Sudah dua minggu, Zaka menginap di rumah Pak Aditya, barang-barang pribadinya, sudah ia ambil semua dari rumahnya bersama Mei. Rumah itu adalah hadiah pernikahan yang ia berikan pada Mei dan atas nama Mei. Jadi Zaka tidak ingin mengganggu gugat rumah tersebut. Biarlah seperti ini adanya. Rumah tersebut Zaka berikan untuk Mei. Zaka juga sudah mendaftarkan gugatan perceraiannya di pengadilan, hanya saja semua berproses.
Pagi ini Zaka ikut sarapan bersama keluarga besarnya, Tara seperti biasa melayani Erik dengan telaten, walaupun wajahnya sedikit pucat, karena mengalami mual muntah di pagi hari.
"Kalau ga enak badan, tiduran aja Mah," ucap Erik yang melihat Tara sangat pucat.
"Ga papa, Pih. Masih bisa," sahutnya lemah sambil mulai menyendokkan nasi ke dalam mulut. Namun ...
Ueek!
Uueek!Tara setengah berlari ke wastafel yang berada di dapur. Disusul oleh Erik yang khawatir dengan keadaan Tara, Erik memijat tengkuk Tara.
"Pusing, Pih," bis
"Toloooong...!" teriak Mei histeris saat Didu dengan pasrah dipukuli oleh Arle. Suara melengking Mei terdengar begitu keras, sehingga beberapa orang perawat wanita dan seorang perawat pria datang menghampiri ruang tindakan Mei. Para perawat tersebut melerai, dengan menarik paksa Arle yang tengah kesetanan mengamuk, membabi buta memukuli Didu. Bahkan hingga Didu pingsan, Mei semakin terisak, tak lama pandangannya kabur.Erik menemani Arle yang dengan wajah berantakan duduk di ruangan manajemen rumah sakit. Arle telah membuat keributan, melukai orang, bahkan menimbulkan shock bagi pasien yang baru saja mengalami keguguran. Tentu saja pihak rumah sakit tidak mau tahu masalah apa yang terjadi?yang jelas Arle telah menimbulkan kerugian pada rumah sakit, serta membuat gaduh.Erik sendiri telah mendengar duduk persoalannya dari Arle. Jelas terlihat raut marah dan kecewa pada Arle. Erik mencoba bicara pada pihak manajemen, agar tidak membawa kasus ini ke meja hijau. Er
Ada sedikit mature ya (21 ).Wanita muda berparas cantik itu terbangun dari tidurnya. Saat suara gaduh terdengar sangat riuh di sebrang pintu kamar kosannya. Laras membuka mata perlahan, mengucek-ngucek matanya. "Ada apa sih?" gumamnya sambil mengintip dari balik jendela. Ternyata teman sekosannya yang bernama Ayu, diusir paksa oleh ibu kos. Laras hanya menarik nafas panjang. Untung ia selalu on time membayar uang kosan. Laras berjalan ke arah kamar mandi, diliriknya jam di dinding, sudah pukul setengah tujuh pagi. Menghampiri cermin yang tergantung di dinding, mengambil sisir, kemudian menyisir rambut panjangnya dengan perlahan. "Allahu Akbar," pekiknya histeris. Matanya hampir terjun bebas dari tempatnya. Dengan gemetar ia mengangkat tangannya, menyentuh tulang pipinya, kulit di sana tampak mengeriput. "Tidaaaakk!" teriak Laras histeris, dengan cepat matanya mencari letak ponselnya, meraihnya dari atas nakas. Gemetar Laras memencet nomor ponsel M
Erik mengangkat tubuh Tara yang luruh di lantai, setelah mengangkat telpon dari rumah sakit. Bahkan Bu Erika terduduk lemas dibantu oleh Arle menggotongnya duduk di sofa, bibik sibuk mondar mandir membuatkan teh hangat untuk Tara dan Bu Erika, sedangkan Pak Aditya langsung menuju rumah sakit tempat Zaka dirawat. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" terdengar suara berat Pak Aditya menahan kesedihannya. Dokter tersebut menunduk, mencoba mengambil nafas dalam sebelum berucap."Bapak Zaka koma, Pak."Pak Aditya oleng, sampai dokter dan perawat memagangi kedua tangannya. Agar Pak Aditya tidak tersungkur di lantai rumah sakit. Pak Aditya pun mendapat perawatan medis sebentar di ruang UGD, karena nafasnya sedikit sesak, begitu mendengar kabar Zaka yang koma. "Papa...," panggil Arle saat tiba di rumah sakit. Arle menyusul Pak Aditya, setelah pihak rumah sakit menghubungi kembali keluarga Pak Aditya. Arle menghampiri papanya yang terbaring di ranjang UGD
