Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar malam itu, menggema dan menyebar di dalam laboratorium yang sunyi. Ayesha saat itu tengah memeriksa kembali data hasil eksperimen pada layar komputer ketika ketukan dari arah pintu menginterupsi konsentrasinya. Mulanya, dia berpikir bahwa itu adalah ilusi semata, tetapi terbantah sudah ketika ketukan itu terdengar lagi, lebih keras dan semakin jelas. Berangkat dari separuh keraguan, Ayesha melepaskan diri dari kursi, langkah-langkah pelan dituntun menuju sumber suara. Pertanyaannya cuma satu.
Siapa gerangan yang akan mencarinya di tempat terpencil seperti ini?
Dan faktanya hanya segelintir orang saja Ayesha yakin mengetahui keberadaan laboratorium independen kecil barunya ini.
Saat kenop pintu diputar dan pintu tertarik ke dalam, Ayesha kaget bukan kepalang menangkap sosok Daren berdiri di hadapannya. Pria yang saat ini sudah mencapai mimpinya dulu mengenakan jas gelap yang mengkilap, rambut disisir rapi ke belakang, seperti biasa menunjukkan citra dan aura sempurna untuk seorang politisi ambisius. Ayesha hampir tak mengerjap. Kali ini, Daren datang dengan sesuatu yang berbeda pada tatapan matanya — suatu kelembutan palsu yang nyaris menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap di sana.
“Ayesha,” sebut Daren, suaranya lembut diselimuti ketegasan, “kau terlihat baik, rasanya sudah lama, ya?”
Pertanyaan mencurigakan Daren tak langsung menjawab Ayesha. Dia masih menatap pria itu dengan mata tajam, memperhitungkan lebih dulu setiap gerak-geriknya,
"Kamu mau apa disini, Daren? bagaimana caranya bisa menemukan tempat ini?"
Bibir Daren melengkung tipis, senyum yang sebelumnya sempat membuat Ayesha merasa aman, tetapi tidak lagi sekarang. Perangai itu hanya meninggalkan rasa curiga.
“Aku selalu punya cara, kurasa kau tahu itu, Aku datang hanya karena ingin bicara, itu saja, Ayesha.”
Merasa ada yang tidak beres, tangan Ayesha menyilang di dada, ia tetap berdiri di ambang pintu sama sekali tak membiarkan Daren melangkah lebih jauh,
“Kalau begitu bicarakan saja di sini, waktuku tidak untuk permainanmu,”
“Terimakasih Ayesha, aku sebenarnya tidak ingin membuat rumit keadaan, aku merasa kita perlu menyelesaikan apa yang belum selesai,”
“Selesai?” Ayesha tertawa kecil tanpa kebahagiaan, “bagiku semuanya sudah selesai, Daren, ketika kau lebih memilih seorang wanita kaya yang keluarganya mendanai ambisi politikmu dan mencampakkan aku, lalu apa lagi yang belum selesai?”
Daren menutup mulutnya sejenak, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diluncurka,
“Aku tahu aku yang salah, aku minta maaf telah menyakitimu, tapi Ayesha, aku seperti tidak punya pilihan lain waktu itu, kau tahu bukan betapa pentingnya posisi ini untukku?”
“Kau bilang tidak punya pilihan, Daren?” nada suara Ayesha tanpa sadar semakin meninggi, matanya berkilat penuh emosi, “Apa perlu aku beritahu jika semua ini tentang pilihan, pertama, kau memilih kariermu, kedua, kekuasaan, dan ketiga kau memilih untuk menelantarkan aku, so stop saying you didn’t have choices!”
Tampaknya Daren mulai terguncang, tetapi dengan segera mendapatkan kembali dirinya,
“Saat itu kau tidak mengerti dengan tekanan yang aku alami, Ayesha, semua orang berharap begitu banyak dariku, keputusan yang harus aku buat sangat sulit,”
“Keputusan yang sulit, ya? Aku itu orang yang selalu ada untukmu, Daren, di balik ide dan rencana program sosial yang kamu ajukan untuk menarik PA, aku juga yang mencarikan data riil untuk memperkuat argumenmu, pidatomu supaya apa yang keluar dari mulut politikus ini berkesan di mata orang-orang, tak sampai disitu aku bahkan mengesampingkan karierku sendiri untuk mendukung ambisimu, jadi, jangan berani lagi bicara padaku tentang keputusan sulit,” suara Ayesha bergetar, bukan masalah takut, tetapi kemarahan dan kekecewaan yang membuncah.
Dan untuk pertama kalinya, Daren terlihat kehabisan kata-kata. Kepalanya tertunduk. Dia menarik napas panjang sebelum mengangkat tatapannya kembali ke mata Ayesha,
“Aku ke sini tidak untuk memperdebatkan masa lalu, Ayesha, aku di sini karena aku butuh bantuanmu.”
Kata-kata itu hanya membuat Ayesha diam. Dia memandang Daren tanpa sorot percaya sedikitpun,
“Bantuan?” ulangnya dengan suara yang terdengar dingin, “setelah semua yang kau lakukan, sekarang kau datang untuk meminta bantuan? sepertinya kau memang batu,”
“Aku tahu, Ayesha, aku tahu aku tidak pantas untuk meminta apapun darimu,” Daren melanjutkan, “tapi kini situasinya sedang rumit, ada isu lingkungan yang mempengaruhi salah satu distrik tempatku memimpin CDC, dan aku pikir kau mungkin selalu punya solusi,”
Kening Ayesha berkerut pecah antara rasa penasaran dan kemarahan,
“Isu lingkungan? sepertinya kau terlalu bodoh sampai berpikir aku akan begitu saja membantumu, kau benar-benar tidak tahu malu, Daren,”
“Ayesha, dengar! ini bukan hanya tentang aku, melainkan tentang ribuan orang yang bergantung padaku sebagai pemimpin mereka, aku tahu betul kau adalah ilmuwan terbaik di bidang ini, apabila ada seseorang yang bisa membantu, yaitu adalah kau, Dr. Ayesha Al-Farisi,”
Perkataan Daren, meskipun terdengar tulus membuat Ayesha semakin curiga. Dia tahu, Daren terlalu pintar untuk tidak memanipulasi keadaan demi kepentingan pribadi.
“Kau hanya peduli dengan citra dan reputasi, bukan? jika aku membantu, dengan begitu kau bisa menyelamatkan wajahmu di depan para councils, maka dari itu aku tidak akan mau jatuh ke dalam jebakan, Daren.”
“Ayesha, tolonglah,” pinta Daren dengan nada memohon, sesuatu yang jarang dia tunjukkan, “Aku tahu aku tidak layak untuk mendapatkan pertolongan darimu, tapi setidaknya tolong pertimbangkan kali ini, tidak untuk aku, tetapi untuk orang-orang yang memerlukan solusi,”
Ayesha diam, memutar kata-kata Daren dalam kepalanya. Bagian dirinya yang penuh rasa dendam ingin menolak mentah-mentah, tetapi di sisi perannya sebagai scientist merasa tergelitik oleh permasalahan yang dibawa Daren. Namun, dia tidak tahu apakah masih bisa mempercayai pria ini begitu saja. Daren selalu saja punya agenda tersembunyi.
“Aku akan memikirkannya,” kata Ayesha akhirnya, suaranya datar, “tapi jangan berharap terlalu banyak,”
Daren mengangguk pelan, senyumnya kembali muncul,
"Itu sudah lebih dari cukup, Ayesha, aku betul-betul menghargainya,"
Ketika Daren berbalik hingga akhirnya pergi, Ayesha mendorong pintu dengan pelan, lalu bersandar pada dinding. Nafasnya berat, dadanya sesak akibat berbagai emosi yang campur aduk. Dia merasa seperti terjebak dalam pusaran masa lalu yang berusaha dia tinggalkan, tetapi tidak pernah benar-benar pergi.
Ayesha kembali berjalan ke meja, menatap tawon-tawon di kandang kaca. Mereka tampak gelisah, bergerak dengan energi tak biasa.
"Kalian tahu, dia tidak berubah," gumam Ayesha kepada serangga-serangga itu, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri, "dia masih sama, manipulatif dan penuh tipu daya,"
Namun, di dalam hatinya, dia tahu ini belum berakhir. Daren telah menyibak tirai konflik yang lebih besar dan Ayesha bisa merasakan bahwa masa depan yang dia coba bangun akan segera terguncang.
Langit malam kian larut saat Ayesha menangkap suara langkah kaki yang berat dengan telinganya mendekat ke pintu laboratorium. Pintu yang seharusnya tidak mudah ditemukan, terlebih oleh orang luar. Rasa curiga langsung menjalari tubuhnya, memicu degup jantung lebih cepat. Tatapannya tertuju ke pintu dengan kening berkerut, layar komputer berisi data eksperimen tawon yang menjadi fokusnya sedari tadi terabaikan.Ketukan semakin keras terdengar, tidak seperti ketukan biasa. Terdapat irama tertentu yang berkesan, seperti seseorang yang ingin menunjukkan kehadirannya tanpa ragu. Ayesha memilih berjalan pelan ke arah pintu, terhenti sejenak sebelum membukanya. Dengan nafas tertahan, dia memberanikan diri untuk membuka pintu sedikit, sekilas untuk melihat wajah yang belum pernah dikenalnya. Sosok itu tinggi, tegap, dengan jas hitam yang terkesan mahal. Mata dengan iris birunya tajam dan menusuk, menatap langsung
Cahaya pagi menyusup masuk ke apartemen mereka yang minimalis, memantulkan kemewahan sederhana dari lantai kayu yang mengkilap. Ayesha tengah duduk di kursi dekat dapur, mengenakan piyama sutra berwarna sage, memegang secangkir teh hangat di tangannya. Di atas meja, vas bunga mawar merah yang sudah mulai layu tetap berdiri layaknya hubungan mereka yang kian terasa rapuh. Pikirannya sedang terbang, tersangkut pada jaring kekosongan yang sulit diuraikan, sementara suara langkah Daren mencatut jarak kian mendekat dari arah kamar tidur.Daren muncul seperti biasanya dengan jas formal yang kali ini berwarna abu-abu, dasinya sudah tergantung rapi di leher tanpa bantuan Ayesha. Rambut hitam pendeknya disisir sempurna menonjolkan wajah karismatik. Namun, kali ini, ada sedikit perbedaan dalam gerak-geriknya. Langkah Daren terlihat tergesa-gesa, tatapannya enggan menyapa mata Ayesha saat dia melangkah ke dapur untuk
Malam itu, hujan deras kembali mengguyur seisi kota. Ayesha duduk tenang di ruang tamu, mengerjakan laporan hasil penelitiannya sambil sesekali melirik ponsel yang tergeletak di meja. Daren masih belum menapakkan kaki di apartemen, meski sudah pukul sepuluh malam. Perasaan yang awalnya tenang berubah menjadi gelisah. Pikirannya tak berhenti berputar, menerka-nerka apa sekiranya yang menjadi penyebab keterlambatan Daren, tetapi malah kecurigaan yang semakin mencuat ke permukaan. Padahal sudah beberapa kali Ayesha mengubur perasaan itu.KlekkKetika akhirnya Daren masuk kembali pulang, jasnya basah kuyup diterjang hujan, tetapi senyumnya tetap tenang dan biasa saja,"Aku terlambat lagi, maaf ya Ayesha," katanya sambil melepas dasi dan menggantungkan jaket di dekat pintu.A
Ketegangan begitu mewarnai suasana apartemen malam itu. Meski lampu ruangan menyala terang, tetapi tidak cukup agaknya mengusir kegelapan. Bukan kegelapan dalam artian sejati, tapi kegelapan yang menggantung di antara Ayesha dan Daren. Ayesha berdiri di ruang tamu, tubuhnya tegang dan nafas yang tersengal-sengal. Di tangannya, dia menggenggam ponsel saksi bisu perselingkuhan Daren. Tatapannya berubah tajam, menusuk langsung ke arah pria yang selama ini dia cintai. Daren, di sisi yang berlawanan, berdiri beberapa langkah, mencoba terlihat tenang, tetapi tangan yang perlahan bergerak ke arah dasi menunjukkan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.“Kita perlu bicara, sekarang juga,” suara Ayesha memecah keheningan. Suaranya meskipun tidak keras, tetapi penuh tekanan yang menggambarkan amarah yang dia coba tahan.Daren menatapnya dengan alis berkeru
Hari-hari setelah perdebatan dengan Daren itu berlalu dengan lambat, waktu seolah-olah sengaja mempermainkan Ayesha. Dia merasa bayangan dirinya terjebak dalam lingkaran pikiran infinity. Apartemen yang biasanya menjadi tempat perlindungan yang nyaman kini terasa seperti penjara. Dindingnya tampak lebih sempit, udara terasa berat dan setiap sudut ruangan seakan menyimpan kenangan berhantu.Ayesha menjadi lebih sering duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Meskipun di luar, seisi kota sibuk bergerak dengan ritmenya yang normal, tetapi bagi Ayesha, bumi terasa berhenti berotasi. Kumpulan catatan dan data eksperimen di meja kerjanya sama sekali tak tersentuh selama berhari-hari. Bahkan tawon-tawon Vespa mandarinia
Pagi datang menyapa lewat sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai apartemen Ayesha. Dalam beberapa minggu terakhir, dia tidak menutup tirai sepenuhnya. Yang dia lakukan hanya duduk di meja kerja, dikelilingi oleh barang-barang hasil eksperimennya yang telah lama dia abaikan. Sebuah dorongan kecil perlahan membuat tangannya mengambil sebuah buku catatan yang penuh dengan diagram dan data tentang proyek yang sedang dia kerjakan. Halaman-halaman itu seperti membuka kembali ingatannya pada seseorang yang dulu dia kenal — dirinya sendiri dengan versi penuh ambisi dan mimpi.Ayesha mulai membuka dari halaman pertama, membaca ulang kajiannya tentang Vespa mandarinia. Di sana tertuang hipotesis awalnya mengenai potensi tawon raksasa ini untuk bertahan dalam kondisi lingkungan ekstrim. Memorinya terulang kembal
Hujan lagi-lagi mengguyur deras Singapura malam itu, suara gemuruh yang memantul tercipta di jendela apartemen Ayesha. Dia duduk di meja kerjanya, tangannya terus bergerak memegangi pena di atas selembar kertas kosong. Wajahnya mengeras, meskipun dari manik matanya masih menyiratkan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Di depannya, tumpukan dokumen dan laptop menjadi saksi dari malam-malam tanpa tidur yang telah dia lewati.“Aku harus melakukannya,” bisiknya pelan.Layar laptopnya menampilkan foto Daren di sebuah acara sosial. Pria itu berdiri tegak dengan senyum karismatik, para pendukung dan kolega politiknya mengelilinginya. Mungkin bagi orang lain, Daren merupakan gambaran sempurna dari seorang pemimpin masa depan, tetapi bagi Ayesha, dia tak ubah dari ambisi yang membutakan dan bayangan dari pengkhianatan.
Pagi itu, di ruang konferensi pusat organisasi nirlaba Daren dipenuhi kilau cahaya terang lampu neon. Di meja berbentuk oval besar, duduk para anggota timnya yang memasang ekspresi serius, sementara Daren berdiri di depan layar presentasi berpadu dengan setelan jasnya yang rapi, rambut tersisir sempurna, dan senyum kharismatik yang tak pernah pudar. Tetapi dibalik fasad itu, muncul ketegangan yang coba dia sembunyikan.“Angka survei di distrik selatan harus kita tingkatkan, mereka jelas-jelas mulai condong ke tokoh lain,” kata Daren sambil menunjuk histogram ungu di layar, suaranya tegas bersamaan dengan nada frustrasi yang samar, “jika tidak bertindak cepat, mereka bisa mengambil hati mayoritas sana,”Salah seorang anggota tim di meja oval, Victor, pria muda itu mengangguk. “Kami sedang merencanakan edukasi program sosial terbaru
Malam semakin larut di laboratorium bawah tanah, suasana sunyi terasa mencekam. Lampu neon yang bersinar redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, memberikan kesan suram pada ruangan tersebut. Di sudut ruangan, Ayesha duduk di depan layar komputer yang berkedip-kedip dengan cepat, matanya meneliti data yang terus berganti. Mata tajamnya memindai setiap informasi yang muncul, mencari jawaban dari anomali yang mulai terjadi. Jari-jarinya bergerak dengan kecepatan tinggi, mengetik sederet kode dan perintah, mencoba menemukan pola dalam data yang tidak biasa ini.Di meja di depannya, ada beberapa kandang kaca berisi tawon Vespa mandarinia, yang bergerak dengan gelisah. Perilaku mereka aneh, tidak seperti biasanya. Tawon-tawon itu tidak hanya merespons perintah feromon dengan lebih lambat, tetapi beberapa di antara
Malam itu, di sebuah gudang tua yang terletak jauh di perbatasan kota, Ayesha berdiri dengan tenang, matanya meneliti kandang kaca besar yang berada di tengah ruangan. Di dalamnya, puluhan Vespa mandarinia hasil modifikasi berkerumun, sesekali menggetarkan sayap mereka dengan suara mendengung yang nyaris menggetarkan dinding-dinding logam di sekitar mereka. Lampu di langit-langit hanya memberikan pencahayaan redup, menciptakan bayangan panjang di wajah Ayesha yang tampak lebih tajam dari biasanya.Di sudut lain ruangan, Alexei hanya duduk di kursi logam, satu kaki bertumpu pada lututnya sementara jemarinya memainkan pemantik api dengan santai. Di belakangnya, dua anak buahnya berdiri dengan ekspresi waspada. Mereka telah melihat banyak hal mengerikan dalam pekerjaan mereka, tetapi apa yang Ayesha bawa ke hadapan mereka m
Laboratorium rahasia yang disediakan Alexei terletak di sebuah bunker bawah tanah, tersembunyi di pinggiran kota Singapura. Dinding-dinding baja dingin memantulkan cahaya putih dari lampu-lampu neon di langit-langit, menciptakan suasana yang steril dan penuh ketegangan. Di tengah ruangan, berbagai alat laboratorium berteknologi tinggi memenuhi meja-meja panjang. Tabung-tabung reaksi berisi cairan berpendar hijau dan biru, serta inkubator yang menyimpan spesimen Vespa mandarinia yang telah dimodifikasi, berdengung dengan suara mesin yang stabil.Ayesha berdiri di depan layar komputer, tangannya bergerak cepat di atas keyboard. Di layar, tampak serangkaian kode genetik yang sedang dia sesuaikan. “Kita harus meningkatkan produksi neurotoksin alami mereka agar sengatan mereka menjadi lebih mematikan,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.Di sampingnya, seorang asisten laboratorium yang direkrut Alexei, seorang ahli bioteknologi muda bernama Marcus, menatap lay
Jauh di bawah tanah yang tersembunyi di jantung Singapura, sebuah laboratorium rahasia berdiri kokoh dengan suasana yang misterius dan berkelas. Di dalam ruang yang penuh dengan alat-alat canggih dan teknologi mutakhir, Ayesha berdiri di depan meja laboratorium yang dipenuhi berbagai peralatan seperti tabung reaksi yang berwarna-warni, mikroskop elektron yang mencermati objek dengan presisi tinggi, dan kandang-kandang kecil yang berisi koloni Vespa mandarinia hasil modifikasi awalnya. Cahaya redup dari lampu overhead memantulkan bayangan tajam di wajahnya, menciptakan kesan dingin dan penuh determinasi. Wajahnya yang cantik tetapi tegas menunjukkan fokus yang tinggi pada pekerjaannya.Di sisi lain ruangan, duduklah Alexei di kursi kulit hitam yang elegan, menyesap anggurnya dengan elegan. Tatapannya sulit ditebak, mencerminkan kecerdasan dan ketenangan yang menakutkan. Dia memandang Ayesha dengan ketertarikan yang tidak sepenuhnya disembunyikan, seolah-olah melihat lebih dalam ke dala
Sebuah ruangan tampak gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu meja, dimana Ayesha berdiri dengan nafas dalam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tak jauh di depannya, Alexei duduk dengan santainya di kursi yang terbungkus kulit hitam. Sebuah amplop berisi dokumen terselip di tangannya. Mata biru yang dingin menatap Ayesha penuh perhitungan.“Waktunya untuk langkah pertama,” ujar Alexei, suaranya terdengar tenang tetapi mengandung otoritas yang tidak terpecahkan.Dia melempar amplop itu ke atas meja, mendorongnya ke arah Ayesha,“Di dalam terdapat informasi tentang target pertama kita, bukan orang besar, tapi cukup penting sebagai pengirim pesan,”Ayesha menatap amplop itu tanpa bergerak. Tangannya sedikit berkeringat, meski
Malam itu, Ayesha duduk di balkon apartemen Alexei, gemerlap lampu kota Singapura yang bersinar di bawah langit malam menjadi pemandangan sehari-hari. Angin berhembus pelan, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Dia menggenggam secangkir kopi di tangannya, menikmati kehangatan yang menyebar di jemarinya. Tak jauh darinya, Alexei berdiri bersandar di pagar balkon, sebuah gelas anggur merah di tangan kanan.“Jadi, Anda benar-benar tidak merasa takut setelah apa yang terjadi tadi malam?” suara Alexei memecah keheningan.Ayesha menoleh, matanya yang tajam namun tenang terpancar,“Jika saya takut, saya tidak akan ada disini,” jawabnya datar.Alexei berbalik mengamati ekspresinya selama beberapa detik sebelum mengangguk kecil.
Ayesha malam itu dibawa ke sebuah lokasi terpencil di luar kota Singapura. Mobil hitam yang dikendarai salah satu anak buah Alexei melaju melewati jalan yang sepi, hanya samar-samar lampu jalan yang menerangi. Ayesha duduk terdiam di kursinya, kedua tangan bertaut di pangkuan, pikirannya penuh dengan spekulasi tentang apa yang akan terjadi.Mereka akhirnya berhenti di sebuah gudang tua yang tampak tidak terpakai, pintu mobil terbuka dan seorang pria bertubuh kekar menarik Ayesha keluar. Dia tidak melawan, hanya mengangkat dagunya dengan percaya diri saat Alexei keluar dari bayangan, mengenakan jas hitamnya yang khas. Matanya yang tajam menatap Ayesha, mencari tanda-tanda ketakutan.“Dr. Al-Farisi,” suara Alexei terdengar halus, namun ada ketegasan dingin di baliknya, “malam ini saya ingin menguji seberapa jauh Anda bisa bertahan, saya ingin me
Tak seperti di malam sebelumnya, Ayesha berdiri di dalam Underground Laboratory – fasilitas yang disediakan oleh Alexei. Sederet peralatan canggih memenuhi ruangan tersebut, mulai dari tabung reaksi berisi cairan transparan hingga komputer yang dilengkapi automatic system pemantauan genetik mutakhir. Di tengah ruangan, puluhan tawon Vespa mandarinia yang telah dimodifikasi secara genetik tidak lagi mengendap di kotak-kotak kaca kecil melainkan di dalam kandang kubus besar dari kaca tebal. Pergerakan mereka cukup agresif di dalamnya, seperti menyadari insting bahwa mereka bukan lagi sekadar serangga biasa yang hidup di pegunungan.Alexei merangkak masuk dengan langkah tenang bin tegaknya, outfit jas hitam tampak sempurna seperti biasa. Matanya menyapu seisi ruangan, lalu berhenti di sisi Ayesha yang sibuk mengetikkan instruksi pada layar komputer,“Jadi Anda ingin menunjukkan kepada saya bahwa proyek ini benar-benar bernilai?” tanyanya dengan nada skeptis.Ayesha segan untuk menoleh, m
Langit malam terlihat cerah kala itu dari jendela besar di ruang pertemuan eksklusif milik Alexei Romanov. Gedung pencakar langit membentuk siluet tajam di bawah sinar bulan, menciptakan suasana yang dingin dan tak tersentuh. Ayesha duduk di salah satu kursi kulit hitam yang mengelilingi meja panjang di tengah ruangan. Tangannya bertaut, matanya tajam menatap pria di hadapannya. Alexei berdiri di dekat jendela, membelakanginya, seperti sedang menikmati pemandangan kota yang dikuasainya.“Jadi,” suara Alexei akhirnya memecah keheningan, dia berbalik, sorot matanya yang biru tajam mengunci tatapan Ayesha, “anda sudah memikirkan semuanya, Dr. Al-Farisi? tidak ada jalan kembali setelah ini,”Ayesha menarik napas dalam-dalam. Dia tahu konsekuensi bergabung dengan Alexei berarti memasuki dunia yang gelap dan penuh risiko. Tetapi setelah semua