Share

Bab 3

Author: Celine
Tiga tahun lalu, ayahku sedang berobat di rumah sakit. Namun, karena suatu masalah, dia secara tak terduga mengadang pisau yang ditodongkan ke arah Ardi, yang kala itu baru naik jabatan.

Atas keberanian ayahku yang telah menolong Ardi, Keluarga Wijaya berjanji akan membalas jasa ayahku sebagai tanda terima kasih. Namun, tanpa diduga, ayahku malah mengusulkan pernikahan antara kedua keluarga.

Keluarga Wijaya adalah salah satu keluarga kaya dan terpandang di Nowa, sedangkan ayahku hanyalah seorang manajer biasa di salah satu perusahaan farmasi kecil. Jadi bagi Keluarga Wijaya, gagasan pernikahan ini adalah bentuk pemerasan dengan mengatasnamakan balas budi.

Saat semua itu terjadi, aku tak ada di sana. Namun, kemudian Ardi menemui dengan membawa surat perjanjian pranikah, tatapan matanya tampak asing dan angkuh. Dia berkata, "Waktu perjanjian pernikahannya tiga tahun, langsung berakhir begitu tenggat waktunya tiba. Kalau tidak ada masalah lain, besok pagi kita bertemu di Kantor Dinas Catatan Sipil saja."

Pria yang selalu kudambakan ini akhirnya ada di depan mataku. Seolah kehilangan akalku, aku pun langsung menandatangani surat perjanjian itu.

Namun, aku sama sekali tidak memperhatikan pasal pertama di perjanjian itu. Ada satu kalimat yang tertulis dengan sangat jelas: [Selamanya, jangan pernah berkhayal kita akan menjadi pasangan suami istri sungguhan.]

Air mata membasahi kertas yang aku pegang, aku menatap kata "suami istri" yang tertulis di perjanjian itu, lalu menarik sudut bibirku dengan getir.

Jadi, Ardi ... apalah artinya tiga tahun hidup bersama ini bagimu?

Setelah terjaga semalaman, nada dering telepon genggamku menarik kesadaranku kembali ke dunia nyata.

Nomor yang muncul di layar ponsel menunjukkan kalau panggilan berasal dari nomor PSTN.

"Halo, Nona Raisa. Saya adalah HRD Mogowa. Silakan datang mengikuti sesi ujian tertulis pukul 10 besok pagi. Saya telah mengirimkan lokasi spesifiknya ke ponsel Anda."

HRD Mogowa.

Aku baru teringat kalau beberapa hari yang lalu dosen pembimbingku, Profesor Haris bilang akan merekomendasikan beberapa dari kami untuk ikut wawancara ke Mogowa. Konon, hanya ada enam kuota untuk Fakultas Kedokteran. Aku tak menyangka kalau aku juga salah satunya.

Mogowa adalah tempat di mana Ardi bisa meraih kesuksesan. Ini adalah tempat kerja yang selalu diidamkan para mahasiswa di Fakultas Kedokteran. Di tempat ini juga, aku pernah membayangkan aku dan Ardi berangkat serta pulang kerja bersama.

Sekarang setelah dipikir-pikir lagi, semua ini hanya angan-anganku sendiri saja.

Bukankah ini konyol?

"Nona Raisa, bisakah Anda datang tepat waktu besok pagi?"

Aku mendengar suara yang mengingatkan itu, melirik ke surat perjanjian pranikah, lalu melihat obat KB yang tergeletak di atas meja itu. Setelah ragu-ragu beberapa saat, aku menjawab, "Ya, saya akan datang tepat waktu."

Aku berpikir, karena aku gagal dalam meraih cintaku, aku akan menggenggam karierku dengan baik.

Sepanjang hari ini, aku mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian tertulis, tetapi siapa sangka saat menjelang waktu makan malam, Yuliana Pranata, ibu mertuaku tiba-tiba datang tanpa diundang.

Saat dia mendorong pintu dan masuk, dia memegang bingkisan yang berisi suplemen untuk persiapan kehamilan. Dia melihat ke sekeliling dan bertanya, "Malam ini Ardi belum pulang, 'kah?"

