Sepanjang perjalanan, Brian masih saja tersenyum mengamati kedua tangan Ana yang mencengkeram jaketnya. Pelukan itu terasa sangat erat.Sebelumnya dia bersama Penelope tidak pernah. Bahkan hatinya pun bisa mengetahui jika seseorang yang berada di belakangnya itu benar-benar seorang ibu-ibu. Namun, sekarang berbeda. Dia merasakan getaran dan wajahnya pun bersemu. Rasanya ada sesuatu yang sangat membuat tubuhnya kaku. Bahkan Brian pun tidak bisa bernapas dengan baik. Hingga dia akhirnya menepikan sepeda motornya. Kemudian menarik napas panjang untuk mengatasi dirinya yang sangat tidak karuan itu.Ana yang berada di belakang terheran dan melepaskan pelukannya. Brian spontan menangkap tangan itu dan mengembalikan kembali seperti posisi semula."Kamu kenapa tiba-tiba berhenti di sini? Katanya kita akan pergi ke pantai. Kira-kira masih sangat jauh pantai itu." Ana berusaha melepaskan tangannya yang masih dicengkeram oleh Brian. "Kenapa sih seperti ini. Aku sangat takut. Kamu itu kenapa sebe
Mereka berlari kencang. Namun, beberapa pengawal itu lebih kencang dari mereka. Ana sedikit panik saat dia tersandung kemudian jatuh. "Argh!" teriak Ana.Brian bergegas mengangkat tubuh Ana, lalu menggendong, dan kembali berlari.Ana mengamati wajah Brian yang berkeringat. Berusaha untuk menyelamatkannya. Dia semakin mengeratkan pelukannya. Brian bertubuh kekar, sementara dia hanya sebatas dadanya saja. Tidak susah bagi Brian untuk mengangkat tubuhnya."Kenapa aku seperti ini? Ada apa denganku?" Ana merasakan sesuatu. Mungkinkah dia benar-benar jatuh cinta dengan pemuda itu, yang sudah membuktikan cintanya yang tulus. Namun, apakah dia akan malu jika mengakuinya?"Kita tidak akan pernah bisa kembali ke motorku. Tapi aku juga tidak tahu harus ke mana," ucap Brian terus mengedarkan pandangannya ke semua arah. Hingga dia melihat speed boat kosong. Dia segera berlari menuju ke sana.Brian meletakkan tubuh Ana di atas speed boat, kemudian dia segera masuk ke dalam. Tentu saja tidak ada ku
Lelaki itu menampakkan wajahnya yang sangat marah. Dia berjalan mendekati Brian, kemudian mengangkat tangannya sangat tinggi, "plak" dan menampar Brian sangat keras."Kau selama ini selalu membantah keinginan Ayah. Sekarang kau memperlakukan Ayah seperti ini? Cepat bawa dia pergi dari sini!" teriaknya dengan keras. Sepuluh pengawal segera mendekati Brian dan menarik pemuda itu."Lepaskan!" Brian meronta dengan sangat keras. Ana hanya bisa mengamati semua dengan tegang."Hentikan ini! Ada apa ini? Dia tidak pernah bersamaku dan kita tidak memiliki hubungan apa pun!" Ana berteriak mendekati lelaki tua itu. Memberikan pandangan sangat tajam. Memperlihatkan jika dirinya sangat berani, walaupun dia memang sangat takut."Aku tidak pernah bersama dirinya. Jangan pernah memperlakukan anakmu seperti itu, Tuan," ucapnya pelan, namun dengan pandangan menekan."Aku tidak peduli kau bersama dia atau tidak. Tapi yang jelas kau tidak pantas untuk anakku," balasnya dengan nada lebih menekan. "Ingatla
Romo menatap Ana dalam pandangan dingin. Gadis itu hanya membalas tatapannya saja tanpa berbicara sama sekali.Padahal hatinya memang bergetar. Dia tidak mau berpisah dengan ibunya. Tapi bagaimana lagi. Mana bisa dia melawan? Ana harus memikirkan cara yang lebih cerdik tanpa harus membuat kerusuhan. Tetapi dia yakin sang ayah pasti akan melindungi ibunya."Makan dan cepat habiskan. Kau harus kuat dan sehat. Karena kau harus kembali ke sekolah besok pagi. Kau akan memiliki identitas baru. Jangan pernah mengecewakan keluargamu," ucap Romo dengan tegas sebelum akhirnya meninggalkan ruangan itu tanpa mencicipi makanannya sedikitpun."Jangan seperti itu. Lakukan apa yang diperintahkan untukmu," lanjut Nyai lalu menyusul suaminya pergi dari sana.Amara bertepuk tangan kemudian tertawa sangat keras. Lalu berdiri dari duduknya mengamati Ana. Dia berjalan mendekati gadis itu kemudian memegang dagunya dan mengamati dengan sangat seksama. Ana tidak menampis tangannya. Dia membalas tatapan itu de
Ana berdiri tepat berhadapan dengan Amel. Tinggi mereka sama. Pandangan mereka saling beradu tajam. Amel sedikit bergetar dan terlihat jelas. Dia juga tidak bisa melakukan apa pun. Sudah jelas-jelas dia mengetahui saat Romo mengatakan kepadanya untuk tidak menyentuh Ana dan melukai sedikitpun. Namun, Amel masih berada pada tujuannya. Dia hanya ingin Brian.Sementara Ana sangat dendam karena Amel sudah meletakkan sesuatu yang sangat terlarang di tasnya dan membuat sang ibu sempat masuk ke jeruji besi. Hal itu tidak akan pernah dia lupakan."Ayo, kamu mau apa sama aku? Lakukan saja kalau berani. Sebentar lagi aku akan menguasai kediaman itu. Kau akan berada di bawah ku selamanya, Amel," ucapnya kemudian tertawa sangat keras. Semua siswa yang berada di belakang Amel pun ikut geram karena kemenangan Ana. Apalagi semua siswa segera mendekat dan memberikan salam kepadanya.Bambang yang Ingin mencuri perhatian Amel pun segera berdiri tepat di hadapan gadis itu. Amel sama sekali tidak memanda
Ana sedikit lega ketika mendengar ayahnya mengatakan jika ibunya baik-baik saja. Walaupun dia tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan Penelope. Sekali lagi ayahnya yang super tajir itu memberikan dia lapangan berkuda, dengan dua kuda yang sangat cantik sekali. Satu berwarna putih dan satu berwarna hitam. Didatangkan langsung dari luar negeri. Sangat besar sekali dan berlari dengan sangat gagah. Entah apa yang dipikirannya. Sekarang Ana dan ayahnya yang super tajir melintir itu kini menjalin hubungan sangat baik. Ana sangat bahagia memiliki Ayah yang sangat sabar dan setia menghadapi ibunya yang cukup keras itu."Aku tahu Ayah tidak akan pernah meninggalkan ibuku. Tapi aku harus pergi bersama dengannya bukan? Ya, aku akan mewarisi semua yang sudah ditentukan. Tapi aku tidak ingin berpisah dengan ibuku.""Tentu saja Ayah akan melakukan hal itu. Sekarang kau, aku serahkan kepada Brian. Dia Lelaki baik. Dia melawan ayahnya dan pergi bersamamu. Aku padahal berbicara dengan ayah
Mobil itu terpelanting ke kiri, memutar-mutar. Brian tidak bisa menghentikan dengan sangat baik. Mereka berempat mengatur napas saat masih berada di dalam mobil itu. Benar-benar Amel hampir saja membuat mereka mati dengan cara konyol.Ana segera keluar dari mobil itu. Dia tidak ingin berada di dalam. Ana sudah tidak mempedulikan Amel ataupun Brian lagi. Bergegas dia menarik Bambang. Ana tidak ingin berpisah dengan sahabatnya itu."Ana, kamu mau ke mana? Ini hampir saja gelap. Kita sebaiknya berempat bersatu saja. Jangan sampai pergi sendiri-sendiri seperti ini. Nanti kalau ada sesuatu bagaimana?" Bambang menarik Ana yang akhirnya menghentikan langkah. Apa yang dikatakan sang sahabat memang benar."Dia hampir saja membuat kita mati, Bambang. Bagaimana bisa aku kembali ke sana sama?" Ana semakin kebingungan. Apa yang harus dilakukan? Semua kanan kiri hutan. Hingga Brian berlari mendekatinya."Kita kembali. Mobil itu masih menyala. Kita akan pulang dan lebih baik Amel duduk di belakang b
Romo datang bersama Juragan. Terlihat sekali lelaki tua itu sangat marah. Anggara masih berada di dalam mobilnya. Dia tidak mengerti harus berbuat apa.Sebelum menyusul Ana, dia memang sempat pulang. Memohon sekali lagi kepada kedua orang tuanya. Anggara ingin semua mengizinkan Ana berkumpul dengan Penelope. Tapi ternyata tetap saja mereka menolak dengan keras. Bahkan mengancam akan membuat Anggara keluar dari kartu keluarga.Anggara pun menyetujui hal itu. Dan dia tidak peduli lagi. Bahkan selama ini dia selalu menjalankan tugas ataupun menjadi anak bangsawan dengan sangat baik. Menuruti kehidupannya yang sama sekali tidak membuatnya bahagia. Hingga dia menemukan Penelope yang bisa membuat hatinya cerah setiap hari."Tetap saja mereka menginginkan kau berpisah dengan Ibu," ucap Ana cemas. "Ayah, tapi Ibu tidak bisa bersama dengan lelaki itu. Lihatlah, dia sangat menjijikan sekali dengan senyumannya itu. Ayah, apa yang akan kamu lakukan?" lanjut Ana kini menangis. Anggara harus berbua
Amara tiba-tiba datang bersama dengan dua aparat kepolisian. Wanita itu sekarang berada di tengah-tengah mereka semua. Ada sesuatu yang sangat mengganjal di hati Penelope saat melihat sang tante sangat pucat sekali. Bahkan dia menggunakan kursi roda. Tubuhnya sangat kurus. Hati Penelope bergetar, tidak menyangka melihat keadaan tantenya yang semula sangat glamor dan sangat anggun itu, kini berubah sangat mengenaskan."Sebaiknya kita ke sana dan bertanya apa tujuannya ke sini. Jangan pakai emosi. Lihatlah, dia sangat pucat sekali. Mungkin penyakit sudah menggerogoti tubuhnya. Penelope, hilangkan masa lalu itu. Yang penting kita sudah bahagia," bisik Anggara dengan tersenyum tampan."Kita harus memaafkannya, Ibu. Sebagai manusia kita harus memaafkannya," imbuh Ana kemudian menarik Penelope untuk menuruni panggung.Amara tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Penelope menerima uluran tangan itu dengan bergetar."Aku mau minta izin untuk bertemu denganmu. Tentu saja mereka semua mengi
Ana sangat terkejut melihat kehadiran Amel. Gadis itu menatap Bambang dengan tersenyum. Mengamati sang sahabat dari atas sampai bawah. Dengan sangat seksi Amel mendekati Bambang, kemudian tidak segan-segan menatapnya dari dekat."Kamu ternyata sangat tampan sekali. Apalagi bisa berkelahi dengan hebat seperti itu. Katakan kepadaku. Apakah kau sudah punya pacar? Atau masih mau menungguku?" tanya Amel tanpa basa-basi. Bambang menarik tengkuk leher Amel. Kemudian menciumnya dengan sangat panas. Ana dan Brian terpaku saat melihatnya. Apalagi Amel membalas ciuman itu."Tentu saja aku tidak memiliki pacar. Aku berubah seperti ini karena dirimu, dan aku akan menjadi lelaki yang sangat mencintaimu. Menjagamu sampai kapanpun." Bambang mengeluarkan satu kotak berbentuk hati di saku celananya sebelah kanan. Kemudian membukanya."Kau ..." Amel terkejut saat di dalamnya ada cincin berhiaskan berlian berwarna biru. "Maukah kau menjadi pacarku, tunanganku, dan istriku?" ucap Bambang kemudian memasan
Penelope bersama dengan Anggara selalu saja bermesraan di manapun mereka berada. Bahkan Penelope selalu menemani Anggara di kantor saat bekerja. Anggara tidak bisa lepas sedikitpun dari sang istri."Aku akan memberikan kejutan untukmu," ucap Anggara saat berada di dalam kantornya. Penelope tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."Setiap hari kau selalu memberikan kejutan untukku. Kali ini apalagi?" tanya Penelope sambil bersedekap. Hingga Anggara memberikan satu undangan berwarna putih di depannya. Ada foto Pen dan Anggara pada saat pertama kali bertemu. Foto itu masih saja tersimpan di ponsel Anggara sampai saat ini."Apa ini?" tanya Penelope masih saja melotot tak percaya."Jika kau ingin mengetahuinya, ya buka saja." Anggara tersenyum, kemudian menatap Penelope yang membuka undangan itu. Tentu saja sang istri terkejut. Itu adalah undangan pernikahan mereka. Tepatnya pesta pernikahan mereka yang sempat tidak pernah mereka lakukan."Jadi setelah kita bersama selama 3 tahun kau ba
Pagi menjelang dengan cepat. Ana sudah bersiap-siap untuk pergi ke Inggris. Walaupun hatinya benar-benar resah, ingin sekali bertemu dengan Brian. Tapi dia harus mengorbankan hatinya dan tetap menjalankan perintah itu.Anggara dan Penelope, serta Nyai dan Romo, akan mengantar Ana menuju ke mobil yang akan membawa dia ke bandara. Namun, Ana semakin terkejut saat melihat sosok lelaki yang berada di depan mobil itu sambil bersedekap."Kenapa aku harus diantar oleh Kaisar, Ayah? Bukankah Ayah yang seharusnya mengantar aku? Untuk apa aku harus bersamanya? Ah, tidak menyukainya," ucap Ana dengan sewot. Anggara dan Pen hanya tersenyum, kemudian memeluk Ana sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil."Jaga dirimu dengan baik. Jangan nakal. Ingat, kamu itu pewaris sah. Jadi kamu harus menjalankan tugasmu dengan benar. Nilaimu juga harus tinggi. Jangan mempermalukan keluarga." Seperti biasa, Nyai dengan sangat cerewet memberikan wejangan sebelum pintu mobil tertutup. Romo hanya tersenyum dan melamba
Penelope benar-benar terkejut. Dia sampai meneteskan air mata saking bahagianya. Apalagi Anggara menggandeng Pen dan mengeratkan genggamannya itu, di telapak tangannya sebelah kanan. Raden kemudian tersenyum tampan dan menganggukkan kepala."Apakah ini mimpi? Aku semalam tidak bermimpi apa pun. Hatiku masih saja sakit. Aku ingin bertemu dengan anakku. Tapi ternyata sekarang aku menghadapi drama seperti ini. Sebuah drama yang sangat mengharukan, yang selama ini hanya ada di dalam mimpiku saja," ucap Pen kemudian menatap Anggara. Menarik telapak tangannya menuju pipinya. "Cubit aku, karena aku tidak mau terbangun dari mimpi yang indah ini," lanjutnya berkata dengan kedua mata yang berlinang air mata.Anggaran mencubit pipi Pen, kemudian tersenyum dan menggelengkan kepala. "Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Aku sudah berjanji akan berjuang mendapatkan dirimu dan Ana sampai titik darah penghabisan dan, ini adalah buktinya. Jika aku memang benar-benar mencintaimu," balas Anggara membuat Pen
Benar-benar di luar dugaannya. Anggara mengatakan hal itu? Ada apa ini? Apakah ini sebuah lelucon? Tidak ada angin, tidak ada perasaan, tidak ada hal apa pun yang Gracia rasakan. Hingga detik ini ... sampai tiba-tiba dia harus mendengarkan sang suami mengatakan hal yang sangat mengejutkan. Dan tentu saja ini membuat dia semakin besar kepala. Gracia tersenyum puas dengan semuanya. Keyakinannya untuk menang sudah di depan mata dan ini adalah semua yang dia rencanakan. Anggara pasti akan menyerah. Membuat dirinya menjadi istri sah satu-satunya yang akan melahirkan ahli waris, yang disetujui oleh dua pihak keluarga. Bukan Penelope, wanita yang sangat bencinya itu."Apakah kau mengatakan yang sebenarnya? Suamiku, ini tidak mungkin. Kau sudah membuatku sangat bahagia. Apalagi mengumumkan ini di depan semua orang. Tolonglah, jangan pernah menganggap ini lelucon. Karena aku tidak akan pernah memaafkan kamu." Gracia menatap sang suami dengan tajam. Dia ingin kepastian. Anggara tersenyum lalu
Ana masuk ke dalam kamarnya berteriak sangat keras. "ARGH!" Semua barang yang berada di hadapannya, dia singkirkan. Prang! Semuanya pecah berserakan di lantai. Para pelayan datang dan berusaha menenangkan gadis itu."Nona, tenanglah!"Mereka semua memegangi Ana. Gracia segera datang, setelah dia menghubungi seorang dokter. Gracia meminta dokter itu untuk menyuntikkan sesuatu kepada Ana agar tenang. Kebetulan dokter itu adalah teman dekatnya. Gracia memberikan uang yang sangat banyak, membuat Dokter wanita itu bisa melakukan apa pun yang Gracia minta."Bagus. Paling tidak dia tenang. Jika ada yang buka mulut, aku akan menghabisi kalian semua," ucapnya pelan dengan tersenyum puas. Kini dia menatap dokter itu. "Bayarannya sudah aku kirim ke rekening mu. Aku akan menghubungi mu kalau perlu.""Baiklah, aku pergi," balas dokter itu meninggalkan kediaman. "Pastikan dia tenang," ucap Gracia sebelum meninggalkan kamar Ana. Semua pelayan hanya bisa menundukkan kepala dan menuruti semua yang di
Ana masih saja menundukkan kepala. Awalnya dia tidak peduli dengan perkataan Gracia. Namun, ketika menyebut nama ibunya. Anak berdiri mendekati wanita itu dan menatapnya tajam. Mendadak mendorong Gracia hingga terjatuh ke belakang. Untung saja di belakang tubuh wanita itu adalah ranjang."Walaupun aku anak kecil tinggiku sama seperti denganmu. Jangan pernah membuat aku marah. Sekali lagi kau akan membuat ibuku menderita ... aku akan membunuhmu. Apa kau lupa dari mana aku berasal? Aku berasal dari jalanan. Bahkan aku sudah dua kali masuk penjara. Aku ... tidak takut apa pun," ucapnya pelan, namun dengan kedua mata yang tajam. Gracia segera berdiri merapikan kebayanya yang sangat berantakan. Dia menata rambutnya. Kemudian dia mengepalkan kedua tangannya. Tidak percaya Ana berani memperlakukannya seperti itu.Plak!Gracia menampar Ana dengan sangat keras. Gadis itu melotot tajam ke arahnya. Ingin sekali membalas tapi Ana tahan. Dia tidak mungkin melakukan itu dengan orang yang sudah tua
Di luar rumah sakit Pen menangis tanpa henti. Dia duduk di bawah pohon sambil meringkuk. Bahkan tidak peduli beberapa orang melihatnya."Pen! Kenapa kau seperti itu? Ayo bangun!" Pen terkejut Mawar tiba-tiba datang bersama Joko, kini berada di hadapannya. Dia segera memeluk sang sahabat yang ikut menangis dan tahu penderitaannya."Aku sudah menyerahkan dia. Aku tidak bisa lagi bertemu dengannya. Tapi aku harus menyerahkan dia, Mawar. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Tapi aku harus. Itu adalah kewajibanku. Aku sudah berdosa dan ini adalah hukuman untukku," balas Pen masih menangis. Mawar segera menarik sang sahabat dan mengajaknya masuk ke dalam mobil Joko. Lelaki itu masih terdiam mengamati semuanya."Sekarang tenangkan dirimu. Joko saat itu dibantu semua pengacara yang sudah dikirimkan Anggara, lalu kembar, juga membantumu. Semua kekayaan mu kini sudah kembali. Amara juga masih saja menerima hukumannya. Kau akan hidup dengan lebih baik." Mawar masih saja berusaha menyenangkan Pen denga