Kadang memang hidup yang kita idam-idamkan, tidak selalu semanis saat menjalaninya.Dulu aku sering bermimpi menjadi orang kaya raya. Bersama Kak Dini aku mengkhayalkan nikmatnya bisa makan ayam goreng setiap hari, tinggal di rumah tingkat yang megah, dan Juga bahagianya memakai baju bagus setiap saat.Khayalan anak kecilku, alhamdulillah bisa aku wujudkan kini.Walau banyak orang yang bilang aku hanya memanfaatkan warisan hingga mencapai posisiku saat ini.Tapi bagiku tak masalah, toh memang tak sepenuhnya pendapat mereka salah. Hanya saja mereka tak tahu perjuanganku untuk bisa memutar uang tersebut agar bisa menghidupi banyak keluarga, kemudian melipat gandakan jumlahnya kini.Yah, melihat bisnisku yang makin berkembang kini membuatku sangat bersyukur. Padahal sungguh tak mudah untuk sampai diposisi ini. Jatuh bangun, berdarah-darah aku lewati. Banyak masalah datang silih berganti. Setiap malam bahkan aku tak dapat tidur nyenyak sebelum yakin besok semua akan berjalan baik-baik saj
Aku baru saja selesai mengikuti sebuah pertemuan persatuan pengusaha muda di kotaku.Acara ini penting mengingat aku bisa menjalin banyak relasi nantinya. Banyak juga hal baru yang bisa kupelajari terkait pengembangan bisnis. Dan yang paling aku suka adalah gerakan sosialnya yang begitu cepat, setiap kali ada yang kesusahan semua langsung bergerak.Saat berada di mobil dalam perjalanan kembali ke kanror, kulihat sebuah pesan masuk di gawaiku dari seseorang yang sudah sangat lama tak lagi berkirim pesan dengannya.Mantan ibu mertuaku.[Aruni, sudah dapat undangannya? Ibu harap kau menyempatkan untuk bisa hadir.]Ternyata Mantan Ibu mertuaku yang mengirimkan undangan tersebut.[Iya Bu, insyaAllah.]Kukira cukup hanya membalasnya seperti itu saja.[Jangan lupa ya untuk datang, jangan lupa bawa Arsy!]Pesannya lagi, namun aku tak membalasnya kini. Tak perlulah berbasa basi apapun lagi, aku tak mau banyak terlibat dengan mereka lagi kini.***Waktu sudah menunjukan jam pulang kerja. Akupun
Setibanya di rumah, Arsy menyambutku dengan penuh kehangatan. Rasanya semua penatku hilang seketika melihat senyumannya.Setelah mandi membersihkan badan. Akupun menidurkan Arsy. Aku sangat suka melihat wajah Arsy ketika terlelap. Rasanya penuh kedamaian dan tanpa beban."Aku berharap hidupmu akan lebih mudah dari Mama Arsy." Kataku perlahan sambil mengusap kepalanya.Setelah memastikan Arsy benar-benar sudah terlelap aku pun memeriksa gawaiku.Ternyata ada beberapa pesan masuk. Salah satunya dari Ibu Mas Juna lagi.Astagaaa... mimpi apa aku sampai sampai seharian ini terus diiberondong oleh mereka.Kubuka pesannya.[Aruni sudah tidur?][Belum Bu.][Aruni maaf Ibu mengganggu. Ibu butuh sedikit bantuanmu.][Apa Bu?][Bolehkah Ibu meminjam uang?][Untuk apa Bu?][Ini, biaya perniakahan Juna dan Ismi masih kurang.][Memang bikin acara besar ya Bu?][Engga sih, sederhana saja. Tapi masih kurang.][Memangnya butuh berapa Bu?][10 juta Aruni.]Aku menghela napas panjang. Kebingungan. Harusk
[Hei dasar janda gatel! Jangan kau cari-cari perhatian sama suami orang ya!!!!]Sebuah pesan masuk di gawaiku. Lagi, entah untuk keberapa kalinya aku mendapatkan perlakuan yang sama seperti ini.Kadang jika sedang santai aku anggap saja hal -hal seperti ini lucu-lucuan. Hiburan saat penat.Karena biasanya setelah pesan ini terkirim, tak berapa lama seorang ibu-ibu akan meneleponku lalu marah-marah tak jelas.Kesal? Yup, tapi kuanggap saja mereka radio rusak, yang sedang ngomel-ngomel mencari kambing hitam untuk disalahkan karena perlakuan kurang ajar suaminya.Karena, toh sekalipun tak pernah aku melakukan apa yang mereka tuduhkan.Tebar pesona?Cari perhatian?Kegatelan?Aku hanya bersikap seperti biasanya. Bahkan mencoba sebisa mungkin membatasi interaksi dengan lawan jenis. Sebagai seorang janda tentunya aku tahu diri.Lagi pula tak pernah sekalipun berpikir untuk mencari perhatian laki-laki lain saat ini, entah itu single atau duda, apalagi lelaki beristri.Bagiku kini hanya ingin
[Aruni, jadi berangkat bareng ke pertemuan? Aku sebentar lagi sampai kantormu!]Adalah Dio Angga Putra, si lelaki murah senyum, tetangga, sekaligus teman baruku.Karena kami akan menghadiri acara yang sama siang ini, maka sebelumnya Dio menawariku untuk berangkat bersama. Seperti hari-hari biasa di setiap minggunya.[Iya, tolong jemput ya. Thanks before, Di]Siang ini kami akan menghadiri sebuah acara pekanan di kantor pusat pengusaha muda di kota. Sebuah acara mentoring bisnis bagi para pemula dengan agenda saling sharing ide kreatif.Dio sendiri, walau usianya lebih muda 1 tahun dibawahku, bertugas sebagai mentor nantinya. Sedang aku tentu saja menjadi salah satu peserta, karena masih sangat pemula dalam bidang bisnis.[Aku dah di parkiran ya!]Tak begitu lama pesan lainnya datang. Cukup cepat juga Dio sudah sampai di kantorku. Sepertinya ia memang sudah sangat dekat saat mengirimkan pesan sebelumnya tadi.Bergegas aku bersiap, mengambil tas, gawai dan beberapa berkas yang dibutuhkan
Pagi ini, sebelum berangkat kerja seperti biasa aku menghabiskan waktu untuk bermain dengan Arsy, gadis kecilku yang kini semakin lucu saja.Makin banyak tingkah menggemaskan yang dibuatnya. Bernyanyi, menari sambil sesekali menanyakan ini itu. Orang bilang anak seusia Arsy sedang lucu-lucunya.Bapak pun ikut bersamaku menyaksikan Arsy yang kini sedang berdendang sambil menggoyangkan badan. Semua tertawa akan nyanyian khas bayinya.Bahagia. Ya, inilah bahagiaku kini. Menyaksikan Arsy dan Bapak sehat. Itu sudah cukup bagiku. Rasanya tak ada apapun yang bisa menukar semua ini.Bahkan harta berlimpah yang kumiliki kini rasanya tak akan berarti jika dibandingkan kebersamaan dengan mereka.Namun, tak dapat dipungkiri aku pun kini memiliki tanggung jawab besar di 'Juara Food Company' ada ratusan kepala keluarga yang menggantungkan nasibnya disana.Maka walau berat, aku tetap harus bersemangat menjalani hari-hariku. Meski harus kehilangan waktu dan menitipkan Arsy pada Bi Susi di rumah.***
Aku pun tersentak kaget karena ulahnya. Bukan apa-apa hanya takut kalau-kalau kacanya akan pecah."Kau tahu, sekarang aku sudah berubah Aruni!"Mas Juna lalu membusungkan dadanya. Seolah begitu bangga akan dirinya.Yang kemudian membuat aku memperhatikan penampilannya. Dia memang sedikit berubah kini. Badannya lebih berisi, namun tidak begitu nampak segar menurutku. Aku lebih menyukai tampilannya yang dulu, lebih fresh.Mas Juna pun memakai jaket kulit yang kutaksir harganya cukup mahal, dengan kaos berwarna hitam, dan celana jeans. Yang masing-masingnya juga nampak baru dan mahal. Mungkin itu yang dia maksud berubah.Atau kunci mobil yang dari tadi ia mainkan begitu saja?"Waw ..., syukurlah ...!" Seruku pura-pura antusias.Padahal bagiku tak ada yang berarti sedikit pun."Kau pasti akan menyesal telah menolakku kemarin Aruni!" Katanya lagi, penuh dengan penekanan.Aku heran pada lelaki ini, apa memang tak ada yang penting yang bisa ia sampaikan selain hal-hal seperti ini?"Waw ...,
[Dah tidur?]Sebuah pesan masuk saat aku bersiap untuk tidur. Dio pengirimnya.[Belum, sedang siap-siap. Kamu sedang apa? Belum tidur?] Jawabku. Tanpa sadar menyunggingkan senyuman. Dio ini memang nampaknya punya magnet tersendiri, sehingga menimbulkan efek senyum-senyum pada diriku.[Siap-siap kemana? Sudah malam loh ini Aruni!Aku gak bisa tidur, banyak pikiran.][Siap-siap tidur, cuci muka, sikat gigi, skincare-an ..., hihi ..., makemak lyfe. Mikirin apa sih Di?] [Waw ..., ribet ya, mau tidur aja banyak banget rutinitas nya. Mikirin kamu, kemarin kenapa ga angkat telponku?]Apa iya aku melewatkan telepon darinya?Langsung kulihat riwayat panggilan telepon.Ah benar, ada dua panggilan darinya yang aku lewatkan. [Maaf ya kemarin terlalu crowded. Ada apa memang?]Ya, aku ingat setelah kedatangan Mas Juna kemarin, seketika jadi bad mood seharian. Membuatku tak mau menerima tamu atau telepon dari siapapun.[Besok sore free? Jalan yuk! Dinner.] Dinner? Aku membaca pesannya berulan
Setelah 10 hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Dio diperbolehkan pulang. Tapi dengan catatan ia masih harus beristirahat dan tidak boleh banyak beraktivitas.Ayah dan Ibunya Dio telah menunggu kepulangan kami di rumah. Mereka sengaja menunggu Dio benar-benar pulih dulu baru datang ke Indonesia untuk menjenguk anaknya yang pernah hampir kehilangan nyawa itu.Saat pertama bertemu, Ayah dan Ibu seketika menghambur memeluk Dio juga aku diiringi dengan tangisan. Mereka begitu bersyukur karena kami masih diberi keselamatan dan umur yang panjang."Erlang itu memang keterlaluan! Sudah kubilang berkali-kali, membalas dendam hanya akan membuat kehancuran saja. Dan sekarang dia menanggung semuanya, kan?" ujar Ibunya Dio yang juga dengan penuh penyesalan. Ibunya Dio adalah adik dari Om Erlang yang juga merupakan kakak langsung dari Tante Astri. Menurut Ibu, ia juga begitu terluka akan kepergian adiknya. Bahkan Ibu sampai harus mengkonsumsi obat penenang selama satu tahun karena belum bisa mene
"Bagaimana kabar Dio?" tanyaku entah untuk yang ke berapa kalinya pada Fania sepupu Dio yang sedang menemaniku di rumah sakit.Sudah dua hari ini aku dan Dio mendapatkan perawatan setelah kejadian penyanderaan malam itu. Beruntung aku hanya kelelahan dan dehidrasi saja. Juga mendapatkan perawatan atas luka bakar yang diberikan Om Erlang di pahaku. Sedangkan Dio pagi tadi harus menjalani opersi besar karena livernya terluka akibat serangan yang ia terima saat menolongku."Dio masih belum sadar, tapi kata dokter kondisinya sudah stabil sekarang." Kabar dari Fania cukup membuat aku lega, sungguh yang aku takutkan saat ini adalah kehilangan Dio setelah semua yang terjadi pada kami."Tenang, Dio pasti akan baik-baik saja. Operasinya sudah berhasil. Dan Dio pasti akan pulih dengan cepat, Aruni." Sepertinya Fania melihat kegelisahanku. Sambil menggenggam tanganku, wanita yang memang selalu ceria di setiap suasana itu berusaha menenangkanku."Terima kasih, Fania. Terima kasih atas semua dukun
"Kamu tahu Aruni, sekian tahun aku memikirkan bagaimana cara terbaik untuk membalaskan dendamku ini. Sekian lama aku mencari siapa orang yang disayangi oleh Satyo, hingga akhirnya aku tahu tentangmu. Keponakan Satyo yang baru saja berkembang. Yang dijaga dan selalu diawasi Satyo. Aku mencari tahu tentangmu. Mencari cara bagaimana bisa mendekatimu. Sampai aku harus mendatangi mantan suamimu. Tapi semuanya nihil tidak berhasil!" lanjut Om Erlang lagi dengan menggebu-gebu. "Tapi ternyata takdir baik berpihak padaku. Tiba-tiba saja kudengar kamu menikah dengan Dio, keponakanku sendiri. Kamu seolah datang dan menyerahkan dirimu sendiri ke tanganku Aruni," Om Erlang kini membelai rambutku dengan lembut. Tapi seketika menimbulkan perasaan takut yang amat sangat pada diriku."Terima kasih Aruni! Terima kasih karena kau telah datang sendiri padaku!" ucap Om Erlang lagi dengan amat puas.Saat ini aku hanya bisa menangis. Puluhan rasa menjadi satu. Takut, bingung, sedih, marah kecewa semuanya k
Entah sudah berapa jam aku menunggu di dalam ruangan gelap dan pengap ini. Galang meninggalkanku begitu saja setelah ia mendapat telepon yang entah dari siapa tadi saat matahari masih cukup terang hingga kini sudah gelap gulita.Badanku kini terasa makin lemah aku teringat sejak pagi tadi belum mengkonsumsi apa pun karena memang tak nafsu. Belum lagi aku juga terus berusaha untuk melepaskan ikatan di badanku meski sama sekali tak ada perubahan apa pun.Sungguh rasanya aku hampir putus asa, sepertinya sebentar lagi aku akan menghadapi ajal dengan cara yang mengenaskan begini.Saat sedang meratapi nasib, tiba-tiba terdengar sebuah mobil mendekat. Aku terus berusaha untuk tetap waspada. Entah kali ini apa yang akan terjadi padaku.Tak lama pintu pun terbuka, kulihat Om Erlang yang kupastikan otak dari semua ini datang menghampiri.Dengan begitu tenang, seolah tak terjadi apa pun, lelaki itu tersenyum manis padaku. "Aruni ... bagaimana rasanya berada di sini dengan keadaan terikat begini
Sepulang dari pemakaman aku meminta waktu untuk beristirahat tanpa ingin diganggu siapa pun. Aku bahkan sudah meminta cuti untuk dua hari ke depan dari kantor karena rasanya saat ini aku tak bisa berpikir dengan baik.Dio menatapku penuh khawatir karena aku begitu murung dan lesu."Apa kamu sakit, Aruni? Kamu begitu lesu sejak kita pulang dari pemakaman tadi." Lelaki itu memegang keningku. Membandingkan suhu tubuhku dengannya. "Kamu gak demam, sepertinya kamu hanya kelelahan, Sayang! Kalau begitu istirahat, ya! Jangan terlalu banyak pikiran!" Dio mengusap kepalaku dan mengecupnya lembut. Lalu dengan penuh hati-hati lelaki yang belum setengah tahun menjadi suamiku itu menutupi tubuhku dengan selimut. Memastikan aku beristirahat dengan nyaman di kasur. Tak lama ia pun pamit pergi untuk kembali bekerja dan membiarkanku sendirian seperti yang aku minta sebelumnya.Dio memang baik, tapi bagiku saat ini kebaikannya hanya topeng untuk menutupi sesuatu yang besar yang sudah ia rencanakan yan
"Aruni ..." Suara Galang yang menyebut namaku menggoyahkan pertahananku. Entah mengapa dia bisa terlihat begitu mengintimidasi. Padahal aku tidak mengenalnya sama sekali. Jantungku makin berdebar kencang. Bahkan kurasa kakiku pun melemah saking ketakutannya. Sebisa mungkin aku menguatkan diri untuk menghadapi Galang, anak dari Om Erlang itu. Meski takut, aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan kepadaku.Namun, tiba-tiba saja sebuah tangan memegang pundak belakangku, membuatku refleks melihat siapa itu. Ternyata Dio kini sudah ada tepat disampingku. Sebuah rasa lega seketika memenuhi jantungku. Aku sangat bersyukur Dio datang di saat yang tepat."Ayo, kita pulang. Aku sudah pamit pada Om Erlang dan lainnya tadi!" ucap Dio dengan amat tegas sambil menatap tajam Galang yang kini berdiri angkuh di hadapan kami dengan senyuman yang sekan merendahkan.Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Galang, Dio menarik lenganku dan dengan cepat membawaku pergi meninggalkan lelaki demgan t
"Halo Aruni, perkenalkan saya Erlangga Putra Airlangga!" Suara bariton Om Erlang cukup membuatku terkesima saat pertama mendengarnya. Postur tubuhnya yang besar dan kekar sangat menampakkan sifat dominannya. Sekali lihat siapapun akan tahu bahwa dia adalah orang yang penuh kuasa.Om Erlang secara khusus menyambut kedatanganku dengan Dio. Ia menyunggingkan senyum yang tampak ramah saat menatapku. Meski jujur saja, senyumnya itu terlihat aneh terlukis di wajah sangarnya."Halo, Om... perkenalkan saya Aruni!" ucapku perlahan setelah Dio memberi isyarat agar aku membalas jabatan tangan dari Om Erlang."Kamu cantik sekali, Aruni!" puji Om Erlang yang masih tampak tersenyum menatapku."Terima kasih, Om!" Aku membalasnya dengan sebuah senyuman. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa ucapannya bukanlah sebuah pujian."Maaf, ya, karena kami baru bisa menyambutmu menjadi keluarga sekarang, Aruni! Lagi pula Dio juga nih, menikah tanpa memberitahukan keluarga besar. Padahal kan seharusnya kamu mengu
"Sebenarnya acara apa itu, Dio?" tanyaku pada lelaki yang baru saja sampai dari tempat kerjanya saat ia juga ternyata menyampaikan undangan yang sama dari Om Erlang pada kami berdua.Aku benar-benar merasa curiga dengan undangan ini. Bukankah kemarin mereka masih mengibarkan bendera perang padaku, menuntut agar aku untuk meminta maaf atas kesalahan anaknya itu."Undangan biasa, kok, Sayang! Keluargaku kan memang suka mengadakan acara seperti ini. Sekalian katanya mereka ingin kenal denganmu!" terang Dio."Kamu yakin, Dio? Bukannya mereka kemarin masih menyindir-nyindir aku untuk meminta maaf pada Galuh, sekarang malah Galuh sendiri yang datang menemuiku untuk datang ke rumahnya. Seakan tak ada yang terjadi antara aku dan dia.""Mmmh... ya... pada dasarnya memang ini acara yang sering keluargaku adakan. Tapi.. acara besok memang sangat dadakan sekali. Bahkan semuanya baru dikabarkan sore tadi." Kini raut wajah Dio berubah serius. Ia pun mengernyitkan keningnya seakan berpikir keras."S
"Bagaimana kondisi Arjuna? Apa saja yang kamu bicarakan dengannya tadi, Sayang?" tanya Dio yang kini sedang fokus dibelakang kemudinya. Setelah mendengar apa yang dibicarakan Mas Juna tadi, aku tak banyak bicara. Kepalaku sakit bukan main. Rasanya terlalu banyak yang harus aku pikirkan. Rahasia Dio dan sepupunya Galuh, masalah dengan keluarga Galuh, tekanan dari Ibunya Mas Juna yang masih menyalahkanku atas kondisi anaknya saat ini, lalu kini ditambah lagi tentang apa yang dikatakan Mas Juna tentang Om Satyo dan lelaki bernama Hendro itu. Arghh.. semuanya benar-benar memusingkan.Aku tak segera menjawab pertanyaan Dio, rasanya malas untuk membuka mulut ini dan mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja pikiranku tersentak saat Dio menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya, sementara sebelahnya lagi menggenggam setir. "Are you okay, Honey? Dari tadi kamu ngelamun. Mikirin apa, sih?" tanya Dio sambil sesekali menatapku penuh khawatir."I'm okey, Dio! Sorry, aku lagi ga enak badan kayakn