Saat ini, aku menuruti perkataan Mala. Aku membuat akun dan mencoba berteman dengannya. Tentu saja, aku memakai wajah pria tampan dengan alamat yang palsu juga. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu , ia pun membalas menerimanya. Sepertinya dia sedang ππππππ.
[Makasih, Cantik.] pesanku pada akun Anita.[Sama-sama, Ganteng.] aku pun mual membacanya. Aku melihat linimasa miliknya. Terdapat foto-foto yang terpampang. Ada pula foto yang mungkin bagi pria foto itu menggoda iman mereka, termasuk suamiku.[ Aku senang hari ini jalan-jalan dengan suamiku.] ujarnya dalam sebuah status.[Akhirnya. Walau aku pernah pergi darimu, tapi aku kembali padamu.] Aku menautkan alis, karena tak mengerti dengan statusnya.[Aku hamil dan aku senang sekali, karena suamiku yang sekarang itu selalu manjain aku.] kiriman itu lima bulan yang lalu. Aku terus menelusuri linimasa Anita, hingga terpampang jelas foto mas Arman dan Anita. Itu terkirim satu tahun yang lalu. Membuat dada ini sesak saat membaca tulisan dalam postingan itu.[Kita pernah berpisah. Aku senang kita bersama lagi.] ujarnya dalam caption di foto itu. Aku hanya menerka-nerka. Mungkin saja Anita mantan mas Arman saat kuliah bahkan sampai hari kemarin kami memang jarang bertemu. Sehingga, sekarang mereka kembali bersama tanpa ku tahu. Mungkinkah Anita tahu hubunganku dengan mas Arman? Jika tahu, mengapa Anita tega mengkhianatiku dengan menjadi wanita simpanan mas Arman saat ini. Aku menutup aplikasi dengan rasa kesal. Sanggupkah aku mengumpulkan bukti? sementara baru seperti ini saja aku teramat kecewa. Sanggupkah aku bersabar? Sedangkan, rasanya aku ingin memasukan suamiku itu ke kandang singa atau buaya. Gemas rasanya, ketika mengingat mas Arman menyangkal hubungannya dengan Anita. Saat diam, tiba-tiba aku mengingat akun milik mas Arman. Aku mencoba mencari informasi di linimasa suamiku itu, tapi tidak ada apapun disana. Aku pun mencari teman akunnya dan aku terkejut. Akunku yang dulu tidak ada di daftar itu dan akun Anita ada disana. Rupanya ia tahu kalau aku jarang menggunakan akun di aplikasi itu. Mas Arman pasti mengambil kesempatan untuk menutupi hubungan kami. Agar temanku dan Anita tidak curiga. Aku akui memang tidak ada yang tahu tentang hubungan Kami.***** Siang ini, aku memainkan gawai lamaku. Mas Arman duduk di sampingku. Sepertinya bersiap untuk bicara."Ada apa, Mas?" tanyaku padanya."Nisa, bisakah kau berhenti menggunakan aplikasi itu?" tuturnya, membuatku heran."Mas, ini kan cuman hiburan pas waktu senggang. Biar aku gak kesepian." Jelasku."Tapi, Mas cemburu kamu terlalu melayani pesan teman-temanmu." Jelasnya. Hal itu membuatku senang. Berarti mas Arman mencintaiku."Banyaknya perempuan kok, Mas." Jawabku seadanya."Dek,""Nisa pikirin dulu deh, Mas." Ucapku dan aku pun pergi menuju kamar. Esoknya, aku mencari ponselku itu yang entah dimana. Aku lupa menyimpan setelah makan malam."Cari apa?" tanya Mas Arman."Ponselku, Mas." Jawabku."Mas lihat di bawah meja ada yang warna biru gitu. Mas gak tahu apa jadi gak liat jelas." Jelasnya.Aku pun bergegas melihat ke bawah meja. Benar saja ponselku tergeletak disana dengan keadaan layar yang retak dan