"Laras, kamu kenapa?" Arle menatap serius Laras yang tengah menunduk sambil menutup hampir keseluruhan wajahnya dengan selendang."Eh, Bapak Arle. Saya mau berobat, sepertinya alergi," sahut Laras asal, sambil masih menutupi wajahnya."Oh begitu, ya sudah saya tinggal dulu ya. Kamu sama siapa ke sini?" Arle belum beranjak dari tempatnya sedangkan Laras mulai gelisah, karena wajahnya mulai yerasa gatal."Sendiri, Pak.""Mbak , Laras. Ayo masuk ke dalam." seorang perawat memanggil Laras. Laras pun mengangguk pamit pada Arle, lalu berjalan mengikuti perawat tersebut.****Erik tiba di rumah sakit ,tepat pukul dua belas malam. Seorang petugas security membantu Erik menyiapkan bangsal untuk Tara, dengan tergesa Erik mendorong Tara masuk ke dalam ruang UGD."Kenapa istri saya, Dok?" Erik tak sabar bertanya pada dokter."Sebentar ya, Pak. Bapak tunggu di depan dulu ya," ucap seorang perawat sambil mempersilakan Erik keluar ruangan. Erik
Lelaki yang berambut gondrong itu duduk termenung di bangku kantin. Pandangannya kosong, wajahnya begitu kusut, seakan sedang memikirkan sesuatu yang berat. Wanita yang ia cintai, pergi begitu saja. Tanpa ia tahu kemana? Dan bagaimana kabarnya saat ini. Berkali-kali Didu, memohon kepada teman-teman di kantornya, menanyakan dimana keberadaan Mei, dimana Mei dimutasi? Namun tidak ada yang memberitahukannya. Didu juga sampai nekat bertanya pada Arle, namun yang di dapat adalah bogeman kembali dari Arle. Didu juga bertanya pada kepala personalia di kantor. Namun lagi-lagi hanya diam yang ia dapatkan."Ngelamun terus!" celetuk Ratna, teman sekelas Didu. Ratna ikut duduk di samping Didu. Lelaki itu menoleh dan tersenyum miris. Lalu membuang kembali pandangannya."Nih, buat lo. Biar ga kayak mayat idup!" Ratna memberikan plastik bening, berisikan gado-gado dan sebotol po***i sweat dingin."Makasih Na!" Didu mengambil bungkusan yang diberikan Ratna."Janda lu, be
Erik dan Pak lurah Ferdi, ayah Laras, kini duduk di bangku taman rumah sakit. Wajah Pak Lurah yang keliatan kuyu serta tubuhnya yang semakin kurus, membuat Erik sedikit iba. Pak Ferdi menceritakan perihal penyakit yang diderita Laras sepulang dari Jakarta, lima bulan yang lalu. Bahkan penyakitnya menjadi semakin parah, karena yang keriput tidak hanya wajah, melainkan seluruh tubuhnya. Dengan suara bergetar Pak Lurah menceritakan hal tersebut."Bagaimana Rik? Saya minta tolong!""Hhmm...maaf Pak, saya tidak bisa menolong Laras. Saya hanya mencintai istri saya. Apalagi dia baru saja melahirkan. Saya rasa ide Bapak tidak mungkin saya lakukan, silahkan bawa Laras ke dokter spesialis kulit.""Sakit Laras tidak bisa diobati oleh dokter, Rik, tapi oleh kamu!""Coba lihat ini!" Pak Ferdi memperlihatkan foto Laras dari ponselnya, posisi Laras yang tengah terbaring lemas di atas kasur dengan wajah yang keriput. Bahkan Erik tidak mengenalinya."In
Di sinilah Arle, Pak Aditya dan juga Pak Ferdy, di dalam mobil menuju Solo. Sesekali Pak Aditya melirik Arle, yang dengan mata terpejam meletakkan kepalanya di sandaran jok mobil. Pak Lurah yang duduk di depan juga hening, tiada bersuara. Pikirannya melayang entah kemana. Semoga keputusan ini tepat untuk Laras. Sementara itu, di rumah Erik. Tara serta Bu Erika tengah makan siang. Nafsu makan Bu Erika mendadak hilang, sejak kepergian suami berserta anak bungsunya tadi pagi. "Apakah semua ini benar, Ra?" tanya Bu Erika pada Tara, yang makan dengan lahap. "Arle pasti baik-baik saja, Ma. Saya tahu, sebenarnya Arle pernah naksir Laras, hanya saja saat itu Laras masih tergila-gila sama Apih." Ucapan Tara membuat Bu Erika dan Erik, menoleh kaget ke arah Tara. "Kamu kok ga pernah cerita ke saya?" "Ga ah nanti Apih cemburu!" "Aduh, pusing Mama. Anak lelaki Mama mau dapat istri aja, kudu ke sana-kemari, banyak uji
Sepuluh tahun kemudianDi sebuah panti asuhan, tampak sepuluh anak berusia lima sampai sepuluh tahun, berlarian di dalam pekarangan. Mereka tertawa bersama, saat memainkan permainan petak umpet. Seorang wanita dewasa,berkerudung dengan senyum penuh cinta, memperhatikan anak-anak tersebut. Wanita itu duduk sambil menggendong bayi merah yang baru saja diletakkan seseorang di pelataran panti asuhan miliknya, dini hari. Ponselnya berdering dua kali, ia menoleh ke meja di sampingnya, tempat ponsel itu tergeletak.[Hallo Assalamualaikum.][Wa'alaykumusslam.]Suara jawaban di sana membuat wanita dewasa itu sedikit tercekat. Suara yang sepertinya tidak asing baginya.[Betul ini panti asuhan Cinta Ibu?][Iya betul sekali, Pak. Ada yang bisa saya bantu.][Ini saya dan istri saya mau mengadopsi bayi baru lahir kalau ada laki-laki.][Oh, begitu. Baiknya bapak datang langsung ke tempat saya, Pak.][Baik, Bu. Rencananya saya besok pag