Aku sudah menghafal di luar kepala semua jadwal Ardi, jadi bisa dengan mudah menjawabnya, "Hari ini dia piket malam. Dia baru pulang besok pagi."

Sedangkan kalimat terakhir itu hanyalah kebohongan yang aku buat untuk menghibur diriku sendiri.

Tatapan mata ibu mertuaku berhenti sejenak di perut bagian bawahku selama beberapa saat, kemudian dia mengingatkanku, "Bukankah dua hari ini adalah masa ovulasimu? Sebagai istri, kamu harus lebih proaktif, dong. Kalau tidak, mau sampai kapan aku dan ayahmu baru bisa momong cucu?"

Aku mulai mendengar ucapan ini sejak tahun kedua pernikahanku dengan Ardi. Dulu karena aku mencintainya, aku tidak terlalu memikirkan kata-kata ini. Namun, begitu mendengarnya sekarang, kalimat itu terasa begitu menusuk telinga.

Padahal, selama ini bukan aku yang enggan memiliki anak.

"Omong-omong ...." Mertuaku yang duduk tegak di tengah sofa, melirik buku kedokteran yang tergeletak di atas meja, kemudian dia kembali berkata, "Kudengar kamu juga masuk dalam daftar kandidat yang ikut ujian tertulis di Mogowa besok pagi?"

Aku tahu selama ini ibu mertuaku ini selalu informatif, tetapi aku tidak menyangka kalau dia juga tahu kalau aku akan mengikuti ujian tertulis.

Aku mengangguk, ketika aku hendak menjelaskan, dia menyela, "Tolak saja. Toh Keluarga Wijaya juga bukannya tidak mampu menafkahimu. Misi utamamu sekarang adalah punya anak. Tunda saja hal-hal lain."

Yuliana mengatakannya seolah-olah itu hanyalah hal yang biasa, seolah-olah peluang ujian tertulis itu sama sekali tidak berarti.

Semua orang tahu betapa langkanya kesempatan untuk bekerja di Mogowa. Meski hanya sebagai dokter magang, kesempatan diterimanya saja hanya tiga atau empat orang dari seratus pendaftar. Bisa mendapatkan kesempatan untuk mengikuti ujian tertulis saja sangat sulit.

Aku bahkan belum ikut ujian, haruskah aku melepaskan kesempatan ini hanya gara-gara perkataan ibu mertuaku?

Tidak! Aku tidak bisa melepaskan kesempatan ini.

Aku tidak bisa menjadi wanita yang dibutai cinta dan selalu mengutamakan Ardi dalam segala hal. Sudah saatnya aku terbangun dari rajutan mimpi indah soal pernikahan semu yang aku ciptakan sendiri ini.

"Ibu ...." Aku mendengar nada suaraku yang lembut tapi penuh dengan tekad. "Aku mau ikut ujian tertulis besok pagi."

Aku tidak sedang membahas masalah ini, tetapi aku memberitahunya keputusanku sudah bulat.

Sangat jelas kalau ibu mertuaku tidak menyangka kalau aku menentang nasehatnya. Setelah terkejut sesaat, dia menatapku dengan ekspresi tidak percaya, lalu tiba-tiba menoleh ke belakangku dan mencibir, "Ardi, kamu dengar semuanya, 'kan?"

Aku berbalik perlahan dan melihat Ardi berdiri di pintu masuk.

Ada tetesan-tetesan air hujan yang masih menggantung di ujung rambutnya yang lembut. Tubuhnya pun masih terasa lembap dan dinginnya angin malam di musim hujan.

Akan tetapi, bukankah saat ini dia sedang piket malam? Kenapa bisa tiba-tiba pulang?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 4

    Suasana tiba-tiba menjadi hening sejenak.Beberapa saat kemudian, Ardi berjalan mendekat perlahan, dia menatap ibu mertuaku dan bertanya, "Ibu sudah makan?"Suara Ardi begitu datar, tidak ada emosi yang meluap di wajahnya. Aku juga tidak bisa menebak suasana hatinya saat ini.Ibu mertuaku melirikku sekilas, kemudian suaranya pun meninggi, "Sudah begini, mana ada nafsu makan lagi? Ardi, istrimu sudah hebat sekarang, ya? Bukannya jadi Nyonya Keluarga Wijaya yang baik, malah ngotot mau melamar kerja. Profesi dokter selalu sibuk setiap harinya. Kalau begini terus, aku dan ayahmu bisa gagal lagi momong cucu."Tahun ini?Mendengar dua kata itu, aku pun merasa sesak di dada.Mungkin karena aktingku dan Ardi sangat bagus, sehingga kami berhasil menyembunyikan kebenaran dari orang tua kami. Mereka mengira kami adalah pasangan suami istri sungguhan.Namun, mereka tidak tahu, pernikahan yang diawali dengan kesalahan ini, sudah hampir tiba tenggat waktunya."Ardi, katakanlah sesuatu." Melihat Ardi

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 5

    Begitu kata "batu loncatan" itu keluar dari mulut Ardi, aku tersedak dan tidak bisa berkata apa-apa untuk waktu yang lama.Benar sekali. Ayahku memang salah karena mengatasnamakan "balas budi" untuk mengajukan pernikahan kepada Keluarga Wijaya, tapi sebagai gantinya ayahku juga sudah terbaring di sanatorium selama tiga tahun.Sedangkan aku, toh aku menandatangani perjanjian pranikah itu sesuai keinginannya. Apalagi status pernikahan kami tidak diketahui pihak ketiga kecuali anggota kedua keluarga.Cincin kawin ini pun dibeli secara asal-asalan di butik aksesoris dekat kampus. Tidak ada undangan, tidak ada resepsi pernikahan, bahkan foto pernikahan pun tidak ada. Satu-satunya foto bersama yang kami miliki hanya tertempel di buku nikah kami. Jadi, apa keuntungan yang sudah kuterima dari Keluarga Wijaya?Tidak ada.Oh ya, jika tinggal di apartemen Ardi yang berpemandangan sungai terbaik di Nowa juga dianggap sebagai menikmati keuntungan ... maka dengan mencuci pakaian, memasak, serta mela

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 6

    Diam-diam aku meninggalkan ruang rapat itu, sementara orang-orang masih berkerumun melihat mereka.Namun siapa yang menyangka, baru dua langkah, aku malah berpapasan muka dengan Rian Pratama.Dia melihatku dan menyapaku dengan suara yang lembut, "Nona Raisa, apakah kamu tidak melihat Dokter Ardi?"Rian Pratama dan Ardi adalah rekan kerja. Mereka seumuran, tetapi Rian masuk ke Departemen Bedah Saraf satu tahun setelah Ardi. Sampai sekarang, dia masih berstatus dokter residen.Kami saling mengenal. Itu juga karena aku tak sengaja kedapatan olehnya saat beberapa kali mengantarkan makanan dan bubur untuk Ardi.Setelah itu karena Ardi sering sibuk, dia pun memintaku untuk menghubungi dan menyerahkannya pada Rian. Seiring dengan berjalannya waktu, kami pun menjadi saling kenal satu sama lain.Setelah kupikir-pikir, aku rasa Ardi tidak benar-benar sibuk, dia hanya tidak ingin bertemu denganku.Namun, Rian sepertinya tidak terlalu terkejut melihat aku ikut ujian tertulis di Mogowa?"Oh, tadi s

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 7

    Kami berempat pun berdiri di tempat yang sama.Mungkin karena sosok Ardi terlalu mencolok, sehingga perhatian banyak orang pun tertuju ke sini.Aku merasa kurang nyaman dipandang orang-orang di sekeliling. Ketika mataku menyapu Zelda, gadis itu tampak terkagum menatap Ardi, posisinya jauh lebih baik dariku.Aku tahu, itu adalah rasa kepercayaan diri yang timbul dari perasaan dilindungi."Kak Ardi bilang sudah menjelang waktu makan siang, dia ingin mentraktirku makan di kantin rumah sakit," ujarnya dengan nada polos.Rian menatapku dengan bingung, lalu menatap Zelda yang berdiri di sebelah Ardi dan berkata, "Dokter Ardi, kok tak dikenalkan?"Ardi memperkenalkan secara singkat, "Zelda, adik kelasku dari Fakultas Kedokteran."Zelda mengedipkan matanya yang jeli itu, lalu melirik kartu nama Rian dan berkata, "Halo, Dokter Rian. Perkenalkan, aku Zelda Hilmawan."Rian mengangguk dan tersenyum canggung, matanya sesekali menatap ke arahku. Ada rasa simpati yang terlihat di matanya."Kak Raisa,

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 8

    Ardi memilih tempat di sebelahku dan duduk.Dalam waktu singkat, mangkuk dan piring di hadapanku sudah terisi penuh oleh ibuku. Sambil membereskan piring-piring, dia berkata dengan nada khawatir, "Kamu pasti sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit. Lihatlah, kamu kurusan sekarang."Pujian yang dia berikan pada menantu laki-lakinya masih tetap sama.Namun, dia lupa kalau Ardi tidak makan tomat.Aku menatap alis lelaki itu yang sedikit mengernyit, dia mengambil sendok dan memilah-milah tomat dengan telur.Melihat ini, Nyonya Larasati menarik sudut bibirnya dengan canggung dan berkata, "Astaga, aku memang tidak seperhatian Raisa."Ardi mencibir dan berkata singkat, "Ibu meminta kami datang ke sini hari ini, apa ada sesuatu yang ingin Ibu sampaikan pada kami?"Nyonya Larasati melirik ke arahku dan berkata sambil tersenyum, "Memangnya bisa ada apa? Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Aku ingin makan bersama kalian."Setelah selesai berbicara, ibu menatapku, mengisyaratkan kalau aku harus mi

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 9

    Pertunjukan bagus?Setelah tertegun sesaat, aku pun memahami sindiran dalam kata-kata Ardi.Jadi menurut pendapat dia, semua yang terjadi malam ini adalah bagian dari konspirasi Nyonya Larasati denganku untuk menjebaknya.Dengan tujuan bisa hamil anak Keluarga Wijaya?Untuk itu, kami bahkan menggunakan trik memalukan seperti pakaian dalam seksi?Untuk sesaat, aku tidak tahu apakah aku harus menangis atau harus tertawa. Memikirkan kembali sikap lembutnya barusan, aku merasa seolah baru saja bermimpi indah selama beberapa detik."Sia-sia saja usahamu itu." Saat aku mendengar ejekannya itu, tatapan mata Ardi menjadi semakin dingin.Aku memelototinya, pandanganku jatuh pada jakun pria itu yang menonjol dan berkata dengan tenang, "Dokter Ardi yang suci, kok kali ini bisa terjebak sih?"Seolah-olah jalan pikirannya terkuak, Ardi sedikit mengernyit. Dia mencibir kemudian melangkah dari sisi badanku dan pergi meninggalkanku.Ketika suara pintu ditutup terdengar, air mataku mengalir keluar. Aku

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 10

    Mendengar ucapan ini, Ardi sedikit kebingungan. Setelah beberapa detik kemudian dia baru mengucapkan, "Bagi setengah?"Dia sepertinya tidak menyangka.Rian tidak menyembunyikannya lagi, dia menjelaskan, "Ini adalah hadiah yang diberikan oleh Nona Raisa sebagai tanda terima kasih karena sudah meminjamkan payung. Dokter Ardi, harap jangan cemburu."Dalam satu kalimat, dia tidak hanya menjelaskannya untukku, tetapi juga menghilangkan rasa canggung Ardi. Aku harus mengakui kalau Rian memiliki EQ yang tinggi."Kenapa aku harus cemburu?" Ardi berkata dengan nada meremehkan, "Toh ini hanya makan siang, lagi pula ...."Dia berhenti sejenak, matanya tertuju pada kotak makan siang itu dan berkata dengan sombong, "Setiap kali juga hanya itu-itu saja. Aku sudah bosan memakannya."Sudah bosan.Setelah mendengar kata-kata ini, hatiku penuh duka.Memikirkan kembali selama tiga tahun terakhir ini, aku tidur lebih awal dan bangun pagi-pagi setiap hari. Aku pergi ke pasar untuk memilih bahan-bahan yang

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 11

    Setengah jam yang lalu, Ardi menelepon Nyonya Larasati.Katanya dia sudah menyiapkan satu set pakaian wawancara untukku, hasil pilihan dari seorang desainer busana eksklusif. Namun, karena sedang ada urusan mendesak di rumah sakit, dia meminta bantuan ibuku, salah satu orang yang tahu soal pernikahan kami, sekaligus mertuanya.Sekali lagi, Ardi memainkan perannya sebagai suami perhatian.Secara logis, semuanya masuk akal.Tapi hanya aku yang tahu, hubungan kami sebenarnya jauh dari titik di mana kami bisa saling memberi kejutan, apalagi hadiah.Kemudian, dia berujar lagi, sikapnya masih sama seperti tadi, "Nanti sepulang dari wawancara, kamu harus minta maaf padanya. Kalau Keluarga Wijaya bertanya, bilang saja kamu cuma ingin cari pengalaman kerja. Lalu sampaikan bahwa kamu akan serius menjalani program kehamilan dan berusaha kasih mereka cucu yang sehat. Mengerti?"Ibuku jelas ingin aku menunjukkan kesungguhan di hadapan Keluarga Wijaya.Strategi Nyonya Larasati itu mungkin akan berha

Latest chapter

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 20

    Menjual diri ... dengan harga tinggi?Aku menatap Ardi dengan tidak percaya. Sesaat, aku bahkan meragukan pendengaranku sendiri.Dia menggunakan kata "menjual".Nyonya Larasati juga tampak terkejut dengan ucapan Ardi. Dia membuka mulut, lalu menjelaskan dengan nada tertekan, "Bukan begitu, Ardi. Jangan salah paham. Ibu hanya memikirkan kalian. Lagi pula, Raisa selalu tulus padamu. Cara bicaramu bisa menyakiti hatinya."Wajah Ardi menghitam, dia kembali melirik daftar hadiah, lalu bersuara keras, "Daftar hadiah sedetail ini, kalian benar-benar sudah perhitungkan dengan matang, ya."Dia memakai kata "kalian".Yang dia maksud adalah aku dan Nyonya Larasati.Dalam hati Ardi, aku mengerahkan segala cara untuk menikah dengannya, dan seluruh Keluarga Larasati pun dianggap penuh perhitungan dan berusaha memanfaatkannya.Dulu setidaknya dia masih menjaga sopan santun, tapi sekarang dia berani menuduh ibuku sendiri di hadapanku.Lantas, apa arti keberadaanku di matanya?Rasa nyeri di dadaku beru

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 19

    Aku duduk berdampingan dengan Nyonya Larasati, berhadapan langsung dengan ibu mertuaku.Baru saja duduk, aku langsung menatap Nyonya Larasati dengan tatapan bertanya.Sambil menuang anggur, Nyonya Larasati menjawab, "Bukankah kamu baru saja diterima bekerja di Mogowa? Kabar baik seperti ini tentu harus dibagikan kepada besan."Setelah berbicara, dia menoleh ke ibu mertuaku. Matanya penuh kebanggaan dan rasa puas yang tak tersembunyi.Aku seharusnya sudah menduganya. Dengan sifat Nyonya Larasati, mana mungkin dia membiarkanku tetap diam dan tidak bertindak.Hanya saja, aku tak menyangka dia akan langsung mengundang ibu mertuaku ke pertemuan ini.Namun, ibu mertuaku yang sudah terbiasa menghadapi situasi besar hanya menunjukkan ekspresi tenang, lalu berkata, "Hanya seorang dokter magang di Departemen Anestesi. Apa yang patut dibatidakan?"Rupanya ibu mertua juga sudah mendengar kabar tersebut."Jangan bicara seperti itu, Besan." Nyonya Larasati mulai berbicara panjang lebar, "Raisa menga

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 18

    Setelah pulang, aku langsung mulai membereskan barang-barangku.Kupikir, daripada menunggu Ardi mengusirku keluar, lebih baik aku tahu diri lebih dulu.Saat koper hampir penuh, tiba-tiba terdengar suara dari ruang tamu. Dalam sekejap, sosok pria tinggi tegap muncul di ambang pintu kamar tidur.Ardi sudah pulang.Berbeda dari biasanya yang selalu tertata dan rapi, kali ini kerah kemejanya terbuka, dasinya terkulai longgar di lehernya. Cahaya lampu langit-langit menyinari tubuhnya, menciptakan kesan rapuh.Sangat tidak biasa.Setelah bertukar pandang sebentar, aku menutup koper dengan tenang, namun suara pria itu yang terdengar kesal menyusul, "Apa yang kamu ributkan?"Ribut?Aku mengulang kata itu dalam hati, dan tak bisa menahan diri untuk tertawa miris.Di saat seperti ini, dia masih ingin terus berpura-pura denganku?Aku menggenggam erat koperku, menahan perasaan tak nyaman di dada, dan pura-pura tenang berkata, "Tidak sedang ribut, toh perjanjian kita tinggal dua bulan lagi, jadi le

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 17

    Ternyata memang benar Ardi.Sesaat aku merasa ingin menangis sekaligus tertawa.Aku sangat mengenal watak suamiku ini. Dia menyukai ketenangan, dan tidak akan menghadiri acara apa pun kecuali sangat terpaksa. Selama tiga tahun aku menikah dengan Ardi, situasi seperti ini hanya terjadi satu dua kali saja. Tapi dalam waktu setengah bulan ini, Ardi sudah dua kali melanggar kebiasaan itu.Demi gadis muda polos dan ceria di hadapanku ini.Merayakan? Mengundang tamu? Lalu aku? Hanya pantas menyuguhkan teh dan air untuknya?Hati ini seperti disobek menjadi dua, separuh kecewa, separuh iri."Tak perlu," jawabku dengan nada pelan, "Aku sudah janjian dengan seseorang."Mendengarnya, Zelda menghela napas pelan dan berkata lembut, "Kalau begitu, lain kali kita janjian lagi ya, Kak."Melihat gadis itu melompat-lompat dan menghilang dari pandanganku, aku langsung membuka ponsel dan melirik jadwal jaga di layar kunci.Kalau aku tidak salah ingat, malam ini seharusnya giliran Ardi berjaga malam.Jadi,

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 16

    Ya, aku diterima bekerja, tapi bukan di Departemen Bedah Saraf Mogowa, melainkan di Departemen Anestesi.Kabar gembira itu datang terlalu tiba-tiba, sesaat aku tidak tahu apakah harus merasa bersyukur atau menyesal.Siapa yang mengira, bahwa aku yang selalu meraih peringkat pertama dalam jurusan bedah saraf setiap tahun, akhirnya justru masuk ke Mogowa karena mata kuliah pilihan anestesiologi.Sementara nama Zelda, tertera jelas di bawah Departemen Bedah Saraf.Bersama dia, satu lagi lulusan magister dari Fakultas Kedokteran lain juga diterima.Dari dua kuota tersebut, tidak ada namaku."Kalau begitu, kita tetapkan saja, ya." Suara Nyonya Larasati di ujung telepon masih terus mengoceh, "Pertunjukan sebagus ini, kursi penontonnya harus penuh. Biar Ibu yang atur."Aku tentu tahu Nyonya Larasati tidak sekadar bercanda, segera aku menyela, "Jangan buru-buru, biarkan aku ... memikirkannya dulu."Nyonya Larasati menangkap keraguan dalam suaraku, nadanya langsung tidak senang, "Jangan-jangan

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 15

    Di hadapanku, Ardi langsung mengangkat telepon.Suara lembut penuh semangat terdengar dari seberang, seorang gadis berseru riang, "Kak Ardi, temanku bilang dia melihat kamu di parkiran. Apakah benar itu kamu?"Jari-jarinya mengetuk ringan setir, nada bicaranya tenang, "Mm, benar aku.""Serius? Kejutan ini terlalu tiba-tiba."Mendengar itu, Ardi mendekatkan ponsel ke telinganya, seolah tak ingin melewatkan sepatah kata pun dari lawan bicaranya. Di sudut bibirnya, tergurat senyuman samar."Eh? Apa aku salah ngomong?" tanya Zelda ragu-ragu, suaranya mengandung sedikit rasa takut. "Jangan-jangan Kak Ardi memang lagi ada urusan di kampus?"Gadis itu masih muda, pikirannya yang polos pun tampak jelas. Bahkan cara dia mencoba memastikan juga begitu terang-terangan.Namun, Ardi tampak tidak terganggu. Dia malah mengganti topik, "Sudah makan belum?"Saat dia mengucapkan kalimat itu, sepasang mata phoenix-nya menyapu wajahku, lalu tubuhnya miring sedikit, condong ke arah pintu mobil.Mungkin dia

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 14

    Kandidat lain.Seolah disiram seember air dingin, tubuhku langsung membeku dari kepala hingga kaki.Kedua kakiku pun terasa seberat timah, tak bisa digerakkan sama sekali.Pada saat yang sama, wajah Zelda langsung membanjiri pikiranku tanpa bisa kucegah."Oh? Siapa orangnya?" tanya Tuan Johan."Lulusan baru jurusan bedah saraf," jawab Ardi, mantap. "Gadis kecil itu cukup cerdas."Hening kembali menyelimuti ruangan.Sementara hatiku, pelan-pelan tenggelam, seolah ditarik ke dasar lautan.Gadis kecil.Panggilan itu terasa terlalu akrab, terlalu intim.Ardi, yang biasanya sangat berhati-hati dalam bicara, kini menyebut Zelda di depan ayahnya dengan nada bangga. Ardi jelas menyukainya.Dia memang berbeda jika menyangkut perempuan itu."Baik, aku percaya penilaianmu."Tuan Johan menutup percakapan dengan nada penuh kepercayaan pada putranya.Pujian padaku yang hanya terucap satu menit lalu, tak sebanding dengan orang pilihan Ardi.Aku perlahan menuruni tangga dan menyelinap ke kamar tamu.S

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 13

    Begitu mendengar pertanyaanku, ekspresi Ardi langsung berubah serius.Tatapannya yang tajam menancap ke wajahku, mata itu menyimpan kegelapan yang sulit diterjemahkan.Aku membalas tatapannya tanpa gentar.Beberapa detik berlalu dalam diam, sampai akhirnya dia mengernyit dan mencibir. "Menurut Nona Raisa, apa alasan aku melakukan itu?"Dia mengerti maksud tersirat dari perkataanku.Kata-kata yang ingin kuucapkan terhenti di tenggorokan. Sebelum aku sempat menjawab, dia kembali melontarkan pertanyaan ini, "Jangan-jangan Nona Raisa berpikir menjadi dokter itu cukup hanya dengan berkutat dengan alat-alat laboratorium yang dingin itu?""Apa maksud Dokter Ardi?"Dengan tenang dia mengambil kunci mobil, lalu menjawab datar, "Seorang dokter yang bahkan tidak bisa menyelesaikan masalah sosial di sekitarnya, apa pantas dipercaya untuk mengurus kesehatan pasiennya?"Dia sedang menyindir hubunganku yang buruk dengan Nyonya Larasati, yang menyebabkan keterlambatanku di wawancara pagi tadi.Meskipu

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 12

    Setelah dikhianati, aku melangkah keluar dari ruang wawancara tanpa menunjukkan sedikit pun emosi di wajah.Instingku berkata mungkin aku telah merusak peluangku untuk diterima.Langkah kakiku berat seperti tertimpa beban. Baru saja sampai di tikungan, suara lembut yang sangat kukenal langsung menyapa telingaku."Secara keseluruhan cukup lancar," ucap Zelda sambil memegang ponsel, nada bicaranya seolah sedang melapor pada seseorang yang penting. "Semua berkat catatan wawancara dari Kak Ardi."Begitu mata kami bertemu, dia buru-buru menutup telepon. Dengan langkah kecil yang anggun, dia menghampiriku dengan penuh gaya."Kak!" sapanya sambil memeluk mapnya seperti harta karun, senyum di wajahnya merekah. "Bagaimana wawancaranya?""Ada sedikit masalah," jawabku pelan."Tak apa-apa, Kak," balasnya lembut, mencoba menenangkan. "Para pewawancara semuanya tokoh besar, memang sulit untuk tampil sempurna."Sambil berbicara, dia mengulurkan tangannya, seolah ingin menyemangatiku. Namun tiba-tiba

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status