Aku menatap gedung di hadapanku. Menghela napas panjang dan membuang perlahan. Memijakan kaki untuk pertama kalinya.
"Maaf Mbak, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang keamanan disana."Saya ada panggilan πππ‘πππ£πππ€, Pak." Jawabku. Penjaga pun mempersilahkanku masuk. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan menuju ruangan yang ditunjuk salah satu pegawai. Aku mengetuk pintu, meminta persetujuan dari pemilik ruangan."Masuk!" terdengar suara perintah dari dalam sana. Klek. Aku bergegas membuka pintu."Permisi, Pak! Saya Anisa Aryani." Ucapku pada seorang pria yang berdiri membelakangiku. Padahal ia tahu ada aku disini."Apa kabar, Nisa?" tanyanya. Membuat aku terkejut dengan apa yang ku lihat."Mas Akbar." lirihku."Silahkan duduk!" ucapnya. Ia tersenyum. Namun, membuatku sangat gugup. Saat ini adalah pertemuan pertamaku dengan pria itu setelah sekian laKebangkrutan keluargaku dan sakitnya ayah. Membuat aku terbiasa untuk hidup secukupnya. Apalagi saat aku tinggal bersama suamiku yang perhitungan itu. Aku memulai kembali mengumpulkan apa yang aku butuhkan dengan uang yang aku dapatkan setelah aku bekerja. Saat ini, aku bersandar pada sandaran kursi. Sudah lama aku memang tidak melihat akunku yang baru itu.[Akhirnya, bayi kami lahir dengan selamat,] tutur Anita pada ππππ‘πππ di salah satu postingan foto miliknya. Aku pun menutup kembali akun itu. Postingan itu terlihat jika ia melahirkan setelah aku pergi dari rumah selama empat bulan. Aku melihat wajah kecil itu. Sekilas memang tidak terlihat sedikit pun yang mirip dengan mas Arman, tapi untuk apa aku peduli. ----- Sebuah suara notifikasi pesan terdengar olehku."Ini, bukannya mantan mama mertua?" gumamku, saat melihat nomor yang tampil di notifikasi. Aku pun membaca pesan mama mer
Dalam hening, aku masih memikirkan perkataan mas Akbar. 'Apakah aku bisa menerima dirinya?' tanya hatiku. Aku pun tidak tahu jawabannya. Sebuah notifikasi membuat aku pun mengecek benda pipihku itu.[Nisa, bisakah besok bertemu denganmu?] tanya mas Akbar dalam pesan itu.[Ya.] jawabku setelah beberapa menit memikirkan jawabannya. Aku tidak mengerti, pria itu datang tiba-tiba dalam keterpurukanku. Aku pun mulai menyesali penolakanku. Jika saat ini aku menerimanya itu tak akan sama seperti dulu. Apakah ia melupakan apa yang terjadi dulu?---- Pertemuan di luar pekerjaan untuk pertama kali. Walau sebelumnya, kami selalu makan siang bersama. Akan tetapi itu saat kami berada di kantor dan makan tak jauh dari tempat kami bekerja. Aku bersiap diri, melihat penampilanku di hadapan cermin. 'Pantaskah aku bersanding dengan pria lajang itu, nanti?' umpat batinku. Suara mobil berhenti di pel
Di sebuah taman. Aku menunggu pria yang telah mengisi hariku itu. Mas Akbar berjanji akan bertemu denganku di tempat ini."Hai, Nisa!" sapanya. Aku tidak menyadari saat ia datang."Melamun?" tanyanya."Tidak kok, Mas." Jawabku."Apa yang kau pikirkan, Nisa?" tanya Mas Akbar."Kau benar-benar akan menikahiku, Mas?" aku pun balik bertanya."Tentu saja. Sepertinya kau masih ragu. Mas paham ini terlalu cepat, tapi itu bukti bahwa Mas serius padamu," tuturnya."Bagaimana dengan ibuku atau orang tua Mas Akbar?" tanyaku."Aku akan datang bersama kedua orangtuaku, Nisa." Jawabnya."Kapan, Mas?""Minggu depan. Mas janji!" Jawabnya. Ia memang selalu meyakinkan hati yang penuh dengan keraguan ini. Ia tersenyum padaku. Senyum yang membuat aku tidak pernah melupakannya."Kita makan, yuk!" ajaknya padaku. Aku pun mengangguk setuju. Ia menggenggam tangan ini dan seolah menghipnotis di
Aku menatap nanar pria yang saat ini di hadapanku itu. Tidak ada dendam di hati ini padanya. Yang ada rasa kasihan pada pria yang pernah berlabuh di hatiku itu, meskipun hanya sesaat."Mas Arman!" seruku tak percaya. Ia menghampiriku. Membuat aku berdiri setengah takut, tapi ia berlutut padaku."Aku minta maaf! Kembalilah, Nisa!" pintanya memelas, seperti memelas yang dibuat-buat."Aku tidak mau. Kau ingin aku kembali atau hartamu yang kau harap kembali," ucapku sinis. Bisa jadi semua yang ia ucapkan terpaksa, karena semua aset diambil papanya."Aku salah. Anita berbohong, Nisa." ungkapnya dengan lesu. Ish, aku sudah bilang, tapi tak percaya. Aku tidak peduli juga sih, dia sudah bukan siapa-siapa bagiku."Aku tahu. Tapi jangan pernah dengan mudahnya meninggalkan wanita atau menyakiti wanita lagi, Mas!" imbuhku dengan penuh penekanan. Walau bagaimanapun semua tak akan kembali seperti semula. Hubungan kami itu seperti cermi
Jantungku berpacu, saat melangkahkan kaki ke tempat resepsi Desi dan pasangannya. Aku merasa gelisah tak karuan. Entah apa yang akan terjadi saat ini. Beberapa orang yang mengenaliku memandangku. Aku merasakan panas di telinga dan pipiku. Sepertinya mereka tengah mengumpat karena melihat penampilanku saat ini."Cantik ya, pas jadi π πππππ," bisik seseorang yang ada di sana dan terdengar olehku."Anisa!" pekik pria yang tak asing bagiku. Bima berjalan ke arahku."Kamu cantik banget," ujarnya memuji."Makasih, Bim! Aku ke Desi dulu," imbuhku langsung berjalan dan menarik lengan Mala. Aku melihat Desi sangatlah cantik dengan gaun pengantin modern yang dikenakannya. Sekilas aku pun teringat pernikahanku yang tidak diketahui orang lain, tapi aku berusaha menepis kenangan itu."π»ππππ¦ π€ππππππ πππ¦, Des!""Akhirnya, kamu nongol juga. Tenang! Anita gak bakal dateng," imbuhnya. Aku hanya mengan
Jantungku berpacu, saat melangkahkan kaki ke tempat resepsi Desi dan pasangannya. Aku merasa gelisah tak karuan. Entah apa yang akan terjadi saat ini. Beberapa orang yang mengenaliku memandangku. Aku merasakan panas di telinga dan pipiku. Sepertinya mereka tengah mengumpat karena melihat penampilanku saat ini."Cantik ya, pas jadi π πππππ," bisik seseorang yang ada di sana dan terdengar olehku."Anisa!" pekik pria yang tak asing bagiku. Bima berjalan ke arahku."Kamu cantik banget," ujarnya memuji."Makasih, Bim! Aku ke Desi dulu," imbuhku langsung berjalan dan menarik lengan Mala. Aku melihat Desi sangatlah cantik dengan gaun pengantin modern yang dikenakannya. Sekilas aku pun teringat pernikahanku yang tidak diketahui orang lain, tapi aku berusaha menepis kenangan itu."π»ππππ¦ π€ππππππ πππ¦, Des!""Akhirnya, kamu nongol juga. Tenang! Anita gak bakal dateng," imbuhnya. Aku hanya mengan
*** Sebuah mobil terparkir di pelataran rumah seseorang. Seorang pria memperhatikan rumah tersebut."Cari siapa, Mas?" tanya salah satu warga yang sedari tadi memperhatikan tingkah pria itu."Emmm, saya cari Anisa yang ngontrak disini, Bu." jawabnya."Tadi pagi pergi, Mas." Jelas wanita itu."Kira-kira ada informasi mau kemana gitu, Bu?" tanya pria itu antusias."Gak ada, Mas. Malah kontrakannya mau ditawarin lagi ke yang lain. Mbak Nisa nya pindah, tapi gak bilang kemana." Jelas ibu-ibu itu lagi."Ya sudah! Terimakasih, Bu." ucap pria yang tidak lain adalah Akbar. Ia pamit dan meninggalkan tempat itu. Akbar kembali ke mobilnya. Memukul stir dengan kesal. Ada rasa sesal dalam dada, saat wanita itu pergi darinya untuk kedua kalinya. Ia sadar, telah menoreh luka di hati Anisa. Dendam yang seharusnya dilupakan saja, membuat ia benar-benar kehilangan orang yang sebenarnya masih ada di lubuk hatinya.
Langit senja, menyirat kerinduan dan hilangnya asa. Aku seakan terdampar setelah terombang ambing dalam laut kebimbangan."Kak Nisa!" seru Nia di ambang pintu. "Ya," jawabku."Kak Fahmi tuh, dateng. Katanya, Kakak ada janji mau ngelamar kerja di kantornya," imbuh Nia. Ah, begitu cepatnya pria itu datang kemari. Padahal, baru malam aku memberitahunya tentang aku yang ingin bekerja lewat pesan yang kirim padanya. Entah mengapa Nia pun memiliki nomor pria itu, tapi itu jadi mempermudah untuk meminta bantuan padanya."Eh, iya. Suruh duduk dulu aja! Ambilin minum juga!" titahku."Iya Kak," jawab Nia. Aku pun merapikan diri dan segera ke teras. Terlihat Fahmi-teman SDku duduk di kursi teras."Hai!" sapaku."Hai, juga. Apa kabar, Nis?" tanyanya."Baik, sih. Jenuh nih gak ada kerjaan. Makanya, aku mau minta tolong sama kamu," jawabku."Oke, aku ngerti." Dania menghampiri ka
Pulang kampung. Sebenarnya aku sudah ke sini bersama mas Akbar saat mudik lebaran kemarin. Saat ini aku pulang kampung juga karena lamaran. Mas Akbar hanya mengantar kami dan kembali pulang. Ia tidak bisa lama di sini. Lagipula ini hanya lamaran. Akan tetapi, ia tampak ragu untuk pergi."Kenapa?" tanyaku."Gak ada pria yang deket kamu lagi, kan?" tanyanya."Ya enggak lah. Cuman Fahmi aja, Mas.""Hehe," Hemmm, aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia takut jika aku punya kedekatan dengan pria lain. Sore hari dengan suasana khas pedesaan. Kami menyambut tamu undangan yang merupakan keluarga Fahmi. Aku menyaksikan lamaran adikku satu-satunya itu. Meski dalam suasana bahagia, aku mengingat almarhum ayahku. Entahlah, hatiku merasa sedih ketika melihat adikku. Saat Dania menikah nanti, ayahku tidak bisa menjadi wali untuk adikku itu.---- Sebulan kemudian. Kami pulang kampung lebih awal. Aku melihat Dania begitu cantik seperti Ratu di hari ini."Nisa eh Kakak ipar," uc
Aku mematung saat sampai di rumah ibu mertua. Ya, bagaimana tidak. Fahmi juga ada di antara yang lainnya. Ia nampak tersenyum penuh makna. Dengan bingung aku pun duduk di antara Dania dan ibuku."Kak," panggil Dania. "Ya," "Kita mau ngadain lamaran. Kakak pulang ya!" ucap Dania. Aku mengernyitkan kening."Loh, lamaran siapa?" tanyaku."Fahmi mau lamar Dania. Meskipun Dania masih kuliah. Lagipula Fahmi dan Dania kuliah di tempat yang sama meski beda fakultas. Mereka lebih sering bersama. Lebih baik dinikahkan saja." Jelas Ibu. Jika dipikir mereka semakin lengket. Terlebih Dania kuliah di tempat yang sama dengan jarak yang lumayan. Hemmm, mungkin dengan begitu ada yang menjaganya."Boleh Nisa ngobrol dulu sama Fahmi, Bu?" tanyaku. Manik mataku mengisyaratkan agar Fahmi mengikuti. Ia nampaknya tertunduk. Ya, elah. Apa dia mau membuat drama kalau aku calon kakak ipar yang galak."Jel
Hari ini aku memakai gaun berwana peach dengan hijab yang senada dipakai. Tidak lupa memasang korsase berwarna perak di dada sebelah kiri. Riasan wajah yang kupakai adalah sengaja memakai πππππ’π yang natural."Dek," panggil pria yang sudah beberapa tahun menjadi suamiku itu."Ya,""Gak salah,""Gak salah apanya?""Cantik banget,""Cuman rayuan supaya aku datang ke pesta dia, kan?" "Biar kamu gak salah paham lagi, Sayang.""Terserah, deh." Kami pun akan berangkat. Aira sudah ku titipkan di rumah ibu. Ya, Aira memang tidak suka keramaian dengan musik yang ber-π£πππ’ππ tinggi. Sehingga, mau tidak mau putriku harus dititipkan di rumah neneknya. Mas Akbar dengan tersenyum mempersilahkan ku masuk ke dalam mobil. Sepatu ber-hak tinggi ini memang membuatku sedikit pegal."Jangan maksain!" Sepertinya suamiku tahu apa yang aku pikirkan saat ini."Lah, kan mau ke pesta bukan mau jalan-jalan dengan baju kasual, Mas."
Membisu. Entah apa yang aku rasa saat ini. Pastinya aku tidak mau berbicara dengan pria bergelar suamiku itu. Bertahun-tahun aku pikir wanita itu tidak akan mengganggu kami lagi. Nyatanya, wanita itu mempunyai beragam cara agar mendapatkan mas Akbar. Sepanjang perjalanan aku membisu. Entah mengapa pria itu begitu peduli dengan Bianca. Seharusnya dia bersikap masa bodo dan pergi saja, bukan malah sok perhatian pada Bianca yang akhirnya ingin dinikahi saat itu juga."Sayang," panggilnya. Namun, tidak aku hiraukan."Dek," panggilnya lagi."Apa sih? Berisik!" Ucapku ketus."Kamu marah?" tanyanya. Udah tahu ekspresi wajah sekarang marah bukan ketawa senang malah nanya."Enggak," jawabku ketus."Maaf, Dek!" Ucapnya."Sejak kapan dia ganggu Mas lagi?" tanyaku."Sebulan yang lalu," jawabnya."Ya udah. Tuh nikahin dia!" "Ya enggak dong, Dek.""Bukannya peduli banget sama Bianca?
Di sebuah kamar dengan nuansa merah mudah. Aku menatap dengan bahagia. Ya, putri kecil berumur dua tahun baru saja terbangun dari tidurnya."Ekhem," suara mas Akbar menghentikan aktivitasku yang sedang memperhatikan putri kecil bernama Aira."Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku."Sekarang ada acara, tapi...,""Acara apa?" tanyaku."Acara pernikahan Bianca," jawab pria itu sedikit ragu. Nama yang diucapkan pria di hadapanku itu adalah nama wanita pernah mengejar mas Akbar. Lalu, untuk apa dia mengundang suamiku."Mas mau ke sana?" tanyaku."Aku gak mungkin ke sana tanpa izin kamu, Sayang,""Ya, datang aja. Toh, dia mau menikah sama orang lain bukan sama Mas,""Takutnya kamu cemburu, Dek. Atau kamu juga ikut deh,""Gak mungkin lah, Mas. Aira gak suka tempat ramai," tolakku. Aku Sebenarnya penasaran dengan wanita itu, tapi Aira tidak suka keramaian."Gak bakal marah?" tanyanya.
Rasa pusing menimpaku, sehingga membuat ibu mertua datang dan membantuku. Walau sekarang mas Akbar memperkerjakan pembantu harian yang bisa pulang saat sore harinya."Kita ke Dokter ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu.""Tapi, Bu. Anisa ngerepotin Ibu.""Nisa, gak ngerepotin Ibu loh." Mertuaku ini memanglah baik. Padahal dulu aku pernah bertanya pada ibu mertua mengapa sampai menerimaku. Aku yang tak punya apa-apa saat dilamar mas Akbar. Beliau hanya berkata "Harta itu bisa dicari. Kebahagian anak adalah utama. Ibu pun pernah mengalami pahitnya hidup. Karena itulah Akbar harus bisa hidup lebih baik dari kami," Aku pikir saat itu terpaksa menerimaku karena demi kebahagiaan mas Akbar, tapi saat ibu pernah mendengar aku membahas wanita yang mengejarnya itu pernah ditemui oleh mas Akbar ibu marah besar dan membelaku. "Untuk alasan apapun. Jangan pernah menemui wanita yang tidak lagi mempunyai urusan lagi? Apalagi dia menyukaimu," tegas ibu saat itu. Ibu mer
Keesokan harinya. Aku berpenampilan begitu rapi untuk pertama kalinya agar terlihat lebih cantik untuk mendampingi mas Akbar. Pria itu hanya tersenyum. "Mas gak bakal bawa mobil?" tanyaku heran. Bukannya tiada hari tanpa mengendarai mobilnya untuk bepergian."Mobilnya harus ke bengkel. Nanti malah lama," jawabnya. Aku hanya ber-oh ria setelah mendengar jawabannya."Masih ngambek?" tanyaku ketika melihat ia begitu cuek dan memilih memainkan gawainya."Gak juga," jawabnya dengan nada yang terdengar menyebalkan."Pak, jangan ke kantor! Ke penginapan aja," ujarnya pada pak supir. Sontak membuatku terkejut karena ucapannya. Hampir saja aku akan membuka suara. Mas Akbar malah melotot padaku. Membuatku merasa takut, tapi ingin tertawa. Sebenarnya apa yang direncanakan? Ia yang bilang harus ke kantor cepat, tapi malah entah kemana tujuan kami sekarang. Sampailah di sebuah Hotel yang terkenal. Aku menatap penuh tanya. Ya, pikiran yang tidak bisa ditebak.
Mentari menyambut hari ini, aku mogok bicara saat ini, meskipun aku menyiapkan semua keperluan Mas Akbar. Hanya ada peralatan dapur yang bersuara pagi ini."Dek," panggilnya. Aku tak menjawab dan lebih memilih fokus dengan apa yang ada di hadapanku."Anisa!" panggilnya lagi. Masih tetap kuabaikan. Kini aku menyiapkan minum untuk mas Akbar dan tak menoleh sedikitpun pada orang yang sedari tadi memanggilku, bahkan menggangguku saat menyiapkan sarapan."Dek, maafkan Mas!" ucapnya lirih. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku. "Lepas Mas. Ingat syaratku!" tegasku. Sebenarnya aku mulai tak peduli dengan syarat itu, tapi sikapnya membuatku kesal. Ia pun menjauh dengan wajah masam, kemudian duduk dengan wajah yang di tekuk. "Aku sudah siapkan semuanya," kataku dan melangkah untuk meninggalkan dapur."Maaf Dek!" Aku tak menjawab atau pun menoleh. Sakit rasanya jika mengingat hari kemarin. Dia merasa seolah aku yang m
Satu bulan sudah kami menikah. Begitu kaku hubungan ini. Aku yang tak tahu harus berbuat apa. Untuk pertama kalinya aku akan mencoba membuatnya senang. Mungkin sebuah kejutan. Aku mengunjungi kantor mas Akbar yang dulu adalah tempat bekerjaku. Karyawan yang mengenalku menyapa dengan hangat dan menanyakan kabar serta tujuanku kantor. Mereka terkejut dan tak percaya aku menikah dengan mas Akbar. Aku lebih memilih bergegas menemui suamiku itu. Namun, sebelum ku mengetuk. "Kamu kenapa menikah dengan dia?" tanya wanita itu, "Kamu pun tahu aku cinta sama kamu." sambungnya. Aku tahu wanita itu adalah wanita di pesta Desi. Ya, wanita yang selalu mengejar mas Akbar itu berani datang ke kantor suamiku dan bahkan masuk ke dalam ruangan yang pastinya hanya ada mas Akbar disana. Aku membuka pintu kasar. Tampak keterkejutan di wajah mereka."Waw...hebat. Aku yang mau ngasih kejutan ternyata terbalik," ucapku ketus, "aku cukup terkejut dengan pemand