Tara dan Arle sudah duduk di dalam ruangan Arle, Erik melanjutkan meetingnya bersama manager pemasaran dan jajarannya. Sedangkan Arle bermaksud mengerjakan kembali tugas yang diberikan Erik. Meskipun masih mengerjakan pekerjaan receh, namun sebagai salah satu anak pemilik perusahaan.
Arle tetap memiliki ruangan sendiri yang cukup privasi, Arle juga memiliki seorang asisten yang membantunya. Tara sedikit gelisah menunggu Laras, masuk ke dalam ruangan Arle.
"Mbak jangan gugup dong, katanya jagoan," ledek Arle yang melihat Tara sedikit gugup, Arle kini sudah duduk di mejanya, sambil memandang laptopnya.
"Ish, orang ini kebelet pipis," sahut Tara sambil membenarkan duduknya. Arle terbahak. "Ya sudah sana ke toilet, tuh!" mata Arle menuju pintu di sudut kanan, ruangannya.
"Ga papa, tahan aja," sahut Tara lagi.
"Ntar pipis di celana lho," ledek Arle lagi."Ya tinggal suruh Laras bersihin ompol aku!" Tara terkekeh. Matanya membulat. Ide itu akh
Mei sudah memutuskan untuk berbicara pada suaminya malam ini, Mei juga sudah menyiapkan mentalnya terhadap apapun yang terjadi ke depannya. Malam ini Mei memasak masakan kesukaan suaminya, telur ceplok balado dan tumis pokcoy dengan bakso. Mei juga membuatkan brownies untuk Zaka, sambil berdebar menanti suaminya pulang, Mei duduk di sofa depan TV. Sesekali melirik ponselnya, Didu mengirimkan pesan kepada Mei agar mengurungkan niatnya untuk memberi tahu Zaka. Mei hanya membacanya, tidak berniat membalasnya.Mei sedang menyiapkan energi untuk membuka aib yang telah ia lakukan beberapa bulan lalu bersama Didu. Waktu serasa lambat berputar, sudah pukul tujuh, Zaka belum juga kembali. Padahal Zaka sudah berjanji akan makan malam di rumah.Baru saja Mei akan menelepon suaminya, Lelaki itu telah masuk ke dalam pekarangan rumah, memarkirkan mobil sedannya di samping mobil Mei. Wajah Zaka sumringah, dengan membawa tentengan sekotak pizza kesukaan Mei."Assalamualaikum,"
Sudah dua minggu, Zaka menginap di rumah Pak Aditya, barang-barang pribadinya, sudah ia ambil semua dari rumahnya bersama Mei. Rumah itu adalah hadiah pernikahan yang ia berikan pada Mei dan atas nama Mei. Jadi Zaka tidak ingin mengganggu gugat rumah tersebut. Biarlah seperti ini adanya. Rumah tersebut Zaka berikan untuk Mei. Zaka juga sudah mendaftarkan gugatan perceraiannya di pengadilan, hanya saja semua berproses.Pagi ini Zaka ikut sarapan bersama keluarga besarnya, Tara seperti biasa melayani Erik dengan telaten, walaupun wajahnya sedikit pucat, karena mengalami mual muntah di pagi hari."Kalau ga enak badan, tiduran aja Mah," ucap Erik yang melihat Tara sangat pucat."Ga papa, Pih. Masih bisa," sahutnya lemah sambil mulai menyendokkan nasi ke dalam mulut. Namun ...Ueek!Uueek!Tara setengah berlari ke wastafel yang berada di dapur. Disusul oleh Erik yang khawatir dengan keadaan Tara, Erik memijat tengkuk Tara."Pusing, Pih," bis
"Toloooong...!" teriak Mei histeris saat Didu dengan pasrah dipukuli oleh Arle. Suara melengking Mei terdengar begitu keras, sehingga beberapa orang perawat wanita dan seorang perawat pria datang menghampiri ruang tindakan Mei. Para perawat tersebut melerai, dengan menarik paksa Arle yang tengah kesetanan mengamuk, membabi buta memukuli Didu. Bahkan hingga Didu pingsan, Mei semakin terisak, tak lama pandangannya kabur.Erik menemani Arle yang dengan wajah berantakan duduk di ruangan manajemen rumah sakit. Arle telah membuat keributan, melukai orang, bahkan menimbulkan shock bagi pasien yang baru saja mengalami keguguran. Tentu saja pihak rumah sakit tidak mau tahu masalah apa yang terjadi?yang jelas Arle telah menimbulkan kerugian pada rumah sakit, serta membuat gaduh.Erik sendiri telah mendengar duduk persoalannya dari Arle. Jelas terlihat raut marah dan kecewa pada Arle. Erik mencoba bicara pada pihak manajemen, agar tidak membawa kasus ini ke meja hijau. Er
Ada sedikit mature ya (21 ).Wanita muda berparas cantik itu terbangun dari tidurnya. Saat suara gaduh terdengar sangat riuh di sebrang pintu kamar kosannya. Laras membuka mata perlahan, mengucek-ngucek matanya. "Ada apa sih?" gumamnya sambil mengintip dari balik jendela. Ternyata teman sekosannya yang bernama Ayu, diusir paksa oleh ibu kos. Laras hanya menarik nafas panjang. Untung ia selalu on time membayar uang kosan. Laras berjalan ke arah kamar mandi, diliriknya jam di dinding, sudah pukul setengah tujuh pagi. Menghampiri cermin yang tergantung di dinding, mengambil sisir, kemudian menyisir rambut panjangnya dengan perlahan. "Allahu Akbar," pekiknya histeris. Matanya hampir terjun bebas dari tempatnya. Dengan gemetar ia mengangkat tangannya, menyentuh tulang pipinya, kulit di sana tampak mengeriput. "Tidaaaakk!" teriak Laras histeris, dengan cepat matanya mencari letak ponselnya, meraihnya dari atas nakas. Gemetar Laras memencet nomor ponsel M
