Aku pun tersentak kaget karena ulahnya. Bukan apa-apa hanya takut kalau-kalau kacanya akan pecah."Kau tahu, sekarang aku sudah berubah Aruni!"Mas Juna lalu membusungkan dadanya. Seolah begitu bangga akan dirinya.Yang kemudian membuat aku memperhatikan penampilannya. Dia memang sedikit berubah kini. Badannya lebih berisi, namun tidak begitu nampak segar menurutku. Aku lebih menyukai tampilannya yang dulu, lebih fresh.Mas Juna pun memakai jaket kulit yang kutaksir harganya cukup mahal, dengan kaos berwarna hitam, dan celana jeans. Yang masing-masingnya juga nampak baru dan mahal. Mungkin itu yang dia maksud berubah.Atau kunci mobil yang dari tadi ia mainkan begitu saja?"Waw ..., syukurlah ...!" Seruku pura-pura antusias.Padahal bagiku tak ada yang berarti sedikit pun."Kau pasti akan menyesal telah menolakku kemarin Aruni!" Katanya lagi, penuh dengan penekanan.Aku heran pada lelaki ini, apa memang tak ada yang penting yang bisa ia sampaikan selain hal-hal seperti ini?"Waw ...,
[Dah tidur?]Sebuah pesan masuk saat aku bersiap untuk tidur. Dio pengirimnya.[Belum, sedang siap-siap. Kamu sedang apa? Belum tidur?] Jawabku. Tanpa sadar menyunggingkan senyuman. Dio ini memang nampaknya punya magnet tersendiri, sehingga menimbulkan efek senyum-senyum pada diriku.[Siap-siap kemana? Sudah malam loh ini Aruni!Aku gak bisa tidur, banyak pikiran.][Siap-siap tidur, cuci muka, sikat gigi, skincare-an ..., hihi ..., makemak lyfe. Mikirin apa sih Di?] [Waw ..., ribet ya, mau tidur aja banyak banget rutinitas nya. Mikirin kamu, kemarin kenapa ga angkat telponku?]Apa iya aku melewatkan telepon darinya?Langsung kulihat riwayat panggilan telepon.Ah benar, ada dua panggilan darinya yang aku lewatkan. [Maaf ya kemarin terlalu crowded. Ada apa memang?]Ya, aku ingat setelah kedatangan Mas Juna kemarin, seketika jadi bad mood seharian. Membuatku tak mau menerima tamu atau telepon dari siapapun.[Besok sore free? Jalan yuk! Dinner.] Dinner? Aku membaca pesannya berulan
Beliau orang baik. Satu-satunya orang yang paling kusegani di keluarga ini. Dan kini orang baik itu telah pergi. Semoga almarhum diampuni segala dosanya oleh Allah SWT.Setelah selesai kami pun beranjak keluar, agar dapat memberi kesempatan para pelayat lain yang ingin mendoakan. Kami berpindah ke tenda, sambil menunggu jenazah akan di makamkan. Aku memperhatikan sekeliling, merasa ada yang kurang dari tadi. Tak kutemukan Mas Juna beserta Istri dan anak-anaknya. Padahal merekalah orang yang paling ingin aku hindari, harusnya aku bersyukur tak bertemu. Tapi tetap saja aneh. Karena Mas Juna adalah anak lelaki satu-satunya, seharusnya dia ada dan mengurus semuanya.Saat sedang duduk menunggu, segerombol ibu-ibu melewatiku menuju tempat duduk di belakangku yang memang masih kosong. Beberapa dari mereka berbisik sambil memperhatikanku."Eh itu kan Aruni, mantan istrinya Arjuna yang katanya ninggalin Arjuna pas lagi susah.""Iya istri gak tahu diuntung ya, suami susah malah ditinggalin. B
Dinner. Ini pertama kalinya untukku. Walau sudah pernah menikah, tapi tak pernah sekalipun Mas Juna mengajaku dinner secara spesial dulu. Kalau pun makan diluar paling kami hanya makan di kedai bakso atau pecel lele. Bagiku saat itu sudah cukup spesial.Sedangkan nanti, Dio mengajak makan malam di sebuah restoran yang katanya sangat romantis, apalagi di malam hari, dengan pemandangan langit yang akan terlihat indah, karena restorannya berada di salah satu tempat yang tinggi di kotaku. "Semoga saja tak turun hujan!" Kata Dio di telepon barusan, saat memastikan lagi tentang janji dinner kami.Sepulang melayat, sambil bermain bersama Arsy aku mencari-cari apa saja yang akan aku kenakan di acara dinner nanti.Setelah mengacak-acak hampir seluruh isi lemari, akhirnya pilihanku jatuh pada dress polos berwarna pastel dengan jilbab senada.Aku pun sudah mengantongi izin Bapak untuk pergi malam ini bersama Dio. Bapak sudah kenal cukup baik dengan Dio, beberapa kali mereka pun nampak seru ber
"Ya aku suka anak kecil dan ... suka kamu juga!" ucap Dio tegas.Jantungku tiba-tiba berdetak kencang lagi. Apa pula maksud yang dikatakan Dio barusan. Perkataannya berhasil membuatku tersipu.Dio masih dengan senyum nakalnya menatapku. Seketika langsung kutundukan muka. Malu.Aku lalu hanya terus kembali menikmati makan malam, yang entah kenapa menjadi lebih sulit. Tanpa sanggup menatap wajah Dio tentunya.Aku tak mengerti apa yang baru saja dilakukan Dio, aku tak tahu harus berbuat apa, untuk merespon ucapannya barusan. Aku hanya malu.Hingga akhirnya kami berdua sama-sama menghabiskan makan malam dalam keadaan yang canggung."Ehem," kudengar Dio berdehem.Lalu aku pun sedikit mengangkat wajahku, dan memandangnya."Hei, Aruni, kamu ngambek?"Tak kujawab pertanyaannya. Aku bukannya ngambek, hanya saja terlalu malu."Hei.. aku bercanda Aruni."Betul kan seperti dugaanku semua yang dia katakan tadi hanya bercanda. Dio mungkin tak ubahnya lelaki lain yang ingin menggodaku saja.Tiba-ti
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Dio menjadi tak biasa saja menurutku. Dio kini semakin intens mendekati. Jujur kuakui, aku pun suka dan menikmati dengan perhatian-perhatian kecilnya. Sekarang hampir tiap hari dia menjadi supir pribadiku, kecuali memang saat dia harus pergi keluar kota. Aku tak bisa menolak setiap dia menawarkan diri.[Aku jemput ya, Tuan Putri!]Apa aku harus menolaknya sedang di saat yang sama hatiku membuncah mengiyakan. Apalagi dengan segala sikap manisnya?Aku tak tahu, tapi mungkin ini salah satu bukti dari perrkataannya waktu itu. Hubungan yang lebih serius lagi.Sore ini, seperti biasa Dio mengantarku sampai rumah, dan turun sejenak untuk menyapa Arsy dan Bapak. Saat sedang menyajikan minuman untuk Dio dan aku, Mba Nina salah satu ART ku menanyakan hal yang cukup aneh."Bu, apa benar orang yang kemarin baru pindahan ke rumah kosong di belakang sana mantannya ibu ya?" Nina mengerenyitkan kening, nampak sekali penasaran.Namun aku tak mengerti maksud
Arsy yang tidak mengerti apa-apa hanya diam, ia menyodorkan makanan yang di pegangnya kepada Mas Juna. Namun Mas Juna sama sekali tidak menanggapinya. Kentara sekali, tidak ada ketulusan pada dirinya saat mendekati Arsy.Mas Juna lalu berdiri, masih dengan senyum angkuhnya kepadaku. "Apa kabar Dek?" Sapanya lembut, membuatku merinding saja. Dan apa tadi katanya? Dek? Setelah sekian lama dia tak memanggilku lagi dengan sebutan itu.Dio nampak sedang membaca keadaan yang tiba-tiba canggung ini. Berharao Dio dapat mengerti tanpa harus di beri penjelasan lagi. "Ada apa kau kesini Mas?" Tanyaku sinis.Sebenarnya aku takut, takut bila jawabannya adalah benar dia sudah pindah kesini."Apa tak boleh aku main kesini, dan menemui putriku?" Mas Juna balik bertanya.Hah, naif sekali dia, bilang mau menemui putrinya. Lalu selama 2 tahun kemarin kemana dia pergi. Tak sekali pun menampakan batang hidungnya untuk bertemu Arsy.Aku hanya mencebik padanya. Tak kuhiraukan pertanyaannya, seharusnya di
Mendapati kenyataan bahwa Mas Juna dan keluarganya tinggal di lingkungan yang sama denganku, sungguh membuatkku sakit kepala.Nampaknya aku harus meningkatkan kewaspadaan, Mengingat Mas Juna bahkan sudah 2 kali mendatangiku meminta agar bisa rujuk dengannya, bisa jadi dia akan melancarkan aksi lainnya lagi.Belum lagi, tentang Arsy, jujur aku takut dia akan mengancam kebersamaanku dengannya. Bukannya aku tak ingin mereka dekat sebagai ayah dan anak, tapi melihat kejadian tadi pagi saja aku bisa menilai Mas Juna tidak begitu menginginkan Arsy. Dio mengingatkan aku untuk tak ambil pusing akan keluarga mantan yang tiba-tiba menjadi tetangga baru itu."Biarkan saja mengalir, anggap saja mereka hanya orang lain yang kebetulan mengenal kita!" Katanya bijak saat aku menceritakan kegelisahanku.Hal yang sama juga dikatakan Bapak. Katanya, kita tetap harus berbuat baik pada mereka, selayaknya saudara sesama Muslim. Sedangkan tentang Arsy, bapak akan meminta Bi Susi untuk menjaganya bila meman
Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene
"Bagaimana kabar Dio?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya pada Fania sepupu Dio yang sedang menemaniku di rumah sakit.Sudah dua hari ini aku dan Dio mendapatkan perawatan setelah kejadian penyanderaan malam itu. Beruntung aku hanya kelelahan dan dehidrasi saja. Juga mendapatkan perawatan atas luka bakar yang diberikan Om Erlang di pahaku. Sedangkan Dio pagi tadi harus menjalani opersi besar karena livernya terluka akibat serangan yang ia terima saat menolongku."Dio masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah stabil sekarang." Kabar dari Fania cukup membuat aku lega, sungguh yang aku takutkan saat ini adalah kehilangan Dio setelah semua yang terjadi pada kami."Tenang, Dio pasti akan baik-baik saja. Operasinya sudah berhasil. Dan Dio pasti akan pulih dengan cepat, Aruni." Sepertinya Fania melihat kegelisahanku. Sambil menggenggam tanganku, wanita yang memang selalu ceria di setiap suasana itu berusaha menenangkanku."Terima kasih, Fania. Terima kasih atas semua dukun
"Kamu tahu Aruni, sekian tahun aku memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membalaskan dendamku ini. Sekian lama aku mencari siapa orang yang disayangi oleh Satyo, hingga akhirnya aku tahu tentangmu. Keponakan Satyo yang baru saja berkembang. Yang dijaga dan selalu diawasi Satyo. Aku mencari tahu tentangmu. Mencari cara bagaimana bisa mendekatimu. Sampai aku harus mendatangi mantan suamimu. Tapi semuanya nihil tidak berhasil!" lanjut Om Erlang lagi dengan menggebu-gebu. "Tapi ternyata takdir baik berpihak padaku. Tiba-tiba saja kudengar kamu menikah dengan Dio, keponakanku sendiri. Kamu seolah datang dan menyerahkan dirimu sendiri ke tanganku Aruni," Om Erlang kini membelai rambutku dengan lembut. Tapi seketika menimbulkan perasaan takut yang amat sangat pada diriku."Terima kasih Aruni! Terima kasih karena kau telah datang sendiri padaku!" ucap Om Erlang lagi dengan amat puas.Saat ini aku hanya bisa menangis. Puluhan rasa menjadi satu. Takut, bingung, sedih, marah kecewa semuanya k
Entah sudah berapa jam aku menunggu di dalam ruangan gelap dan pengap ini. Galang meninggalkanku begitu saja setelah ia mendapat telepon yang entah dari siapa tadi saat matahari masih cukup terang hingga kini sudah gelap gulita.Badanku kini terasa makin lemah aku teringat sejak pagi tadi belum mengkonsumsi apa pun karena memang tak nafsu. Belum lagi aku juga terus berusaha untuk melepaskan ikatan di badanku meski sama sekali tak ada perubahan apa pun.Sungguh rasanya aku hampir putus asa, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadapi ajal dengan cara yang mengenaskan begini.Saat sedang meratapi nasib, tiba-tiba terdengar sebuah mobil mendekat. Aku terus berusaha untuk tetap waspada. Entah kali ini apa yang akan terjadi padaku.Tak lama pintu pun terbuka, kulihat Om Erlang yang kupastikan otak dari semua ini datang menghampiri.Dengan begitu tenang, seolah tak terjadi apa pun, lelaki itu tersenyum manis padaku. "Aruni ... bagaimana rasanya berada di sini dengan keadaan terikat begini
Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan
"Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t
"Halo Aruni, perkenalkan saya Erlangga Putra Airlangga!" Suara bariton Om Erlang cukup membuatku terkesima saat pertama mendengarnya. Postur tubuhnya yang besar dan kekar sangat menampakkan sifat dominannya. Sekali lihat siapapun akan tahu bahwa dia adalah orang yang penuh kuasa.Om Erlang secara khusus menyambut kedatanganku dengan Dio. Ia menyunggingkan senyum yang tampak ramah saat menatapku. Meski jujur saja, senyumnya itu terlihat aneh terlukis di wajah sangarnya."Halo, Om... perkenalkan saya Aruni!" ucapku perlahan setelah Dio memberi isyarat agar aku membalas jabatan tangan dari Om Erlang."Kamu cantik sekali, Aruni!" puji Om Erlang yang masih tampak tersenyum menatapku."Terima kasih, Om!" Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa ucapannya bukanlah sebuah pujian."Maaf, ya, karena kami baru bisa menyambutmu menjadi keluarga sekarang, Aruni! Lagi pula Dio juga nih, menikah tanpa memberitahukan keluarga besar. Padahal kan seharusnya kamu mengu
"Sebenarnya acara apa itu, Dio?" tanyaku pada lelaki yang baru saja sampai dari tempat kerjanya saat ia juga ternyata menyampaikan undangan yang sama dari Om Erlang pada kami berdua.Aku benar-benar merasa curiga dengan undangan ini. Bukankah kemarin mereka masih mengibarkan bendera perang padaku, menuntut agar aku untuk meminta maaf atas kesalahan anaknya itu."Undangan biasa, kok, Sayang! Keluargaku kan memang suka mengadakan acara seperti ini. Sekalian katanya mereka ingin kenal denganmu!" terang Dio."Kamu yakin, Dio? Bukannya mereka kemarin masih menyindir-nyindir aku untuk meminta maaf pada Galuh, sekarang malah Galuh sendiri yang datang menemuiku untuk datang ke rumahnya. Seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia.""Mmmh... ya... pada dasarnya memang ini acara yang sering keluargaku adakan. Tapi.. acara besok memang sangat dadakan sekali. Bahkan semuanya baru dikabarkan sore tadi." Kini raut wajah Dio berubah serius. Ia pun mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras."S
"Bagaimana kondisi Arjuna? Apa saja yang kamu bicarakan dengannya tadi, Sayang?" tanya Dio yang kini sedang fokus dibelakang kemudinya. Setelah mendengar apa yang dibicarakan Mas Juna tadi, aku tak banyak bicara. Kepalaku sakit bukan main. Rasanya terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Rahasia Dio dan sepupunya Galuh, masalah dengan keluarga Galuh, tekanan dari Ibunya Mas Juna yang masih menyalahkanku atas kondisi anaknya saat ini, lalu kini ditambah lagi tentang apa yang dikatakan Mas Juna tentang Om Satyo dan lelaki bernama Hendro itu. Arghh.. semuanya benar-benar memusingkan.Aku tak segera menjawab pertanyaan Dio, rasanya malas untuk membuka mulut ini dan mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiranku tersentak saat Dio menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi menggenggam setir. "Are you okay, Honey? Dari tadi kamu ngelamun. Mikirin apa, sih?" tanya Dio sambil sesekali menatapku penuh khawatir."I'm okey, Dio! Sorry, aku lagi ga enak badan kayakn