Sore ini aku dan Mala mendatangi salah satu Kafe. Mala yang mendengar ceritaku saat di perjalanan merasa iba padaku. Ya, jalan hidupku setelah menikah dan meninggalkannya ayahku begitu memilukan."Beneran kamu diperlakukan gak bener sama suami kamu? Meskipun gak pernah maen tangan sih, tapi itu gak wajar banget. Royal ke si Anita. Lah, ke kamu malah ngasih segitu. Rumah gede gitu listrik aja udah berapa? belum ini itu," cerocos Mala yang tak bisa direm."Aku gak punya uang buat ketemu di Kafe, Mal. Si Aldo malah ngajak di Kafe. Pusing aku," ujarku sambil berjalan menuju Kafe yang dijanjikan."Lah, kan ada Mala. Kamu mau pesan apa aja? Aku teraktir," ucap Mala tersenyum. Aku hanya mengangguk setuju saja. Aku merasa beruntung dan lega bisa bertemu dengan gadis cerewet tapi sangat baik itu. Ia yang membuat pikiranku terbuka disaat aku benar-benar terluka. Aku memang tak punya uang untuk pertemuan kami, karena jatah Mas Arman yang tidak mungkin langsung habis beberapa hari. Harga
Siang ini, aku sibuk berada di dapur dengan memasak makanan seadanya. Mas Arman terdengar masuk tanpa mengetuk, aku bahkan tak peduli pada kedatangan dirinya."Nisa!" serunya dari jauh kemudian menghampiriku."Ya," sahutku datar."Oh ya, Mas. Besok minggu aku mau ke reuni," imbuhku dengan santainya, sembari menuangkan air minum. Aku sengaja mengatakan hal itu dan lihatlah raut wajah tak terima itu."Apaan ikutan reuni? Yang ada ngehamburin uang," ketusnya. Padahal aku tidak pernah kemana-mana, selain untuk belanja keperluan rumah. 'Dasar pelit bin medit.' umpatku dalam hati."Sekali aja, Mas. Ada reuni SMA. Katanya sih, Anita juga bawa suaminya. Berarti aku salah sangka ya, waktu pas liat Mas sama dia." celotehku. Mas Arman seolah menyembunyikan rasa terkejutnya. "Ayolah!" rengekku."Bawel amat! Aku sibuk." ketusnya lagi."Ayolah!" rengekku lagi, walau aku tahu jawabannya."Aku bilang tidak, ya t
Malam ini, mas Arman tidak menampakan batang hidungnya. Aku tahu, ia akan bersiap untuk besok di acara tersebut. Bukan bersiap untuk pergi denganku. Melainkan untuk pergi bersama Anita. Itu berarti, ada kesempatan untukku mengambil ponsel yang disita mas Arman. Hati ini begitu yakin, ponsel itu disimpan di dalam laci mejanya, karena aku mencari keseluruh kamar dan tak ada disana dan tempat rahasia yang tidak boleh aku ganggu adalah ruang kerja mas Arman. Aku mencari kunci laci yang selalu dikunci olehnya. Sampai aku benar-benar hampir menyerah. Namun, aku teringat saat ia berusaha melepas pigura yang ada di dinding dan benar saja, pria itu menyembunyikan kunci laci di antara benda itu dan dinding. Klek , kunci terbuka. Aku melihat ponselku disana, tapi ada juga ponsel baru yang masih dalam kotaknya. Itu adalah ponsel yang mahal dan terlihat pita merah di sana. Jika aku ingat-ingat , dua hari lagi wanita itu memang berulang tahun. Aku mengabaika
Reuni SMA . Aku berdandan ke salon agar terlihat segar dan cantik. Aku memang tidak memiliki alat 𝑚𝑎𝑘𝑒𝑢𝑝 di rumah, kerena pemberian mas Arman selalu menekanku untuk berhemat. Aku tidak mungkin juga datang tanpa polesan di wajah sama sekali. Itu adalah acara penting, kan? Aku harus tampil lebih baik dari biasanya. Wajahku agak kusam karena kurang terawat, karena memang tidak ada dukungan untuk merawatnya. Mas Arman sering mengabaikanku hanya karena kami menikah disebabkan hutang nyawa ayahnya pada ayahku. Sehingga ia tidak peduli aku berdandan atau tidak. Tidak ada uang lebih sama sekali untukku. Bahkan, di acara tertentu ia lebih memilih pergi sendiri. Mungkin juga dengan Anita dan mengenalkan wanita itu sebagai istrinya. Sekarang aku punya uang itu darimana? Jawabannya adalah mama mertuaku yang baik hati, tidak pernah lupa memberi uang jajan padaku. Mungkin, itu perintah papa mertua juga. Walau, aku pun aneh juga sama sikapnya setelah percakapan waktu itu.
Aku menatap ponsel yang telah dirusak mas Arman. Aku tersenyum kecut melihat benda pipih yang sudah rusak itu."Ish, kau memang licik. Sudah ada bukti masih mau mengelak dan berusaha buat menyembunyikan bukti itu dari orangtuamu," gumamku. Sayang rasanya harga ponsel itu sangat mahal dan rusak dalam sekejap. Namun, aku tidak mau ambil pusing. Ponsel itu milik Anita bukan milikku. Mungkin saat wanita itu ulangtahun tiga hari lagi kado terindah akan diterimanya.***** Setelah keluar dari salon. Aku memilih menelpon Mala. Menyusun rencana. Beberapa 𝑓𝑖𝑙𝑒 sudah aku siapkan dalam sebuah 𝑚𝑎𝑝. Aku sengaja mencetak beberapa percakapan, foto dan memfotokopi buku nikah yang sebenarnya terasa merepotkan. Aku menunggu Mala sebelum pergi ke Kafe. Tidak jauh dari tempat yang kami janjikan. Ya, untuk membahas rencanaku pada dua sejoli itu aku harus seperti ini meskipun merepotkan. Mala adalah orang yang sangat kupercaya
Senja menyapa, angin berhembus menerpa pori-pori kulitku. Aku menatap kosong pemandangan di hadapanku. Aku tahu, dalam waktu dekat rumah ini tidak akan aku tempati lagi. Ah, rumah ini tak ada artinya bagiku. Karena istana yang sebenarnya telah hancur berkeping-keping. Wanita mana yang akan bertahan dengan seorang pria yang selalu berbohong. Walau, sebagian wanita bertahan untuk hal itu. Ya, mereka selalu bertahan demi anak walau tampak raut lelah untuk berjuang sendiri dalam hubungannya dengan suaminya, tapi apa yang bisa membuatku bertahan. Aku tidak memiliki keturunan, tapi hal itu membuatku lebih mudah untuk berpisah dengannya. Aku tidak akan pernah mempertahankan pria yang sudah melukaiku seperti ini. Pria yang seolah tanpa cela di keluarganya dan orang lain yang melihatnya. Ah, ternyata memang ia pandai bersandiwara di depan semua orang. Sehingga, orang lain menganggap akulah yang tidak tahu diuntung karena selalu berbuat ulah. Suara deru mobil terd
Aku menatap sekeliling kamar dan terpaku. Kali ini, untuk terakhir kalinya aku berada di kamar ini. Aku tidak peduli dengan yang dibicarakan tentang rumah ini. Semua akan menjadi masalah baru nantinya. Mas Arman masih uring-uringan, aku berjalan dengan koper yang berada digengaman."Mau kemana, kamu? Puas kamu buat aku tidak memiliki apapun, huh!" makinya."Aku mau pergi," jawabku datar."Kamu gak tahu diuntung. Harusnya kamu bersyukur aku mau nikahin kamu," celotehnya. Seolah ia menjadi suami yang baik bagiku."Oh ya, emmm.. Beruntung ya. Duh Mas, pikir pake otakmu. Gaji pembantu aja udah dua juta lebih. Kamu ngasih nafkah aku berapa? Kamu bilang itu beruntung," ucapku santai."Aku yakin, kamu gak bakal bisa hidup tanpa uangku," ujarnya percaya diri."Sayang sekali. Dugaan kamu salah, Mas. Aku justru akan terbebas dari pria licik sepertimu," tuturku."Jaga ucapanmu!" teriaknya. Tangan kekar itu mengangkat tapi tert
Aku menatap gedung di hadapanku. Menghela napas panjang dan membuang perlahan. Memijakan kaki untuk pertama kalinya."Maaf Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang keamanan disana."Saya ada panggilan 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑖𝑒𝑤, Pak." Jawabku. Penjaga pun mempersilahkanku masuk. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan menuju ruangan yang ditunjuk salah satu pegawai. Aku mengetuk pintu, meminta persetujuan dari pemilik ruangan."Masuk!" terdengar suara perintah dari dalam sana. Klek. Aku bergegas membuka pintu."Permisi, Pak! Saya Anisa Aryani." Ucapku pada seorang pria yang berdiri membelakangiku. Padahal ia tahu ada aku disini."Apa kabar, Nisa?" tanyanya. Membuat aku terkejut dengan apa yang ku lihat."Mas Akbar." lirihku."Silahkan duduk!" ucapnya. Ia tersenyum. Namun, membuatku sangat gugup. Saat ini adalah pertemuan pertamaku dengan pria itu setelah sekian la
Pulang kampung. Sebenarnya aku sudah ke sini bersama mas Akbar saat mudik lebaran kemarin. Saat ini aku pulang kampung juga karena lamaran. Mas Akbar hanya mengantar kami dan kembali pulang. Ia tidak bisa lama di sini. Lagipula ini hanya lamaran. Akan tetapi, ia tampak ragu untuk pergi."Kenapa?" tanyaku."Gak ada pria yang deket kamu lagi, kan?" tanyanya."Ya enggak lah. Cuman Fahmi aja, Mas.""Hehe," Hemmm, aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia takut jika aku punya kedekatan dengan pria lain. Sore hari dengan suasana khas pedesaan. Kami menyambut tamu undangan yang merupakan keluarga Fahmi. Aku menyaksikan lamaran adikku satu-satunya itu. Meski dalam suasana bahagia, aku mengingat almarhum ayahku. Entahlah, hatiku merasa sedih ketika melihat adikku. Saat Dania menikah nanti, ayahku tidak bisa menjadi wali untuk adikku itu.---- Sebulan kemudian. Kami pulang kampung lebih awal. Aku melihat Dania begitu cantik seperti Ratu di hari ini."Nisa eh Kakak ipar," uc
Aku mematung saat sampai di rumah ibu mertua. Ya, bagaimana tidak. Fahmi juga ada di antara yang lainnya. Ia nampak tersenyum penuh makna. Dengan bingung aku pun duduk di antara Dania dan ibuku."Kak," panggil Dania. "Ya," "Kita mau ngadain lamaran. Kakak pulang ya!" ucap Dania. Aku mengernyitkan kening."Loh, lamaran siapa?" tanyaku."Fahmi mau lamar Dania. Meskipun Dania masih kuliah. Lagipula Fahmi dan Dania kuliah di tempat yang sama meski beda fakultas. Mereka lebih sering bersama. Lebih baik dinikahkan saja." Jelas Ibu. Jika dipikir mereka semakin lengket. Terlebih Dania kuliah di tempat yang sama dengan jarak yang lumayan. Hemmm, mungkin dengan begitu ada yang menjaganya."Boleh Nisa ngobrol dulu sama Fahmi, Bu?" tanyaku. Manik mataku mengisyaratkan agar Fahmi mengikuti. Ia nampaknya tertunduk. Ya, elah. Apa dia mau membuat drama kalau aku calon kakak ipar yang galak."Jel
Hari ini aku memakai gaun berwana peach dengan hijab yang senada dipakai. Tidak lupa memasang korsase berwarna perak di dada sebelah kiri. Riasan wajah yang kupakai adalah sengaja memakai 𝑚𝑎𝑘𝑒𝑢𝑝 yang natural."Dek," panggil pria yang sudah beberapa tahun menjadi suamiku itu."Ya,""Gak salah,""Gak salah apanya?""Cantik banget,""Cuman rayuan supaya aku datang ke pesta dia, kan?" "Biar kamu gak salah paham lagi, Sayang.""Terserah, deh." Kami pun akan berangkat. Aira sudah ku titipkan di rumah ibu. Ya, Aira memang tidak suka keramaian dengan musik yang ber-𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 tinggi. Sehingga, mau tidak mau putriku harus dititipkan di rumah neneknya. Mas Akbar dengan tersenyum mempersilahkan ku masuk ke dalam mobil. Sepatu ber-hak tinggi ini memang membuatku sedikit pegal."Jangan maksain!" Sepertinya suamiku tahu apa yang aku pikirkan saat ini."Lah, kan mau ke pesta bukan mau jalan-jalan dengan baju kasual, Mas."
Membisu. Entah apa yang aku rasa saat ini. Pastinya aku tidak mau berbicara dengan pria bergelar suamiku itu. Bertahun-tahun aku pikir wanita itu tidak akan mengganggu kami lagi. Nyatanya, wanita itu mempunyai beragam cara agar mendapatkan mas Akbar. Sepanjang perjalanan aku membisu. Entah mengapa pria itu begitu peduli dengan Bianca. Seharusnya dia bersikap masa bodo dan pergi saja, bukan malah sok perhatian pada Bianca yang akhirnya ingin dinikahi saat itu juga."Sayang," panggilnya. Namun, tidak aku hiraukan."Dek," panggilnya lagi."Apa sih? Berisik!" Ucapku ketus."Kamu marah?" tanyanya. Udah tahu ekspresi wajah sekarang marah bukan ketawa senang malah nanya."Enggak," jawabku ketus."Maaf, Dek!" Ucapnya."Sejak kapan dia ganggu Mas lagi?" tanyaku."Sebulan yang lalu," jawabnya."Ya udah. Tuh nikahin dia!" "Ya enggak dong, Dek.""Bukannya peduli banget sama Bianca?
Di sebuah kamar dengan nuansa merah mudah. Aku menatap dengan bahagia. Ya, putri kecil berumur dua tahun baru saja terbangun dari tidurnya."Ekhem," suara mas Akbar menghentikan aktivitasku yang sedang memperhatikan putri kecil bernama Aira."Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku."Sekarang ada acara, tapi...,""Acara apa?" tanyaku."Acara pernikahan Bianca," jawab pria itu sedikit ragu. Nama yang diucapkan pria di hadapanku itu adalah nama wanita pernah mengejar mas Akbar. Lalu, untuk apa dia mengundang suamiku."Mas mau ke sana?" tanyaku."Aku gak mungkin ke sana tanpa izin kamu, Sayang,""Ya, datang aja. Toh, dia mau menikah sama orang lain bukan sama Mas,""Takutnya kamu cemburu, Dek. Atau kamu juga ikut deh,""Gak mungkin lah, Mas. Aira gak suka tempat ramai," tolakku. Aku Sebenarnya penasaran dengan wanita itu, tapi Aira tidak suka keramaian."Gak bakal marah?" tanyanya.
Rasa pusing menimpaku, sehingga membuat ibu mertua datang dan membantuku. Walau sekarang mas Akbar memperkerjakan pembantu harian yang bisa pulang saat sore harinya."Kita ke Dokter ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu.""Tapi, Bu. Anisa ngerepotin Ibu.""Nisa, gak ngerepotin Ibu loh." Mertuaku ini memanglah baik. Padahal dulu aku pernah bertanya pada ibu mertua mengapa sampai menerimaku. Aku yang tak punya apa-apa saat dilamar mas Akbar. Beliau hanya berkata "Harta itu bisa dicari. Kebahagian anak adalah utama. Ibu pun pernah mengalami pahitnya hidup. Karena itulah Akbar harus bisa hidup lebih baik dari kami," Aku pikir saat itu terpaksa menerimaku karena demi kebahagiaan mas Akbar, tapi saat ibu pernah mendengar aku membahas wanita yang mengejarnya itu pernah ditemui oleh mas Akbar ibu marah besar dan membelaku. "Untuk alasan apapun. Jangan pernah menemui wanita yang tidak lagi mempunyai urusan lagi? Apalagi dia menyukaimu," tegas ibu saat itu. Ibu mer
Keesokan harinya. Aku berpenampilan begitu rapi untuk pertama kalinya agar terlihat lebih cantik untuk mendampingi mas Akbar. Pria itu hanya tersenyum. "Mas gak bakal bawa mobil?" tanyaku heran. Bukannya tiada hari tanpa mengendarai mobilnya untuk bepergian."Mobilnya harus ke bengkel. Nanti malah lama," jawabnya. Aku hanya ber-oh ria setelah mendengar jawabannya."Masih ngambek?" tanyaku ketika melihat ia begitu cuek dan memilih memainkan gawainya."Gak juga," jawabnya dengan nada yang terdengar menyebalkan."Pak, jangan ke kantor! Ke penginapan aja," ujarnya pada pak supir. Sontak membuatku terkejut karena ucapannya. Hampir saja aku akan membuka suara. Mas Akbar malah melotot padaku. Membuatku merasa takut, tapi ingin tertawa. Sebenarnya apa yang direncanakan? Ia yang bilang harus ke kantor cepat, tapi malah entah kemana tujuan kami sekarang. Sampailah di sebuah Hotel yang terkenal. Aku menatap penuh tanya. Ya, pikiran yang tidak bisa ditebak.
Mentari menyambut hari ini, aku mogok bicara saat ini, meskipun aku menyiapkan semua keperluan Mas Akbar. Hanya ada peralatan dapur yang bersuara pagi ini."Dek," panggilnya. Aku tak menjawab dan lebih memilih fokus dengan apa yang ada di hadapanku."Anisa!" panggilnya lagi. Masih tetap kuabaikan. Kini aku menyiapkan minum untuk mas Akbar dan tak menoleh sedikitpun pada orang yang sedari tadi memanggilku, bahkan menggangguku saat menyiapkan sarapan."Dek, maafkan Mas!" ucapnya lirih. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku. "Lepas Mas. Ingat syaratku!" tegasku. Sebenarnya aku mulai tak peduli dengan syarat itu, tapi sikapnya membuatku kesal. Ia pun menjauh dengan wajah masam, kemudian duduk dengan wajah yang di tekuk. "Aku sudah siapkan semuanya," kataku dan melangkah untuk meninggalkan dapur."Maaf Dek!" Aku tak menjawab atau pun menoleh. Sakit rasanya jika mengingat hari kemarin. Dia merasa seolah aku yang m
Satu bulan sudah kami menikah. Begitu kaku hubungan ini. Aku yang tak tahu harus berbuat apa. Untuk pertama kalinya aku akan mencoba membuatnya senang. Mungkin sebuah kejutan. Aku mengunjungi kantor mas Akbar yang dulu adalah tempat bekerjaku. Karyawan yang mengenalku menyapa dengan hangat dan menanyakan kabar serta tujuanku kantor. Mereka terkejut dan tak percaya aku menikah dengan mas Akbar. Aku lebih memilih bergegas menemui suamiku itu. Namun, sebelum ku mengetuk. "Kamu kenapa menikah dengan dia?" tanya wanita itu, "Kamu pun tahu aku cinta sama kamu." sambungnya. Aku tahu wanita itu adalah wanita di pesta Desi. Ya, wanita yang selalu mengejar mas Akbar itu berani datang ke kantor suamiku dan bahkan masuk ke dalam ruangan yang pastinya hanya ada mas Akbar disana. Aku membuka pintu kasar. Tampak keterkejutan di wajah mereka."Waw...hebat. Aku yang mau ngasih kejutan ternyata terbalik," ucapku ketus, "aku cukup terkejut dengan pemand