Erik mengangkat tubuh Tara yang luruh di lantai, setelah mengangkat telpon dari rumah sakit. Bahkan Bu Erika terduduk lemas dibantu oleh Arle menggotongnya duduk di sofa, bibik sibuk mondar mandir membuatkan teh hangat untuk Tara dan Bu Erika, sedangkan Pak Aditya langsung menuju rumah sakit tempat Zaka dirawat. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" terdengar suara berat Pak Aditya menahan kesedihannya. Dokter tersebut menunduk, mencoba mengambil nafas dalam sebelum berucap."Bapak Zaka koma, Pak."Pak Aditya oleng, sampai dokter dan perawat memagangi kedua tangannya. Agar Pak Aditya tidak tersungkur di lantai rumah sakit. Pak Aditya pun mendapat perawatan medis sebentar di ruang UGD, karena nafasnya sedikit sesak, begitu mendengar kabar Zaka yang koma. "Papa...," panggil Arle saat tiba di rumah sakit. Arle menyusul Pak Aditya, setelah pihak rumah sakit menghubungi kembali keluarga Pak Aditya. Arle menghampiri papanya yang terbaring di ranjang UGD
"Laras, kamu kenapa?" Arle menatap serius Laras yang tengah menunduk sambil menutup hampir keseluruhan wajahnya dengan selendang."Eh, Bapak Arle. Saya mau berobat, sepertinya alergi," sahut Laras asal, sambil masih menutupi wajahnya."Oh begitu, ya sudah saya tinggal dulu ya. Kamu sama siapa ke sini?" Arle belum beranjak dari tempatnya sedangkan Laras mulai gelisah, karena wajahnya mulai yerasa gatal."Sendiri, Pak.""Mbak , Laras. Ayo masuk ke dalam." seorang perawat memanggil Laras. Laras pun mengangguk pamit pada Arle, lalu berjalan mengikuti perawat tersebut.****Erik tiba di rumah sakit ,tepat pukul dua belas malam. Seorang petugas security membantu Erik menyiapkan bangsal untuk Tara, dengan tergesa Erik mendorong Tara masuk ke dalam ruang UGD."Kenapa istri saya, Dok?" Erik tak sabar bertanya pada dokter."Sebentar ya, Pak. Bapak tunggu di depan dulu ya," ucap seorang perawat sambil mempersilakan Erik keluar ruangan. Erik
Lelaki yang berambut gondrong itu duduk termenung di bangku kantin. Pandangannya kosong, wajahnya begitu kusut, seakan sedang memikirkan sesuatu yang berat. Wanita yang ia cintai, pergi begitu saja. Tanpa ia tahu kemana? Dan bagaimana kabarnya saat ini. Berkali-kali Didu, memohon kepada teman-teman di kantornya, menanyakan dimana keberadaan Mei, dimana Mei dimutasi? Namun tidak ada yang memberitahukannya. Didu juga sampai nekat bertanya pada Arle, namun yang di dapat adalah bogeman kembali dari Arle. Didu juga bertanya pada kepala personalia di kantor. Namun lagi-lagi hanya diam yang ia dapatkan."Ngelamun terus!" celetuk Ratna, teman sekelas Didu. Ratna ikut duduk di samping Didu. Lelaki itu menoleh dan tersenyum miris. Lalu membuang kembali pandangannya."Nih, buat lo. Biar ga kayak mayat idup!" Ratna memberikan plastik bening, berisikan gado-gado dan sebotol po***i sweat dingin."Makasih Na!" Didu mengambil bungkusan yang diberikan Ratna."Janda lu, be
Erik dan Pak lurah Ferdi, ayah Laras, kini duduk di bangku taman rumah sakit. Wajah Pak Lurah yang keliatan kuyu serta tubuhnya yang semakin kurus, membuat Erik sedikit iba. Pak Ferdi menceritakan perihal penyakit yang diderita Laras sepulang dari Jakarta, lima bulan yang lalu. Bahkan penyakitnya menjadi semakin parah, karena yang keriput tidak hanya wajah, melainkan seluruh tubuhnya. Dengan suara bergetar Pak Lurah menceritakan hal tersebut."Bagaimana Rik? Saya minta tolong!""Hhmm...maaf Pak, saya tidak bisa menolong Laras. Saya hanya mencintai istri saya. Apalagi dia baru saja melahirkan. Saya rasa ide Bapak tidak mungkin saya lakukan, silahkan bawa Laras ke dokter spesialis kulit.""Sakit Laras tidak bisa diobati oleh dokter, Rik, tapi oleh kamu!""Coba lihat ini!" Pak Ferdi memperlihatkan foto Laras dari ponselnya, posisi Laras yang tengah terbaring lemas di atas kasur dengan wajah yang keriput. Bahkan Erik tidak mengenalinya."In
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag