda dan Kaila tidak ada. Is sangat merindukan mereka.
“Biarkan Arum ke rumah Ibu sendiri, Ayah istirahat saja di rumah. Arum tidak ingin Ayah dihina mereka juga,” ucap Arum.
“Kamu, yakin?” tanya ibunya.
“Yakin, Bu. Arum kuat menghadapi mereka. Doakan saja aku selalu sehat dan kuat untuk menjalani takdir Allah.”
Arum terpaksa terlihat kuat di hadapan kedua orang tuanya. Ia tidak ingin melihat mereka bersedih. Cukup hari ini saja mereka menutup cepat warung di pasar untuk pulang melihat keadaannya.
“Doa, Ayah dan Ibu selalu ada untuk kamu, Rum.”
Setelah shalat zuhur, Arum bersiap untuk menemui kedua buah hatinya di rumah nenek mereka. Perasaannya sedang tidak karuan, rasa pedih, sesak, semua bercampur aduk. Kehilangan buah hati adalah hal terpuruk yang dia rasakan. Tidak bisa ia bayangkan hidup tanpa mereka.
Semesta seperti mempermainkan hidupnya. Kini ia harus dipisahkan dari kedua anak yang sangat ia cintai. Gemuruh di dada membuatnya tidak sabar untuk membawa mereka kembali ke dalam pelukannya. Perempuan jahat itu boleh mengambil suaminya, akan tetapi tidak dengan kedua buah hatinya
**
Rumah besar itu sangat sepi karena hanya ditinggali ibu mertuanya dan dua orang pembantu juga satpam di luar . Nanda bermain di ruang televisi dan Kaila berada dipangkuan Naina, neneknya. Selepas menelepon Surya, wanita tua itu terdiam cukup lama memandang taman yang penuh tanaman hijau.
Aku tidak pernah mengajarkan dia seperti itu, kenapa dia bersikap sepertimu, Mas. Bahkan saat kamu sudah pergi, bayanganmu kembali berada dalam tubuh anak kita, Surya.
Rumah tangga kedua orang tua Surya pun kandas akibat orang ketiga. Ia lelah jika harus mengingat bagaimana harus bangkit di saat terpuruk. Suaminya meninggalkan luka yang sangat dalam. Pergi dengan wanita lain dan dengan sengaja melukai dan menodai janji suci mereka.
Ia menghembuskan napas panjang. Sesaat merindukan seseorang yang pernah mengisi relung hatinya. Separuh jiwanya pergi dengan menitipkan luka. Namun, wanita tua itu pintar menyimpan semua aset hingga pria itu tidak membawa apapun yang mereka miliki saat bersama. Jika tidak, entah akan menjadi apa ia dan Surya.
“Bu,” sapa Surya. Dia datang bersama Renata, istri kedua yang saat ini ia banggakan sebagai wanita yang mampu menguasai jiwa dan raganya.
Wanita tua itu menatap tajam pada wanita muda yang sangat berpenampilan jauh berbeda dengan Arum. Baju ketat dan rok di atas lutut membuat Naina menggelengkan kepala. Selera yang membuat ingin memuntahkan sisa makanan di perut. Tidak lebih baik dari Arum yang berpenampilan sederhana, tapi bisa menjaga martabat suami.
“Jadi, wanita ini yang membuat kamu menceraikan Arum?” tanyanya dengan wajah sangat ketus. Renata mendekat ingin mencium punggung tangan mertuanya, tapi Naina menepis tangan istri kedua Surya itu dengan kasar.
“Bu, kenapa Kaila ada sama Ibu?” tanya Surya saat melihat Kaila.
“Ibu ingin dekat dengan mereka.” Naina menatap dengan sorot mata tajam.
“Papa!” Nanda berlari dari dalam dan langsung berhamburan kepelukan Surya.
Surya menggendong dan mencium kedua pipi Nanda. Tidak lama dia juga menciumi Kaila yang tertidur dipangkuan neneknya. Renata hanya diam mematung, dia merasa mertuanya tidak suka dengan kehadirannya di rumah ini.
“Kamu yakin, wanita macam dia, bisa mengurus kamu dan anak-anakmu?” Kembali ibunya Surya mengeluarkan kalimat yang sangat tajam. Menohok membuat Renata mengerucutkan bibir.
“Saya bisa, Bu, mengurus Mas Surya,” ucap Renata dengan percaya diri.
“Bukan hanya Surya, tapi anak-anaknya. Masa, mau sama Bapaknya, tapi nggak mau ngurus anaknya. Enak saja kamu mau enaknya doang.” Kembali Naina membuat wanita itu tidak betah berlama-lama.
“Kan, mereka ada Arum. Ibu mereka, kenapa saya harus susah-susah mengurus mereka?” Tanpa sadar Renata sudah memperlihatkan sifat aslinya. Sang mertua tersenyum sinis.
“Dasar rubah! Kamu bodoh, Sur. Wanita model kaya gini mana bisa ngurus suami. Adanya menghabiskan uang suami.” Wajah Renata menjadi masam karena sedari tadi dia selalu di hina sang mertua.
“Bu, jangan seperti itu pada Renata. Renata lebih baik dari pada Arum. Coba Ibu pikir, mana betah aku sama wanita jelek dan bau. Beda dengan Renata, dia bisa menyenangkan aku, Bu,” ucap Surya membela Renata.
“Halah! Hanya menyenangkan di ranjang saja sudah bangga! Terserah kamu.”
Wanita tua itu menyerahkan Kaila pada Renata untuk digendong. Saat mulai menggendong Kaila ia mulai merasa resah takut anak itu mengompol. Benar saja purtri kecilnya merasa ingin buang air kecil.
Kemana sih, Nenek tua itu, kenapa juga aku harus repot ngurus anaknya Arum.
Renata hampir saja menjatuhkan Kaila, untung saja saat itu Arum datang dan langsung merebut Kaila dari Renata.
“Cukup kau ambil suamiku, tapi jangan anakku!” pekik Arum. Wanita berbalut gamis berwarna hijau dengan warna hijab senada dengan bajunya menatap tajam Renata. Aliran darah mengalir sangat derah membuat emosinya kian memuncak.
“Siapa juga yang mau ambil anak kamu, aku hanya membutuhkan Mas Surya,” ujar Renata sombong. “Enak saja aku harus mengurus anakmu!”
“Silahkan! Kamu ambil barang bekas dari aku. Wanita sosialita macam kamu, hanya pantas mendapatkan barang rongsokan.” Kini Arum tersulut emosi dan terus menatap tajam madunya.
“Jaga ucapan kamu, Arum!” Tamparan keras mengenai wajah Arum. Bibir Arum bergetar mendapat perlakuan kasar dari Surya. Teganya dia membela pelakor dan menampar dirinya.
“Kamu bahkan lebih membela batu kerikil, lihat saja, Mas. Jangan harap suatu saat kamu memohon padaku. Karma itu nyata!”
“Arum!” Suara Naina meninggi dan langsung merebut Kaila dari dekapan ibunya.
“Bu, aku mohon, jangan pisahkan aku dengan anak-anakku.” Percuma saja dia memohon pada mertuanya. Wanita tua itu sudah meminta pembantunya membawa Nanda dan Kaila ke ruang dalam. Arum mencoba mencegah, tapi Surya menahan tubuh Arum.
“Lepas, Mas!Aku rela kamu ceraikan, asal jangan kamu pisahkan aku dengan mereka. Lebih baik aku kehilangan kamu dari pada mereka!” teriak Arun dengan tangis
“Lebih baik kamu pergi, Arum!” Naina menunjukan telunjuknya ke arah daun pintu.
Arum tidak terima dengan hinaan mereka. Dia mendorong tubuh Renata hingga tersungkur. “Ini semua ulah kamu! Gara-gara kamu hadir dalam rumah tanggaku, semua kebahagiaanku hancur. Dasar pelakor!”
Arum histeris menarik rambut Renata. Sedangkan Surya berusaha melepaskan tangan Arum dari rambut panjang Renata. Semakin Surya mencoba menarik tubuh Arum, dia semakin kencang menarik rambut Renata.
“Mas, tolong aku!” teriak Renata kesakitan.
Surya berhasil mendorong tubuh Arum. Arum tersungkur di lantai, dia menatap tajam pasangan memalukan itu. Dari sudut ruangan, Naina menggulum senyum melihat perkelahian antara Arum dan Renata. Dia puas melihat kejadian yang tidak dia duga. Arum, yang dia kira lemah malah berbalik menyerang. Arum bangkit lalu, mendorong tubuh Surya dan menarik kembali rambut madunya. Renata kesakitan, kembali Surya merelai mereka.
“Awas, kamu, Arum!” Renata kembali berteriak lalu hendak menghampiri Arum.
“Diam di sana, Renata! Saya tidak mau melihat ada keributan di rumah saya!”
Ibu mertua Arum dengan sengaja menghetikan Renata. Dia mau, Arum pergi, hatinya juga sebenarnya luka. Karena dia juga pernah merasakan berada di posisi Arum. Namun, kisah mereka berbeda, dia tidak sekuat dan setegar Arum.
“Kamu akan menyesal, Mas. Dan kamu, kupastikan karma akan menghampiri.” Dia mengancam dengan emosi yang tersulut itu kian memuncak, merapikan hijabnya dan berlalu. Sungguh kejadian yang sangat memuakkan baginya. Apa yang terjadi kali ini adalah di luar batas kesabaran seorang Arum. Wanita kalem seperti dia bisa emosi menghadapi dua makhluk menjijikan.
**
Sejak kejadian beberapa hari lalu di rumah mertuanya, Arum pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Terlebih Naina, ibu mertua Arum mengancam akan merusak warung kedua orang tuanya di pasar. Ia sangat bingung apa yang akan dilakukan untuk membawa Nanda dan Kaila kembali kepelukannya. Arum terduduk lesu menghadapi semua cobaan hidup yang tiba-tiba saja datang.Pagi ini ia menemani ibunya berjualan di pasar. Namun, masih saja tidak fokus dengan dagangan. Pikiran Arum masih tertuju pada Nanda dan Kaila. Bagaimana mereka tanpa sang ibu di sana? Apa Kaila tidak menangis mencarinya? Sejumlah pertanyaan terngiang di benak wanita itu.Suasana pasar yang sangat ramai tidak juga membuat hatinya menjadi tenang. Ibu memandang pada Arum, ia sangat iba melihat keadaan yang sunggu membuat hati seorang ibu bersedih. Tatapannya kosong, harapan itu kini seperti hilang begitu saja.“Rum, lebih baik kamu pulang dulu. Tenangkan pikiranmu.”“Tidak, Bu.”“Ibu tidak apa-apa. Pulanglah, atau cari kesibukan lain.
Arum masih merasa geram setelah ia tidak sengaja bertemu dengan Renata. Wanita perebut suami orang, dia tidak layak bahagia di atas penderitaan orang lain. Terlebih menikmati harta yang bukan hak dia. Begitu percaya diri berbicara akan menikmati harta Surya.Sehebat apa pun seorang laki-laki, jika ia belum berkeluarga, pasti ada wanita hebat di belakangnya, yaitu seorang ibu. Jika ia sudah berkeluarga, pastilah akan ada doa istri yang menyertai dia kemana pun berada. Rezeki suami adalah rezeki istri, lewat doa-doanya yang mendatangkan rezeki untuk sang suami.Surya seakan lupa. Larena doa seorang istri rezekinya kini berlimpah. Sebelumnya, ia hanya karyawan biasa yang memegang jabatan staf akunting. Sedangkan setelah menikah dengan Arum, dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Manager Keuangan. Arum mengehala napas panjang, dia kembali bergegas memasuki kantor Dani."Permisi, bisa saya bertemu dengan Pak Dani?" tanya Arum pada resepsionis."Sudah buat janji?" tanya wanita yang berada
Renata menyongsong Surya saat terdengar deru mobilnya memasuki halaman. Tak seperti biasa saat melihat wajah istri mudanya ia selalu bergairah. Namun, kali ini tidak. Bahkan ia tidak menyapanya dan langsung bergegas mandi. Dipikirannya kini hanya ibu dari kedua anaknya. Sepertinya ia sangat menyesali tindakannya yang tidak berpikir panjang kala itu. Dinginnya malam tidak membuat Renata mengurunkan niat menggunakan baju tidur tipis yang membuat tubuh putihnya terlihat menggoda. Surya tak bergeming saat dia mulai bergelayut manja pada dada bidang pria berparas hitam manis itu.Sedari tadi Surya tak bergeming. Pikirannya seperti tidak ada di sana. Berulang kali Renata mencari perhatiannya, tapi pria itu hanya terdiam tak merespon apa pun yang dilakukannya. Dikecupnya bibir suaminya, akan tetapi masih sama. Surya tak membalas panggutan dari Renata. “Aku lelah.”Renata terhenyak dengan sikap Surya. Ia mengguncangkan tubuh suaminya. Tidak seperti biasanya pria itu selalu mendominasi saat
Semilir angin berhembus sangat kencang, langit pun mendung. Dingin menusuk kulit, Arum duduk di taman kota dengan satu tangan memegangi dada. Sebuah penghinaan kembali terjadi pada dirinya. Netra cokelat itu menatap nanar, bulir bening yang sedari tadi ditahan kini tumpah mengalir deras di pipi.Sakit, perih, entah apalagi yang ia rasakan. Begitu getir hidup yang dijalaninya. Sebuah harapan yang nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan. Hidup bahagia itu memang milik mereka yang mempunyai banyak uang. Beberapa kali menyeka air matanya, ia bangkit dengan sisa-sisa kekuatan.Kenapa sangat sakit, aku sudah terbiasa dengan penghinaan Mas Surya. Namun, kenapa lebih menyakitkan saat Bayu menghinaku?Dirinya kembali merasakan sesak di dada. Sekarang ia teringat kedua anaknya. Rindu itu sudah sangat membuncah mengingat begitu bahagianya saat mereka bersama. Peluk dan cium mereka yang selalu dirindukan wanita itu.Arum mengambil ponsel yang sedari tadi terus bergetar. Matanya terbelalak melihat
Arum menaruh ponsel di nakas, setelah ia menghubungi kedua orang tuanya. Takut mereka mencemaskan dirinya karena tidak pulang malam ini. Ia bangkit setelah memastikan Nanda tertidur. Sedangkan Kaila sudah terlelap sejak ia menggendongnya. Panas di tubuh gadis kecil itu pun sudah turun, memang benar anak itu rindu pada ibunya.Saat membuka lemari baju, ia menatap nanar baju tidur berbahan sutra hadiah pernikahannya dari Surya. Ia tersenyum getir saat mengingat kembali bayangan tentang kebahagiaannya empat tahun silam. Saat tubuh dan wajahnya masih di puja oleh sang suami."Apa ini, Mas?" tanya Arum saat Surya memberikan hadiah."Buka saja, setelah itu bisa kamu memakainya." Senyum mengembang pria itu membuat jantung Arum berdetak lebih kencang.Perlaham Arum membukanya. Ia menggulum senyum mendapati baju tidur yang begitu cantik. Bahan sutra membuat baju itu terlihat mewah.Surya berdecak kagum melihat tubuh Arum berbalut baju yang ia berikan. Sexy, kalimat itu yang pertama kali keluar
Tak menampik memang aura kecantikan Arum kini sudah kembali. Wajah semringah dan keramahannya membuat para lelaki di kantor mempertanyakan status wanita itu. Apa masih single atau sudah menikah? Sesosok pria dengan kemeja hitam dan celana bahan berdiri tidak jauh dari Arum. Matanya tidak berhenti memandang ke arah calon janda itu. Namun, pria itu kembali mengelus dada mencoba memastikan jika hatinya baik-baik saja.“Pak Bayu, sedang apa?” Seseorang yang juga memperhatikan Bayu mulai aneh dengan sikap tidak biasa pria itu.Sambil pura-pura memainkan ponsel, Bayu mencoba menetralisirkan keadaan. “Hanya menunggu seseorang, Pak. Silahkan duluan.”“Baik, Pak Bayu.” Pria tua itu akhirnya melangkahkan menjauh.“Hampir saja,” ucapnya sambil mengelus dada kembali.Bayu kembali mencari sosok Arum, tapi sudah tak nampak lagi. Ia melangkah menuju pergi. Pria itu terlihat sempurna di mata para wanita, tapi mereka tidak tahu jika ia terlalu lemah dalam urusan percintaan. Meskipun usianya yang sudah
Seorang mualaf? Itu yang kembali ada di benak Arum saat sudah berada di kantin kantor. Wanita itu hanya memutar-mutarkan garpu pada makanan yang ia makan. Tidak terbesit sama sekali jika Bayu sekarang sudah seiman dengannya. Pikirannya menerawang ke masa beberapa tahun lalu. Ia kembali teringat pada perbincangan yang pernah mereka bicarakan. Sore sepulang mengantar Arum ke kantor pusat, awal mereka bertemu saat Dani meminta Bayu untuk mengantarkannya. Mereka berhenti di sebuah mesjid tidak jauh dari perkantoran."Kamu, nggak salat?” Arum bertanya pada Bayu yang saat itu hanya duduk di mobil dan tidak turun."Saya non muslim, silahkan kamu ibadah, saya akan menunggu di mobil saja." Senyum tipis membuat Arum menundukkan wajah."Maaf, kalau gitu saya masuk ke dalam, ya," pamitnya."Silahkan."Bayu menatap punggung yang semakin menjauh. Cinta pada pandangan pertama yang ia rasakan pada wanita yang sedang beribadah di dalam. Sudah lama ia memerhatikannya, tapi baru sekarang bisa mendekati
