Erik dan Pak lurah Ferdi, ayah Laras, kini duduk di bangku taman rumah sakit. Wajah Pak Lurah yang keliatan kuyu serta tubuhnya yang semakin kurus, membuat Erik sedikit iba. Pak Ferdi menceritakan perihal penyakit yang diderita Laras sepulang dari Jakarta, lima bulan yang lalu. Bahkan penyakitnya menjadi semakin parah, karena yang keriput tidak hanya wajah, melainkan seluruh tubuhnya. Dengan suara bergetar Pak Lurah menceritakan hal tersebut.
"Bagaimana Rik? Saya minta tolong!"
"Hhmm...maaf Pak, saya tidak bisa menolong Laras. Saya hanya mencintai istri saya. Apalagi dia baru saja melahirkan. Saya rasa ide Bapak tidak mungkin saya lakukan, silahkan bawa Laras ke dokter spesialis kulit."
"Sakit Laras tidak bisa diobati oleh dokter, Rik, tapi oleh kamu!"
"Coba lihat ini!" Pak Ferdi memperlihatkan foto Laras dari ponselnya, posisi Laras yang tengah terbaring lemas di atas kasur dengan wajah yang keriput. Bahkan Erik tidak mengenalinya.
"In
Di sinilah Arle, Pak Aditya dan juga Pak Ferdy, di dalam mobil menuju Solo. Sesekali Pak Aditya melirik Arle, yang dengan mata terpejam meletakkan kepalanya di sandaran jok mobil. Pak Lurah yang duduk di depan juga hening, tiada bersuara. Pikirannya melayang entah kemana. Semoga keputusan ini tepat untuk Laras. Sementara itu, di rumah Erik. Tara serta Bu Erika tengah makan siang. Nafsu makan Bu Erika mendadak hilang, sejak kepergian suami berserta anak bungsunya tadi pagi. "Apakah semua ini benar, Ra?" tanya Bu Erika pada Tara, yang makan dengan lahap. "Arle pasti baik-baik saja, Ma. Saya tahu, sebenarnya Arle pernah naksir Laras, hanya saja saat itu Laras masih tergila-gila sama Apih." Ucapan Tara membuat Bu Erika dan Erik, menoleh kaget ke arah Tara. "Kamu kok ga pernah cerita ke saya?" "Ga ah nanti Apih cemburu!" "Aduh, pusing Mama. Anak lelaki Mama mau dapat istri aja, kudu ke sana-kemari, banyak uji
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tara kini sudah dirias begitu cantik, gaun putih pernikahan ala tuan puteri menempel begitu anggun di tubuhnya. Make up flawless menambah pesona yang terpancar dari wajah Tara. Meskipun tetap memakai hijab penutup rambutnya. Ya, hari ini, beberapa jam lagi. Ia akan melangsungkan pernikahan yang keempat kalinya. Duh, malu sebenarnya. Tapi apalah daya, pesta mewah dan megah ini, Zaka persembahkan untuk dirinya. Dengan alasan, Zaka ingin menebus semua kesalahan fatalnya saat dahulu kala.Tara tersenyum memperhatikan wajahnya terang bercahaya di depan cermin. Pangling sih, seperti bukan dirinya. Jujur, inilah pertama kali Tara melangsungkan pesta pernikahan dengan mewah. Pernikahan pertamanya dengan Rahman, berlangsung sederhana di kampung. Pernikahan kedua dengan Zaka pun berlangsung sederhana, karena hanya ijab qabul, tanpa buku nikah. Begitu pun dengan Erik, hanya sukuran saja memanggil tetangga terdekat, dan ia mendapat buku nikah setelahnya."Calon pengantin melamun t
Zaka membawa Abiyah ke rumahnya, sebelum mengantarnya ke Benhil. Tentu saja di sana sudah ada anak-anaknya yang heboh dengan kedatangan Zaka dengan seorang wanita bule yang sangat cantik. Bahkan Bu Erika tersenyum sangat lebar, ia berpikir sudah saatnya anaknya, Zaka. Membuka pintu hati untuk wanita lain.Abiyah diterima dengan baik dan ramah. Bahkan diminta untuk menginap di rumah Bu Erika, "menginap di sini saja, besok baru ke Benhil diantar Zaka, bagaimana?" tawar Bu Erika pada Abiyah."Aduh, Bu. Saya jadi merepotkan, ga papa saya langsung ke Benhil saja," sahutnya sungkan. Apalagi kini dikelilingi oleh anak-anak Zaka yang menurut Abiyah sangat lucu."Menginap di sini saja, Abiyah. Nanti biar Om bicara pada bos kamu," sela Pak Aditya yang baru saja keluar kamar. Abiyah hanya bisa mengangguk malu-malu, tidak mungkin dibantah, jika yang meminta adalah Pak Aditya Darman, relasi perusahaannya yang sudah terjalin sejak enam tahun yang lalu, bahkan sebelum Abiyah b
"Pak Zaka belum menikah?" tanya Abiyah serius."Saya pernah menikah dan punya anak. Tetapi saat ini saya sendiri."Abiyah mengangguk sambil membulatkan mulutnya, membentuk huruf O."Bapak... mau tidak, menikah dengan saya?""Apa?!"Kedua bola mata Zaka melotot lebar, seakan baru saja ditanya oleh malaikat. Mau mati sekarang tidak?"He he, becanda, Pak," sambungnya lagi sambil tertawa kecil."Oh iya, Pak. Saya mau ke Jakarta lho. Mau ke rumah sepupu saya. Setelah itu, saya mau ke Padang, bertemu Atok saya. Sudah dua tahun saya tidak pulang ke sana," terang Abiyah sambil meminum jus jeruknya."Oh iya, Jakartanya di mana?" tanya Zaka."Di Benhil, Pak. Jauh ya dari rumah Bapak?""Lumayan sih.""Pulang bareng yuk, Pak. Sekalian Bapak jadi guide saya," ujar Abiyah sambil menyeringai."Mmm ... saya tidak janji bisa mengantar kamu ke Benhil, tapi kalau kebetulan saya tidak ada pekerjaan, saya bisa," uj
Tiga hari sudah berlalu sejak Zaka dipaksa pulang dalam keadaan sakit oleh Tara. Sejak saat itu juga Zaka menghilang bagai ditelan bumi. Tiada kabar berita, tiada pesan WA atau telepon kepada anak-anak. Tara mencoba tak peduli, memang seharusnya Zaka tidak terlalu sering mengunjunginya atau berkirim pesan padanya, karena bakalan sama saja respon yang ia dapat. Tara melirik sekilas ponselnya yang sama sekali sepi tiga hari ini.Dengan langkah sedikit malas, ia memilih pergi ke dapur untuk membuatkan cemilan telur gabus pesanan anak-anaknya."Duh, Papa Zaka ke mana sih? Susah nih PR-nya!" rengek Kinan keluar dari kamar sambil membawa buku.Tara menoleh lalu menghampiri Kinan di ruang TV. "Mana sini, coba Mama lihat!" tawar Tara yang sudah duduk di samping Kinan. Anak SD itu memberikan buku paket sekolah serta satu buku tulis pada Tara."Susah, Ma. Pasti cuma Papa Zaka doang yang jago hitungan begitu," puji Kinan dengan wajah cemberut. Tara masih membo
Setelah bujuk rayu penuh air mata, akhirnya Tara mau ikut menemani anak-anaknya bermain di area Ancol, tepatnya di Dufan. Sebelumnya mereka sudah terlebih dahulu mampir di pantai, mengambil beberapa foto di sana. Tentu saja hal itu membuat Zaka semakin bersemangat. Tak lepas matanya memandang Tara, dalam hati ia berdoa, semoga Allah segera membukakan pintu hati Tara, agar mau menerima cinta tulusnya.Fia dan Zaka mengantre membeli tiket. Sedangkan yang lainnya tengah duduk di kursi tunggu yang tersedia tidak jauh dari loket pembelian tiket. Setelah mendapatkan tiket terusan tersebut, Zaka menggiring anak-anak masuk ke dalam area Dufan. Yusuf, Fia, dan Kinan begitu antusias. Mereka berlarian ke sana-kemari, sambil memilih permainan apa yang akan mereka coba terlebih dahulu. Mulai dari wahana 'Gajah Bledug, Kereta Misteri, Alap-alap, New Ontang-anting, Kolibri, Istana Boneka, Kora-kora, Arung Jeram, dan yang terakhir Niagara-gara.Anak-anak begitu senang saat
Fia sudah lebih dahulu sampai di rumah. Anak gadis Tara itu sudah tumbuh menjadi gadis cantik dan lincah. Fia sudah duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Yusuf duduk di kelas satu SMP, dan Kinan atau Kinasih duduk di kelas enam SD."Yusuf ke mana, Ma?" tanya Fia saat tak melihat Yusuf di kamarnya."Lagi sholat sama Papa Zaka di masjid," sahut Kinan yang baru saja selesai sholat magrib di kamarnya.Mulut Fia membulat, membentuk huruf O, diikuti anggukan."Eh, itu dia pulang." Tunjuk Kinan saat pintu terbuka."Assalamualaykum," ucap Zaka dqn Yusuf bersamaan."Wa'alaykumussalam," jawab Kinan dan Fia juga. Sedangkan Tara yang sedang menata meja makan, menyahut dengan sangat pelan."Fia sudah pulang?" tanya Zaka pada Fia."Sudah, Pa. Baru aja. Papa bawa apa?" tanya Fia menatap antusias dua bungkusan yamg ada di tangan Papa Zaka."Sate dan es buah," jawab Zaka sambil mengangkat dua bungkusan itu bergantian."Y
Sore hari, awan tampak beriak menghias langit nan biru. Satu dua kicau burung masih terdengar sahdu mengisi ruang sore sehingga tak terlalu sepi. Yah, Tara kesepian, benar-benar kesepian semenjak suaminya Erik meninggal dunia tiga tahun lalu. Tak ada lagi tawa dan haru yang mengisi hatinya. Walaupun ada anak-anak yang selalu membuat suasana rumah selalu ramai, tapi tidak dengan hatinya yang selalu merasa sepi."Assalamua'laykum," seru seorang lelaki dewasa tepat di depan wajahnya. Tara terlonjak kaget, bahkan kursi yang ia duduki berdecit karena beban tubuh Tara yang bergeser di sana."Wa'alaykumussalam," jawabnya tak acuh sambil membuang pandangan. Benar-benar mantan paling menyebalkan."Sore-sore ga boleh bengong, Ra. Ntar cepat tua," ledek Zaka pada Tara yang selalu berwajah masam di depannya."Duduk, Mas. Ada perlu apa?"Zaka mendudukan bokongnya di kursi kayu, persis di seberang Tara. "Mm... anak-anak ke mana?" tanya Zaka sambil tersenyu
Sudah dua tahun sejak kepergian Erik, Tara masih saja diliputi kesedihan mendalam. Ia yang biasanya ceria, berubah menjadi lebih banyak diam. Namun ia berusaha tegar di depan ketiga anaknya. Setiap pekan, Tara pasti berziarah ke makam Erik bersama ketiga anaknya.Semua keluarga Erik bahkan sangat terpukul, terutama Pak Aditya dan Bu Erika. Mereka tidak menyangka kalau ternyata Erik memiliki penyakit jantung. Yah sejak kepergian Erik, Tara dan anak-anaknya kembali ke rumah Pak Aditya. Mereka tidak mau Tara dan anak-anak merasa kesepian. Jika di rumah Pak Aditya, ada Arle dan istrinya Laras, serta anak kembar mereka."Hari ini kamu masak apa, Ras?" tanya Tara ketika menghampiri Laras yang tengah asik di depan kompor."Eh, Mbak. Ini saya masak sayur opor tahu dan telur, pesanan Mas Arle," sahut Laras sambil tersenyum."Oh, si kembar ke mana?" tanyanya lagi."Itu ada sama Yusuf di depan, lagi diajarin main sepeda.""Yusuf pinter bang
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag