Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini.
Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya.
Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangunan hijau berkelanjutan dan dikenal sebagai sosok pemimpin yang disegani. Warganya pun terkenal sebagai warga yang taat aturan dan ramah lingkungan. Tak heran jika Setra berhasil meraih penghargaan sebagai kota adipura dan mempertahankannya selama tiga tahun berturut-turut.
Pagi-pagi buta, Bu Huriah sibuk memasak nasi lalu membuat sayur dan lauk-pauk. Bu Huriah sudah biasa mengurus pekerjaan rumah tangga seorang diri tanpa asisten. Meskipun suaminya, Pak Hadat adalah seorang walikota Setra yang memiliki gaji dan tunjangan berkecukupan dalam membayar asisten rumah tangga, Bu Huriah tidak mau menjadi berpangku tangan. Selama tubuhnya masih kuat dan bugar, Bu Huriah pun akan melakukan pekerjaan itu sendiri.
“Pak, makanannya sudah siap!” seru Bu Huriah pada Pak Hadat sambil merapikan hidangan di atas meja makan.
“Iya, Bu,” sahut Pak Hadat.
Pak Hadat lalu bergegas melipat koran yang sedari tadi sedang dibacanya di teras kemudian berjalan menghampiri Bu Huriah ke ruang makan.
“Kopinya sudah diminum, Pak?” tanya Bu Huriah.
“Sudah, Bu,” jawab Pak Hadat. “Oh iya, masih ada di teras, Bu. Bapak ambil dulu—“
“Tidak usah, Pak. Biar Ibu yang ambil.” Belum sempat Pak Hadat mengambil cangkir kopinya, Bu Huriah bergegas mengacir ke depan rumah.
Tidak lama kemudian, Bu Huriah muncul melewati Pak Hadat dengan membawa cangkir yang berisi ampas kopi.
“Lema mana, Bu?” tanya Pak Hadat.
“Kayaknya tadi lagi mandi, Pak.” Bu Huriah menjawab sambil mencuci cangkir dan tatakannya.
“Lema sudah selesai mandi kok.”
Si empunya yang sedang dibicarakan pun keluar dari kamarnya, menghampiri Pak Hadat.
“Bapak kira kamu masih belum siap. Hari pertama kerja lo, nak. Harus kasih kesan pertama yang bagus,” jelas Pak Hadat sembari mengamati Lema.
“Iya, Pak. Bagaimana penampilan Lema?” Lema berdiri di hadapan Pak Hadat sambil merapikan rambut dan pakaiannya.
“Hmm. Untuk seukuran anak yang baru masuk kerja .…”
Pak Hadat tidak melanjutkan kata-katanya, hanya mengacungkan jempol. Anak dan bapak itu pun saling melempar senyum. Lema kemudian mendorong kursi untuk tempatnya duduk.
“Wah, Ibu ketinggalan apa nih?” Bu Huriah ikut menimbrung anak dan suaminya itu di meja makan.
“Ini Bu, Bapak lagi kasih tau Lema kalau kesan pertama itu penting.”
“Iya, Bu. Lema lagi minta penilaian Bapak,” timpal Lema.
“Sebetulnya nak, meskipun perilaku manusia memang tidak seutuhnya hanya dapat dilihat dari fisik dan penampilan, tetapi preferensi kesan pertama, terutama dalam dunia kerja itu penting. Cara berpakaian, berbicara, duduk, berdiri, bahkan hingga penataan rambut menunjukkan manner kamu secara tidak langsung,” Pak Hadat kembali memberikan wejangan untuk Lema. Lema mengangguk mendengarkan nasihat bapaknya.
“Apa yang diucapkan bapakmu itu betul, Lema. Ibu masih ingat, waktu bapakmu dicalonkan sebagai walikota lewat jalur independen. Banyak warga Setra yang merekomendasikan bapak untuk maju di pilkada menjadi walikota. Tidak semua orang bisa mendapatkan kepercayaan itu, Lema. Mereka dan Ibu percaya karena bapakmu ini mampu memberikan kesan pertama yang baik. Dan tidak hanya kesan pertama, ternyata bapakmu memang memiliki manner yang baik. Bapak ini tipe yang sangat menghargai hubungan dengan sesama manusia.”
Lema mendengarkan nasihat kedua orangtuanya itu dengan saksama.
Di pagi yang cerah, obrolan inspiratif yang terjadi antara anak dan orangtua di meja makan itu berlangsung hingga tiga puluh menit sebelum ketiganya memakan sarapan.
📖 📖 📖
Adalah Lema Alfa Sayyid, anak lelaki semata wayang Pak Hadat dan Bu Huriah. Lema baru saja menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Darma Setra jurusan Pendidikan Matematika dan lulus dengan predikat cum laude. Tiga bulan setelah diwisuda, Lema diterima bekerja sebagai peneliti di Badan Riset Nasional.
Badan Riset Nasional merupakan lembaga tinggi pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang penelitian dan pengembangan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Badan Riset Nasional terdiri atas Departemen Riset Pembelajaran Sekolah, Departemen Inovasi Teknologi, serta Departemen Hukum dan Teori.
Departemen Riset Pembelajaran Sekolah terbagi menjadi dua bagian, yaitu Pusat Pembelajaran Matematika dan Sains serta Pusat Pembelajaran Sosial dan Humaniora. Saat melamar pekerjaan, Lema memilih untuk mengisi posisi sebagai peneliti di Pusat Pembelajaran Matematika dan Sains divisi Pendidikan Matematika.
Saat memasuki kuliah tingkat akhir, Lema pernah mengadakan les matematika. Lema tidak mematok harga dalam mengadakan les tersebut. Berapapun akan Lema terima, meski gratis sekalipun. Hal ini dilakukan karena Lema tulus dalam memberikan pembelajaran kepada siapa saja yang membutuhkan.
Dalam memberikan pembelajaran, Lema sering menggunakan alat peraga atau media pembelajaran. Alat atau media itu ada yang dihasilkan melalui lomba karya ilmiah, ada yang dibuat karena terinspirasi dari orang lain, ada juga yang merupakan idenya sendiri. Pengalaman mengajar yang diberikannya ini seringkali membuat anak-anak menjadi takjub dan semakin semangat dalam belajar. Salah satu anak yang mengikuti les dan takjub dengan pembelajaran yang diberikan Lema adalah Prima.
“Kak, saya sudah masuk materi volume bangun ruang tadi di sekolah,” ujar Prima.
“Berarti kamu sudah tau kan, apa saja rumus volumenya?” tanya Lema.
“Iya sih,” jawab Prima. “Sejujurnya, saya masih belum tau, Kak, dari mana dapat rumusnya,” sambungnya.
Lema tersenyum. “Tunggu sebentar, Kakak punya sesuatu yang menarik.”
Lema berlari masuk ke dalam kamarnya sementara Prima duduk menunggu. Tak lama kemudian, Lema keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah kotak dan botol yang berisi air.
Kotak yang dibawa Lema mirip dengan akuarium. Kotak itu terbuat dari akrilik dan dibiarkan terbuka di sisi depan dan atasnya. Di dalam kotak itu terdapat alat peraga berbentuk kerucut dari plastik transparan yang digantung menggunakan besi nako ulir. Besi itu dimasukkan ke dalam lubang yang ada pada kotak dan dipasang dengan mur.
Selain kerucut, ada juga alat peraga tabung dan setengah bola. Ketiga alat peraga itu terbuat dari bahan dan ukuran yang sama. Perbedaannya adalah pada bagian lancip alat peraga kerucut itu dibuat berlubang. Lubang ini berfungsi untuk mengalirkan air ke alat peraga lain yang ada di bawahnya. Namun, sebelum mengalirkan air, lubang itu ditutup dengan cetakan tumpeng berukuran kecil yang terbuat dari aluminium.
“Prima, coba kamu sebutkan rumus volume kerucut!”
“Satu per tiga dikali π dikali r kuadrat.”
“Benar. Kakak akan isi kerucut ini dengan air. Bagian lancip kerucut ini berlubang sehingga perlu ditutup terlebih dahulu agar air tidak langsung turun mengisi setengah bola di bawahnya. Jadi, sambil mengisi air, Kakak tutup lubang di bagian lancipnya dengan aluminium ini.” Lema memperlihatkan tangan kanannya yang memegang botol berisi air sementara tangan kirinya menutup bagian lancip kerucut dengan aluminium. Prima memperhatikan apa yang dilakukan Lema dengan saksama.
“Sekarang, kerucut ini sudah penuh terisi air. Kakak akan buka bagian lancipnya supaya airnya turun ke setengah bola.” Lema membuka bagian lancip kerucut itu. Prima menatap dengan penuh penasaran air yang turun mengisi tabung.
“Wah, Kak, kayaknya itu sudah terisi setengahnya.” Prima merasa takjub.
“Oke, Kakak coba ulangi langkah-langkahnya sekali lagi ya.”
Lema mengulangi langkah mengisi air dan membuka tutup aluminium itu sekali lagi. Air terlihat penuh mengisi alat peraga setengah bola itu.
“Berarti volume setengah bola itu dua kalinya volume kerucut dong, Kak?”
“Benar. Kalau volume setengah bola saja dua kalinya volume kerucut, bagaimana dengan volume satu bola penuh?”
“Hmm. Empat kalinya volume kerucutkah?”
“Nah, sekarang kita tulis dulu ya rumusnya di papan tulis biar tidak lupa.” Lema mengambil spidol dan menuliskan rumus volume kerucut.
“Tadi kita dapat bahwa volume setengah bola itu dua kalinya volume kerucut. Berarti kita tulis volume bola sama dengan dua kalinya satu per tiga dikali π dikali r kuadrat. Berapa jadinya?”
“Dua dikali satu per tiga jadi dua per tiga, Kak. Berarti dua per tiga dikali π dikali r kuadrat.”
“Benar. Berarti kalau volume satu bola sama dengan empat kalinya volume kerucut, rumusnya akan jadi seperti apa?”
“Empat dikali satu per tiga jadi empat per tiga. Berarti rumus volume bola sama dengan empat per tiga dikali π dikali r kuadrat.” Lema dan Prima terdiam sejenak.
“Wah!” Prima berdiri dengan tiba-tiba. “Kok bisa begitu?! Jadi dari situ rumusnya?”
Lema hanya tersenyum melihat tingkah Prima yang kaget dengan mata penuh binar.
“Sekarang, Kakak tunjukkan yang tabung ya.”
Prima duduk kembali memperhatikan Lema. Lema pun mengulangi langkah-langkah yang telah dilakukannya tadi. Hanya saja, yang berbeda adalah alat peraga di bawah kerucut itu kini telah bergeser menjadi tabung, bukan setengah bola.
“Nah, lihat. Air yang ada di tabung belum terisi penuh. Maka, seperti sebelumnya, mari kita ulangi lagi langkah-langkahnya hingga tabung terisi penuh. Prima mau coba?” Lema menyodorkan botol berisi air dan aluminium, tempat menutup lubang pada bagian lancip kerucut.
“Jangan lupa ya, sambil airnya diisi ke kerucut, lubang bagian lancip kerucutnya juga ditutup aluminium.”
“Kenapa perlu ditutup, Kak? Bukannya lebih bagus airnya langsung turun?”
“Oke. Jadi, cara kerja kotak ini adalah mengetahui volume tabung dan setengah bola melalui perbandingan keduanya dengan volume kerucut. Kalau airnya langsung turun ke tabung, kita tidak tau apakah volume air itu sama dengan volume kerucut? Kalau volume air dalam kerucutnya tidak penuh, berarti rumusnya bukan lagi satu per tiga dikali π dikali r kuadrat toh?”
“Oh iya, betul juga.” Prima baru menyadari bahwa sedari tadi, air yang mengisi setengah bola hingga penuh didapatkan dari perbandingan volume air dalam kerucut.
Prima kemudian mengulangi langkah-langkah yang telah dilakukan Lema sebelumnya. Tangan kanannya digunakan untuk mengisi air ke kerucut sedangkan tangan kirinya menutup lubang pada bagian lancip kerucut.
Setelah kerucut terisi penuh, Prima membuka lubang pada bagian lancipnya sehingga air turun ke tabung. Ada sedikit air yang tertinggal di aluminium karena digunakan untuk menutup lubang pada bagian lancip kerucut tadi. Prima pun menuangkan sisa air itu ke dalam tabung.
Melihat tabung yang belum penuh, Prima kembali mengulangi langkah-langkah mengisi kerucut dengan air sebanyak tiga kali.
“Oke, sekarang Kakak hapus ya rumus volume bola.” Lema menghapus tulisannya di papan tulis. “Tadi rumus volume kerucut sama dengan satu per tiga dikali π dikali r kuadrat. Prima tadi mengulang isi kerucutnya sampai berapa kali?”
“Sampai tiga kali, Kak.”
“Berarti, kita dapatkan bahwa volume tabung adalah tiga kalinya volume kerucut. Sekarang, kita tulis volume tabung sama dengan tiga dikali satu per tiga dikali π dikali r kuadrat.” Lema menuliskan kata-katanya ke dalam kalimat matematika di papan tulis.
“Tiga dikali satu per tiga berarti satu, Kak.”
“Kalau begitu, satu dikali π dikali r kuadrat sama saja dengan?”
“Ya π dikali r kuadrat, ‘satu’nya tidak perlu ditulis.”
Prima terdiam sejenak.
“Wah ... terbukti rumus volume tabungnya ya,” sambung Prima.
Karena rasa takjub yang seakan tak habis-habis, Prima sering menceritakan pada ayahnya, Pak Santoso mengenai Lema. Sebagai seorang pakar telematika yang sering bekerja sama dengan beberapa perusahaan, Pak Santoso berpikir bahwa Lema bisa saja menuangkan ide-ide kreatifnya itu dalam penelitian di bidang pendidikan. Oleh karena itu, melihat potensinya yang besar, Pak Santoso memberitahu Lema untuk menyalurkan minat dan bakatnya menjadi seorang peneliti pendidikan di Badan Riset Nasional.
Pada akhirnya, di sinilah Lema, bekerja sebagai peneliti pendidikan di bagian Pusat Pembelajaran Matematika dan Sains divisi Pendidikan Matematika.
Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be
Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol
Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa
Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk
Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa
Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan
Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad
Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen
Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad
Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan
Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa
Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk
Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa
Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol
Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be
Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu
Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen