Sedangkan Surya merasa dirinya sudah benar. Ia berhasil menyingkirkan Arum, istri yang jelek. Senyum tipis menghias bibir. Segera ia mengambil ponsel dan siap ber-video call dengan Renata. Wajah cantik itu kini menghiasi layar ponsel miliknya.
"Lagi apa, sayang?" tanya Surya pelan.
"Lagi kangen, nih sama kamu, Mas."
Wajah Surya memerah mendengar penuturan Wanita berwajah merona itu. Ia tak sabar ingin memeluk wanita yang menjadi istri keduanya. Senyum Renata sangat menggoda. Belum lagi baju tidur yang dia kenakan, buah dada yang menggiurkan membuat dirinya kembali menelan saliva. Bergegas ia pergi ke sana untuk menuntaskan hasrat.
Pria itu tidak memedulikan anak dan istrinya yang tengah malam ia usir dari rumah. Ia hanya memikirkan nafsu semata saja. Pria itu tidak berpikir panjang dengan apa yang ia perbuat. Yang ada dipikirannya adalah keindahan semata. Suatu saat penyesalan bisa saja hinggap di hidupnya dan bila saat itu terjadi mungkin ia sudah tidak bisa mengubah semua menjadi seperti semula.
**
Berbeda dengan Arum, ia kini mencoba bangkit dari keterpurukannya selama setengah setahun di poligami oleh Surya. Ia mencoba untuk melupakan setiap rasa sakit yang di terima.
Arum melangkah ragu saat sampai di depan rumah kedua orang tuanya. Ia tidak ingin mereka cemas dengan permasalahan yang sedang ia hadapi. Namun, ia tidak punya tempat lian untuk berteduh.
"Keputusan yang bagus, Nak. Ayah sangat setuju dengan keputusan kamu meminta cerai dari Surya. Pria brengsek seperti dia, tidak pantas kamu pertahankan," ujar pria berambut putih itu.
"Iyah, Yah. Arum sangat butuh dukungan dari Ayah dan Ibu. Doakan Arum lebih kuat, Yah," tutur Arum.
Kaila sudah tertidur lelap. Sedangkan Nanda masih bermain dengan mainannya. Rumah minimalis dengan cat berwarna cokelat itu kini terlihat lebih ramai dengan hadirnya kedua anak Arum.
"Istirahat, Rum. Kasihan anak-anakmu," kata ibunya.
"Iya, Bu."
Arum bersama kedua anaknya menempati kembali kamar yang dulu ia tempati. Ruangan yang penuh dengan kenangan indah. Kini ia lega sudah lepas dari Surya. Perlahan ia menghempaskan tubuh di kasur dan mencoba memejamkan mata. Jiwanya lelah menghadapi hari yang penuh dengan ujian hidup. Ia akan naik level jika mampu menghadapi semua dengan kuat.
**
Sepertiga malam, Arum memanjatkan doa pada Allah. Tidak banyak yang ia minta, hanya berharap bisa emncukupi kehidupan kedua anaknya. Air mata deras mengalir di pipi, harta bisa begitu cepat membutakan sesorang.
"Aku tidak meminta dia kembali. Aku hanya meminta rezeki untuk anak-anakku."
Ia sadar, ia jauh dari kata sempurna sebagai seorang istri. Namun, jika Surya memperlakukannya dengan baik, mungkin semua tidak akan terjadi. suaminya tidak memedulikan tentang hal itu. Bahkan sepertinya dia sudah dibutakan cinta Renata. Berulang kali dia menghina Arum. Sampai dia lupa kalau mereka dulu saling mencinta.
Selesai shalat dia duduk di tepi ranjang, memerhatikan wajah kedua malaikat kecilnya. Tidak banyak yang ia ingin, cukup bersama mereka saja sudah membuat bahagia. Perlahan Arum mulai terlelap. Beban hidup yang selama ini ia tahan akhirnya bisa dilepaskan.
Enam tahun lalu Surya melamar Arum menjadi pendamping hidupnya. Parasnya yang cantik, membuat pria itu tergila-gila. Walau sempat tidak disetujui oleh Ibu Surya, akan tetapi akhirnya mereka bisa bersatu.
Keharmonisan masih terjaga sampai kelahiran anak kedua. Namun, setelah itu sifat Surya mulai berubah. Arum, istri yang penurut dan sangat menghormati sang suami hanya bisa pasrah saat ia mulai direndahkan. Kata demi kata terlontar sangat menyakitkan untuknya. Lagi, ia hanya diam tak melawan.
**
Sekilas Arum hanya menatap Ponsel yang sedari tadi bergetar. Nampak nama ibu mertua terpajang di layar. Ia tak bergeming untuk menjawabnya. Pastilah dia akan menanyakan di mana mereka sekarang. Benar saja tidak lama sebuah pesan masuk dari Naina, ibu mertuanya.
Ibu :
Kemana kamu, Rum?
Ia kembali melempar ponsel. Habis sudab kesabaran menghadapi Surya, ia enggan berbicara dan mungkin ingin menangkan diri. Namun, mertuanya pasti tidak akan tinggal diam dan akan mencarinya.
“Ma, mainan Kakak ketinggalan di rumah. Telepon Papa minta anterin dong, Ma,” pinta Nanda pada mamanya.
“Iya, sayang nanti Malam telepon Papa, ya.” Arum menghela napas. Ia tidak tahu bagaimana nanti menjelaskan tentang perpisahan mereka.
Nanda kembali bermain bersama Kaila. Benar saja tidak lama ibu mertuanya sudah berada di ambang pintu.
"Nenek!" teriak Nanda sambil berhamburan kepelukan sang nenek, ibu dari Surya.
Naina, mertua Arum, dia langsung menggendong Nanda dan beberapa kali menciumi cucu laki-lakinya. Janda kaya itu Langsung menatap sinis Arum. Ia meletakkan tas mahalnya di meja lalu menurunkan Nanda dari gendongan.
Wanita tua itu melipat kedua tangan di dada. Sambil mendelik kesal, ia mulai menggerutu dengan kondisi rumah besannya. Namun, saat ia datang kedua orang tua Arum sedang tidak ada. Mereka sedang berjualan sayur di pasar. Perasaan tidak nyaman dan ingin cepat-cepat keluar dari ruang itu.
"Pantas saja, Ibu ke rumah tidak ada yang membukakan pintu. Sejak kapan kamu di sini? Kamu tahu, kan Ibu tidak suka cucu-cucu Ibu menginap di sini. Rumah kumuh seperti ini akan membuat mereka sakit. Kamu ngerti, kan lembab?" Seperti biasa janda kaya itu selalu mencerca keluarga Arum.
Arum menggigit bibir bawah, tangannya mengepal kencang. Entah harus bagaimana menghadapi lidah sang mertua. Wanita tua itu sangat pintar berbicara. Apalagi masalah kebersihan dan kesehatan. Saat masih bersama Surya, dia paling sering datang membawakan buah-buahan dan makanan sehat untuk Nanda dan Kaila. Dengan alasan tidak ingin cucunya kekurangan gizi.
"Arum! Kamu nggak denger Ibu bertanya?" Kembali mertuanya mengulang pertanyaan. "Sejak kapan kamu di sini?"
"Sejak semalam Mas Surya mengusir aku, Bu," jawab Arum membuat mata sang mertua menyipit.
"Dia mengusirmu? Buat ulah apa kamu sampai dia mengusirmu?" tanya Naina heran.
"Aku meminta cerai darinya."
Bola mata wanita tua itu hampir saja keluar mendengar penuturan menantunya. Dia menarik napas panjang, mertua Arum itu kembali meradang mendengar penuturan tegas dan berani wanita itu meminta cerai pada Surya, anaknya.
"Dasar wanita nggak tahu diuntung. Masih syukur anak saya mau menikah dengan gadis miskin macam kamu. Di mana pikiranmu, sampai kamu meminta cerai dari Surya," umpat Naina. Begitu pedih hatinya mendengar setiap perkataan sang mertua. Lidah mertua Arum itu sedari dulu memang sangat tajam.
"Mas Surya menikah lagi, Bu. Dengan sengaja dia membawa wanita itu ke rumah. Hati wanita mana yang tidak sakit," ucap Arum dengan terisak.
"Menikah lagi?" tanya mertuanya tak percaya. Ia menatap penuh tanya tanya.
Arum terduduk lesu, tangannya mencengkram ujung kursi. Air mata kembali menetes mengingat penghinaan dari Surya, suaminya. Rasa getir menyelimuti hati wanita yang kini mencoba kuat, akan tetapi tetap saja jika mengingat akan terasa sakit lagi.
"Mas Surya bilang dia sudah mati rasa padaku. Dia selalu marah dan memaki aku lalu membandingkan dengan selingkuhannya, Bu," tutur Arum dengan isak tangis.
"Daster lusuh dan muka penuh minyak yang jadi permasalahan kalian?" Tebakan ibu mertua Arum sangat tepat.
Beberapa waktu lalu memang Surya mengeluhkan penampilan Arum pada wanita tua itu. Ia merasa tidak bergairah saat berdekatan dengan Arum. Istrinya tidak pernah bersolek saat ia pulang ke rumah. Naina menggeleng, dia tahu permasalahan yang sedang di hadapi mereka.
Namun, ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Sudah menjadi keputusan Surya, akan tetapi dia pasti mengambil keputusan terburu-buru saat itu.
"Kamu itu ngeyel. Sudah Ibu bilang berdandan di rumah. Jangan menggunakan daster lusuh. Nggak denger nasihat orang tua, sih. Sudah begini, suami yang disalahkan!" Bukannya memberi solusi, wanita tua itu malah menyalahkan menantunya.
"Tapi, Bu. Mas Surya hanya memberikan uang belanja setengah dari biasanya. Tidak cukup untuk membeli macam-macam. Di rumah juga aku sibuk mengurus anak dan memasak." Arum mencoba membela diri.
"Alah, alasan! Ibu tidak mau tahu, anak-anak ibu bawa. Terserah kalian mau cerai atau tidak. Yang penting Nanda dan Kalila ibu bawa!" Nyaring suaranya hingga membuat Arum terhenyak.
Tanpa menunggu persetujuan Arum, wanita tua itu langsung mengambil Kaila yang sedang tertidur pulas digendongan dan menggandeng Nanda. Arum berusaha menarik kedua anaknya, terjadilah tarik menarik. Kaila menangis histeris saat terbangun. Supir wanita tua itu mencegah dan mendorong Arum kemudian dia kembali mengambil lKaila. Segera ibu mertuanya menaiki dan menutup pintu mobil. Nanda pun terlihat ingin menangis saat nenek mereka membawa ke mobil.
"Buka, Bu! Jangan bawa anak-anak saya. Bu, Buka!" teriak Arum sambil menggedor kaca mobil mewah itu.
Arum terus berteriak sambil menggedor pintu mobil. Namun, kendaraan itu sudah melaju kencang. Ia histeris seketika berlari mengejar mobil itu tanpa memedulikan kakinya yang tak beralaskan sendal.
"Nanda! Kaila! Bu, jangan bawa anak saya!" Tubuhnya terjatuh di aspal, luka dan cairan merah mengalir.
Dia tertunduk lesu di jalan yang masih berlalu lalang kendaraan. Beberapa orang mulai memerhatikan Arum. Dia menjerit dan histeris, tidak memedulikan jika dia jadi tontonan warga.
"Nak, bangun," ucap seorang ibu berbaju merah yang datang membantunya.
Tangisnya semakin kencang saat teringat akan susah bertemu dengan kedua buah hatinya. Ibu itu membantu Arum bangkit, dan mencoba membuat ia tenang. Saat melintas, Bu Basuki, tetangganya turut mengantar pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, Bu Basuki mengambilkan air untuk Arum. ia sedih melihat kondisi tetangganya itu. Wanita paruh baya itu menyodorkan gelas berisi air putih untuk diminum agar dia tenang.
"Minum, dulu, Rum biar kamu tenang."
Arum meminum air pemberian Bu Basuki. Ia masih menangis tergugu, mengingat kedua anaknya. Luka di lutut pun tak dirasakan wanita lemah itu. Gamis yang digunakan sedikit bolong akibat terjatuh. Arum hancur, harapan bersama anak-anaknya kini kandas. Andai bisa dia menghentikan laju mobil, pasti dia tidak nelangsa seperti ini.
**
Wiryo, Ayah Arum sudah mendengar cerita dari tetangga mereka tentang mertua anaknya yang datang dan mengambil kedua cucunya. Pria tua itu cemas, dan memilih menutup dagangan.di pasar lalu bergegas pulang ke rumah.Istri Wiryo, ibunya Arum juga ikut cemas dengan kabar yang baru saja didengar. Di tempat terpisah, wanita tua itu juga menutup dagangan.“Ayo, Bu,” ucap Wiryo saat bertemu dengan istrinya di parkiran.“Iya, Yah. Ibu cemas dengan Arum.” Dia sangat mengkhawatirkan keadaan Arum.Lalu Wiryo melajukan mobil pickup nya dengan kecepatan tinggi. Mobil yang sehari-hari mereka pergunakan untuk pergi berjualan sayur di pasar. Sesampainya di rumah, Arum berhamburan kepelukan sang ibu. Tangis pilu wanita itu sangat menyayat hati. Bagaimana dia diperlakukan tidak adil oleh keluarga Surya.“Kamu sudah obati luka kamu, Nak?” tanya Wiryo, ayahnya dengan cemas.Arum menggeleng, dia sudah tidak memedulikan luka di tubuhnya karena luka di hati wanita itu sudah sangat dalam. Sang ibu beranjak ke
Sejak kejadian beberapa hari lalu di rumah mertuanya, Arum pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Terlebih Naina, ibu mertua Arum mengancam akan merusak warung kedua orang tuanya di pasar. Ia sangat bingung apa yang akan dilakukan untuk membawa Nanda dan Kaila kembali kepelukannya. Arum terduduk lesu menghadapi semua cobaan hidup yang tiba-tiba saja datang.Pagi ini ia menemani ibunya berjualan di pasar. Namun, masih saja tidak fokus dengan dagangan. Pikiran Arum masih tertuju pada Nanda dan Kaila. Bagaimana mereka tanpa sang ibu di sana? Apa Kaila tidak menangis mencarinya? Sejumlah pertanyaan terngiang di benak wanita itu.Suasana pasar yang sangat ramai tidak juga membuat hatinya menjadi tenang. Ibu memandang pada Arum, ia sangat iba melihat keadaan yang sunggu membuat hati seorang ibu bersedih. Tatapannya kosong, harapan itu kini seperti hilang begitu saja.“Rum, lebih baik kamu pulang dulu. Tenangkan pikiranmu.”“Tidak, Bu.”“Ibu tidak apa-apa. Pulanglah, atau cari kesibukan lain.
Arum masih merasa geram setelah ia tidak sengaja bertemu dengan Renata. Wanita perebut suami orang, dia tidak layak bahagia di atas penderitaan orang lain. Terlebih menikmati harta yang bukan hak dia. Begitu percaya diri berbicara akan menikmati harta Surya.Sehebat apa pun seorang laki-laki, jika ia belum berkeluarga, pasti ada wanita hebat di belakangnya, yaitu seorang ibu. Jika ia sudah berkeluarga, pastilah akan ada doa istri yang menyertai dia kemana pun berada. Rezeki suami adalah rezeki istri, lewat doa-doanya yang mendatangkan rezeki untuk sang suami.Surya seakan lupa. Larena doa seorang istri rezekinya kini berlimpah. Sebelumnya, ia hanya karyawan biasa yang memegang jabatan staf akunting. Sedangkan setelah menikah dengan Arum, dua tahun kemudian ia diangkat menjadi Manager Keuangan. Arum mengehala napas panjang, dia kembali bergegas memasuki kantor Dani."Permisi, bisa saya bertemu dengan Pak Dani?" tanya Arum pada resepsionis."Sudah buat janji?" tanya wanita yang berada
Renata menyongsong Surya saat terdengar deru mobilnya memasuki halaman. Tak seperti biasa saat melihat wajah istri mudanya ia selalu bergairah. Namun, kali ini tidak. Bahkan ia tidak menyapanya dan langsung bergegas mandi. Dipikirannya kini hanya ibu dari kedua anaknya. Sepertinya ia sangat menyesali tindakannya yang tidak berpikir panjang kala itu. Dinginnya malam tidak membuat Renata mengurunkan niat menggunakan baju tidur tipis yang membuat tubuh putihnya terlihat menggoda. Surya tak bergeming saat dia mulai bergelayut manja pada dada bidang pria berparas hitam manis itu.Sedari tadi Surya tak bergeming. Pikirannya seperti tidak ada di sana. Berulang kali Renata mencari perhatiannya, tapi pria itu hanya terdiam tak merespon apa pun yang dilakukannya. Dikecupnya bibir suaminya, akan tetapi masih sama. Surya tak membalas panggutan dari Renata. “Aku lelah.”Renata terhenyak dengan sikap Surya. Ia mengguncangkan tubuh suaminya. Tidak seperti biasanya pria itu selalu mendominasi saat
Semilir angin berhembus sangat kencang, langit pun mendung. Dingin menusuk kulit, Arum duduk di taman kota dengan satu tangan memegangi dada. Sebuah penghinaan kembali terjadi pada dirinya. Netra cokelat itu menatap nanar, bulir bening yang sedari tadi ditahan kini tumpah mengalir deras di pipi.Sakit, perih, entah apalagi yang ia rasakan. Begitu getir hidup yang dijalaninya. Sebuah harapan yang nyatanya tidak sesuai dengan kenyataan. Hidup bahagia itu memang milik mereka yang mempunyai banyak uang. Beberapa kali menyeka air matanya, ia bangkit dengan sisa-sisa kekuatan.Kenapa sangat sakit, aku sudah terbiasa dengan penghinaan Mas Surya. Namun, kenapa lebih menyakitkan saat Bayu menghinaku?Dirinya kembali merasakan sesak di dada. Sekarang ia teringat kedua anaknya. Rindu itu sudah sangat membuncah mengingat begitu bahagianya saat mereka bersama. Peluk dan cium mereka yang selalu dirindukan wanita itu.Arum mengambil ponsel yang sedari tadi terus bergetar. Matanya terbelalak melihat
Arum menaruh ponsel di nakas, setelah ia menghubungi kedua orang tuanya. Takut mereka mencemaskan dirinya karena tidak pulang malam ini. Ia bangkit setelah memastikan Nanda tertidur. Sedangkan Kaila sudah terlelap sejak ia menggendongnya. Panas di tubuh gadis kecil itu pun sudah turun, memang benar anak itu rindu pada ibunya.Saat membuka lemari baju, ia menatap nanar baju tidur berbahan sutra hadiah pernikahannya dari Surya. Ia tersenyum getir saat mengingat kembali bayangan tentang kebahagiaannya empat tahun silam. Saat tubuh dan wajahnya masih di puja oleh sang suami."Apa ini, Mas?" tanya Arum saat Surya memberikan hadiah."Buka saja, setelah itu bisa kamu memakainya." Senyum mengembang pria itu membuat jantung Arum berdetak lebih kencang.Perlaham Arum membukanya. Ia menggulum senyum mendapati baju tidur yang begitu cantik. Bahan sutra membuat baju itu terlihat mewah.Surya berdecak kagum melihat tubuh Arum berbalut baju yang ia berikan. Sexy, kalimat itu yang pertama kali keluar
Tak menampik memang aura kecantikan Arum kini sudah kembali. Wajah semringah dan keramahannya membuat para lelaki di kantor mempertanyakan status wanita itu. Apa masih single atau sudah menikah? Sesosok pria dengan kemeja hitam dan celana bahan berdiri tidak jauh dari Arum. Matanya tidak berhenti memandang ke arah calon janda itu. Namun, pria itu kembali mengelus dada mencoba memastikan jika hatinya baik-baik saja.“Pak Bayu, sedang apa?” Seseorang yang juga memperhatikan Bayu mulai aneh dengan sikap tidak biasa pria itu.Sambil pura-pura memainkan ponsel, Bayu mencoba menetralisirkan keadaan. “Hanya menunggu seseorang, Pak. Silahkan duluan.”“Baik, Pak Bayu.” Pria tua itu akhirnya melangkahkan menjauh.“Hampir saja,” ucapnya sambil mengelus dada kembali.Bayu kembali mencari sosok Arum, tapi sudah tak nampak lagi. Ia melangkah menuju pergi. Pria itu terlihat sempurna di mata para wanita, tapi mereka tidak tahu jika ia terlalu lemah dalam urusan percintaan. Meskipun usianya yang sudah
Seorang mualaf? Itu yang kembali ada di benak Arum saat sudah berada di kantin kantor. Wanita itu hanya memutar-mutarkan garpu pada makanan yang ia makan. Tidak terbesit sama sekali jika Bayu sekarang sudah seiman dengannya. Pikirannya menerawang ke masa beberapa tahun lalu. Ia kembali teringat pada perbincangan yang pernah mereka bicarakan. Sore sepulang mengantar Arum ke kantor pusat, awal mereka bertemu saat Dani meminta Bayu untuk mengantarkannya. Mereka berhenti di sebuah mesjid tidak jauh dari perkantoran."Kamu, nggak salat?” Arum bertanya pada Bayu yang saat itu hanya duduk di mobil dan tidak turun."Saya non muslim, silahkan kamu ibadah, saya akan menunggu di mobil saja." Senyum tipis membuat Arum menundukkan wajah."Maaf, kalau gitu saya masuk ke dalam, ya," pamitnya."Silahkan."Bayu menatap punggung yang semakin menjauh. Cinta pada pandangan pertama yang ia rasakan pada wanita yang sedang beribadah di dalam. Sudah lama ia memerhatikannya, tapi baru sekarang bisa mendekati
Arum terlihat cantik menggunakan kebaya berwarna putih susu. Wajah nampak cantik sempurna. Namun, beberapa kali ia mengusap embun di kelopak mata. Tak menyangka jika ia akhirnya menikah dengan Bayu. Pria yang sedari dulu mencintainya. Semesta membuat keindahn yang tak terluapkan."Mba, pengantin wanitanya sudah siap?" tanya seorang gadis yang tidak lain adalah EO acara tersebut."Sudah." Perias menggandeng penganti wanita ke tempat di mana dilangsungkan acara akad nikah pagi ini.Tatapan takjub beberapa pasang mata melihat sang pengantin wanita. Terlihat Naina, mantan mertuanya duduk bersama Kaila dan Nanda. Dia menyeka bulir yang memgalir di sudut mata. Senyum tipis terpancar di bibir Arum saat tatapan mereka saling bertemu. Hari ini adalah hari bahagia yang sangat ia tunggu. Setelah sekian banyak penderitaan akhirnya ia merasakan kembali suasana sakral untuk kedua kali.Sang pengantin pria sudah tidak sabar menunggu. Netranya tak henti memandang calon istri yang beberapa menit akan
Bayu duduk memerhatikan Arum yang kini terdiam menatap kolam renang. Pria itu mengajaknya duduk di tepi, agar suasananya kembali tenang. "Jadi, kamu kemarin ketemu klien itu dia?" tanyanya dengan luapan emosi. "I--iya." Bayu menjawab ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arum memalingkan wajah. Hatinya kembali teriris jika mengingat wanita itu. Ia tidak ingin terjadi lagi hal serupa dengan pengalaman yang lalu. "Aku, kan nggal tahu. Tadi juga aku udah batalin kerja samanya." "Tetep aja sakit bayangin kamu kemarin berduaan sama dia!" Ingin rasanya merengkuh tubuh wanitanya. Namun, ia mengurungkan niat, tangannya hanya mencuil hidung pesek Arum. "Kak, kemarin Kak Bayu sama Alia kok. Nggak sendirian ketemu sama Renata. Maaf, ya Kak." Alia mengambil posisi duduk di samping Arum. "Maaf juga aku nggak tahu kalau dia begitu. Sekali lagi minta maaf. " "Iya, Alia." Senyum semringah dari bibir Alia. Gadis itu memeluk erat calon kakak iparnya.Rudi menghampiri mereka. “Saya ak
Semenjak pertengkaran kemarin, Bayu merasa tidak enak hati. Kenapa ia begitu cemburu pada Arum. Ia menyalahkan dirinya, kenapa harus cemburu buta? Gegas dirinya turun ke bawah. Kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya untuk meminta izin untuk melamar dan menikahi Arum.“Tumben kamu ingat dengan rumah ini?” Cibiran penuh penekanan dari Maria, ibu sambungnya. Lalu, berderet pertanyaan darinya.Ia menghembuskan napas berat. “Aku mau menikah.”“Serius, Kak?” Semua aktivitas yang berada di meja makan mendadak terhenti.Mereka serius menatap wajah Bayu yang malah terlihat santai. Alia, adik tiri Bayu bangkit dan menghampiri sang Kakak.“Ka, serius?”“Apa aku kelihatan bercanda?”“Syukurlah, Kakakku ini normal.”“Aish.” Bayu menoyor kepala Alia sampai ia mengaduh.“Sudah, kalian tidak ada behentinya kalau sudah bertemu.”“Siapa dia?” Pria berambut memutih itu kini mengeluarkan suaranya. Sedari tadi ia hanya diam memerhatikan.“Dia seorang wanita yang sangat aku cintai. Enam tahun aku menant
Ada perih yang menjalar di dada. Ia mencoba meraup oksigen, tapi sepertinya sangat sulit. Embun itu sudah mengalir membasahi pipi, entah mengapa Arum merasakan begitu sakit kali ini. Tidak seperti biasanya, ia tak pernah menyesal menolak ayah dari anak-anaknya.“Aku juga sakit, Mas. Semoga, Mas, kembali menemukan wanita yang bisa membuat Mas nyaman. Maaf untuk kali ini, aku sudah memutuskan menikah dengan Bayu.” Ia menjeda ucapannya. Tak sanggup untuk meneruskannya, isak tangis masih membuatnya sulit untuk berbicara.“Mas sadar, Rum. Kamu berhak bahagia, Mas sudah ikhlas. Hanya saja, Mas mencoba siapa tahu Arum berubah pikiran. Kita bisa membesarkan mereka bersama-sama. Maafkan, Mas, ya,” ujar pria itu sembari mengusap pucuk kepala Arum.Bukan hanya Arum yang merasakan sesak di dada. Pria itu yang lebih merasakan betapa nelangsanya dia. Begitu bodohnya melepas kebahagiaan yang dulu ia punya. Kini ia hanya menatap orang yang ia sayang dan mengikhlaskannya untuk bahagia dengan pria lain
“benar nggak bisa datang acara ulang tahun Kaila nanti, Bay?” Arum bertanya pada Bayu lewat sambungan telepon. Wajah wanita yang kini terlihat masam itu mencoba berbicara setenang mungkin.“Iya, Rum. Maaf, ya, soalnya Pak Arga ngajak ketemuan ngomongin masalah kasusnya hari ini jam empat sore, belum lagi temennya adikku minta bantuan juga?”jawab pria itu kemudian.Arum menghela napas. “Nanti dia ngambek kalau kamu nggak hadir.”“Iya, kalau sudah selesai aku langsung kesana. Tapi nggak bisa jemput kamu dulu.”“Iya, aku tahu. Cikarang ke Jakarta, ‘kan jauh.” Kembali Arum menjawab. Namun, orang yang ditelepon di seberang sana tidak tahu jika wanita yang diteleponnya sudah mengerucutkan bibir dan memasang wajah masam.“Aku mau sarapan dulu, ya. Kamu jangan lupa makan siang.”“Iya.” Langsung saja ia menutup saluran telepon, kemudian kembali menatap layar laptop.Aroma kopi menyeruak di ruangan, Arum menatap Rani, wanita yang membawa kopi ke ruangannya. Rani menaruh di meja Arum dan mempers
"Mba Arum?" tanya salah satu karyawan perusahaan yang ia datangi hari ini. Sebuah perusahaan besar yang baru saja berkembang dan pertama kali bekerja sama dengan kantor akuntan publik milik Dani. Bos-nya menemani Arum sekalain ingin tahu bagaimana perkembangan kerja sama yang baru saja berlangsung ini. "Iya." "Bapak dan Ibu, ikut dengan saya," ajak pria berkacamata tebal dihadapannya. Mereka mengikuti langkah pria itu. Perusahaa yang tergolong baru ini lumayan sangat besar. Ruangan yang tidak sempit memudahkan mereka berlalu lalang. "Pak Dani, Bu Arum. Selamat datang," ucap pria bertubuh tambun dengan uban yang sudah memenuhi rambutnya. "Terima kasih, Pak Rudi. Ini Arum auditor terbaik saya. Dia yang akan menangani masalah audit di kantor ini. Saya hanya hari ini menemani dia, selanjutnya ia akan datang bersama partner." "Baik, sebentar saya perkenalkan dengan manajer keuangan kami." Pria itu menelepon sesorang dan tidak lama orang tersebut sudah berada di ruangan. "Bapak mangg
Ia tertunduk lemas di hadapan sang ibu. Menceritakan nasib yang menimpanya. Sekilas ibunya hanya menatap iba, akan tetapi wanita tua itu berdecak kesal. Bahkan berulang kali mengelus dada. Lalu, menatap tajam pada anak semata wayangnya.“Lalu, kamu mau bagaimana?”“Aku nggak tahu, Bu.”“Apes banget kamu, Le. Udah jatoh ketimpa tangga pula. Udah Ibu bilang, hidup itu jangan neko-neko. Nikmati aja yang dikasih Gusti Allah, eh ini malah buat kesalahan fatal. Kehilangan berlian, eh sama kerikil juga ditendang. Sepertinya kamu kena karma dari perbuatan kamu sama mantan istrimu.” Wanita tua itu tak hentinya berbicara.“Bu, jangan menyudutkan aku.”“Loh, kenyataan. Untung Ibu kaya, kalau nggak, bisa gila Ibu tiba-tiba jatuh miskin.”“Bu.”“Yasudah, nanti Ibu hubungi Pamanmu. Kesempatan kedua pergunakan dengan baik. Awas aja kamu kalau sudah membaik perekonomian kembali sama Renata atau bersikap arogan lagi. Ibu sumpahin kere lagi kamu.”“Ibu, kok ngomong gitu?” Wajahnya memelas saat mendenga
Di rumah terpisah Surya terperangah menatap tudung nasi yang masih kosong. Sepulang kerja harusnya Renata sudah menyiapkan masakan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan jika wanita itu sama sekali tidak menyediakan makanan.Perutnya yang sudah minta di isi mulai terasa perih. Asam lambungnya juga mulai kambuh. Geram ia memanggil wanita yang sedari tadi hanya sibuk dengan kuku-kukunya. Apalagi sepulang sidang tadi, ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. "Renata!" teriaknya nyaring. Wajahnya terlihat pucat menahan perih yang mulai menggangu perutnya. Sekali ia memanggil, tapi istrinya tak juga datang meghampirinya. Kembali Surya memanggilnya. "Renata!" Suaranya kian meninggi. Namun, masih saja wanita berambut pirang itu tidak juga datang. Luapan emosinya tak tertahan lagi. Ia menghampiri dan mendapati Renata sedang asik mendengarkan aerophone di telinganya. Renata berbalik saat aerophone terasa di cabut dari telinganya. "Kamu apa-apaan sih, Mas?" tanyanya dengan perasaan
Jemarinya lincah menari di atas laptop. Matanya tak henti bergantian menatap data di lembar kerja dan kembali menatap leptopnya. Ia menghempaskan tubuh di kursi. Kali ini ia sangat lelah, mengapa sebuah data yang tahun lalu angkanya tidak sama dengan yang ada di lembar kerja. Berulang kali dia mengotak-atiknya, tapi tidak menemukan jawaban. "Argh!" "Kenapa, Mba?" tanya Delia yang sedari tadi memerhatikannya. "Data tahun lalu nggak sama. Siapa yang pegang perusaan ini tahun lalu?" tanyanya pada Delia. "Pak wanto, tapi sudah dikeluarkan Pak Dani karena tidak benar ngerjaiin laporan." Delia menjelaskan. "Pantas saja, semua ngaco," keluhnya. Dia mengayun langkah ke ruang Dani. Otaknya sudah mengebul dengan hasil kerja auditor sebelumnya yang membuat mata dan kepalanya sakit. Menyerah, lalu memilih berkonsultasi dengan bosnya."Mba Des, ada Pak Dani?" tanya Arum pada sekretaris Dani. "Ada, masuk aja. Lagi nggak sibuk kayanya," balas Desi sambil asik memainkan ponsel. Arum menggelen