Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.
Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.
Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk ban motormya. Lema juga tidak menyadari bahwa jarum indikator bahan bakar pada motornya telah menunjuk pada huruf E. Jadilah Lema harus berjalan pelan-pelan sambil menengok ke kanan dan kiri sisi jalan, melihat apakah ada pom bensin yang di dalamnya juga menyediakan tempat untuk mengisi angin. Setelah melihat ada pom bensin yang sudah buka dan menyediakan tempat isi angin juga, Lema harus rela menunggu antrean panjang.
Ah, sial! Sudah dibilang sama Luhung supaya tidak telat datang karena mau ada rapat. Tapi aku malah datang mepet.
Lema menyandarkan badannya sambil mengetukkan jemarinya berulang kali di bagian belakang lift. Raut wajahnya terlihat panik. Sesekali, Lema melihat arlojinya yang sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima menit.
Setelah beberapa menit berada di dalam lift, pintu lift terbuka. Kini, Lema sudah berada di lantai tujuh. Lema pun mengeluarkan secarik kertas yang berisi jadwal rapat. Di sana tertulis rabar hari ini dilaksanakan di ruang rapat lantai lima.
Lema menoleh ke belakang, berharap lift yang baru saja dinaikinya belum tertutup. Namun, harapannya hanya menjadi angan yang tak pernah bisa terkabul. Lift itu sudah berjalan turun. Yang lebih nahasnya lagi, layar LCD yang ada di atas lift menampilkan bahwa lift telah turun ke lantai lima.
Ah, malangnya nasibku.
Lema hanya bisa merutuki kelalaiannya. Perasaannya kini menjadi campur aduk. Dengan setengah berlari, Lema mencari keberadaan tangga darurat.
Tidak mungkin gedung Puspemas tidak memiliki tangga darurat kan? pikir Lema.
Setelah lima menit mencari-cari keberadaan tangga darurat, Lema pun menemukannya dan langsung bergegas berlari menuruni tangga itu. Saat berlari, mulutnya tak henti-henti komat-kamit. 'Turun dua lantai', itulah yang selalu diucapkannya.
Berlari dalam waktu tiga menit, akhirnya Lema sampai juga di lantai lima. Lema segera bergegas mencari ruang rapat yang ternyata terletak di depan ruang multimedia. Lema pun melihat arlojinya. Waktu telah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh empat.
Krek ....
Lema membuka pintu ruang rapat secara perlahan-lahan. Dilihatnya sudah banyak orang berkumpul di meja berbentuk huruf U itu. Tak terkecuali dengan Luhung yang hanya bisa menggeleng melihat Lema.
"Maaf, tadi di jalan, motor saya bermasalah." Lema meminta maaf dengan setengah membungkuk. Tatapan mata orang-orang yang berada di dalam ruangan masih tak lepas memperhatikan Lema dari kepala hingga ujung kaki. Lema tidak tahu, apakah tatapan itu merupakan tatapan kekecewaan karena ketidakprofesionalismeannya yang datang sangat mepet dengan jadwal rapat. Atau mungkin tatapan bingung yang seolah-olah mengatakan, "Sejak kapan ada peneliti baru di divisi Pendidikan Matematika?"
"It's okay. Silakan ambil kursi yang belum terpakai, Lema. Pak Eksin juga belum datang. Mungkin sebentar lagi akan datang," ujar Luhung. Lema pun segera mengambil kursi yang belum terpakai di belakang ruang rapat lalu menempatkannya di hadapan salah satu sisi meja.
Di samping kiri Lema, seorang perempuan yang terlihat seumuran dengannya tersenyum padanya. Lema pun membalas senyum manis perempuan itu.
"Tasnya enggak ditaruh di kantor aja?" tanya perempuan itu.
Lema mematung beberapa detik.
Tadi sudah betul naik ke lantai 7, kenapa malah enggak kepikiran mampir ke kantor untuk taruh tas sih, gerutu Lema dalam hati.
"Iya, takut terlambat ke sininya. Ini aja mepet, sebentar lagi jam 7 kan," jawab Lema sekenanya.
"Tadi sampai sini jam berapa?"
"Jam tujuh kurang dua puluh lima kayaknya. Saya enggak lihat jam sih. Lihatnya saat sudah di lift, jam tujuh kurang lima belas."
Perempuan itu mengamati Lema. Lema, yang sedang mengelap cucuran peluhnya dengan selampainya tak menyadari jika perempuan itu mengamatinya.
"Habis lari-lari ya?"
Lema kembali melipat selampainya lalu menoleh ke arah perempuan itu.
"Iya," jawab Lema sambil tersenyum.
"Padahal menurutku jam 7 kurang 15 itu enggak terlalu mepet kok. Tapi kamu sampai lari-lari begitu."
Lema tidak menimpali perkataan perempuan itu dan hanya tersenyum canggung.
Ya memang tidak terlalu mepet sih. Akunya saja yang salah tekan tombol lantai lift dan sudah terlanjur panik. Jadilah lari kocar-kacir, batin Lema.
Lema melihat orang-orang di sekelilingnya. Dilihatnya tidak ada satupun yang membawa tas. Hanya ada pena bola dan buku catatan yang sampul depannya terdapat foto gedung Puspemas. Mungkin saja, buku catatan itu diberikan kepada seluruh peneliti yang loyal bekerja di sini. Atau mungkin, bisa jadi untuk semua peneliti Puspemas, tetapi Lema belum mendapatkannya karena baru kemarin dirinya resmi bekerja menjadi peneliti di sini.
Belum lama Lema mengamati buku-buku catatan bergambar gedung Puspemas itu, terdengar suara pintu ruang rapat dibuka. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu refleks melirik ke arah pintu dan segera berdiri melihat bahwa yang datang tersebut adalah Pak Eksin. Begitupun dengan Lema yang juga segera berdiri melihat orang-orang berdiri.
"Selamat pagi, Pak Eksin." Luhung menyapa Pak Eksin sambil membungkukkan badan dan diikuti oleh peneliti lainnya.
"Selamat pagi, semua. Bagaimana kabarnya hari ini?" Pak Eksin berjalan ke tengah depan ruang rapat.
"Alhamdulillah baik, Pak!" jawab salah seorang peneliti dengan bersemangat.
"Mantap! Saya suka semangatmu, wahai anak muda."
"Asyik betul!" ledek peneliti lainnya dan ditimpali tawa beberapa peneliti lain. Pak Eksin hanya tersenyum.
"Oke. Jadi, kalian mau ngapain di sini?" Pak Eksin bertanya dengan mengangkat kedua alisnya.
"Mau kerja dong, Pak!" jawab peneliti yang tadi juga menjawab dengan penuh semangat. Peneliti lainnya hanya tertawa. Ada juga yang bergumam, "Semangat banget woi, jawabnya!" Sedangkan Pak Eksin hanya tersenyum mafhum, seperti orang yang sudah mengerti sifat peneliti tersebut.
"Enggak apa-apa. Justru bagus, masih pagi begini, semangatnya sudah meluber sampai tumpeh-tumpeh."
Candaan Pak Eksin itu memecah tawa para peneliti yang hadir di ruangan.
"Oke. Hari ini kita rapat ya. Sebelum rapat dimulai, saya mau memperkenalkan peneliti baru di divisi Pendidikan Matematika."
Lema terperanjat mendengar kata-kata Pak Eksin barusan.
Peneliti baru? Bukankah peneliti baru di sini hanya aku? Jadi, aku harus berdiri memperkenalkan diri nih? pikir Lema.
"Ceko, sini masuk!"
Mendengar nama orang lain yang dipanggil Pak Eksin, Lema lantas menjadi bingung. Namun, di sisi lain, Lema bersyukur. Lema pasti merasa agak canggung jika harus berdiri memperkenalkan diri. Apalagi jika berdiri di hadapan orang-orang, seperti Pak Eksin.
Sepertinya aku pernah dengar nama Ceko.
Lema berusaha mengingat kapan dirinya pernah mendengar nama itu. Namun, belum sempat Lema mengingatnya, si empunya nama telah masuk ke dalam ruangan.
"Ceko, silakan perkenalkan diri." Pak Eksin mempersilakan Ceko untuk melakukan perkenalan.
"Selamat pagi, semua. Nama saya Ceko Pembaun. Saya peneliti pindahan dari divisi Pendidikan Fisika."
Beberapa peneliti mulai berbisik-bisik setelah mendengar bahwa Ceko merupakan peneliti pindahan. Sedangkan Pak Eksin sedikit tersentak, seperti orang yang tidak menyangka kalau Ceko akan berkata demikian.
"Hm, oke, silakan ... ambil kursimu, Ceko. Kita ... bisa mulai rapatnya." Pak Eksin menjawab agak terbata-bata.
Ceko mengambil kursi di belakang lalu menempatkannya di samping kanan Lema.
"Wah, Pendmat langsung kedapatan dua peneliti baru sekaligus ya," kata perempuan di samping kiri Lema.
Lema tidak menyadari apa yang baru saja dibicarakan perempuan di samping kirinya. Pikirannya sedang berfokus pada Ceko.
Sekarang aku baru ingat. Ceko yang waktu itu dibicarakan di lift oleh dua orang perempuan di depanku.
Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa
Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan
Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad
Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen
Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu
Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be
Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol
Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa
Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad
Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan
Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa
Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk
Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa
Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol
Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be
Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu
Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen