Aku mematung saat sampai di rumah ibu mertua. Ya, bagaimana tidak. Fahmi juga ada di antara yang lainnya. Ia nampak tersenyum penuh makna.
Dengan bingung aku pun duduk di antara Dania dan ibuku."Kak," panggil Dania."Ya,""Kita mau ngadain lamaran. Kakak pulang ya!" ucap Dania. Aku mengernyitkan kening."Loh, lamaran siapa?" tanyaku."Fahmi mau lamar Dania. Meskipun Dania masih kuliah. Lagipula Fahmi dan Dania kuliah di tempat yang sama meski beda fakultas. Mereka lebih sering bersama. Lebih baik dinikahkan saja." Jelas Ibu. Jika dipikir mereka semakin lengket. Terlebih Dania kuliah di tempat yang sama dengan jarak yang lumayan. Hemmm, mungkin dengan begitu ada yang menjaganya."Boleh Nisa ngobrol dulu sama Fahmi, Bu?" tanyaku. Manik mataku mengisyaratkan agar Fahmi mengikuti. Ia nampaknya tertunduk. Ya, elah. Apa dia mau membuat drama kalau aku calon kakak ipar yang galak."JelPulang kampung. Sebenarnya aku sudah ke sini bersama mas Akbar saat mudik lebaran kemarin. Saat ini aku pulang kampung juga karena lamaran. Mas Akbar hanya mengantar kami dan kembali pulang. Ia tidak bisa lama di sini. Lagipula ini hanya lamaran. Akan tetapi, ia tampak ragu untuk pergi."Kenapa?" tanyaku."Gak ada pria yang deket kamu lagi, kan?" tanyanya."Ya enggak lah. Cuman Fahmi aja, Mas.""Hehe," Hemmm, aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia takut jika aku punya kedekatan dengan pria lain. Sore hari dengan suasana khas pedesaan. Kami menyambut tamu undangan yang merupakan keluarga Fahmi. Aku menyaksikan lamaran adikku satu-satunya itu. Meski dalam suasana bahagia, aku mengingat almarhum ayahku. Entahlah, hatiku merasa sedih ketika melihat adikku. Saat Dania menikah nanti, ayahku tidak bisa menjadi wali untuk adikku itu.---- Sebulan kemudian. Kami pulang kampung lebih awal. Aku melihat Dania begitu cantik seperti Ratu di hari ini."Nisa eh Kakak ipar," uc
Hari ini adalah hari, dimana mas Arman menerima gaji dari kantornya. Walaupun sebenarnya keluarga mas Arman termasuk keluarga mapan. Entah mengapa, papa mertua tidak membuat mas Arman untuk mengelola perusahaan papa. Namun, rasanya walau ia punya penghasilan banyak itu tidak akan berpengaruh bagi diriku ini. Dua tahun menikah, kami masih belum punya keturunan. Awalnya aku berpikir, mungkin belum diberi amanah. Sehingga, mas Arman pun tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, semakin lama, mas Arman semakin berubah sikapnya padaku. Dulu sangat baik, tapi semakin lama malah semakin menjengkelkan."Mas, aku mau belanja bulanan. Mas belum ngasih uang gaji. Biasanya langsung ngasih,'' imbuhku dengan nada memelas ketika ia tengah duduk di sofa ruang keluarga. 'Apa mas Arman tidak berniat memberi uang bulanan saat ini?' tanyaku dalam hati.Ia pasti kesal, jika aku meminta jatah bulanan. Padahal itu kewajiban suami pada istrinya, bukan orang lain yang meminta secara cuma-cuma. Bahkan aku t
Aku masih menunggu kedatangan mas Arman. Ia sepertinya sangat marah padaku. Namun, jika dipikir untuk apa aku menunggu pria itu pulang. Ia memang akan seperti itu, walau karena masalah sepele. Bisa dibilang, apa yang dilakukannya sudah menjadi rutinitas jika kami tengah bertengkar. Aku menyendok nasi, sedikit demi sedikit. Sesekali aku pun berhenti. Aku bukanlah karang yang tetap tegar saat ombak di lautan menerpa. Air mata mulai menorobos benteng pertahanan. Walau ku tahu sia-sia saja aku menangisi orang yang sudah tidak peduli padaku, bahkan tidak lagi menghargai perasaanku. Suara pintu terketuk, membuat aku mengusap air mata ini dan bergegas untuk keluar."Mama," gumamku. Aku terkejut mama mertuaku tiba-tiba datang."Kamu habis nangis?" tanya Mama menyelidik."Enggak, Ma. Anisa kelilipan." Jawabku berbohong, keningnya mengkerut. Aku hanya berharap beliau percaya padaku, karena jika mama tahu aku bertengkar dengan mas Arman yang ada akulah yang disalahkan."Ya sudah! Ma
Pagi ini mas Arman berangkat tergesa-gesa. Malam tadi ia tidur di sofa. Ia sangat marah, bahkan kali ini ia tak menyentuh masakanku sedikit pun."Mas, Sara—" ucapanku terjeda, saat ia menatap tajam."Gak perlu! Aku makan di luar aja." ucapnya ketus. Ya, dia punya banyak uang untuk dirinya sendiri. Mudah sekali baginya untuk makan di luar, karena pikirnya itu uang jerih payahnya sendiri."Tapi...," ucapanku terhenti, saat ia malah melangkah pergi tanpa salam dan kecupan di kening lagi. Ia embuat aku jengah karenanya. Harusnya aku yang marah, bukan dia.Aku menyantap sarapan dengan santainya. Lalu, membereskan makanan dan memasukan ke dalam kulkas agar tak cepat basi. Perkataan mas Arman yang tak masuk logikaku. Jika tidak begitu dekat, tidak mungkin mereka belanja bersama dan Anita begitu manja pada mas Arman. Saat aku menyinggung soal teman satu selimut, ia bahkan hampir menamparku seolah tersinggung. Wanita mempunyai kepekaan yang tinggi. Aku tidak mungkin salah dengan d
Aku mendengar suara langkah kaki dengan sepatu hak tinggi. Langkah itu terdengar terburu-buru dan berhenti seketika, hingga aku pun bergegas untuk menghampiri dan membuka daun pintu. Terlihat wajah mama mertua yang sangat tidak senang. Beliau langsung masuk tanpa bicara. "Mama, kok mendadak kesininya? Kalau Mama nelpon Nisa, mungkin Nisa masak buat Mama." imbuhku. Dari raut wajah mama mertua aku yakin ada yang diadukan oleh suamiku itu."Gak perlu," jawab Beliau ketus."Ma, sebenarnya ada apa?" tanyaku melembutkan suara."Mama gak terima, ya. Kamu main hakimi anak Mama di tempat umum," cecarnya, "Mama lebih tahu anak Mama. Jangan main nuduh sembarangan! Kamu itu malah buat masalah terus," sambungnya."Ma, Nisa...," ucapanku terhenti. Selalu saja seperti ini. Beliau tidak pernah mau mendengar alasan yang kubuat."Ingat Nisa! Kamu itu istrinya. Harusnya jadi istri, jaga nama baik suami!" tukasnya. Padahal aku belum juga selesai bicara tapi mama malah menyela ucapanku."Iya, Ma." Ja
Saat ini, aku menuruti perkataan Mala. Aku membuat akun dan mencoba berteman dengannya. Tentu saja, aku memakai wajah pria tampan dengan alamat yang palsu juga. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu , ia pun membalas menerimanya. Sepertinya dia sedang 𝑜𝑛𝑙𝑖𝑛𝑒.[Makasih, Cantik.] pesanku pada akun Anita.[Sama-sama, Ganteng.] aku pun mual membacanya. Aku melihat linimasa miliknya. Terdapat foto-foto yang terpampang. Ada pula foto yang mungkin bagi pria foto itu menggoda iman mereka, termasuk suamiku.[ Aku senang hari ini jalan-jalan dengan suamiku.] ujarnya dalam sebuah status.[Akhirnya. Walau aku pernah pergi darimu, tapi aku kembali padamu.] Aku menautkan alis, karena tak mengerti dengan statusnya.[Aku hamil dan aku senang sekali, karena suamiku yang sekarang itu selalu manjain aku.] kiriman itu lima bulan yang lalu. Aku terus menelusuri linimasa Anita, hingga terpampang jelas foto mas Arman dan Anita. Itu terkirim satu tahun yang lalu. Membuat dada ini sesak saat me
Mobil terparkir di depan rumah mertua dan kami pun berjalan menuju ambang pintu. Aku merasakan hangat sikapnya, tapi aku yakin ini hanya akal-akalannya saja. Ia pasti mengadu pada orang tuanya, agar tetap terlihat benar di mata keluarganya itu. Aku perempuan, tapi aku tidak pernah mengadu pada ibuku. Meskipun, aku merasakan peliknya hidupku saat bersuamikan mas Arman. Terlihat papa dan mama mertua menunggu di sofa ruang tamu. Kami mengucap salam kemudian dijawab oleh mereka. Aku mencium takzim tangan kedua orang tua mas Arman itu. Aku berusaha tenang dan kami duduk berdampingan. Entah apa yang akan mereka bicarakan? Raut wajah papa mertuaku itu cukup serius saat ini. Semoga saja apapun itu aku bisa menghadapinya saat ini. Aku tidak ingin lagi disalahkan untuk apa yang tidak aku lakukan."Jadi, tanpa basa-basi. Papa mau tahu, masalah kalian ada apa? Sampai mamanya Arman marah-marah ke Papa," cecar Papa setelah kami duduk. Aku menunduk
Hari-hari berlalu dan aku terpaku meratapi nasib. Namun, aku masih saja tidak mengerti, untuk apa ia bertahan denganku. Apa yang terjadi aku tidak tahu. Pernikahan ini memang bukan keinginan kami berdua, melainkan keinginan orang tua kami. Namun, tidak sepatutnya ia bersikap begitu. Seolah diri ini hanya menumpang hidup dan menjadi benalu baginya atau ia malah membuatku seperti pembantu di rumahnya. Aku pun mulai berpikir tentang masalah anak adalah syarat orangtuanya agar mendapat warisan. Karena aku memang pernah mendengar jika kami memiliki anak, maka kami akan mendapatkannya lebih awal.***** Lorong bercat putih. Disinilah aku saat ini. Aku menunduk lesu, saat orang yang aku kasihi berada di antara pasien-pasien di gedung ini. Ibu tampak tak kuasa menahan tangis. Beliau memang istri yang setia. Tidak ada pertengkaran hebat yang terdengar selama ini saat aku berada di rumah. "Maaf! Apa ini dengan keluarga pak Andi?" seorang pria paruh baya menghampiri dan bertanya
Pulang kampung. Sebenarnya aku sudah ke sini bersama mas Akbar saat mudik lebaran kemarin. Saat ini aku pulang kampung juga karena lamaran. Mas Akbar hanya mengantar kami dan kembali pulang. Ia tidak bisa lama di sini. Lagipula ini hanya lamaran. Akan tetapi, ia tampak ragu untuk pergi."Kenapa?" tanyaku."Gak ada pria yang deket kamu lagi, kan?" tanyanya."Ya enggak lah. Cuman Fahmi aja, Mas.""Hehe," Hemmm, aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia takut jika aku punya kedekatan dengan pria lain. Sore hari dengan suasana khas pedesaan. Kami menyambut tamu undangan yang merupakan keluarga Fahmi. Aku menyaksikan lamaran adikku satu-satunya itu. Meski dalam suasana bahagia, aku mengingat almarhum ayahku. Entahlah, hatiku merasa sedih ketika melihat adikku. Saat Dania menikah nanti, ayahku tidak bisa menjadi wali untuk adikku itu.---- Sebulan kemudian. Kami pulang kampung lebih awal. Aku melihat Dania begitu cantik seperti Ratu di hari ini."Nisa eh Kakak ipar," uc
Aku mematung saat sampai di rumah ibu mertua. Ya, bagaimana tidak. Fahmi juga ada di antara yang lainnya. Ia nampak tersenyum penuh makna. Dengan bingung aku pun duduk di antara Dania dan ibuku."Kak," panggil Dania. "Ya," "Kita mau ngadain lamaran. Kakak pulang ya!" ucap Dania. Aku mengernyitkan kening."Loh, lamaran siapa?" tanyaku."Fahmi mau lamar Dania. Meskipun Dania masih kuliah. Lagipula Fahmi dan Dania kuliah di tempat yang sama meski beda fakultas. Mereka lebih sering bersama. Lebih baik dinikahkan saja." Jelas Ibu. Jika dipikir mereka semakin lengket. Terlebih Dania kuliah di tempat yang sama dengan jarak yang lumayan. Hemmm, mungkin dengan begitu ada yang menjaganya."Boleh Nisa ngobrol dulu sama Fahmi, Bu?" tanyaku. Manik mataku mengisyaratkan agar Fahmi mengikuti. Ia nampaknya tertunduk. Ya, elah. Apa dia mau membuat drama kalau aku calon kakak ipar yang galak."Jel
Hari ini aku memakai gaun berwana peach dengan hijab yang senada dipakai. Tidak lupa memasang korsase berwarna perak di dada sebelah kiri. Riasan wajah yang kupakai adalah sengaja memakai 𝑚𝑎𝑘𝑒𝑢𝑝 yang natural."Dek," panggil pria yang sudah beberapa tahun menjadi suamiku itu."Ya,""Gak salah,""Gak salah apanya?""Cantik banget,""Cuman rayuan supaya aku datang ke pesta dia, kan?" "Biar kamu gak salah paham lagi, Sayang.""Terserah, deh." Kami pun akan berangkat. Aira sudah ku titipkan di rumah ibu. Ya, Aira memang tidak suka keramaian dengan musik yang ber-𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 tinggi. Sehingga, mau tidak mau putriku harus dititipkan di rumah neneknya. Mas Akbar dengan tersenyum mempersilahkan ku masuk ke dalam mobil. Sepatu ber-hak tinggi ini memang membuatku sedikit pegal."Jangan maksain!" Sepertinya suamiku tahu apa yang aku pikirkan saat ini."Lah, kan mau ke pesta bukan mau jalan-jalan dengan baju kasual, Mas."
Membisu. Entah apa yang aku rasa saat ini. Pastinya aku tidak mau berbicara dengan pria bergelar suamiku itu. Bertahun-tahun aku pikir wanita itu tidak akan mengganggu kami lagi. Nyatanya, wanita itu mempunyai beragam cara agar mendapatkan mas Akbar. Sepanjang perjalanan aku membisu. Entah mengapa pria itu begitu peduli dengan Bianca. Seharusnya dia bersikap masa bodo dan pergi saja, bukan malah sok perhatian pada Bianca yang akhirnya ingin dinikahi saat itu juga."Sayang," panggilnya. Namun, tidak aku hiraukan."Dek," panggilnya lagi."Apa sih? Berisik!" Ucapku ketus."Kamu marah?" tanyanya. Udah tahu ekspresi wajah sekarang marah bukan ketawa senang malah nanya."Enggak," jawabku ketus."Maaf, Dek!" Ucapnya."Sejak kapan dia ganggu Mas lagi?" tanyaku."Sebulan yang lalu," jawabnya."Ya udah. Tuh nikahin dia!" "Ya enggak dong, Dek.""Bukannya peduli banget sama Bianca?
Di sebuah kamar dengan nuansa merah mudah. Aku menatap dengan bahagia. Ya, putri kecil berumur dua tahun baru saja terbangun dari tidurnya."Ekhem," suara mas Akbar menghentikan aktivitasku yang sedang memperhatikan putri kecil bernama Aira."Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku."Sekarang ada acara, tapi...,""Acara apa?" tanyaku."Acara pernikahan Bianca," jawab pria itu sedikit ragu. Nama yang diucapkan pria di hadapanku itu adalah nama wanita pernah mengejar mas Akbar. Lalu, untuk apa dia mengundang suamiku."Mas mau ke sana?" tanyaku."Aku gak mungkin ke sana tanpa izin kamu, Sayang,""Ya, datang aja. Toh, dia mau menikah sama orang lain bukan sama Mas,""Takutnya kamu cemburu, Dek. Atau kamu juga ikut deh,""Gak mungkin lah, Mas. Aira gak suka tempat ramai," tolakku. Aku Sebenarnya penasaran dengan wanita itu, tapi Aira tidak suka keramaian."Gak bakal marah?" tanyanya.
Rasa pusing menimpaku, sehingga membuat ibu mertua datang dan membantuku. Walau sekarang mas Akbar memperkerjakan pembantu harian yang bisa pulang saat sore harinya."Kita ke Dokter ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu.""Tapi, Bu. Anisa ngerepotin Ibu.""Nisa, gak ngerepotin Ibu loh." Mertuaku ini memanglah baik. Padahal dulu aku pernah bertanya pada ibu mertua mengapa sampai menerimaku. Aku yang tak punya apa-apa saat dilamar mas Akbar. Beliau hanya berkata "Harta itu bisa dicari. Kebahagian anak adalah utama. Ibu pun pernah mengalami pahitnya hidup. Karena itulah Akbar harus bisa hidup lebih baik dari kami," Aku pikir saat itu terpaksa menerimaku karena demi kebahagiaan mas Akbar, tapi saat ibu pernah mendengar aku membahas wanita yang mengejarnya itu pernah ditemui oleh mas Akbar ibu marah besar dan membelaku. "Untuk alasan apapun. Jangan pernah menemui wanita yang tidak lagi mempunyai urusan lagi? Apalagi dia menyukaimu," tegas ibu saat itu. Ibu mer
Keesokan harinya. Aku berpenampilan begitu rapi untuk pertama kalinya agar terlihat lebih cantik untuk mendampingi mas Akbar. Pria itu hanya tersenyum. "Mas gak bakal bawa mobil?" tanyaku heran. Bukannya tiada hari tanpa mengendarai mobilnya untuk bepergian."Mobilnya harus ke bengkel. Nanti malah lama," jawabnya. Aku hanya ber-oh ria setelah mendengar jawabannya."Masih ngambek?" tanyaku ketika melihat ia begitu cuek dan memilih memainkan gawainya."Gak juga," jawabnya dengan nada yang terdengar menyebalkan."Pak, jangan ke kantor! Ke penginapan aja," ujarnya pada pak supir. Sontak membuatku terkejut karena ucapannya. Hampir saja aku akan membuka suara. Mas Akbar malah melotot padaku. Membuatku merasa takut, tapi ingin tertawa. Sebenarnya apa yang direncanakan? Ia yang bilang harus ke kantor cepat, tapi malah entah kemana tujuan kami sekarang. Sampailah di sebuah Hotel yang terkenal. Aku menatap penuh tanya. Ya, pikiran yang tidak bisa ditebak.
Mentari menyambut hari ini, aku mogok bicara saat ini, meskipun aku menyiapkan semua keperluan Mas Akbar. Hanya ada peralatan dapur yang bersuara pagi ini."Dek," panggilnya. Aku tak menjawab dan lebih memilih fokus dengan apa yang ada di hadapanku."Anisa!" panggilnya lagi. Masih tetap kuabaikan. Kini aku menyiapkan minum untuk mas Akbar dan tak menoleh sedikitpun pada orang yang sedari tadi memanggilku, bahkan menggangguku saat menyiapkan sarapan."Dek, maafkan Mas!" ucapnya lirih. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku. "Lepas Mas. Ingat syaratku!" tegasku. Sebenarnya aku mulai tak peduli dengan syarat itu, tapi sikapnya membuatku kesal. Ia pun menjauh dengan wajah masam, kemudian duduk dengan wajah yang di tekuk. "Aku sudah siapkan semuanya," kataku dan melangkah untuk meninggalkan dapur."Maaf Dek!" Aku tak menjawab atau pun menoleh. Sakit rasanya jika mengingat hari kemarin. Dia merasa seolah aku yang m
Satu bulan sudah kami menikah. Begitu kaku hubungan ini. Aku yang tak tahu harus berbuat apa. Untuk pertama kalinya aku akan mencoba membuatnya senang. Mungkin sebuah kejutan. Aku mengunjungi kantor mas Akbar yang dulu adalah tempat bekerjaku. Karyawan yang mengenalku menyapa dengan hangat dan menanyakan kabar serta tujuanku kantor. Mereka terkejut dan tak percaya aku menikah dengan mas Akbar. Aku lebih memilih bergegas menemui suamiku itu. Namun, sebelum ku mengetuk. "Kamu kenapa menikah dengan dia?" tanya wanita itu, "Kamu pun tahu aku cinta sama kamu." sambungnya. Aku tahu wanita itu adalah wanita di pesta Desi. Ya, wanita yang selalu mengejar mas Akbar itu berani datang ke kantor suamiku dan bahkan masuk ke dalam ruangan yang pastinya hanya ada mas Akbar disana. Aku membuka pintu kasar. Tampak keterkejutan di wajah mereka."Waw...hebat. Aku yang mau ngasih kejutan ternyata terbalik," ucapku ketus, "aku cukup terkejut dengan pemand