[Hei dasar janda gatel! Jangan kau cari-cari perhatian sama suami orang ya!!!!]Sebuah pesan masuk di gawaiku. Lagi, entah untuk keberapa kalinya aku mendapatkan perlakuan yang sama seperti ini.Kadang jika sedang santai aku anggap saja hal -hal seperti ini lucu-lucuan. Hiburan saat penat.Karena biasanya setelah pesan ini terkirim, tak berapa lama seorang ibu-ibu akan meneleponku lalu marah-marah tak jelas.Kesal? Yup, tapi kuanggap saja mereka radio rusak, yang sedang ngomel-ngomel mencari kambing hitam untuk disalahkan karena perlakuan kurang ajar suaminya.Karena, toh sekalipun tak pernah aku melakukan apa yang mereka tuduhkan.Tebar pesona?Cari perhatian?Kegatelan?Aku hanya bersikap seperti biasanya. Bahkan mencoba sebisa mungkin membatasi interaksi dengan lawan jenis. Sebagai seorang janda tentunya aku tahu diri.Lagi pula tak pernah sekalipun berpikir untuk mencari perhatian laki-laki lain saat ini, entah itu single atau duda, apalagi lelaki beristri.Bagiku kini hanya ingin
[Aruni, jadi berangkat bareng ke pertemuan? Aku sebentar lagi sampai kantormu!]Adalah Dio Angga Putra, si lelaki murah senyum, tetangga, sekaligus teman baruku.Karena kami akan menghadiri acara yang sama siang ini, maka sebelumnya Dio menawariku untuk berangkat bersama. Seperti hari-hari biasa di setiap minggunya.[Iya, tolong jemput ya. Thanks before, Di]Siang ini kami akan menghadiri sebuah acara pekanan di kantor pusat pengusaha muda di kota. Sebuah acara mentoring bisnis bagi para pemula dengan agenda saling sharing ide kreatif.Dio sendiri, walau usianya lebih muda 1 tahun dibawahku, bertugas sebagai mentor nantinya. Sedang aku tentu saja menjadi salah satu peserta, karena masih sangat pemula dalam bidang bisnis.[Aku dah di parkiran ya!]Tak begitu lama pesan lainnya datang. Cukup cepat juga Dio sudah sampai di kantorku. Sepertinya ia memang sudah sangat dekat saat mengirimkan pesan sebelumnya tadi.Bergegas aku bersiap, mengambil tas, gawai dan beberapa berkas yang dibutuhkan
Pagi ini, sebelum berangkat kerja seperti biasa aku menghabiskan waktu untuk bermain dengan Arsy, gadis kecilku yang kini semakin lucu saja.Makin banyak tingkah menggemaskan yang dibuatnya. Bernyanyi, menari sambil sesekali menanyakan ini itu. Orang bilang anak seusia Arsy sedang lucu-lucunya.Bapak pun ikut bersamaku menyaksikan Arsy yang kini sedang berdendang sambil menggoyangkan badan. Semua tertawa akan nyanyian khas bayinya.Bahagia. Ya, inilah bahagiaku kini. Menyaksikan Arsy dan Bapak sehat. Itu sudah cukup bagiku. Rasanya tak ada apapun yang bisa menukar semua ini.Bahkan harta berlimpah yang kumiliki kini rasanya tak akan berarti jika dibandingkan kebersamaan dengan mereka.Namun, tak dapat dipungkiri aku pun kini memiliki tanggung jawab besar di 'Juara Food Company' ada ratusan kepala keluarga yang menggantungkan nasibnya disana.Maka walau berat, aku tetap harus bersemangat menjalani hari-hariku. Meski harus kehilangan waktu dan menitipkan Arsy pada Bi Susi di rumah.***
Aku pun tersentak kaget karena ulahnya. Bukan apa-apa hanya takut kalau-kalau kacanya akan pecah."Kau tahu, sekarang aku sudah berubah Aruni!"Mas Juna lalu membusungkan dadanya. Seolah begitu bangga akan dirinya.Yang kemudian membuat aku memperhatikan penampilannya. Dia memang sedikit berubah kini. Badannya lebih berisi, namun tidak begitu nampak segar menurutku. Aku lebih menyukai tampilannya yang dulu, lebih fresh.Mas Juna pun memakai jaket kulit yang kutaksir harganya cukup mahal, dengan kaos berwarna hitam, dan celana jeans. Yang masing-masingnya juga nampak baru dan mahal. Mungkin itu yang dia maksud berubah.Atau kunci mobil yang dari tadi ia mainkan begitu saja?"Waw ..., syukurlah ...!" Seruku pura-pura antusias.Padahal bagiku tak ada yang berarti sedikit pun."Kau pasti akan menyesal telah menolakku kemarin Aruni!" Katanya lagi, penuh dengan penekanan.Aku heran pada lelaki ini, apa memang tak ada yang penting yang bisa ia sampaikan selain hal-hal seperti ini?"Waw ...,
[Dah tidur?]Sebuah pesan masuk saat aku bersiap untuk tidur. Dio pengirimnya.[Belum, sedang siap-siap. Kamu sedang apa? Belum tidur?] Jawabku. Tanpa sadar menyunggingkan senyuman. Dio ini memang nampaknya punya magnet tersendiri, sehingga menimbulkan efek senyum-senyum pada diriku.[Siap-siap kemana? Sudah malam loh ini Aruni!Aku gak bisa tidur, banyak pikiran.][Siap-siap tidur, cuci muka, sikat gigi, skincare-an ..., hihi ..., makemak lyfe. Mikirin apa sih Di?] [Waw ..., ribet ya, mau tidur aja banyak banget rutinitas nya. Mikirin kamu, kemarin kenapa ga angkat telponku?]Apa iya aku melewatkan telepon darinya?Langsung kulihat riwayat panggilan telepon.Ah benar, ada dua panggilan darinya yang aku lewatkan. [Maaf ya kemarin terlalu crowded. Ada apa memang?]Ya, aku ingat setelah kedatangan Mas Juna kemarin, seketika jadi bad mood seharian. Membuatku tak mau menerima tamu atau telepon dari siapapun.[Besok sore free? Jalan yuk! Dinner.] Dinner? Aku membaca pesannya berulan
Beliau orang baik. Satu-satunya orang yang paling kusegani di keluarga ini. Dan kini orang baik itu telah pergi. Semoga almarhum diampuni segala dosanya oleh Allah SWT.Setelah selesai kami pun beranjak keluar, agar dapat memberi kesempatan para pelayat lain yang ingin mendoakan. Kami berpindah ke tenda, sambil menunggu jenazah akan di makamkan. Aku memperhatikan sekeliling, merasa ada yang kurang dari tadi. Tak kutemukan Mas Juna beserta Istri dan anak-anaknya. Padahal merekalah orang yang paling ingin aku hindari, harusnya aku bersyukur tak bertemu. Tapi tetap saja aneh. Karena Mas Juna adalah anak lelaki satu-satunya, seharusnya dia ada dan mengurus semuanya.Saat sedang duduk menunggu, segerombol ibu-ibu melewatiku menuju tempat duduk di belakangku yang memang masih kosong. Beberapa dari mereka berbisik sambil memperhatikanku."Eh itu kan Aruni, mantan istrinya Arjuna yang katanya ninggalin Arjuna pas lagi susah.""Iya istri gak tahu diuntung ya, suami susah malah ditinggalin. B
Dinner. Ini pertama kalinya untukku. Walau sudah pernah menikah, tapi tak pernah sekalipun Mas Juna mengajaku dinner secara spesial dulu. Kalau pun makan diluar paling kami hanya makan di kedai bakso atau pecel lele. Bagiku saat itu sudah cukup spesial.Sedangkan nanti, Dio mengajak makan malam di sebuah restoran yang katanya sangat romantis, apalagi di malam hari, dengan pemandangan langit yang akan terlihat indah, karena restorannya berada di salah satu tempat yang tinggi di kotaku. "Semoga saja tak turun hujan!" Kata Dio di telepon barusan, saat memastikan lagi tentang janji dinner kami.Sepulang melayat, sambil bermain bersama Arsy aku mencari-cari apa saja yang akan aku kenakan di acara dinner nanti.Setelah mengacak-acak hampir seluruh isi lemari, akhirnya pilihanku jatuh pada dress polos berwarna pastel dengan jilbab senada.Aku pun sudah mengantongi izin Bapak untuk pergi malam ini bersama Dio. Bapak sudah kenal cukup baik dengan Dio, beberapa kali mereka pun nampak seru ber
"Ya aku suka anak kecil dan ... suka kamu juga!" ucap Dio tegas.Jantungku tiba-tiba berdetak kencang lagi. Apa pula maksud yang dikatakan Dio barusan. Perkataannya berhasil membuatku tersipu.Dio masih dengan senyum nakalnya menatapku. Seketika langsung kutundukan muka. Malu.Aku lalu hanya terus kembali menikmati makan malam, yang entah kenapa menjadi lebih sulit. Tanpa sanggup menatap wajah Dio tentunya.Aku tak mengerti apa yang baru saja dilakukan Dio, aku tak tahu harus berbuat apa, untuk merespon ucapannya barusan. Aku hanya malu.Hingga akhirnya kami berdua sama-sama menghabiskan makan malam dalam keadaan yang canggung."Ehem," kudengar Dio berdehem.Lalu aku pun sedikit mengangkat wajahku, dan memandangnya."Hei, Aruni, kamu ngambek?"Tak kujawab pertanyaannya. Aku bukannya ngambek, hanya saja terlalu malu."Hei.. aku bercanda Aruni."Betul kan seperti dugaanku semua yang dia katakan tadi hanya bercanda. Dio mungkin tak ubahnya lelaki lain yang ingin menggodaku saja.Tiba-ti