Pria berkulit hitam manis itu berdiri di depan lobi kantor Arum. Mengangguk pada setiap orang yang tersenyum padanya. Terutama para karyawan wanita yang sengaja tersenyum ketika melihat seorang pria gagah dengan senyum yang sangat mempesona. Namun, tidak bagi Arum. Wanita itu memilih untuk tidak menyapa dan mencoba menghindarinya. Banyak yang tidak tahu jika pria itu berwatak tidak baik.Surya mengedarkan pandangan kesekeliling. Ia tersenyum simpul saat netranya menemukan seseorang yang dia cari. Ia menyongsong Arum lalu dengan kasar pria itu menarik lengannya hingga wanita itu sedikit meringis kesakitan."Sudah aku bilang, aku akan menjemputmu, Arum." Arum terbelalak. Ingin rasanya ia berteriak, tapi tidak ingin menjadi tontonan dan membuat dirinya malu “Lepas, Mas! Atau aku akan berteriak!" Ancamannya pun tidak digubris oleh Surya, malah pria itu semakin kasar.Surya kini memerhatikan Arum, ia seperti kembali ke masa beberapa tahun silam. Dadanya berdebar tidak karuan saat berada di
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg
Ia tertunduk lemas di hadapan sang ibu. Menceritakan nasib yang menimpanya. Sekilas ibunya hanya menatap iba, akan tetapi wanita tua itu berdecak kesal. Bahkan berulang kali mengelus dada. Lalu, menatap tajam pada anak semata wayangnya.“Lalu, kamu mau bagaimana?”“Aku nggak tahu, Bu.”“Apes banget kamu, Le. Udah jatoh ketimpa tangga pula. Udah Ibu bilang, hidup itu jangan neko-neko. Nikmati aja yang dikasih Gusti Allah, eh ini malah buat kesalahan fatal. Kehilangan berlian, eh sama kerikil juga ditendang. Sepertinya kamu kena karma dari perbuatan kamu sama mantan istrimu.” Wanita tua itu tak hentinya berbicara.“Bu, jangan menyudutkan aku.”“Loh, kenyataan. Untung Ibu kaya, kalau nggak, bisa gila Ibu tiba-tiba jatuh miskin.”“Bu.”“Yasudah, nanti Ibu hubungi Pamanmu. Kesempatan kedua pergunakan dengan baik. Awas aja kamu kalau sudah membaik perekonomian kembali sama Renata atau bersikap arogan lagi. Ibu sumpahin kere lagi kamu.”“Ibu, kok ngomong gitu?” Wajahnya memelas saat mendenga
Di rumah terpisah Surya terperangah menatap tudung nasi yang masih kosong. Sepulang kerja harusnya Renata sudah menyiapkan masakan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan jika wanita itu sama sekali tidak menyediakan makanan.Perutnya yang sudah minta di isi mulai terasa perih. Asam lambungnya juga mulai kambuh. Geram ia memanggil wanita yang sedari tadi hanya sibuk dengan kuku-kukunya. Apalagi sepulang sidang tadi, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. "Renata!" teriaknya nyaring. Wajahnya terlihat pucat menahan perih yang mulai menggangu perutnya. Sekali ia memanggil, tapi istrinya tak juga datang meghampirinya. Kembali Surya memanggilnya. "Renata!" Suaranya kian meninggi. Namun, masih saja wanita berambut pirang itu tidak juga datang. Luapan emosinya tak tertahan lagi. Ia menghampiri dan mendapati Renata sedang asik mendengarkan aerophone di telinganya. Renata berbalik saat aerophone terasa di cabut dari telinganya. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" tanyanya dengan perasaan
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen