Gemerlap cahaya dari lampu-lampu malam terpantul ke permukaan Singapore River yang tak sepenuhnya tenang. Sungai ini mengalir melalui pusat kota dengan melewati Jembatan Kim Seng sampai menuju ke Marina Bay. Bertahun-tahun sebelumnya, di tempat yang sama, di sebuah kafe kecil di tepian sungai, Ayesha duduk menunggu seorang pria yang telah merampas perhatiannya. Malam itu, tubuhnya berbalut gaun biru tua sederhana, rambut hitam terurai dengan sedikit gelombang, dan senyum gugup melukis wajah. Dia ingat betapa gugupnya dia, menanti pria bernama Daren itu. Daren, dengan pesona dan ambisi besarnya, menyusup ke kehidupan Ayesha seperti badai, meruntuhkan tembok pertahanan yang selama ini dia kokohkan.
Mereka pertama kali berjumpa di sebuah seminar ilmiah yang diadakan NTU – tempat Ayesha menjadi pembicara tamu. Daren yang saat itu masih seorang mahasiswa pascasarjana dengan fokus pada politik dan hubungan internasional, berpartisipasi sebagai peserta yang penuh antusias. Pada sesi QnA, dia mengajukan pertanyaan cerdas tentang bagaimana penelitian Ayesha berdampak pada perubahan iklim ekosistem perkotaan. Perangai Daren menyusun kata demi kata, dengan nada percaya diri dan karisma alami, membuat Ayesha pertama kalinya begitu terkesan. Belum usai sampai disitu, selepas seminar, berlanjut Daren menemuinya dengan senyum hangat dan tangan terulur,
"Dr. Ayesha Al-Farisi? Saya Daren Lin. Pemaparan Anda luar biasa. Sepertinya saya ingin mendengar lebih banyak lagi tentang penelitian yang sedang Anda kerjakan," katanya saat itu.
Kata-kata penuh rasa ingin tahu, dan entah mengapa Ayesha tidak bisa menolak. Mereka berbincang hingga larut, berpindah dari aula seminar yang megah ke sebuah kedai kopi kecil yang hangat di dekat kampus. Malam itu, menjadi permulaan dari sesuatu yang lebih besar dan tak terduga. Mereka menemukan diri mereka saling melengkapi — Ayesha dengan kecerdasannya yang analitis dan Daren dengan visi politiknya yang ambisius. Dalam hitungan bulan saja, mereka resmi menjadi pasangan. Dan yang paling tak bisa dimengerti oleh Ayesha, setiap kali mereka bersama, ada suatu percikan yang tak bisa diabaikan, seolah-olah semesta bersatu padu untuk mengikat mereka dalam sebuah romansa.
Namun, hubungan itu tidak hanya selalu penuh dengan momen manis. Nyatanya Daren memiliki mimpi besar untuk menjadi seorang berpengaruh, dan Ayesha, dengan cintanya, mendukung setiap langkah yang diinginkan Daren. Dia sangat yakin pada visi Daren.
“Ayesha, sepertinya aku tak akan bisa sampai di sini tanpa bantuanmu,” ujar Daren suatu malam ketika mereka duduk di balkon apartemen.
Di bawah mereka, gemerlap lampu kota tampak seperti bintang-bintang yang bersinar di bumi, menciptakan pemandangan yang memukau dan mempesona. Setiap lampu seolah-olah menceritakan kisahnya sendiri, dari gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi hingga jalan-jalan kecil yang penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan. Di tengah gemerlap itu, Ayesha tersenyum, menggenggam tangan Daren,
“Mimpimu seperti mimpiku juga,” jawabnya.
Saat itu, Ayesha benar-benar percaya. Dia percaya bahwa mereka bisa menjadi dua jiwa yang saling melengkapi dalam setiap langkah dan keputusan..
Namun, kenyataan mulai berubah ketika Daren memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai walikota Central Singapore CDC. Tekanan politik semakin besar, dan Daren semakin terobsesi dengan kesempurnaan reputasi di depan publik sebagai pertimbangan untuk Ketua atau Wakil Ketua Asosiasi Rakyat (People's Association). Hubungan mereka yang dulunya penuh kehangatan mulai terasa dingin. Ayesha bisa merasakan kehadiran Daren secara fisik, tetapi tidak secara emosional.
“Ayesha, aku akan pulang lambat nanti malam. Ada rapat bersama tim penggalangan dana,” kata Daren suatu malam, tanpa menatapnya, “Kau tidak keberatan, kan?”
Ayesha tersenyum tipis sembari menahan rasa kecewa,
“Tentu. Aku paham,” jawabnya.
Namun, di dalam hatinya, Ayesha terus bertanya-tanya apakah dia benar masih menjadi bagian dari mimpi besar Daren, atau hanya sekedar alat pendukung yang tersembunyi di belakang layar. Dia mulai meragukan apakah perannya dalam hidup Daren masih memiliki makna yang sama seperti dulu, atau apakah dia hanya menjadi bayangan yang tak terlihat, pendukung ambisi Daren tanpa pernah mendapatkan pengakuan yang layak. Keraguan itu menghantui pikirannya, membuatnya merasa terjebak dalam permainan yang tidak pernah dia pilih untuk dimainkan.
Puncaknya terjadi ketika Ayesha mendengar kabar dari salah satu koleganya bahwa Daren terlihat bersama seorang wanita lain di sebuah acara gala. Wanita itu adalah putri dari seorang pengusaha kaya yang dikenal sebagai salah satu donatur terbesar program sosial yang dicanangkan Daren. Ayesha tidak percaya pada awalnya, tetapi kenyataan itu menghantam keras ketika dia melihat sendiri foto-foto mereka di media sosial, tersenyum bersama seperti pasangan yang sempurna.
Ketika Ayesha menghadapkan Daren tentang hal itu, percakapan mereka berubah menjadi pertengkaran besar.
“Kamu tidak mengerti keadaan, Ayesha,” kata Daren dengan nada frustasi, “Aku melakukan ini untuk kesuksesanku, Aku butuh dukungan mereka agar bisa membangun reputasi lebih.”
“Jadi kau pikir itu alasan yang cukup untuk mengkhianati aku?!” seru Ayesha, matanya dipenuhi air mata, “Aku sudah memberikan segalanya untukmu, Daren. Aku mengorbankan waktuku, pekerjaanku, bahkan hidupku. Dan ini balasanmu?”
“Ayesha, aku…” Daren mencoba mendekatinya, tetapi Ayesha mundur selangkah, menolak sentuhannya.
“Kau sudah membuat pilihanmu, Daren. Dan aku akan membuat pilihanku.”
Malam itu juga, Ayesha meninggalkan apartemen, membawa serta luka yang dalam di hatinya.
Hari-hari berikut berubah menjadi mimpi buruk yang tak berkesudahan bagi Ayesha. Acap kali dia terbangun dengan perasaan hampa, seolah pelangi telah kehilangan warna. Dia tidak bisa fokus pada pekerjaan, pikirannya selalu melayang kembali ke kenangan tentang Daren. Setiap ingatan tentang pria itu terasa seperti pisau tajam yang mengiris-iris jiwanya.
Namun, di tengah kehancuran itu, Ayesha menemukan kekuatan baru yang tak pernah dia sadari ada di dalam dirinya. Dia mulai menyadari bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak membutuhkan Daren lagi.
Ayesha memilih untuk resign dari NUS – tempat dia bekerja dan memulai laboratorium independennya. Keputusan itu bukan hanya tentang karier, tetapi juga tentang merebut kembali identitasnya yang selama ini dikorbankan. Di laboratorium kecilnya, dia menciptakan dunia baru, dunia di mana dia bukan hanya sekedar pendukung orang lain.
Dia menggali lebih dalam ke penelitian tentang serangga, menemukan potensi luar biasa dalam modifikasi genetik yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. Setiap hari, Ayesha menghabiskan berjam-jam di laboratoriumnya, Tawon Vespa mandarinia menjadi subjek utama. Dia mengagumi kekuatan, daya tahan, dan bagaimana mereka bisa bertahan di lingkungan paling keras sekalipun.
Malam demi malam, Ayesha terus bekerja tak kenal henti. Ia membangun kembali dirinya dari reruntuhan kenangan yang pernah dianggap sebagai segalanya. Daren mungkin telah menghancurkan hatinya, tetapi dia tidak akan membiarkan hancur sepenuhnya. Tidak lagi. Dan saat dia melihat tawon-tawon di kandang kaca, dia tahu satu hal dengan pasti, dia akan memastikan bahwa kali ini, dia yang memegang kendali penuh atas hidupnya. Bukan orang lain.
Sebuah laboratorium kecil yang bertempat di lantai dasar gedung tua itu ibarat tempat perlindungan bagi Ayesha dari dunia luar. Di sana, dia merasa bisa mengontrol semuanya, sebuah kontras tajam dari perasaan tidak berdaya yang menghantuinya sejak pengkhianatan Daren. Akan tetapi suara hujan yang mengetuk jendela menyadarkan bayangan masa lalu tentang Daren yang belum benar-benar meninggalkannya. Daren masih hadir, bukan sebagai kenangan manis, melainkan sebagai luka terbuka yang senantiasa mengganggu pikirannya.Ayesha berdiri di depan kandang kaca, tawon-tawon raksasa hasil eksperimennya terkurung di dalam. Vespa mandarinia, dengan tubuh besar hitam-oranye berkilauan terkena pantulan cahaya lampu, terlihat layaknya simbol kekuatan dan ketangguhan yang ia inginkan. Dia melihat mereka dengan perasaan campur aduk, antara
Tok tok tokSuara ketukan pintu terdengar malam itu, menggema dan menyebar di dalam laboratorium yang sunyi. Ayesha saat itu tengah memeriksa kembali data hasil eksperimen pada layar komputer ketika ketukan dari arah pintu menginterupsi konsentrasinya. Mulanya, dia berpikir bahwa itu adalah ilusi semata, tetapi terbantah sudah ketika ketukan itu terdengar lagi, lebih keras dan semakin jelas. Berangkat dari separuh keraguan, Ayesha melepaskan diri dari kursi, langkah-langkah pelan dituntun menuju sumber suara. Pertanyaannya cuma satu.Siapa gerangan yang akan mencarinya di tempat terpencil seperti ini?Dan faktanya hanya segelintir orang saja Ayesha yakin mengetahui keberadaan laboratorium independen kecil barunya ini.Saat kenop pintu diputar dan pintu tertarik ke
Langit malam kian larut saat Ayesha menangkap suara langkah kaki yang berat dengan telinganya mendekat ke pintu laboratorium. Pintu yang seharusnya tidak mudah ditemukan, terlebih oleh orang luar. Rasa curiga langsung menjalari tubuhnya, memicu degup jantung lebih cepat. Tatapannya tertuju ke pintu dengan kening berkerut, layar komputer berisi data eksperimen tawon yang menjadi fokusnya sedari tadi terabaikan.Ketukan semakin keras terdengar, tidak seperti ketukan biasa. Terdapat irama tertentu yang berkesan, seperti seseorang yang ingin menunjukkan kehadirannya tanpa ragu. Ayesha memilih berjalan pelan ke arah pintu, terhenti sejenak sebelum membukanya. Dengan nafas tertahan, dia memberanikan diri untuk membuka pintu sedikit, sekilas untuk melihat wajah yang belum pernah dikenalnya. Sosok itu tinggi, tegap, dengan jas hitam yang terkesan mahal. Mata dengan iris birunya tajam dan menusuk, menatap langsung
Cahaya pagi menyusup masuk ke apartemen mereka yang minimalis, memantulkan kemewahan sederhana dari lantai kayu yang mengkilap. Ayesha tengah duduk di kursi dekat dapur, mengenakan piyama sutra berwarna sage, memegang secangkir teh hangat di tangannya. Di atas meja, vas bunga mawar merah yang sudah mulai layu tetap berdiri layaknya hubungan mereka yang kian terasa rapuh. Pikirannya sedang terbang, tersangkut pada jaring kekosongan yang sulit diuraikan, sementara suara langkah Daren mencatut jarak kian mendekat dari arah kamar tidur.Daren muncul seperti biasanya dengan jas formal yang kali ini berwarna abu-abu, dasinya sudah tergantung rapi di leher tanpa bantuan Ayesha. Rambut hitam pendeknya disisir sempurna menonjolkan wajah karismatik. Namun, kali ini, ada sedikit perbedaan dalam gerak-geriknya. Langkah Daren terlihat tergesa-gesa, tatapannya enggan menyapa mata Ayesha saat dia melangkah ke dapur untuk
Malam itu, hujan deras kembali mengguyur seisi kota. Ayesha duduk tenang di ruang tamu, mengerjakan laporan hasil penelitiannya sambil sesekali melirik ponsel yang tergeletak di meja. Daren masih belum menapakkan kaki di apartemen, meski sudah pukul sepuluh malam. Perasaan yang awalnya tenang berubah menjadi gelisah. Pikirannya tak berhenti berputar, menerka-nerka apa sekiranya yang menjadi penyebab keterlambatan Daren, tetapi malah kecurigaan yang semakin mencuat ke permukaan. Padahal sudah beberapa kali Ayesha mengubur perasaan itu.KlekkKetika akhirnya Daren masuk kembali pulang, jasnya basah kuyup diterjang hujan, tetapi senyumnya tetap tenang dan biasa saja,"Aku terlambat lagi, maaf ya Ayesha," katanya sambil melepas dasi dan menggantungkan jaket di dekat pintu.A
Ketegangan begitu mewarnai suasana apartemen malam itu. Meski lampu ruangan menyala terang, tetapi tidak cukup agaknya mengusir kegelapan. Bukan kegelapan dalam artian sejati, tapi kegelapan yang menggantung di antara Ayesha dan Daren. Ayesha berdiri di ruang tamu, tubuhnya tegang dan nafas yang tersengal-sengal. Di tangannya, dia menggenggam ponsel saksi bisu perselingkuhan Daren. Tatapannya berubah tajam, menusuk langsung ke arah pria yang selama ini dia cintai. Daren, di sisi yang berlawanan, berdiri beberapa langkah, mencoba terlihat tenang, tetapi tangan yang perlahan bergerak ke arah dasi menunjukkan kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.“Kita perlu bicara, sekarang juga,” suara Ayesha memecah keheningan. Suaranya meskipun tidak keras, tetapi penuh tekanan yang menggambarkan amarah yang dia coba tahan.Daren menatapnya dengan alis berkeru
Hari-hari setelah perdebatan dengan Daren itu berlalu dengan lambat, waktu seolah-olah sengaja mempermainkan Ayesha. Dia merasa bayangan dirinya terjebak dalam lingkaran pikiran infinity. Apartemen yang biasanya menjadi tempat perlindungan yang nyaman kini terasa seperti penjara. Dindingnya tampak lebih sempit, udara terasa berat dan setiap sudut ruangan seakan menyimpan kenangan berhantu.Ayesha menjadi lebih sering duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Meskipun di luar, seisi kota sibuk bergerak dengan ritmenya yang normal, tetapi bagi Ayesha, bumi terasa berhenti berotasi. Kumpulan catatan dan data eksperimen di meja kerjanya sama sekali tak tersentuh selama berhari-hari. Bahkan tawon-tawon Vespa mandarinia
Pagi datang menyapa lewat sinar matahari masuk melalui celah-celah tirai apartemen Ayesha. Dalam beberapa minggu terakhir, dia tidak menutup tirai sepenuhnya. Yang dia lakukan hanya duduk di meja kerja, dikelilingi oleh barang-barang hasil eksperimennya yang telah lama dia abaikan. Sebuah dorongan kecil perlahan membuat tangannya mengambil sebuah buku catatan yang penuh dengan diagram dan data tentang proyek yang sedang dia kerjakan. Halaman-halaman itu seperti membuka kembali ingatannya pada seseorang yang dulu dia kenal — dirinya sendiri dengan versi penuh ambisi dan mimpi.Ayesha mulai membuka dari halaman pertama, membaca ulang kajiannya tentang Vespa mandarinia. Di sana tertuang hipotesis awalnya mengenai potensi tawon raksasa ini untuk bertahan dalam kondisi lingkungan ekstrim. Memorinya terulang kembal
Malam semakin larut di laboratorium bawah tanah, suasana sunyi terasa mencekam. Lampu neon yang bersinar redup memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding, memberikan kesan suram pada ruangan tersebut. Di sudut ruangan, Ayesha duduk di depan layar komputer yang berkedip-kedip dengan cepat, matanya meneliti data yang terus berganti. Mata tajamnya memindai setiap informasi yang muncul, mencari jawaban dari anomali yang mulai terjadi. Jari-jarinya bergerak dengan kecepatan tinggi, mengetik sederet kode dan perintah, mencoba menemukan pola dalam data yang tidak biasa ini.Di meja di depannya, ada beberapa kandang kaca berisi tawon Vespa mandarinia, yang bergerak dengan gelisah. Perilaku mereka aneh, tidak seperti biasanya. Tawon-tawon itu tidak hanya merespons perintah feromon dengan lebih lambat, tetapi beberapa di antara
Malam itu, di sebuah gudang tua yang terletak jauh di perbatasan kota, Ayesha berdiri dengan tenang, matanya meneliti kandang kaca besar yang berada di tengah ruangan. Di dalamnya, puluhan Vespa mandarinia hasil modifikasi berkerumun, sesekali menggetarkan sayap mereka dengan suara mendengung yang nyaris menggetarkan dinding-dinding logam di sekitar mereka. Lampu di langit-langit hanya memberikan pencahayaan redup, menciptakan bayangan panjang di wajah Ayesha yang tampak lebih tajam dari biasanya.Di sudut lain ruangan, Alexei hanya duduk di kursi logam, satu kaki bertumpu pada lututnya sementara jemarinya memainkan pemantik api dengan santai. Di belakangnya, dua anak buahnya berdiri dengan ekspresi waspada. Mereka telah melihat banyak hal mengerikan dalam pekerjaan mereka, tetapi apa yang Ayesha bawa ke hadapan mereka m
Laboratorium rahasia yang disediakan Alexei terletak di sebuah bunker bawah tanah, tersembunyi di pinggiran kota Singapura. Dinding-dinding baja dingin memantulkan cahaya putih dari lampu-lampu neon di langit-langit, menciptakan suasana yang steril dan penuh ketegangan. Di tengah ruangan, berbagai alat laboratorium berteknologi tinggi memenuhi meja-meja panjang. Tabung-tabung reaksi berisi cairan berpendar hijau dan biru, serta inkubator yang menyimpan spesimen Vespa mandarinia yang telah dimodifikasi, berdengung dengan suara mesin yang stabil.Ayesha berdiri di depan layar komputer, tangannya bergerak cepat di atas keyboard. Di layar, tampak serangkaian kode genetik yang sedang dia sesuaikan. “Kita harus meningkatkan produksi neurotoksin alami mereka agar sengatan mereka menjadi lebih mematikan,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.Di sampingnya, seorang asisten laboratorium yang direkrut Alexei, seorang ahli bioteknologi muda bernama Marcus, menatap lay
Jauh di bawah tanah yang tersembunyi di jantung Singapura, sebuah laboratorium rahasia berdiri kokoh dengan suasana yang misterius dan berkelas. Di dalam ruang yang penuh dengan alat-alat canggih dan teknologi mutakhir, Ayesha berdiri di depan meja laboratorium yang dipenuhi berbagai peralatan seperti tabung reaksi yang berwarna-warni, mikroskop elektron yang mencermati objek dengan presisi tinggi, dan kandang-kandang kecil yang berisi koloni Vespa mandarinia hasil modifikasi awalnya. Cahaya redup dari lampu overhead memantulkan bayangan tajam di wajahnya, menciptakan kesan dingin dan penuh determinasi. Wajahnya yang cantik tetapi tegas menunjukkan fokus yang tinggi pada pekerjaannya.Di sisi lain ruangan, duduklah Alexei di kursi kulit hitam yang elegan, menyesap anggurnya dengan elegan. Tatapannya sulit ditebak, mencerminkan kecerdasan dan ketenangan yang menakutkan. Dia memandang Ayesha dengan ketertarikan yang tidak sepenuhnya disembunyikan, seolah-olah melihat lebih dalam ke dala
Sebuah ruangan tampak gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu meja, dimana Ayesha berdiri dengan nafas dalam, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tak jauh di depannya, Alexei duduk dengan santainya di kursi yang terbungkus kulit hitam. Sebuah amplop berisi dokumen terselip di tangannya. Mata biru yang dingin menatap Ayesha penuh perhitungan.“Waktunya untuk langkah pertama,” ujar Alexei, suaranya terdengar tenang tetapi mengandung otoritas yang tidak terpecahkan.Dia melempar amplop itu ke atas meja, mendorongnya ke arah Ayesha,“Di dalam terdapat informasi tentang target pertama kita, bukan orang besar, tapi cukup penting sebagai pengirim pesan,”Ayesha menatap amplop itu tanpa bergerak. Tangannya sedikit berkeringat, meski
Malam itu, Ayesha duduk di balkon apartemen Alexei, gemerlap lampu kota Singapura yang bersinar di bawah langit malam menjadi pemandangan sehari-hari. Angin berhembus pelan, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Dia menggenggam secangkir kopi di tangannya, menikmati kehangatan yang menyebar di jemarinya. Tak jauh darinya, Alexei berdiri bersandar di pagar balkon, sebuah gelas anggur merah di tangan kanan.“Jadi, Anda benar-benar tidak merasa takut setelah apa yang terjadi tadi malam?” suara Alexei memecah keheningan.Ayesha menoleh, matanya yang tajam namun tenang terpancar,“Jika saya takut, saya tidak akan ada disini,” jawabnya datar.Alexei berbalik mengamati ekspresinya selama beberapa detik sebelum mengangguk kecil.
Ayesha malam itu dibawa ke sebuah lokasi terpencil di luar kota Singapura. Mobil hitam yang dikendarai salah satu anak buah Alexei melaju melewati jalan yang sepi, hanya samar-samar lampu jalan yang menerangi. Ayesha duduk terdiam di kursinya, kedua tangan bertaut di pangkuan, pikirannya penuh dengan spekulasi tentang apa yang akan terjadi.Mereka akhirnya berhenti di sebuah gudang tua yang tampak tidak terpakai, pintu mobil terbuka dan seorang pria bertubuh kekar menarik Ayesha keluar. Dia tidak melawan, hanya mengangkat dagunya dengan percaya diri saat Alexei keluar dari bayangan, mengenakan jas hitamnya yang khas. Matanya yang tajam menatap Ayesha, mencari tanda-tanda ketakutan.“Dr. Al-Farisi,” suara Alexei terdengar halus, namun ada ketegasan dingin di baliknya, “malam ini saya ingin menguji seberapa jauh Anda bisa bertahan, saya ingin me
Tak seperti di malam sebelumnya, Ayesha berdiri di dalam Underground Laboratory – fasilitas yang disediakan oleh Alexei. Sederet peralatan canggih memenuhi ruangan tersebut, mulai dari tabung reaksi berisi cairan transparan hingga komputer yang dilengkapi automatic system pemantauan genetik mutakhir. Di tengah ruangan, puluhan tawon Vespa mandarinia yang telah dimodifikasi secara genetik tidak lagi mengendap di kotak-kotak kaca kecil melainkan di dalam kandang kubus besar dari kaca tebal. Pergerakan mereka cukup agresif di dalamnya, seperti menyadari insting bahwa mereka bukan lagi sekadar serangga biasa yang hidup di pegunungan.Alexei merangkak masuk dengan langkah tenang bin tegaknya, outfit jas hitam tampak sempurna seperti biasa. Matanya menyapu seisi ruangan, lalu berhenti di sisi Ayesha yang sibuk mengetikkan instruksi pada layar komputer,“Jadi Anda ingin menunjukkan kepada saya bahwa proyek ini benar-benar bernilai?” tanyanya dengan nada skeptis.Ayesha segan untuk menoleh, m
Langit malam terlihat cerah kala itu dari jendela besar di ruang pertemuan eksklusif milik Alexei Romanov. Gedung pencakar langit membentuk siluet tajam di bawah sinar bulan, menciptakan suasana yang dingin dan tak tersentuh. Ayesha duduk di salah satu kursi kulit hitam yang mengelilingi meja panjang di tengah ruangan. Tangannya bertaut, matanya tajam menatap pria di hadapannya. Alexei berdiri di dekat jendela, membelakanginya, seperti sedang menikmati pemandangan kota yang dikuasainya.“Jadi,” suara Alexei akhirnya memecah keheningan, dia berbalik, sorot matanya yang biru tajam mengunci tatapan Ayesha, “anda sudah memikirkan semuanya, Dr. Al-Farisi? tidak ada jalan kembali setelah ini,”Ayesha menarik napas dalam-dalam. Dia tahu konsekuensi bergabung dengan Alexei berarti memasuki dunia yang gelap dan penuh risiko. Tetapi setelah semua