Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik.
“Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin.
“Gue enggak sangka.”
Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja.
“Kita sekelompok!”
Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak.
“Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.”
Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung.
“Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri.
“Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaan.” Mirah melihat orang-orang di sekelilingnya. Beberapa orang di sekelilingnya itu menatap sinis. “Jangan-jangan mereka dari tadi sinis karena berisik mendengar kita.” Mirah berbicara dengan setengah berbisik sambil memperagakan menaruh tangan kanan di samping mulutnya.
“Ekhem!” Luhung berdeham pelan. “Oke, sorry. Sebelum kita berdiskusi, kalian sudah saling kenal kan? Lema, ini yang tadi waktu rapat duduk di samping kiri lu namanya Mirah. Satu lagi yang izin ke toilet, itu si Gendhis.”
“Aduh, Kak, kalau caranya begitu malah jadi canggung. Nanti juga lama-lama jadi kenal sendiri kok,” timpal Mirah.
“Lo, bagus dong? Lema itu kan introver.”
“Eh, serius?” Mirah tersentak.
“Apa sih!” balas Lema. Luhung dan Mirah tertawa.
“Umur lu berapa, Luhung?” tanya Ceko tiba-tiba.
“Dua puluh empat, Bang.”
“Wait, lu bilang seumuran sama gue?” sela Lema.
“Memangnya umur kamu berapa, Lema?” tanya Mirah.
“Dua puluh tiga.”
“Baru lulus ya?” tanya Mirah.
“Iya.”
“Ya maaf, gue kira umur lu juga dua puluh empat,” kata Luhung.
“Kalau umurmu berapa?” tanya Lema pada Mirah.
“Sama sepertimu,” jawab Mirah.
“Baru lulus juga dong?” tanya Lema.
“Iya. Aku sempat bermagang tiga bulan di sini, jadi peneliti freelance waktu masih kuliah. Baru setelah lulus, aku tanda tangan kontrak.”
“Wah, keren ….” desus Lema.
“Termasuk muda ya, umur dua puluh empat,” ujar Ceko tiba-tiba.
“Memangnya Abang umur berapa?” tanya Lema.
“Gue dua puluh lima. Koordinator peneliti di Pendfis lebih tua satu tahun dari gue.”
“Serius, Bang? Gue jadi merasa enggak enak nih sama Abang,” kata Luhung segan.
"Enggak apa-apa. Santai." Ceko menepuk pundak Luhung.
"Oke, jadi, kita langsung mulai discuss aja ya," lanjut Luhung.
"Oh, sebetulnya kemarin gue sempat baca-baca tentang design research. Kalau kita pakai jenis penelitian ini, menurut kalian bagaimana?" tanya Lema memulai diskusi.
"Sebentar. Sebelum ke jenis penelitian, coba kita review." Luhung membuka buku catatannya. "Kelompok kita kebagian melakukan Petitur di Giriwarsa. Setelah gue cek, Giriwarsa termasuk daerah yang agak terpencil. Kalau dari sini, jaraknya kurang lebih 75 kilometer," cerita Luhung.
"Berarti kita harus menginap di sana. Enggak mungkin kita pulang pergi kan, kalau jaraknya jauh begitu?" tanya Mirah.
"Iya, betul. Oh, tadi Bang Luhung bilang Giriwarsa termasuk daerah yang agak terpencil. Di sana ada hotel enggak?" timpal Lema.
"Maaf, baru nimbrung." Gendhis yang sedari tadi pergi ke toilet akhirnya kembali dan lantas duduk di samping kiri Luhung. Lema, Luhung, Ceko, dan Mirah spontan menoleh ke arah Gendhis.
"Oh, Kak Gendhis. Baru mulai nih," jawab Mirah. "Kak Luhung bilang kalau jarak dari Lokastiti ke Giriwarsa itu sekitar 75 kilometer. Jadi, mau tidak mau kita mungkin menginap di sana," jelas Mirah.
"Sudah tau mau menginap di mana, Luhung?" tanya Gendhis.
"Belum nih. Setelah gue cek, Giriwarsa ini termasuk daerah pedalaman. Lema tanya tadi, di sana ada hotel atau enggak," jawab Luhung.
"Kalau memang daerah terpencil, mau tidak mau kita harus menginap di salah satu rumah warga sana," kata Gendhis.
"Memangnya betul-betul tidak ada hotel di sana, Kak Luhung? Atau vila mungkin? Rumah kontrakan, kos, pokoknya tempat penginapan. Serius mau menginap di rumah warga?" oceh Mirah.
"Kupikir, rumah kontrakan sih, in syaa Allah ada di sana. Hotel mungkin yang agak sulit ditemukan. Kalau enggak ada hotel, ya kita bisa mengontrak," timpal Lema.
"Gue setuju sih. Soalnya kalau mau menginap di salah satu rumah warga, nanti jadi merepotkan dan kita enggak bisa leluasa. Kita ini kan, mau meneliti di sana. Mungkin nanti waktu mau analisis hasilnya, kita bakal begadang, tidur sampai malam. Kalau di rumah orang jadinya kayak sungkan sih, menurut gue," sambung Ceko.
Luhung mengangguk. "Iya, Bang Ceko ada betulnya juga."
"Saranku sih, nanti kalau sudah dekat-dekat waktu meneliti, kita survei ke sana, cari kontrakan atau kamar kos. Sekarang, kita pilih jenis penelitian aja." Mirah memberikan saran.
"Boleh juga. Kalau untuk masalah menginap, in syaa Allah nanti bisa diatur. Jadi, sekarang kita fokus membahas penelitian di sana." Lema menimpali.
"Oke. Gendhis, bagaimana? Deal ya?" tanya Luhung.
"Iya, menurutku mencari tempat penginapan bisa dibicarakan lagi nanti. Sekarang, kita fokus nentuin jenis penelitiannya aja," jawab Gendhis.
"Sip! Tadi gue sempat catat apa yang disampaikan Pak Eksin. Kita kebagian meneliti di SMP Kalpasastra. Kemampuan pemahaman konsep siswa kelas VIII pada materi relasi dan fungsi di sana masih lemah. Jadi, Pak Eksin menyuruh kita untuk menjadikan kemampuan itu sebagai variabel terikat penelitian," cerita Luhung.
"Berarti variabel terikatnya sudah ditentukan. Materi yang mau diajarkan juga sudah tau. Sekarang untuk variabel bebasnya, kita mau pakai model pembelajaran atau pendekatan apa?" tanya Mirah.
"To be honest, gue penasaran sama design research. Kebanyakan design research yang gue baca itu berkaitan dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia atau PMRI," kata Luhung.
"Gue pernah pakai jenis penelitian itu waktu skripsi. Sebetulnya, enggak ada jenis penelitian yang terikat dengan metode atau pendekatan pembelajaran. Begitupun dengan design research. Bukan berarti ketika kita melakukan design research, metode atau pendekatan pembelajaran yang ingin diteliti harus PMRI," jelas Gendhis.
"Wah ...." Lema kagum dengan penjelasan yang diberikan oleh Gendhis.
"Oh iya, gue pernah baca, design research ini bukannya penelitian yang masih terbilang baru di bidang pendidikan dibandingkan RnD dan PTK ya?" tanya Luhung.
"DR itu sudah ada sejak lama. Bahkan di tahun 1999, van den Akker membahas prinsip dan metode developmental research. Di awal-awal kemunculannya, orang-orang bilang DR itu ya developmental research. Baru pada tahun 2006, Gravemeijer dan Cobb menulis buku yang berjudul Educational Design Research. Jadilah muncul istilah design research. Gue pernah baca, Gravemeijer dan Cobb dianggap sebagai pengembang DR karena mereka bekerja sama mengembangkan pendekatan penelitian ini kurang lebih sepuluh tahun."
"Cool! Gue pribadi belum tau DR. Gue lebih ke PTK sih," cerita Luhung.
"Aku malah lebih senang ke RnD," ujar Lema sambil tertawa.
"Aku seringnya juga RnD sih. Kayak seru gitu membuat produk," tambah Mirah.
"Wah, keren banget ya, kelompok kita. Masing-masing dari kita punya basic penelitian yang beda," kata Gendhis.
"Kalau Bang Ceko, prefer jenis penelitian apa?" tanya Luhung.
"Gue tiga-tiganya sudah pernah coba. RnD, PTK, DR."
"Wah ...." Luhung, Lema, dan Mirah ternganga mendengar Ceko sudah mencoba ketiga jenis penelitian itu.
"Ya sudah. Jadi, kita sepakat nih mau ambil DR?" tanya Luhung.
"Gue setuju aja," jawab Ceko.
"Karena gue kepo, bolehlah," ujar Lema.
"Aku juga jadi penasaran sama DR," kata Mirah.
"Boleh aja kalau mau DR," tambah Gendhis.
"Oke, berarti kita fixed pakai DR untuk Petitur kali ini ya," jelas Luhung.
Fajar sudah meninggi. Suasana di luar terasa semakin memanas. Namun, di dalam perpustakaan ini, hal itu tidak terasa. Ruang perpustakaan yang ber-AC m pengembuat para pengunjung betah belajar maupun berdiskusi di sini. Begitupun dengan kelima peneliti itu yang masih nyaman melanjutkan diskusinya di perpustakaan.
Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan
Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad
Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen
Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu
Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be
Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol
Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa
Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk
Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad
Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan
Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa
Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk
Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa
Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol
Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be
Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu
Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen