Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.
Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:
Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.
Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.
“Permisi, Mbak.”
Dua orang perempuan yang bekerja sebagai resepsionis itu terlihat sibuk. Yang satu sibuk berbicara di telepon sedangkan perempuan satunya lagi sedang menulis di buku tamu. Namun, tak lama kemudian, perempuan yang telah selesai berkutat dengan buku tamunya itu menoleh ke arah Lema yang sedari tadi telah berdiri di hadapannya selama satu menit.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu, Mas?” Perempuan seumuran Lema itu lekas berdiri melihat ada tamu di hadapannya.
“Saya ingin bertemu dengan Pak Eksin, Mbak.”
“Apa sudah buat janji terlebih dahulu?”
“Sudah, Mbak. Saya Lema, baru ditugaskan menjadi peneliti di Pusat Pembelajaran Matematika dan Sains.”
“Baik. Akan saya hubungi Pak Eksin terlebih dahulu. Silakan duduk, Mas.”
Lema duduk menunggu di depan meja resepsionis.
“Selamat pagi, Pak Eksin. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Dia bilang peneliti baru Pusat Pembelajaran Matematika dan Sains. Namanya Lema.”
Terlihat perempuan itu mendengarkan dengan serius lawan bicaranya.
“Baik, Pak. Akan saya beritahukan. Terima kasih.”
Perempuan itu lalu menutup telepon. Lema pun segera berdiri.
“Pak Eksin bisa langsung ditemui di ruang multimedia lantai 5, Mas.”
“Baik. Terima kasih, Mbak.”
“Sama-sama,” ucap perempuan itu ramah sambil tersenyum.
Lema melemparkan pandangan ke segala penjuru gedung untuk mencari lift. Setelah menemukannya, Lema bergegas berjalan memasuki lift dan segera menekan tombol angka 5.
“Tunggu!”
Suara dari luar akhirnya membuat Lema menekan kembali tombol ‘buka’ agar pintu lift tidak tertutup.
“Terima kasih.”
Kedua orang perempuan yang berteriak ‘tunggu’ itu segera berlari memasuki lift dan salah seorang di antaranya mengucapkan ‘terima kasih’ pada Lema. Setelah memastikan tidak ada lagi orang yang masuk ke dalam lift, Lema menekan tombol ‘tutup’.
“Kamu yakin ceritanya benar, Ambar?” Salah seorang perempuan itu berbicara setengah berbisik kepada temannya.
“Iya, Dewi. Aku tau dari Ceko sendiri kok.”
“Sebaiknya kamu kasih tau Ceko untuk fokus saja dengan penelitiannya.”
“Entahlah. Aku tidak tau lagi. Ceko itu susah dinasihati. Jika ada yang tidak mengganjal, Ceko pasti ‘gatal’ untuk segera meluruskan dan membereskannya.”
“Ah, aku jadi khawatir dia dipecat.”
“Hus, jangan begitu!”
“Temanmu itu terlalu mengambil risiko, Ambar.”
Sedari tadi, kedua perempuan itu asyik mengobrol. Obrolan mereka jelas terdengar Lema. Bukan berarti Lema menguping, tetapi keadaan di dalam lift yang sepi, di mana hanya ada mereka bertiga, ditambah keduanya berdiri di depan Lema persis, bagaimana mungkin Lema tidak mendengarnya?
“Dibandingkan dipecat, Pak Eksin mungkin lebih memilih memindahtugaskan Ceko. Ceko itu otaknya Puspemas. Puspemas tanpa Ceko seperti sayur tanpa garam.”
Ting!
Lift berhenti di lantai 5. Lema dan kedua perempuan itu pun keluar dari lift. Lema terus berjalan lurus memperhatikan ruangan satu per satu sedangkan kedua perempuan itu akhirnya hilang dari pandangan Lema. Setelah menemukan pintu yang bertuliskan Multimedia Room, Lema pun masuk ke dalam ruangan itu.
Ruang multimedia merupakan ruangan yang disediakan bagi para pengunjung Badan Riset Nasional untuk melihat karya dan hasil penelitian para peneliti yang bertugas di dalamnya. Karya yang ditampilkan ada beberapa yang dibiarkan terbuka, tetapi ada juga yang ditaruh di sebuah kotak kaca sehingga para pengunjung tidak bisa menyentuhnya. Sedangkan isi dan hasil penelitiannya ditampilkan pada LCD dalam bentuk presentasi. Presentasi tersebut menampilkan slide demi slide tanpa pengunjung perlu menekan tombol next. Durasi tampilannya berkisar antara satu hingga lima menit, tergantung dari banyak informasi yang termuat pada slide tersebut.
Jam dinding dalam ruangan menunjukkan pukul 06.30. Lema melihat sebuah banner yang di dalamnya terdapat jadwal jam buka pengunjung. Dalam banner itu tertulis bahwa jam buka ruang multimedia untuk umum adalah pukul 08.00.
“Pantas saja masih sepi. Ternyata belum masuk jam buka toh,” gumam Lema.
Lema kemudian berjalan melihat karya dan hasil penelitian yang ada satu per satu. Pandangan Lema akhirnya berhenti pada sebuah LCD yang menampilkan presentasi penelitian awanama.
“Tanpa nama?” Lema mengernyitkan dahi.
Lema belum pernah menemukan penelitian tanpa nama. Kalaupun pada akhirnya sulit untuk dilacak, seperti penelitian atau penemuan zaman dahulu misalnya, bukan berarti lantas menjadi tidak diketahui penemu atau pembuat teorinya. Tentu ada catatan kecil yang menyebutkan siapa peneliti atau penemunya, minimal menyebutkan nama suatu suku, kaum, atau bangsanya.
“Dik Lema?”
Suara seorang pria dari belakang membuat Lema refleks menoleh.
“Oh, Pak Eksin!”
Lema bergegas menghampiri Pak Eksin, lalu membungkuk dan menjabat tangannya.
“Selamat pagi, Pak.”
“Pagi, Dik. Sudah dari tadi di sini?”
“Belum lama kok, Pak,” jawab Lema sambil tersenyum.
Pak Eksin melirik tayangan pada LCD yang diamati oleh Lema.
“Kalau begitu, ayo ikut saya. Kita bicarakan pekerjaan apa saja yang harus kamu lakukan selama menjadi peneliti di sini dan perjanjian kerjanya.” Pak Eksin memegang pundak Lema lalu berjalan maju. Lema mengikuti dari belakang.
Pak Eksin dan Lema memasuki salah satu pintu yang terletak di pojok belakang ruang multimedia. Warna pintu itu sama dengan warna dindingnya sehingga terlihat samar. Di balik pintu, hanya ada ruangan kecil yang berisi lemari rak buku berukuran besar. Besarnya lemari itu menutupi seluruh sisi belakang ruangan.
Pak Eksin mengeluarkan peranti lonjong dari sakunya yang mirip dengan laser penunjuk presentasi. Namun, berbeda dengan laser penunjuk presentasi, peranti lonjong yang dipegang Pak Eksin hanya memiliki dua tombol navigasi yaitu ‘buka’ dan ‘tutup’.
Pak Eksin lalu menekan tombol navigasi ‘buka’. Seketika, lemari rak buku terpisah menjadi dua bagian. Kedua bagian lemari itu berpindah ke sisi kiri dan kanan ruangan beberapa centimeter dan menunjukkan ruangan lain tersembunyi di baliknya.
Wow ….
Lema bergumam kagum dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Pak Eksin dan Lema berjalan memasuki ruangan tersembunyi itu. Setelah masuk, Pak Lema tidak lupa menekan tombol navigasi berlambang pintu tertutup pada peranti yang dibawanya. Seketika, lemari rak yang terpisah kembali berimpitan menjadi satu.
Di dalam ruangan tersembunyi itu terdapat dua buah kursi dan sebuah meja yang posisinya berhadapan. Selain kursi dan meja, ada juga beberapa buah lemari arsip. Masing-masing lemari arsip terdiri atas enam laci. Lemari arsip itu ditempatkan di sisi kiri dan kanan ruangan.
Pada bagian atas dinding setiap lemari arsip yang berada di sisi kiri ruangan, terpampang sebuah kayu yang digantung dan di dalamnya terukir sebuah nama. Selain nama, di bawahnya juga terdapat tulisan bidang penelitian. Lema melihat di atas salah satu lemari arsip itu terpampang nama Ceko dan di bawahnya terdapat tulisan Pendidikan Fisika. Spontan, Lema pun teringat obrolan kedua perempuan di lift yang membahas Ceko.
Oh, apakah nama itu yang tadi dibicarakan di lift?
Lema bertanya-tanya dalam hati.
Belum sempat menemukan jawaban atas pertanyaannya, pandangan Lema kemudian berhenti pada suatu lemari arsip yang di atasnya terpampang namanya. Di bawah namanya, terdapat tulisan Pendidikan Matematika.
Sepertinya tulisan yang terukir di kayu itu adalah nama peneliti dan bidang penelitiannya. Berarti nanti lemari arsip itu bisa kugunakan untuk menyimpan berkas-berkas penelitian ya?
Lema semakin takjub melihat fasilitas yang ada di Puspemas. Mulai dari ruang multimedia yang digunakan untuk memamerkan karya dan hasil penelitian, ruangan tersembunyi dengan remote control di balik rak buku, serta lemari arsip yang dapat digunakan untuk menyimpan berkas-berkas penting terkait penelitian. Lema merasa semuanya tersedia di Puspemas.
Pandangan Lema kemudian beralih ke beberapa lemari arsip yang terletak di sisi kanan ruangan. Seperti halnya lemari arsip yang ada di sisi kiri ruangan, setiap lemari arsip itu terdiri atas enam laci. Namun, lemari arsip yang berada di sisi kanan ruangan dilengkapi dengan kombinasi kunci tiga roda. Selain kunci kombinasi, ada juga anak kunci manual di sisi kiri laci paling atas.
Perbedaan lainnya yang mencolok adalah lemari arsip yang berada di sisi kanan ruangan terbuat dari besi yang dicat putih. Berbeda dengan lemari arsip di sisi kiri ruangan yang dicat abu-abu. Selain itu, tidak terpampang papan nama siapapun pada lemari arsip yang berada di sisi kanan ruangan itu.
Sampai harus dikunci ganda segala? Bahkan di dindingnya tidak digantung papan nama pula?
Himpunan lemari arsip itu tentu saja mengusik pikiran Lema. Dari mulai warna cat yang berbeda, hingga harus dikunci ganda, bahkan posisinya pun diletakkan berseberangan, tidak menjadi satu dengan lemari arsip yang berada sisi kiri ruangan.
Sekonyong-konyong, Lema kembali mengingat sebuah LCD yang menampilkan presentasi penelitian tanpa nama.
“Silakan duduk, Dik Lema.”
Pak Eksin mempersilakan Lema duduk lalu menghampiri lemari arsip yang di atasnya terpampang nama Lema. Tak lama setelah Lema duduk, Pak Eksin kembali dengan membawa map kertas berwarna biru kemudian duduk berhadapan dengan Lema.
“Ini perjanjian kerjanya. Silakan Dik Lema baca lalu tanda tangan di tempat yang sudah dibubuhkan materai,” jelas Pak Eksin sambil menyodorkan map biru.
Lema membuka map itu lalu membaca poin-poin yang ada dalam surat perjanjian kerja. Tidak ada poin yang menurut Lema merugikannya. Namun, ada satu poin yang terlihat multitafsir bagi Lema. Poin tersebut adalah poin terakhir yang menyebutkan, “Jika di kemudian hari ditemukan adanya kerugian yang berdampak pada Puspemas dengan adanya penelitian yang telah dilakukan, Puspemas berhak untuk mencabut kepemilikan karya dan hasil penelitiannya serta menindak tegas para peneliti yang tidak menaati perjanjian kerja.”
“Boleh saya bertanya, Pak?” tanya Lema dengan hati-hati.
“Silakan, Dik Lema.”
“Sebetulnya, saya masih belum menangkap maksud poin terakhir ini.” Lema membalikkan posisi dokumen agar Pak Eksin dapat membacanya.
“Oke. Sebelum poin terakhir, di atasnya ada poin 11 ya, Dik Lema. Poin 11 itu bunyinya, ‘Segala penelitian yang telah dilakukan peneliti adalah mutlak milik peneliti’. Nah, lalu dilanjutkan poin terakhir itu. Jadi, semua penelitian itu pasti akan diakui milik peneliti, bukan atas nama Puspemas. Namun, jika ternyata peneliti melakukan pelanggaran yang merugikan Puspemas maka hak miliknya akan dicabut. Pelanggaran yang seperti apa? Macam-macam, plagiarisme misalnya. Tidak mungkin Puspemas mempertahankan hak milik penelitian yang di dalamnya mengandung plagiarisme kan? Itu contoh lo ya.”
Lema mengangguk karena paham dengan penjelasan Pak Eksin. Lema pun kembali memperhatikan poin-poin yang ada pada surat penelitian kerja dengan saksama. Setelah merasakan tidak ada poin yang terlihat janggal, Lema pun menandatangani surat perjanjian kerja itu di tempat yang telah dibubuhkan materai sebagai tanda setuju.
“Oke.” Pak Eksin mengambil surat perjanjian kerja yang telah ditandatangani oleh Lema. “Kalau begitu, Dik Lema boleh langsung bergabung dengan Puspemas hari ini. Mari, Bapak antar ke lantai 7 untuk bertemu dengan para peneliti divisi Pendidikan Matematika.”
Pak Eksin dan Lema bangun dari duduknya. Sebelum pergi meninggalkan ruangan tersembunyi itu, Pak Eksin meletakkan map biru yang telah ditandatangani ke dalam laci lemari arsip paling atas milik Lema.
“Apa lemari arsip ini bisa saya gunakan untuk menyimpan berkas-berkas penelitian nanti, Pak?”
“Tentu bisa, Dik Lema. Namun, ruangan ini dibuat secara ‘tersembunyi’ bukan dengan tanpa alasan kan?” Pak Eksin mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum.
Lema ikut mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum penuh tanya.
“Maksud Bapak, anggap saja ruangan ini seperti gudang, tetapi tertata dengan lebih rapi, lebih luas, dan lebih adem dibandingkan gudang pada umumnya. Di kantor nanti, Puspemas telah menyediakan lemari arsip lainnya untuk masing-masing peneliti, termasuk Dik Lema. Jadi, jika dirasa berkas-berkas penelitian yang telah dilakukan Dik Lema masih penting, lebih baik disimpan di lemari arsip yang ada di kantor saja. Jika sudah tidak penting atau tidak terpakai, barulah diletakkan di lemari arsip ini.” Pak Eksin menjelaskan panjang lebar sambil berjalan memegang pundak Lema.
Pak Eksin kemudian mengeluarkan peranti lonjong yang disimpan di sakunya lalu menekan tombol berlambang pintu terbuka. Dinding yang ada di hadapan Lema dan Pak Eksin lalu terpisah menjadi dua bagian sehingga membentuk jalan keluar.
“Lalu, bagaimana dengan surat perjanjiannya Pak? Saya merasa surat perjanjian itu masih penting. Apakah tidak bisa diletakkan di lemari arsip saya saja yang ada di kantor?”
“Tenang saja, Dik Lema.” Pak Eksin berhenti untuk menekan tombol yang berlambang pintu tertutup pada peranti lonjong itu. Rak buku yang besarnya menutupi dinding lalu berimpitan menjadi satu sehingga ruangan tersembunyi tadi telah tertutup rapat. “Ada salinan surat perjanjian kerja di lemari arsip kantor sehingga Dik Lema bisa membaca dan mengingatnya kapan saja,” sambungnya.
Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol
Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa
Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk
Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa
Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan
Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad
Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen
Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu
Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad
Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan
Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa
Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk
Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa
Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol
Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be
Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu
Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen