Beranda / Sci-Fi / Algoritma Bonanza / Bab IV: Tentang Puspemas

Share

Bab IV: Tentang Puspemas

Penulis: Fikhachu
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-24 06:50:38

Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.

Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.

Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapat menaiki lift. Begitupun dengan Lema yang meskipun hanya turun satu lantai untuk meminjam buku ke perpustakaan, ia tetap menggunakan lift.

Gedung Puspemas berada di kota Lokastiti. Lokastiti berjarak 13 kilometer dari Setra dan merupakan ibukota negara Antapura. Waktu tempuh dari Setra ke Lokastiti biasanya sekitar satu setengah jam jika kondisi jalan sedang tidak ramai. Namun, jika jalanan sedang ramai, waktu tempuhnya pun menjadi lebih lama, yaitu sekitar dua jam perjalanan. Berbeda lagi jika jalanan tidak hanya sekadar ramai, tetapi betul-betul padat merayap, waktu tempuhnya menjadi tiga jam. Hal ini juga berlaku untuk sebaliknya, dari Lokastiti ke Setra.

Biasanya, di saat jam pulang kerja seperti ini, jalanan akan ramai padat, tetapi tidak sampai padat merayap. Dari balik jendela kaca, Lema dapat melihat hiruk-pikuk kendaraan yang lalu-lalang di jalan. Selagi jalanan belum macet, Lema pun berpikir untuk segera pulang. Dimasukkannya buku-buku dan dokumen-dokumen yang berceceran di meja ke dalam lemari arsip. Setelah mejanya rapi, Lema menggendong ransel hitamnya dan berjalan keluar ruangan.

Keluar dari ruangannya, Lema melihat seorang pesuruh kantor paruh baya sedang membawa tongkat pel dan ember. Dengan sedikit membungkuk sambil tersenyum ramah, Lema menegur pesuruh kantor itu.

“Sore, Pak.”

“Sore, Dik. Sudah mau pulang?” Bapak pesuruh kantor itu ikut tersenyum ramah.

“Iya nih, Pak. Saya pamit dulu ya, Pak.”

“Iya, silakan, Dik.”

Setelah berpamitan dengan bapak pesuruh kantor, Lema mencari lift untuk turun ke lantai satu. Lema sangat bersyukur karena letak ruang kerjanya tidak jauh dari lift. Dari ruang kerjanya, Lema cukup berjalan lurus selama beberapa meter untuk sampai ke lift. Sebelum akhirnya sampai di depan pintu lift, Lema melihat Luhung keluar dari ruang kerjanya.

“Oi, Lema! Baru mau balik juga?”

“Iya, nih. Hoo .… Jadi, ruang kerja lu yang ini toh, Bang?”

Yo’i, bro. Lebih enak, enggak lama keluar langsung lift di sampingnya.” Luhung tersenyum jail.

“Iya deh.” Lema menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum mafhum.

“Naik apa ke sini?”

“Naik motor. Lu naik apa, Bang?”

“Naik apa ya? Coba dong, tebak.” Luhung berbicara dengan nada meledek.

“Naik odong-odong sih kayaknya.”

Mendengar candaan Lema, Luhung langsung tertawa.

“Langsung hancur tuh odong-odong kalau gue yang naik mah.”

Lema ikut tertawa mendengar respons Luhung.

Belum sempat Lema dan Luhung bercanda lebih banyak, keduanya sudah sampai di depan pintu lift.

Ada sepuluh lift di tiap lantai gedung Puspemas. Enam lift untuk lalu-lalang orang dan empat lift lainnya adalah lift barang. Dua lift dibangun secara berderet berdekatan dan letak lift untuk orang yang lalu-lalang berada di depan, kanan, dan kiri setiap lantai. Sedangkan untuk lift barang terletak di kanan dan kiri setiap lantai.

Secara keseluruhan, berdasarkan data statistik, jumlah seluruh peneliti di Puspemas kurang-lebih ada 1.000 orang. Banyaknya peneliti yang ada di Puspemas menyebabkan Badan Riset Nasional membangun dua gedung Puspemas, satu gedung untuk peneliti dalam bidang pendidikan dan yang lainnya untuk peneliti nonpendidikan. Gedung A, gedung yang ditempati Lema bekerja saat ini merupakan gedung Puspemas yang berisi peneliti pendidikan.

Luhung bercerita, jumlah peneliti pendidikan yang bekerja di sini ada 457 orang. Sebetulnya, enam lift ini masih kurang cukup, mengingat jumlah penelitinya yang lebih dari empat ratusan. Belum lagi ditambah dengan staf lainnya seperti pesuruh kantor, bahkan pengunjung yang ingin berkunjung ke ruang multimedia. Mungkin bisa lebih dari 1.000 orang yang memasuki gedung Puspemas setiap harinya.

“Coba ya kita hitung-hitungan. Satu lift muatannya 20 orang. Ada enam lift, berarti hanya bisa mengangkut 120 orang. Sedangkan jumlah orang yang berkunjung ke Puspemas bisa lebih dari seribu orang,” cerita Luhung.

“Bisa sampai sepuluh kloter ya, Bang, supaya bisa keangkut semua,” timpal Lema.

"Nah, itu dia." Luhung menjentikkan jempol dengan jari tengahnya.

Ting!

Pintu lift di depan mereka terbuka. Dari belakang Luhung dan Lema, tiba-tiba saja sudah ada beberapa peneliti yang juga menunggu untuk menaiki lift. Luhung dan Lema terdorong hingga ke belakang lift.

Sebelum pintu tertutup, beberapa peneliti yang baru saja keluar dari ruang kerjanya lalu bergegas lari dan berhamburan masuk ke dalam lift. Ada juga beberapa peneliti yang selain berlari bahkan sampai berteriak-teriak ‘tunggu’, berharap orang yang ada di dalam lift menahan tombol agar lift tetap terbuka. Namun, karena kapasitasnya yang hanya memuat 20 orang, beberapa peneliti yang berteriak dan berlarian itu pun tidak bisa ikut masuk ke dalam lift. Mereka perlu menunggu kloter berikutnya.

Wah .…

Lema bergumam mendengar teriakan histeris orang-orang dan pemandangan desak-desakan yang ada di hadapannya. Luhung menyadari gumaman Lema sehingga menoleh padanya dan hanya bisa tersenyum.

“Tenang, ini masih mending dibandingkan naik kereta,” bisik Luhung.

Lema terbelalak kaget. Mata cokelatnya membulat.

“Serius?”

“Wah, lu belum pernah coba naik kereta ya?”

Lema hanya menggeleng bingung.

“Kapan-kapan lu harus coba sensasi naik kereta kalau lagi jam berangkat atau pulang kerja.”

📖 📖 📖

Lema baru saja sampai di rumahnya pukul lima sore. Tidak lama setelah Lema duduk di balai, nampak Pak Hadat berjalan santai sambil menjinjing tas.

“Baru pulang juga, Lema?” Pak Hadat ikut duduk di samping Lema dan meletakkan tasnya di balai.

“Eh, Bapak.” Lema mencium tangan Pak Hadat. “Iya, Pak. Lema baru saja sampai,” sambungnya.

“Keluar dari sana jam berapa?”

“Jam tiga, Pak.” Lema melepas sepatunya bergantian dari kiri ke kanan.

“Bagaimana hari pertama bekerja di sana?”

“Alhamdulillah, Pak. Lema juga tadi sempat ngobrol sama koordinator penelitinya.”

“Oh, ya? Terus?”

“Awalnya, Lema panggil dia ‘Abang’. Ternyata dia bilang seumuran sama Lema jadi enggak perlu panggil ‘Abang’.”

Pak Hadat mengangguk mendengarkan cerita anak semata wayangnya itu.

“Kalau gedungnya, bagaimana?”

“Gedungnya ada sepuluh lantai, Pak. Oh, dan Lema baru tau kalau gedung yang Lema tempati itu gedung untuk peneliti khusus bidang pendidikan. Ada lagi Gedung B untuk peneliti nonpendidikan,” cerita Lema.

“Hm .… Wajar sih, kalau gedungnya dipisah begitu untuk yang pendidikan dan nonpendidikan. lmu itu kan memang ada banyak cabangnya. Penelitinya pun juga pasti ada banyak. Kalau tidak dibedakan begitu, gedung tempat bekerjanya harus dibangun lebih tinggi lagi.”

“Iya, betul, Pak. Di tempat Lema bekerja aja, penelitinya sudah ada empat ratus lima puluhan. Belum lagi staf lain yang bertugas. Kata Luhung, jumlah peneliti keseluruhan bisa seribu orang. Bahkan tadi waktu Lema pulang, turun liftnya sampai rebutan.”

“Rebutan?” tanya Pak Hadat sambil mengernyitkan dahi.

“Iya, karena liftnya cuma ada enam, Pak. Sedangkan yang mau turun ada empat ratus lima puluhan peneliti. Rebutan deh, jadinya.”

“Walah .…”

Lema dan Pak Hadat terlihat asyik mengobrol di balai. Tidak lama kemudian, Bu Huriah muncul dari dalam.

“Lo, kalian sudah pulang toh?”

Lema dan Pak Hadat menoleh ke arah Bu Huriah. Bu Huriah segera menghampiri Pak Hadat dan mencium tangannya. Begitupun dengan Lema yang mencium tangan Bu Huriah.

“Iya, Bu. Tadi Lema sampai jam lima di rumah. Enggak lama Lema sampai, Bapak juga pulang. Jadi kita ngobrol-ngobrol dulu di sini.”

Mendengar anaknya mengatakan kapan sampai di rumah, Bu Huriah spontan melihat jam dinding yang ada di dalam rumah.

“Ya ampun. Kalian keasyikan ngobrol. Sekarang sudah setengah enam. Sebentar lagi magrib.” Bu Huriah mengambil tas jinjing Pak Hadat dan masuk ke dalam rumah.

Lema dan Pak Hadat sontak kaget mendengar ucapan Bu Huriah. Dengan terburu-buru, keduanya masuk ke dalam rumah setelah meletakkan sepatunya masing-masing di rak sepatu.

Rumah keluarga Pak Hadat memiliki luas 60 meter persegi dan merupakan rumah kayu dengan model cottage bergaya rustic yang dipernis cokelat kemerahan. Pintu dan dan jendelanya dipernis dengan warna cerah sehingga menghasilkan fasad yang menarik. Di depan rumah terdapat teras berlantai ubin dan taman. Di antara taman yang terbelah terdapat jalan setapak yang dibagun menggunakan batu alam. Tak heran jika rumah keluarga Pak Hadat menghasilkan kesan ramah lingkungan dan alami.

Di dalam rumah terdapat tiga kamar tidur, kamar Pak Hadat dan Bu Huriah, kamar Lema, serta satu kamar kosong yang disediakan untuk para musafir atau tamu kerabat dekat. Kamar kosong ini dibangun lebih besar dibandingkan kamar lainnya. Kamar mandinya ada di setiap kamar dan satu kamar mandi di dekat dapur.

Setelah Lema melepas sepatu dan masuk ke dalam rumah, Lema menuju kamar mandi yang ada di dapur untuk mencuci kaki. Lema kemudian masuk ke kamarnya, meletakkan tas ranselnya di kursi, lalu mengeluarkan laptop dari tasnya untuk diletakkan di meja belajar. Lema pun bergegas mandi agar tidak tertinggal melaksanakan salat magrib berjamaah di masjid dekat rumah.

Selesai mandi, Lema memilih baju koko terbaiknya untuk digunakan bertemu dengan Sang Illahi Rabbi di waktu senja yang hampir malam. Setelah berpakaian rapi, Lema kemudian keluar kamar dan duduk di sofa ruang keluarga.

“Lema, kamu sudah makan belum?”

Suara Bu Huriah membuyarkan lamunan Lema.

“Belum sih, Bu. Tapi sebentar lagi kan magrib. Lema juga sudah pakai baju koko putih, nanti takut terkena noda.”

“Aduh, kamu tuh ya. Enggak apa-apa, makan dulu sini. Biar sedikit yang penting perut kamu enggak kosong. Ayo!” Bu Huriah mengajak Lema untuk makan. Lema pun menuruti perintah Bu Huriah.

Bab terkait

  • Algoritma Bonanza   Bab V: Ceko Pembaun

    Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-25
  • Algoritma Bonanza   Bab VI: Diskusi Petitur

    Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-28
  • Algoritma Bonanza   Bab VII: Giriwarsa

    Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-02
  • Algoritma Bonanza   Bab VIII: Design Research

    Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-17
  • Algoritma Bonanza   Pendahuluan

    Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-22
  • Algoritma Bonanza   Bab I: Lema Alfa Sayyid

    Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-23
  • Algoritma Bonanza   Bab II: Penandatanganan Perjanjian Kerja

    Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-23
  • Algoritma Bonanza   Bab III: Bertemu Luhung

    Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-24

Bab terbaru

  • Algoritma Bonanza   Bab VIII: Design Research

    Sebuah meja berbentuk persegi yang di sekelilingnya terdapat lima buah kursi telah diisi dan digunakan oleh Lema, Luhung, Gendhis, dan Mirah di Kantin Puspadana. Kantin Puspadana merupakan kantin khusus berkumpulnya para peneliti Puspemas. Kantin Puspadana bisa dikatakan sebagai urban food court-nya Puspemas yang dikhususkan untuk para peneliti. Di dalamnya terdapat banyak stand sehingga para peneliti bisa memilih ingin memesan makanan dari stand kesukaannya. Selain itu, karena sifatnya yang urban, di dalam Kantin Puspadana terdapat beberapa spot foto yang instagramable. Lema sempat tak percaya, sebegitu sejahteranya peneliti yang bekerja di Puspemas ini. "Bang, gue merasa bersyukur bisa kerja di sini. Takjub banget, fasilitas untuk para penelitinya betul-betul diperhatikan," kata Lema sambil menatap sekitar Kantin Puspadana. Mirah hanya menatap Lema sambil tersenyum. "Lu kenapa cengar-cengir ngeliatin Lema, Mir?" ledek Luhung dengan menatap jahil Mirah. "Ish, apa sih, Kak. Aku jad

  • Algoritma Bonanza   Bab VII: Giriwarsa

    Sepasang bola mata berwarna kecokelatan itu menatap halaman buku satu per satu yang sedang dipegangnya. Sambil membaca buku, jemarinya mengetuk tombol kibor laptop. Di layar laptopnya, tertera sebuah nama kota di belahan Antapura yang lain dan masih asing baginya.Giriwarsa. Lema belum pernah sekalipun berkunjung ke kota ini. Pikirnya, yang namanya kota, pasti kehidupan di sana sudah maju. Sedangkan Luhung bilang kota ini termasuk daerah yang agak terpencil. Tentu saja hal itu memancing Lema untuk ingin tahu lebih lanjut mengenai Giriwarsa. Lema pun menelusuri informasi mengenai Giriwarsa di laptopnya melalui mesin pencari.Mesin pencari yang ada di layar laptop menampilkan beberapa situs yang berkaitan dengan kata kunci Giriwarsa. Beberapa situs yang muncul itu seperti, Sepuluh Tempat Wisata yang Wajib Dikunjungi di Giriwarsa, Begini Indahnya Penampakan di Atas Gunung Jatarupa Giriwarsa, serta Hutan Pinus yang Masih Lestari di Giriwarsa.Kenapa kebanyakan situs yang muncul berkaitan

  • Algoritma Bonanza   Bab VI: Diskusi Petitur

    Luhung memutar-mutar bolpoinnya. Kakinya digerakkan ke depan dan belakang. Meskipun posisinya saat ini sedang duduk di kursi, hampir seluruh badannya sibuk bergerak, menunjukkan bahwa Luhung seorang yang kinestetik. “Jadi ....” Luhung menoleh ke arah Lema dengan tangannya masih memutar-mutar bolpoin. “Gue enggak sangka.” Lema menggenggam kedua tangannya di atas meja. “Kita sekelompok!” Buru-buru Luhung bangun dari kursi dan menunjuk ke arah Lema. Lema menutup mulutnya dengan kedua tangannya, lalu disusul dengan tertawa terbahak-bahak. “Terkadang gue masih enggak habis pikir ya. Orang kayak Kakak bisa jadi koordinator peneliti Pendmat.” Perempuan yang saat rapat tadi duduk di samping kiri Lema ikut angkat bicara melihat tingkah laku Luhung. “Jangan begitu dong, Mirah. Kalian seharusnya bersyukur, di Pendmat koordinatornya asyik diajak bercanda, enggak selalu serius.” Luhung membela diri. “Ya lihat-lihat juga dong, Kak, kalau mau bercanda. Kan sekarang kita sedang di perpustakaa

  • Algoritma Bonanza   Bab V: Ceko Pembaun

    Lema memarkir motornya di tempat parkir bawah tanah sebelum lantas berlari kocar-kacir memasuki gedung Puspemas. Kemarin, sebelum resmi bekerja sebagai peneliti di sini, Lema memarkir motornya di tempat khusus pengunjung sehingga kelabakan mencari motornya saat pulang. Berbeda dengan tempat parkir bawah tanah ini yang hanya dapat diisi oleh mobil dan motor para staf dan peneliti di sini sehingga Lema tidak perlu terlalu pusing mencari motornya nanti.Di tempat parkir bawah tanah, ada eskalator yang menghubungkan masuk ke gedung Puspemas lantai satu. Jika kemarin melewati pintu depan, melalui tempat parkir bawah tanah ini, Lema memasuki gedung Puspemas dari pintu belakang. Setelah menaiki eskalator, Lema bergegas mencari lift. Ditekannya tombol berlambang angka 7 itu dan lift pun segera berjalan naik.Sebetulnya, Lema tidak bangun telat. Lema tidak tertinggal menjalankan salat subuh berjamaah di masjid. Lema juga tidak mandi dan makan terlalu lama. Namun, Lema lupa mengisi angin untuk

  • Algoritma Bonanza   Bab IV: Tentang Puspemas

    Semburat lembayung senja telah menampakkan dirinya di cakrawala yang mulai terlihat redup. Jarum kecil yang ada pada jam dinding di dalam ruangan Lema telah menunjuk pada angka 3 sedangkan jarum panjangnya menghadap angka 12. Setelah membaca beberapa buku mengenai jenis-jenis penelitian yang diperoleh dari perpustakaan Puspemas, Lema bersiap pulang.Gedung Puspemas terdiri atas sepuluh lantai. Seperti gedung pada umumnya, halaman lobi, display, dan layanan pelanggan ada di lantai satu. Layanan keanggotaan dan penelusuran informasi ada di lantai dua. Kantin dan koperasi ada di lantai tiga. Berbagai jenis laboratorium terletak di lantai empat. Ruang rapat, auditorium, dan ruang multimedia terdapat di lantai lima. Barulah di lantai 6 terdapat layanan perpustakaan dan tempat salat.Ruangan tempat Lema bekerja ada di lantai tujuh yang berisi perkantoran. Selain Lema, ruang kerja peneliti lainnya juga terdapat di lantai tujuh. Jika ingin turun atau naik, pengunjung, staf, atau peneliti dapa

  • Algoritma Bonanza   Bab III: Bertemu Luhung

    Lema mulai menata beberapa buku catatan, buku paket matematika dari mulai tingkat SD hingga SMA, dan buku-buku lain yang membahas berbagai model pembelajaran di lemari arsipnya. Selain buku, Lema juga merapikan dokumen-dokumen yang masih tercecer di meja. Dokumen-dokumen yang tercecer itu seperti surat perjanjian kerja, jadwal rapat, dan agenda kegiatan peneliti divisi Pendidikan Matematika di Puspemas. Wah, banyak juga ya, tugasku. Lema menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum menyeringai. Ah, sudahlah. Payah sekali kau, Lema, baru masuk sehari sudah mengeluh. Jalani saja, jangan hanya dipikirkan. Lema meregangkan tubuhnya. Tak lama setelah Lema melakukan peregangan, terdengar suara pintu ruangannya diketuk. “Masuk!” Lema sedikit meninggikan nada bicaranya agar suaranya terdengar hingga keluar. Yang mengetuk pintu pun masuk ke dalam ruangan setelah mendengar jawaban dari dalam ruangan. “Halo, Lema.” Pria berbadan tegap itu berdiri di hadapan Lema dan membuka obrol

  • Algoritma Bonanza   Bab II: Penandatanganan Perjanjian Kerja

    Pukul enam lewat enam menit, Lema sudah sampai di tempat kerjanya. Hari pertama bekerja, mengingat wejangan dari bapaknya, Lema harus menunjukkan kesan pertama yang bagus. Oleh karena itu, sebelum masuk, Lema merapikan rambutnya, dasinya, kemejanya, dan mengencangkan ikat pinggangnya.Setelah dirasa penampilannya sudah oke, Lema memasuki gedung bertingkat sepuluh itu, tempat ia bekerja selama beberapa waktu ke depan. Atau mungkin untuk selama-lamanya? Entahlah. Yang ada dalam pemikiran Lema hanya satu:Mari tunjukkan integritasmu, Lema. Keluarkan semua ide-idemu. Barangkali, ide-idemu itu bisa bermanfaat untuk banyak orang. Jangan lupa juga, luruskan niatmu karena Allah ta’ala.Dengan mengumpulkan tekad dan keyakinan penuh, Lema memasuki kawasan gedung itu. Setelah bertemu, bertegur sapa, dan bersalaman dengan satpam yang ada di pintu pagar dan pintu masuk, Lema melangkahkan kakinya menemui dua orang resepsionis di halaman lobi lantai satu.“Permisi, Mbak.”Dua orang perempuan yang be

  • Algoritma Bonanza   Bab I: Lema Alfa Sayyid

    Setra dikenal sebagai kota dengan suasana yang unik. Kota yang berumur tiga puluh tahun ini mengalami banyak kemajuan. Tiang-tiang utilitas yang digunakan untuk mendistribusikan listrik-listrik dengan daya tinggi telah banyak dipasang di kota ini. Gedung-gedung yang dibangun setinggi langit juga telah memenuhi pemandangan di kota ini. Meskipun banyak gedung bermunculan, bukan berarti Setra telah kehilangan pemandangan yang menyejukkan, terutama di pagi hari. Kabut pagi hari di kota Setra memang tak sebanyak kabut di kota-kota lainnya. Suhu di kota ini tidak terlalu panas untuk ukuran daerah perkotaan, tetapi tidak juga sedingin di daerah pegunungan pada umumnya. Persawahan dan pepohonan rindang pun masih dapat dijumpai di beberapa wilayah di kota ini. Adanya pegunungan, persawahan, dan pepohonan rindang yang masih terawat menjadikan Setra sebagai kota yang bebas polusi meskipun banyak gedung dan pabrik di dalamnya. Walikota Setra sangat berdedikasi dalam mengembangkan konsep pembangu

  • Algoritma Bonanza   Pendahuluan

    Sedari tadi, Effie masih berkutik dengan ponsel pintarnya. Jemarinya lincah menekan layar sentuh kapasitif pada ponsel itu. Sesekali, mata cokelatnya menatap ke atas langit-langit sembari mulutnya komat-kamit. Effie harus mengingat kembali apa saja materi yang diberikan gurunya, mencatat, lalu mengirim catatannya itu ke situs web Akademi Mahfuz Tajribah. Akademi Mahfuz Tajribah adalah sekolah khusus yang ditempuh oleh para calon peneliti. Para akademianya berasal dari seluruh penjuru negeri. Pendidiknya merupakan para akademisi yang telah melahirkan banyak penemuan terkemuka. Gedungnya bak istana kerajaan dengan halaman yang luas seukuran bandara. Tak heran jika Akademi Mahfuz Tajribah dijuluki sebagai akademi bonafide dan hanya dapat dimasuki oleh orang-orang elite. Setiap enam bulan sekali, akademi ini mengirimkan putra-putrinya ke daerah terpencil sebagai tugas penelitian yang harus dipenuhi untuk penilaian akhir semester. Di daerah terpencil itu, para akademia mengaplikasikan pen

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status