Kawasan Tanjong Pagar diserbu hujan deras malam itu, genangan-genangan air terbentuk yang memantulkan cahaya lampu neon dari gedung-gedung tinggi berkilauan. Tetesan air yang jatuh dengan cepat dan deras menciptakan suara gemuruh yang konstan, seperti ribuan drum kecil yang dipukul secara bersamaan. Bunyi klakson kendaraan dan deru kereta MRT (Mass Rapid Transit) yang melintas di atas viaduk menciptakan irama kota yang tak pernah tidur. Di antara hiruk-pikuk ini, ada bagian kota yang tampak sedikit lebih sunyi, jauh dari pusat keramaian. Sebuah gedung tua teguh berdiri dengan pintu masuk yang disembunyikan oleh bayangan gedung-gedung modern di sekitar. Tepatnya ada di lantai dasar gedung itu, cahaya kuning redup memancar dari sebuah jendela kecil, menandakan aktivitas di dalamnya.
Di sana, Ayesha berdiri di depan meja kerjanya, mengenakan jas lab putih yang tampak kebesaran, seolah dia terlalu sibuk untuk peduli pada detail penampilannya. Rambut hitam panjangnya diikat rapi ke belakang, menonjolkan wajah tirus dengan sorot mata tajam yang penuh konsentrasi. Tangannya lincah memindahkan tabung reaksi dari satu alat ke alat lainnya, sementara layar komputer di sebelahnya menampilkan grafik dan angka-angka kompleks yang hanya bisa dimengerti oleh seseorang dengan keahlian tinggi di bidang biologi. Di sekitarnya, terdapat peralatan pendukung canggih lain berupa mikroskop elektron, inkubator termal, dan kandang-kandang kecil yang terbuat dari kaca tebal.
Di salah satu kandang, segerombol tawon dengan tubuh besar yang bagian caput dan toraksnya berwarna oranye, sementara abdomen hitam dengan beberapa garis oranye tampak bergerak gelisah. Mereka adalah Vespa mandarinia, spesies tawon raksasa Asia yang terkenal karena sengatannya yang mematikan, karena dapat menyuntikkan racun dalam jumlah besar. Mereka biasa tinggal di hutan atau pegunungan berketinggian rendah. Namun, mengapa sekarang terkurung di dalam kandang?
Ayesha menatap serangga-serangga itu dengan penuh perhatian, mencatat setiap gerakan mereka di buku catatan yang sudah penuh dengan tulisan tangan rapi dan diagram.
“Spesimen ke-17 ini menunjukkan respons lebih baik terhadap lingkungan dingin,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam dentingan alat di laboratorium, “Jika ini berhasil, mereka bisa survive di iklim ekstrim mana pun.”
Dia mengambil salah satu tawon dengan pinset khusus, memasukkannya ke dalam tabung kecil berisi penuh gas anestesi. Serangga itu bergerak semakin pelan, sayapnya berkedut sebelum akhirnya kaku seperti batu. Dengan hati-hati, Ayesha meletakkan tubuh tawon itu di atas meja mikroskop.
“Struktur tubuh mereka luar biasa,” ujarnya sambil memperbesar gambar di layar monitor.
“Sayap yang dirancang untuk penerbangan jarak jauh, rahang kuat untuk menyerang mangsa, dan kemampuan mereka bertahan hidup luar biasa. Make sense kalau mereka disebut predator puncak di dunia serangga.”
Triiing... triiing... triiing...
Ponsel di saku jas lab Ayesha bergetar dan berdering tiba-tiba, menggeser perhatiannya pada objek di layar monitor. Suara itu bergema memenuhi seisi laboratorium, ia mendesah pelan. Saat melihat layar ponsel, ekspresi wajahnya kain berubah. Sebuah nama terpampang di sana ‘Daren’. Seketika, tangan Ayesha terhenti, seperti terjebak antara keinginan untuk abai atau menjawab panggilan. Ingatan tentang pria itu menyeruak ke pikirannya, membawa serta kembali rasa sakit yang selama ini dia coba singkirkan. Namun, keraguannya telak dikalahkan oleh rasa penasaran bercampur keheranan, dan dia mengangkat telepon itu.
“Ayesha,” suara Daren terdengar lembut, penuh keakraban yang terasa pahit bagi Ayesha. “Aku tahu ini mendadak, tapi aku perlu bicara denganmu.”
Ayesha menekan bibir bawahnya, menarik emosi yang mulai muncul ke permukaan. “Apa yang kau mau, Daren? Aku pikir kita sudah selesai,” suaranya dingin, hampir tanpa emosi, meskipun hatinya terguncang.
“Aku hanya ingin menjelaskan,” jawab Daren. “Aku tahu aku telah membuat kesalahan, tapi semua yang kulakukan waktu itu adalah untuk karirku. Aku tahu Kau mengerti betapa pentingnya pemilihan ini bagiku.”
Ayesha tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kepahitan, “Kesalahan? Kau meninggalkan aku untuk wanita lain yang keluarganya mendukung ambisi politikmu, lalu menyebutnya kesalahan? Tidak, Daren. Itu adalah keputusan. Kau memilih jalanmu, jadi jangan cari alasan!”
Hening menyelimuti sambungan telepon mereka sejenak. Suara hujan di luar terdengar semakin mengganas, seolah-olah mendukung gejolak emosi di dalam diri Ayesha. Dan akhirnya dia memutus panggilan itu tanpa peduli apa yang Daren coba katakan lebih lanjut. Tangannya gemetar saat meletakkan ponsel ke meja. Dia menutup kelopak mata, mencoba mengatur serta nafasnya. Kata-kata Daren terus terngiang di telinganya, mengantarkan kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
“Aku tidak akan membiarkan kamu menghancurkan aku lagi, Daren,” bisiknya pelan.
Ayesha membuka matanya dan kembali fokus pada objek di layar monitor. Inilah pelariannya, dunia yang dia ciptakan sendiri dalam laboratorium. Dunia yang memberinya kendali penuh, sesuatu yang tak pernah ia miliki selama terjebak dalam hubungan mereka – bersama Daren.
Pandangannya mengarah pada layar komputer. Data yang dikumpulkan belakangan menunjukkan bahwa modifikasi genetik pada tawon-tawon ini telah melampaui ekspektasinya. Mereka tidak hanya dapat bertahan dalam lingkungan ekstrim, tetapi juga mengembangkan kemampuan resistensi terhadap hampir semua jenis insektisida komersial.
“This is more than science,” gumamnya, “this is power.”
Dia berdiri dari kursinya, bergerak perlahan menuju jendela kecil di laboratorium itu. Di baliknya, hujan masih mengguyur deras. Singapura, dengan segala gemerlap dan hiruk-pikuknya, tampak seperti panggung besar di mana setiap orang berjuang demi kekuasaan. Ayesha tahu, dia sama saja. Dia juga menginginkan kekuasaan, tidak untuk menghancurkan orang lain, tetapi untuk memastikan dirinya tidak pernah dihancurkan lagi. Itulah alasan mengapa meninggalkan pekerjaannya di institusi besar dan memilih untuk bekerja sendiri. Dia tidak ingin berlutut di bawah kendali siapa pun, tidak lagi.
“Kau akan melihat, Daren,” katanya pelan, hampir seperti janji pada dirinya sendiri, “Aku akan memastikan bahwa aku lebih dari sekadar bayang-bayang ambisimu.”
Malam semakin menggurita, tetapi Ayesha tidak berhenti bekerja. Di salah satu sisi keheningan malam yang hanya dipecahkan oleh berisik suara hujan diluar jendela, dia tetap terpaku pada pekerjaannya. Meskipun lelah mulai merayap di tubuhnya, bagi Ayesha, malam yang panjang ini merupakan kesempatan untuk melarikan diri. Di dalam laboratorium kecil itu, di tengah suara hujan yang terus mengguyur, dia merancang masa depan yang hanya dia sendiri yang tahu.
Gemerlap cahaya dari lampu-lampu malam terpantul ke permukaan Singapore River yang tak sepenuhnya tenang. Sungai ini mengalir melalui pusat kota dengan melewati Jembatan Kim Seng sampai menuju ke Marina Bay. Bertahun-tahun sebelumnya, di tempat yang sama, di sebuah kafe kecil di tepian sungai, Ayesha duduk menunggu seorang pria yang telah merampas perhatiannya. Malam itu, tubuhnya berbalut gaun biru tua sederhana, rambut hitam terurai dengan sedikit gelombang, dan senyum gugup melukis wajah. Dia ingat betapa gugupnya dia, menanti pria bernama Daren itu. Daren, dengan pesona dan ambisi besarnya, menyusup ke kehidupan Ayesha seperti badai, meruntuhkan tembok pertahanan yang selama ini dia kokohkan.Mereka pertama kali berjumpa di sebuah seminar ilmiah yang diadakan NTU – tempat Ayesha menjadi pembicara tamu. Daren yang saat itu masih seorang mahasiswa pascasarjana dengan fokus pada politik dan hubun
Sebuah laboratorium kecil yang bertempat di lantai dasar gedung tua itu ibarat tempat perlindungan bagi Ayesha dari dunia luar. Di sana, dia merasa bisa mengontrol semuanya, sebuah kontras tajam dari perasaan tidak berdaya yang menghantuinya sejak pengkhianatan Daren. Akan tetapi suara hujan yang mengetuk jendela menyadarkan bayangan masa lalu tentang Daren yang belum benar-benar meninggalkannya. Daren masih hadir, bukan sebagai kenangan manis, melainkan sebagai luka terbuka yang senantiasa mengganggu pikirannya.Ayesha berdiri di depan kandang kaca, tawon-tawon raksasa hasil eksperimennya terkurung di dalam. Vespa mandarinia, dengan tubuh besar hitam-oranye berkilauan terkena pantulan cahaya lampu, terlihat layaknya simbol kekuatan dan ketangguhan yang ia inginkan. Dia melihat mereka dengan perasaan campur aduk, antara
Tok tok tokSuara ketukan pintu terdengar malam itu, menggema dan menyebar di dalam laboratorium yang sunyi. Ayesha saat itu tengah memeriksa kembali data hasil eksperimen pada layar komputer ketika ketukan dari arah pintu menginterupsi konsentrasinya. Mulanya, dia berpikir bahwa itu adalah ilusi semata, tetapi terbantah sudah ketika ketukan itu terdengar lagi, lebih keras dan semakin jelas. Berangkat dari separuh keraguan, Ayesha melepaskan diri dari kursi, langkah-langkah pelan dituntun menuju sumber suara. Pertanyaannya cuma satu.Siapa gerangan yang akan mencarinya di tempat terpencil seperti ini?Dan faktanya hanya segelintir orang saja Ayesha yakin mengetahui keberadaan laboratorium independen kecil barunya ini.Saat kenop pintu diputar dan pintu tertarik ke
Langit malam kian larut saat Ayesha menangkap suara langkah kaki yang berat dengan telinganya mendekat ke pintu laboratorium. Pintu yang seharusnya tidak mudah ditemukan, terlebih oleh orang luar. Rasa curiga langsung menjalari tubuhnya, memicu degup jantung lebih cepat. Tatapannya tertuju ke pintu dengan kening berkerut, layar komputer berisi data eksperimen tawon yang menjadi fokusnya sedari tadi terabaikan.Ketukan semakin keras terdengar, tidak seperti ketukan biasa. Terdapat irama tertentu yang berkesan, seperti seseorang yang ingin menunjukkan kehadirannya tanpa ragu. Ayesha memilih berjalan pelan ke arah pintu, terhenti sejenak sebelum membukanya. Dengan nafas tertahan, dia memberanikan diri untuk membuka pintu sedikit, sekilas untuk melihat wajah yang belum pernah dikenalnya. Sosok itu tinggi, tegap, dengan jas hitam yang terkesan mahal. Mata dengan iris birunya tajam dan menusuk, menatap langsung
Cahaya pagi menyusup masuk ke apartemen mereka yang minimalis, memantulkan kemewahan sederhana dari lantai kayu yang mengkilap. Ayesha tengah duduk di kursi dekat dapur, mengenakan piyama sutra berwarna sage, memegang secangkir teh hangat di tangannya. Di atas meja, vas bunga mawar merah yang sudah mulai layu tetap berdiri layaknya hubungan mereka yang kian terasa rapuh. Pikirannya sedang terbang, tersangkut pada jaring kekosongan yang sulit diuraikan, sementara suara langkah Daren mencatut jarak kian mendekat dari arah kamar tidur.Daren muncul seperti biasanya dengan jas formal yang kali ini berwarna abu-abu, dasinya sudah tergantung rapi di leher tanpa bantuan Ayesha. Rambut hitam pendeknya disisir sempurna menonjolkan wajah karismatik. Namun, kali ini, ada sedikit perbedaan dalam gerak-geriknya. Langkah Daren terlihat tergesa-gesa, tatapannya enggan menyapa mata Ayesha saat dia melangkah ke dapur untuk
Malam itu, hujan deras kembali mengguyur seisi kota. Ayesha duduk tenang di ruang tamu, mengerjakan laporan hasil penelitiannya sambil sesekali melirik ponsel yang tergeletak di meja. Daren masih belum menapakkan kaki di apartemen, meski sudah pukul sepuluh malam. Perasaan yang awalnya tenang berubah menjadi gelisah. Pikirannya tak berhenti berputar, menerka-nerka apa sekiranya yang menjadi penyebab keterlambatan Daren, tetapi malah kecurigaan yang semakin mencuat ke permukaan. Padahal sudah beberapa kali Ayesha mengubur perasaan itu.KlekkKetika akhirnya Daren masuk kembali pulang, jasnya basah kuyup diterjang hujan, tetapi senyumnya tetap tenang dan biasa saja,"Aku terlambat lagi, maaf ya Ayesha," katanya sambil melepas dasi dan menggantungkan jaket di dekat pintu.A
Ketegangan begitu mewarnai suasana apartemen malam itu. Meski lampu ruangan menyala terang, tetapi tidak cukup agaknya mengusir kegelapan. Bukan kegelapan dalam artian sejati, tapi kegelapan yang menggantung di antara Ayesha dan Daren. Ayesha berdiri di ruang tamu, tubuhnya tegang dan nafas yang tersengal-sengal. Di tangannya, dia menggenggam ponsel saksi bisu perselingkuhan Daren. Tatapannya berubah tajam, menusuk langsung ke arah pria yang selama ini dia cintai. Daren, di sisi yang berlawanan, berdiri beberapa langkah, mencoba terlihat tenang, tetapi tangan yang perlahan bergerak ke arah dasi menunjukkan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.“Kita perlu bicara, sekarang juga,” suara Ayesha memecah keheningan. Suaranya meskipun tidak keras, tetapi penuh tekanan yang menggambarkan amarah yang dia coba tahan.Daren menatapnya dengan alis berkeru
Hari-hari setelah perdebatan dengan Daren itu berlalu dengan lambat, waktu seolah-olah sengaja mempermainkan Ayesha. Dia merasa bayangan dirinya terjebak dalam lingkaran pikiran infinity. Apartemen yang biasanya menjadi tempat perlindungan yang nyaman kini terasa seperti penjara. Dindingnya tampak lebih sempit, udara terasa berat dan setiap sudut ruangan seakan menyimpan kenangan berhantu.Ayesha menjadi lebih sering duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Meskipun di luar, seisi kota sibuk bergerak dengan ritmenya yang normal, tetapi bagi Ayesha, bumi terasa berhenti berotasi. Kumpulan catatan dan data eksperimen di meja kerjanya sama sekali tak tersentuh selama berhari-hari. Bahkan tawon-tawon Vespa mandarinia
Ayesha duduk di tepi ranjang medis kecil di sudut laboratorium itu, tubuhnya dilingkupi bayang-bayang lampu neon yang suram. Cahaya redup lampu seperti mengungkap setiap garis kelelahan di wajahnya, sementara napasnya berhembus pelan, terputus-putus seperti angin lemah yang berusaha menembus celah pintu yang rapat. Matanya menatap dinding putih di hadapannya, kosong, tak peduli pada retakan kecil di sudut atas yang biasanya menarik perhatiannya. Sekarang, dunia serasa melambat, penuh dengan gema sunyi dari rasa sakit dan bayang-bayang kejadian beberapa jam lalu.Bahunya yang terluka masih terasa menyengat, seperti api yang tak kunjung padam, membakar setiap saraf yang dilaluinya. Kulit di sekitar luka itu memerah, membengkak dengan brutal, meski sedikit demi sedikit efek dari serum penawar racun—buah kerja kerasnya selama berbulan-bulan—mulai mengurangi penderitaannya. Namun, bukan luka di bahu
Laboratorium bawah tanah itu dipenuhi suara dengungan rendah yang semakin lama semakin intens. Cahaya dari layar komputer memantulkan serangkaian data yang terus diperbarui, memperlihatkan grafik perubahan respons Vespa mandarinia terhadap sinyal feromon terbaru yang dikembangkan Ayesha. Dengan napas tertahan, Ayesha berdiri di depan kandang kaca, menatap tajam puluhan tawon yang diam di dalamnya, seolah menunggu aba-aba.Dia menggeser kursor pada layar sentuh dan menekan tombol aktivasi. Gas feromon baru mulai menyebar di dalam kandang, tidak berwarna, tidak berbau bagi manusia, tetapi memiliki dampak luar biasa bagi makhluk-makhluk kecil itu. Awalnya, mereka tetap diam. Lalu, dalam hitungan detik, tubuh mereka mulai bergerak, sayap mereka bergetar lebih cepat, dan antena mereka bergoyang seolah-olah merespons sesuatu yang tidak kasatmata.Ayesha mengamati dengan saksama sambil bergumam, “Sempurna!”Namun, sebelum dia bisa menarik kesimpulan lebih jauh, sesuatu yang tidak terduga te
Ruang pertemuan di markas Alexei dipenuhi oleh atmosfer yang tegang, seolah-olah setiap molekul udara membawa beban dari rencana besar yang akan segera dieksekusi. Di tengah ruangan, sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu mahoni gelap terlihat kokoh dan berwibawa, di atasnya terbentang peta kota Singapura dengan detail yang luar biasa. Peta tersebut tidak hanya menampilkan jalan-jalan utama dan kawasan penting, tetapi juga ditandai dengan titik-titik merah yang menandakan area potensial untuk eksekusi Operasi Vespa—sebuah proyek rahasia yang akan mengubah keseimbangan kekuasaan di kota ini.Ayesha berdiri di salah satu sisi meja, mengenakan setelan formal yang rapi namun sederhana. Matanya yang tajam dan penuh konsentrasi mengamati setiap titik merah di peta, memetakan setiap langkah yang harus diambil. Wajahnya yang cantik namun tegas menunjukkan determinasi yang tidak goyah, mencerminkan beban
Malam semakin larut di laboratorium bawah tanah, suasana sunyi terasa mencekam. Lampu neon yang bersinar redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, memberikan kesan suram pada ruangan tersebut. Di sudut ruangan, Ayesha duduk di depan layar komputer yang berkedip-kedip dengan cepat, matanya meneliti data yang terus berganti. Mata tajamnya memindai setiap informasi yang muncul, mencari jawaban dari anomali yang mulai terjadi. Jari-jarinya bergerak dengan kecepatan tinggi, mengetik sederet kode dan perintah, mencoba menemukan pola dalam data yang tidak biasa ini.Di meja di depannya, ada beberapa kandang kaca berisi tawon Vespa mandarinia, yang bergerak dengan gelisah. Perilaku mereka aneh, tidak seperti biasanya. Tawon-tawon itu tidak hanya merespons perintah feromon dengan lebih lambat, tetapi beberapa di antara
Malam itu, di sebuah gudang tua yang terletak jauh di perbatasan kota, Ayesha berdiri dengan tenang, matanya meneliti kandang kaca besar yang berada di tengah ruangan. Di dalamnya, puluhan Vespa mandarinia hasil modifikasi berkerumun, sesekali menggetarkan sayap mereka dengan suara mendengung yang nyaris menggetarkan dinding-dinding logam di sekitar mereka. Lampu di langit-langit hanya memberikan pencahayaan redup, menciptakan bayangan panjang di wajah Ayesha yang tampak lebih tajam dari biasanya.Di sudut lain ruangan, Alexei hanya duduk di kursi logam, satu kaki bertumpu pada lututnya sementara jemarinya memainkan pemantik api dengan santai. Di belakangnya, dua anak buahnya berdiri dengan ekspresi waspada. Mereka telah melihat banyak hal mengerikan dalam pekerjaan mereka, tetapi apa yang Ayesha bawa ke hadapan mereka m
Laboratorium rahasia yang disediakan Alexei terletak di sebuah bunker bawah tanah, tersembunyi di pinggiran kota Singapura. Dinding-dinding baja dingin memantulkan cahaya putih dari lampu-lampu neon di langit-langit, menciptakan suasana yang steril dan penuh ketegangan. Di tengah ruangan, berbagai alat laboratorium berteknologi tinggi memenuhi meja-meja panjang. Tabung-tabung reaksi berisi cairan berpendar hijau dan biru, serta inkubator yang menyimpan spesimen Vespa mandarinia yang telah dimodifikasi, berdengung dengan suara mesin yang stabil.Ayesha berdiri di depan layar komputer, tangannya bergerak cepat di atas keyboard. Di layar, tampak serangkaian kode genetik yang sedang dia sesuaikan. “Kita harus meningkatkan produksi neurotoksin alami mereka agar sengatan mereka menjadi lebih mematikan,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.Di sampingnya, seorang asisten laboratorium yang direkrut Alexei, seorang ahli bioteknologi muda bernama Marcus, menatap lay
Jauh di bawah tanah yang tersembunyi di jantung Singapura, sebuah laboratorium rahasia berdiri kokoh dengan suasana yang misterius dan berkelas. Di dalam ruang yang penuh dengan alat-alat canggih dan teknologi mutakhir, Ayesha berdiri di depan meja laboratorium yang dipenuhi berbagai peralatan seperti tabung reaksi yang berwarna-warni, mikroskop elektron yang mencermati objek dengan presisi tinggi, dan kandang-kandang kecil yang berisi koloni Vespa mandarinia hasil modifikasi awalnya. Cahaya redup dari lampu overhead memantulkan bayangan tajam di wajahnya, menciptakan kesan dingin dan penuh determinasi. Wajahnya yang cantik tetapi tegas menunjukkan fokus yang tinggi pada pekerjaannya.Di sisi lain ruangan, duduklah Alexei di kursi kulit hitam yang elegan, menyesap anggurnya dengan elegan. Tatapannya sulit ditebak, mencerminkan kecerdasan dan ketenangan yang menakutkan. Dia memandang Ayesha dengan ketertarikan yang tidak sepenuhnya disembunyikan, seolah-olah melihat lebih dalam ke dala
Sebuah ruangan tampak gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu meja, dimana Ayesha berdiri dengan nafas dalam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tak jauh di depannya, Alexei duduk dengan santainya di kursi yang terbungkus kulit hitam. Sebuah amplop berisi dokumen terselip di tangannya. Mata biru yang dingin menatap Ayesha penuh perhitungan.“Waktunya untuk langkah pertama,” ujar Alexei, suaranya terdengar tenang tetapi mengandung otoritas yang tidak terpecahkan.Dia melempar amplop itu ke atas meja, mendorongnya ke arah Ayesha,“Di dalam terdapat informasi tentang target pertama kita, bukan orang besar, tapi cukup penting sebagai pengirim pesan,”Ayesha menatap amplop itu tanpa bergerak. Tangannya sedikit berkeringat, meski
Malam itu, Ayesha duduk di balkon apartemen Alexei, gemerlap lampu kota Singapura yang bersinar di bawah langit malam menjadi pemandangan sehari-hari. Angin berhembus pelan, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Dia menggenggam secangkir kopi di tangannya, menikmati kehangatan yang menyebar di jemarinya. Tak jauh darinya, Alexei berdiri bersandar di pagar balkon, sebuah gelas anggur merah di tangan kanan.“Jadi, Anda benar-benar tidak merasa takut setelah apa yang terjadi tadi malam?” suara Alexei memecah keheningan.Ayesha menoleh, matanya yang tajam namun tenang terpancar,“Jika saya takut, saya tidak akan ada disini,” jawabnya datar.Alexei berbalik mengamati ekspresinya selama beberapa detik sebelum mengangguk kecil.