mati."Mas, ponsel Nisa rusak." Ucapku. Aku berharap, ia menggantinya dengan yang baru."Kamu benerin aja sendiri," tukasnya. Pasti ia tidak ingin mengeluarkan uang lebih untuk memperbaiki ponselku.Memang sangat pelit suamiku itu. Mas Arman selalu menjatah uang semaunya setelah delapan bulan menikah."Potong uang bulanan, Mas. Nanti aku gak bisa hubungi ibu," Imbuhku. Ia pun memberi tiga lembar uang merah. Entah cukup atau tidak, berharap uang itu cukup."Jatah kamu dipotong bulan depan," ujarnya. Ingin ku mencubit ginjal suamiku itu."Dicicil tiga kali, Mas. Aku harus bayar ini itu. Ayolah!" Ucapku memelas."Baiklah," jawabnya.Mas Arman memang seperti itu. Istri minta lebih aja jadi hutang. Setelah perbaikan ponsel. Aku tak bisa masuk ke akunku itu. Aku melupakan kata sandi akunku. Dengan sangat terpaksa aku pun tidak menggunakannya, karena malas jika harus membuat yang baru.***** Jika aku mengingat kejadian itu. Mungkin saja, mas Arman mengganti kata sandinya dan berusaha merusak ponselku itu. Selama ini mereka bermain di belakangku dengan sangat rapi. Sehingga, aku baru mengetahui setelah beberapa bulan. Apa mungkin juga jauh sebelum enam bulan itu mereka pun menjalin hubungan itu.----- Pagi ini aku terkejut mendengar suara mobil berhenti. Ya, suara mobil mas Arman yang sekarang hampir jadi "Bang Toyib" itu. Dia akan pergi dan pulang semaunya atau malah menghilang tanpa kabar."Mas," seruku."Hemmm, kamu siap-siap! Papa nyuruh kita ke rumahnya." titahnya."Iya Mas," jawabku. Aku pun membisu saat ia lewat di hadapanku. Tercium parfum wanita dan aku yakin itu milik Anita, karena postingan itu sudah jelas bagiku. "Cepetan! Jangan bengong!" bentaknya, membuatku terkejut. Jika aku punya penyakit jantung, mungkin aku akan terkena serangan jantung karena saking terkejutnya."Iya, Mas." Jawabku. Aku bergegas menuju kamar, ia juga ke kamar. Namun, ia hanya mengambil baju dan entah menggantinya dimana. Ia mungkin tidak ingin yang lain tahu kelakuannya. Ia pikir aku tidak tahu tentang perilakunya. Hanya saja, aku mencoba diam dan tenang. Seperti wanita lemah tak berdaya. Semakin ia berbuat ulah, semakin aku bisa membuktikan pada keluarga tersayangnya bahwa pria yang selama ini mereka bela dan selalu menanyakan karakterku. Ya, mereka selalu menganggap aku ini selalu menjadi masalah bagi suamiku itu. Aku dianggap selalu mempermalukan suamiku dan anggapan lainnya yang membuat kesabaran ini berubah menjadi rasa muak, karena terlalu sering mendengarnya dari mulut keluarga mas Arman termasuk ibu mertua. Mereka bahkan selalu menggunjingku, karena aku yang belum memiliki anak. Menyebalkan, bukan? Itulah yang diharapkan mereka. Dengan tanpa sadar menoreh luka dengan segala ucapan dan umpatan. Mereka mungkin akan terkejut dengan kenyataan yang akan mereka terima. Kenyataan yang merupakan kebenaran tentang pria yang selalu dipercaya itu. Dalam mobil yang mempunyai penyejuk udara pun aku malah merasakan gerah. Mungkin, saking kesalnya pada pria yang ada di sampingku itu."Saat di hadapan papa. Bilang saja, hubungan kita baik-baik saja!" imbuhnya."Iya, Mas." Jawabku."Awas kalau kamu berani menjelek-jelekanku di depannya Masih beruntung aku setuju menikah denganmu," cecarnya. Beruntung apanya? Terkadang pria itu selalu membanggakan diri sendiri dan menganggap pasangan beruntung, karena telah memilikinya. Namun, tak pernah menyadari apapun kekurangannya pada pasangan."Mas, sebenarnya ada apa? Kenapa papa manggil kita?" tanyaku yang merasa heran."Aku gak tahu. Sudahlah! Bersikap biasa saja! Anggap aja kita gak ada masalah apapun," tukasnya. Aku tahu pasti ada hal yang sangat serius yang akan dibicarakan oleh orangtua mas Arman. Papa mertua tidak mungkin tanpa alasan memanggil kami berdua dan harus datang.Mobil terparkir di depan rumah mertua dan kami pun berjalan menuju ambang pintu. Aku merasakan hangat sikapnya, tapi aku yakin ini hanya akal-akalannya saja. Ia pasti mengadu pada orang tuanya, agar tetap terlihat benar di mata keluarganya itu. Aku perempuan, tapi aku tidak pernah mengadu pada ibuku. Meskipun, aku merasakan peliknya hidupku saat bersuamikan mas Arman. Terlihat papa dan mama mertua menunggu di sofa ruang tamu. Kami mengucap salam kemudian dijawab oleh mereka. Aku mencium takzim tangan kedua orang tua mas Arman itu. Aku berusaha tenang dan kami duduk berdampingan. Entah apa yang akan mereka bicarakan? Raut wajah papa mertuaku itu cukup serius saat ini. Semoga saja apapun itu aku bisa menghadapinya saat ini. Aku tidak ingin lagi disalahkan untuk apa yang tidak aku lakukan."Jadi, tanpa basa-basi. Papa mau tahu, masalah kalian ada apa? Sampai mamanya Arman marah-marah ke Papa," cecar Papa setelah kami duduk. Aku menunduk
Hari-hari berlalu dan aku terpaku meratapi nasib. Namun, aku masih saja tidak mengerti, untuk apa ia bertahan denganku. Apa yang terjadi aku tidak tahu. Pernikahan ini memang bukan keinginan kami berdua, melainkan keinginan orang tua kami. Namun, tidak sepatutnya ia bersikap begitu. Seolah diri ini hanya menumpang hidup dan menjadi benalu baginya atau ia malah membuatku seperti pembantu di rumahnya. Aku pun mulai berpikir tentang masalah anak adalah syarat orangtuanya agar mendapat warisan. Karena aku memang pernah mendengar jika kami memiliki anak, maka kami akan mendapatkannya lebih awal.***** Lorong bercat putih. Disinilah aku saat ini. Aku menunduk lesu, saat orang yang aku kasihi berada di antara pasien-pasien di gedung ini. Ibu tampak tak kuasa menahan tangis. Beliau memang istri yang setia. Tidak ada pertengkaran hebat yang terdengar selama ini saat aku berada di rumah. "Maaf! Apa ini dengan keluarga pak Andi?" seorang pria paruh baya menghampiri dan bertanya
Sore ini aku dan Mala mendatangi salah satu Kafe. Mala yang mendengar ceritaku saat di perjalanan merasa iba padaku. Ya, jalan hidupku setelah menikah dan meninggalkannya ayahku begitu memilukan."Beneran kamu diperlakukan gak bener sama suami kamu? Meskipun gak pernah maen tangan sih, tapi itu gak wajar banget. Royal ke si Anita. Lah, ke kamu malah ngasih segitu. Rumah gede gitu listrik aja udah berapa? belum ini itu," cerocos Mala yang tak bisa direm."Aku gak punya uang buat ketemu di Kafe, Mal. Si Aldo malah ngajak di Kafe. Pusing aku," ujarku sambil berjalan menuju Kafe yang dijanjikan."Lah, kan ada Mala. Kamu mau pesan apa aja? Aku teraktir," ucap Mala tersenyum. Aku hanya mengangguk setuju saja. Aku merasa beruntung dan lega bisa bertemu dengan gadis cerewet tapi sangat baik itu. Ia yang membuat pikiranku terbuka disaat aku benar-benar terluka. Aku memang tak punya uang untuk pertemuan kami, karena jatah Mas Arman yang tidak mungkin langsung habis beberapa hari. Harga
Siang ini, aku sibuk berada di dapur dengan memasak makanan seadanya. Mas Arman terdengar masuk tanpa mengetuk, aku bahkan tak peduli pada kedatangan dirinya."Nisa!" serunya dari jauh kemudian menghampiriku."Ya," sahutku datar."Oh ya, Mas. Besok minggu aku mau ke reuni," imbuhku dengan santainya, sembari menuangkan air minum. Aku sengaja mengatakan hal itu dan lihatlah raut wajah tak terima itu."Apaan ikutan reuni? Yang ada ngehamburin uang," ketusnya. Padahal aku tidak pernah kemana-mana, selain untuk belanja keperluan rumah. 'Dasar pelit bin medit.' umpatku dalam hati."Sekali aja, Mas. Ada reuni SMA. Katanya sih, Anita juga bawa suaminya. Berarti aku salah sangka ya, waktu pas liat Mas sama dia." celotehku. Mas Arman seolah menyembunyikan rasa terkejutnya. "Ayolah!" rengekku."Bawel amat! Aku sibuk." ketusnya lagi."Ayolah!" rengekku lagi, walau aku tahu jawabannya."Aku bilang tidak, ya t
Malam ini, mas Arman tidak menampakan batang hidungnya. Aku tahu, ia akan bersiap untuk besok di acara tersebut. Bukan bersiap untuk pergi denganku. Melainkan untuk pergi bersama Anita. Itu berarti, ada kesempatan untukku mengambil ponsel yang disita mas Arman. Hati ini begitu yakin, ponsel itu disimpan di dalam laci mejanya, karena aku mencari keseluruh kamar dan tak ada disana dan tempat rahasia yang tidak boleh aku ganggu adalah ruang kerja mas Arman. Aku mencari kunci laci yang selalu dikunci olehnya. Sampai aku benar-benar hampir menyerah. Namun, aku teringat saat ia berusaha melepas pigura yang ada di dinding dan benar saja, pria itu menyembunyikan kunci laci di antara benda itu dan dinding. Klek , kunci terbuka. Aku melihat ponselku disana, tapi ada juga ponsel baru yang masih dalam kotaknya. Itu adalah ponsel yang mahal dan terlihat pita merah di sana. Jika aku ingat-ingat , dua hari lagi wanita itu memang berulang tahun. Aku mengabaika
Reuni SMA . Aku berdandan ke salon agar terlihat segar dan cantik. Aku memang tidak memiliki alat πππππ’π di rumah, kerena pemberian mas Arman selalu menekanku untuk berhemat. Aku tidak mungkin juga datang tanpa polesan di wajah sama sekali. Itu adalah acara penting, kan? Aku harus tampil lebih baik dari biasanya. Wajahku agak kusam karena kurang terawat, karena memang tidak ada dukungan untuk merawatnya. Mas Arman sering mengabaikanku hanya karena kami menikah disebabkan hutang nyawa ayahnya pada ayahku. Sehingga ia tidak peduli aku berdandan atau tidak. Tidak ada uang lebih sama sekali untukku. Bahkan, di acara tertentu ia lebih memilih pergi sendiri. Mungkin juga dengan Anita dan mengenalkan wanita itu sebagai istrinya. Sekarang aku punya uang itu darimana? Jawabannya adalah mama mertuaku yang baik hati, tidak pernah lupa memberi uang jajan padaku. Mungkin, itu perintah papa mertua juga. Walau, aku pun aneh juga sama sikapnya setelah percakapan waktu itu.
Aku menatap ponsel yang telah dirusak mas Arman. Aku tersenyum kecut melihat benda pipih yang sudah rusak itu."Ish, kau memang licik. Sudah ada bukti masih mau mengelak dan berusaha buat menyembunyikan bukti itu dari orangtuamu," gumamku. Sayang rasanya harga ponsel itu sangat mahal dan rusak dalam sekejap. Namun, aku tidak mau ambil pusing. Ponsel itu milik Anita bukan milikku. Mungkin saat wanita itu ulangtahun tiga hari lagi kado terindah akan diterimanya.***** Setelah keluar dari salon. Aku memilih menelpon Mala. Menyusun rencana. Beberapa ππππ sudah aku siapkan dalam sebuah πππ. Aku sengaja mencetak beberapa percakapan, foto dan memfotokopi buku nikah yang sebenarnya terasa merepotkan. Aku menunggu Mala sebelum pergi ke Kafe. Tidak jauh dari tempat yang kami janjikan. Ya, untuk membahas rencanaku pada dua sejoli itu aku harus seperti ini meskipun merepotkan. Mala adalah orang yang sangat kupercaya
Senja menyapa, angin berhembus menerpa pori-pori kulitku. Aku menatap kosong pemandangan di hadapanku. Aku tahu, dalam waktu dekat rumah ini tidak akan aku tempati lagi. Ah, rumah ini tak ada artinya bagiku. Karena istana yang sebenarnya telah hancur berkeping-keping. Wanita mana yang akan bertahan dengan seorang pria yang selalu berbohong. Walau, sebagian wanita bertahan untuk hal itu. Ya, mereka selalu bertahan demi anak walau tampak raut lelah untuk berjuang sendiri dalam hubungannya dengan suaminya, tapi apa yang bisa membuatku bertahan. Aku tidak memiliki keturunan, tapi hal itu membuatku lebih mudah untuk berpisah dengannya. Aku tidak akan pernah mempertahankan pria yang sudah melukaiku seperti ini. Pria yang seolah tanpa cela di keluarganya dan orang lain yang melihatnya. Ah, ternyata memang ia pandai bersandiwara di depan semua orang. Sehingga, orang lain menganggap akulah yang tidak tahu diuntung karena selalu berbuat ulah. Suara deru mobil terd
Pulang kampung. Sebenarnya aku sudah ke sini bersama mas Akbar saat mudik lebaran kemarin. Saat ini aku pulang kampung juga karena lamaran. Mas Akbar hanya mengantar kami dan kembali pulang. Ia tidak bisa lama di sini. Lagipula ini hanya lamaran. Akan tetapi, ia tampak ragu untuk pergi."Kenapa?" tanyaku."Gak ada pria yang deket kamu lagi, kan?" tanyanya."Ya enggak lah. Cuman Fahmi aja, Mas.""Hehe," Hemmm, aku menautkan kedua alisku. Sepertinya dia takut jika aku punya kedekatan dengan pria lain. Sore hari dengan suasana khas pedesaan. Kami menyambut tamu undangan yang merupakan keluarga Fahmi. Aku menyaksikan lamaran adikku satu-satunya itu. Meski dalam suasana bahagia, aku mengingat almarhum ayahku. Entahlah, hatiku merasa sedih ketika melihat adikku. Saat Dania menikah nanti, ayahku tidak bisa menjadi wali untuk adikku itu.---- Sebulan kemudian. Kami pulang kampung lebih awal. Aku melihat Dania begitu cantik seperti Ratu di hari ini."Nisa eh Kakak ipar," uc
Aku mematung saat sampai di rumah ibu mertua. Ya, bagaimana tidak. Fahmi juga ada di antara yang lainnya. Ia nampak tersenyum penuh makna. Dengan bingung aku pun duduk di antara Dania dan ibuku."Kak," panggil Dania. "Ya," "Kita mau ngadain lamaran. Kakak pulang ya!" ucap Dania. Aku mengernyitkan kening."Loh, lamaran siapa?" tanyaku."Fahmi mau lamar Dania. Meskipun Dania masih kuliah. Lagipula Fahmi dan Dania kuliah di tempat yang sama meski beda fakultas. Mereka lebih sering bersama. Lebih baik dinikahkan saja." Jelas Ibu. Jika dipikir mereka semakin lengket. Terlebih Dania kuliah di tempat yang sama dengan jarak yang lumayan. Hemmm, mungkin dengan begitu ada yang menjaganya."Boleh Nisa ngobrol dulu sama Fahmi, Bu?" tanyaku. Manik mataku mengisyaratkan agar Fahmi mengikuti. Ia nampaknya tertunduk. Ya, elah. Apa dia mau membuat drama kalau aku calon kakak ipar yang galak."Jel
Hari ini aku memakai gaun berwana peach dengan hijab yang senada dipakai. Tidak lupa memasang korsase berwarna perak di dada sebelah kiri. Riasan wajah yang kupakai adalah sengaja memakai πππππ’π yang natural."Dek," panggil pria yang sudah beberapa tahun menjadi suamiku itu."Ya,""Gak salah,""Gak salah apanya?""Cantik banget,""Cuman rayuan supaya aku datang ke pesta dia, kan?" "Biar kamu gak salah paham lagi, Sayang.""Terserah, deh." Kami pun akan berangkat. Aira sudah ku titipkan di rumah ibu. Ya, Aira memang tidak suka keramaian dengan musik yang ber-π£πππ’ππ tinggi. Sehingga, mau tidak mau putriku harus dititipkan di rumah neneknya. Mas Akbar dengan tersenyum mempersilahkan ku masuk ke dalam mobil. Sepatu ber-hak tinggi ini memang membuatku sedikit pegal."Jangan maksain!" Sepertinya suamiku tahu apa yang aku pikirkan saat ini."Lah, kan mau ke pesta bukan mau jalan-jalan dengan baju kasual, Mas."
Membisu. Entah apa yang aku rasa saat ini. Pastinya aku tidak mau berbicara dengan pria bergelar suamiku itu. Bertahun-tahun aku pikir wanita itu tidak akan mengganggu kami lagi. Nyatanya, wanita itu mempunyai beragam cara agar mendapatkan mas Akbar. Sepanjang perjalanan aku membisu. Entah mengapa pria itu begitu peduli dengan Bianca. Seharusnya dia bersikap masa bodo dan pergi saja, bukan malah sok perhatian pada Bianca yang akhirnya ingin dinikahi saat itu juga."Sayang," panggilnya. Namun, tidak aku hiraukan."Dek," panggilnya lagi."Apa sih? Berisik!" Ucapku ketus."Kamu marah?" tanyanya. Udah tahu ekspresi wajah sekarang marah bukan ketawa senang malah nanya."Enggak," jawabku ketus."Maaf, Dek!" Ucapnya."Sejak kapan dia ganggu Mas lagi?" tanyaku."Sebulan yang lalu," jawabnya."Ya udah. Tuh nikahin dia!" "Ya enggak dong, Dek.""Bukannya peduli banget sama Bianca?
Di sebuah kamar dengan nuansa merah mudah. Aku menatap dengan bahagia. Ya, putri kecil berumur dua tahun baru saja terbangun dari tidurnya."Ekhem," suara mas Akbar menghentikan aktivitasku yang sedang memperhatikan putri kecil bernama Aira."Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku."Sekarang ada acara, tapi...,""Acara apa?" tanyaku."Acara pernikahan Bianca," jawab pria itu sedikit ragu. Nama yang diucapkan pria di hadapanku itu adalah nama wanita pernah mengejar mas Akbar. Lalu, untuk apa dia mengundang suamiku."Mas mau ke sana?" tanyaku."Aku gak mungkin ke sana tanpa izin kamu, Sayang,""Ya, datang aja. Toh, dia mau menikah sama orang lain bukan sama Mas,""Takutnya kamu cemburu, Dek. Atau kamu juga ikut deh,""Gak mungkin lah, Mas. Aira gak suka tempat ramai," tolakku. Aku Sebenarnya penasaran dengan wanita itu, tapi Aira tidak suka keramaian."Gak bakal marah?" tanyanya.
Rasa pusing menimpaku, sehingga membuat ibu mertua datang dan membantuku. Walau sekarang mas Akbar memperkerjakan pembantu harian yang bisa pulang saat sore harinya."Kita ke Dokter ya, Nak. Ibu khawatir sama kamu.""Tapi, Bu. Anisa ngerepotin Ibu.""Nisa, gak ngerepotin Ibu loh." Mertuaku ini memanglah baik. Padahal dulu aku pernah bertanya pada ibu mertua mengapa sampai menerimaku. Aku yang tak punya apa-apa saat dilamar mas Akbar. Beliau hanya berkata "Harta itu bisa dicari. Kebahagian anak adalah utama. Ibu pun pernah mengalami pahitnya hidup. Karena itulah Akbar harus bisa hidup lebih baik dari kami," Aku pikir saat itu terpaksa menerimaku karena demi kebahagiaan mas Akbar, tapi saat ibu pernah mendengar aku membahas wanita yang mengejarnya itu pernah ditemui oleh mas Akbar ibu marah besar dan membelaku. "Untuk alasan apapun. Jangan pernah menemui wanita yang tidak lagi mempunyai urusan lagi? Apalagi dia menyukaimu," tegas ibu saat itu. Ibu mer
Keesokan harinya. Aku berpenampilan begitu rapi untuk pertama kalinya agar terlihat lebih cantik untuk mendampingi mas Akbar. Pria itu hanya tersenyum. "Mas gak bakal bawa mobil?" tanyaku heran. Bukannya tiada hari tanpa mengendarai mobilnya untuk bepergian."Mobilnya harus ke bengkel. Nanti malah lama," jawabnya. Aku hanya ber-oh ria setelah mendengar jawabannya."Masih ngambek?" tanyaku ketika melihat ia begitu cuek dan memilih memainkan gawainya."Gak juga," jawabnya dengan nada yang terdengar menyebalkan."Pak, jangan ke kantor! Ke penginapan aja," ujarnya pada pak supir. Sontak membuatku terkejut karena ucapannya. Hampir saja aku akan membuka suara. Mas Akbar malah melotot padaku. Membuatku merasa takut, tapi ingin tertawa. Sebenarnya apa yang direncanakan? Ia yang bilang harus ke kantor cepat, tapi malah entah kemana tujuan kami sekarang. Sampailah di sebuah Hotel yang terkenal. Aku menatap penuh tanya. Ya, pikiran yang tidak bisa ditebak.
Mentari menyambut hari ini, aku mogok bicara saat ini, meskipun aku menyiapkan semua keperluan Mas Akbar. Hanya ada peralatan dapur yang bersuara pagi ini."Dek," panggilnya. Aku tak menjawab dan lebih memilih fokus dengan apa yang ada di hadapanku."Anisa!" panggilnya lagi. Masih tetap kuabaikan. Kini aku menyiapkan minum untuk mas Akbar dan tak menoleh sedikitpun pada orang yang sedari tadi memanggilku, bahkan menggangguku saat menyiapkan sarapan."Dek, maafkan Mas!" ucapnya lirih. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku. "Lepas Mas. Ingat syaratku!" tegasku. Sebenarnya aku mulai tak peduli dengan syarat itu, tapi sikapnya membuatku kesal. Ia pun menjauh dengan wajah masam, kemudian duduk dengan wajah yang di tekuk. "Aku sudah siapkan semuanya," kataku dan melangkah untuk meninggalkan dapur."Maaf Dek!" Aku tak menjawab atau pun menoleh. Sakit rasanya jika mengingat hari kemarin. Dia merasa seolah aku yang m
Satu bulan sudah kami menikah. Begitu kaku hubungan ini. Aku yang tak tahu harus berbuat apa. Untuk pertama kalinya aku akan mencoba membuatnya senang. Mungkin sebuah kejutan. Aku mengunjungi kantor mas Akbar yang dulu adalah tempat bekerjaku. Karyawan yang mengenalku menyapa dengan hangat dan menanyakan kabar serta tujuanku kantor. Mereka terkejut dan tak percaya aku menikah dengan mas Akbar. Aku lebih memilih bergegas menemui suamiku itu. Namun, sebelum ku mengetuk. "Kamu kenapa menikah dengan dia?" tanya wanita itu, "Kamu pun tahu aku cinta sama kamu." sambungnya. Aku tahu wanita itu adalah wanita di pesta Desi. Ya, wanita yang selalu mengejar mas Akbar itu berani datang ke kantor suamiku dan bahkan masuk ke dalam ruangan yang pastinya hanya ada mas Akbar disana. Aku membuka pintu kasar. Tampak keterkejutan di wajah mereka."Waw...hebat. Aku yang mau ngasih kejutan ternyata terbalik," ucapku ketus, "aku cukup terkejut dengan pemand