Share

Bab 10

Author: Celine
Mendengar ucapan ini, Ardi sedikit kebingungan. Setelah beberapa detik kemudian dia baru mengucapkan, "Bagi setengah?"

Dia sepertinya tidak menyangka.

Rian tidak menyembunyikannya lagi, dia menjelaskan, "Ini adalah hadiah yang diberikan oleh Nona Raisa sebagai tanda terima kasih karena sudah meminjamkan payung. Dokter Ardi, harap jangan cemburu."

Dalam satu kalimat, dia tidak hanya menjelaskannya untukku, tetapi juga menghilangkan rasa canggung Ardi. Aku harus mengakui kalau Rian memiliki EQ yang tinggi.

"Kenapa aku harus cemburu?" Ardi berkata dengan nada meremehkan, "Toh ini hanya makan siang, lagi pula ...."

Dia berhenti sejenak, matanya tertuju pada kotak makan siang itu dan berkata dengan sombong, "Setiap kali juga hanya itu-itu saja. Aku sudah bosan memakannya."

Sudah bosan.

Setelah mendengar kata-kata ini, hatiku penuh duka.

Memikirkan kembali selama tiga tahun terakhir ini, aku tidur lebih awal dan bangun pagi-pagi setiap hari. Aku pergi ke pasar untuk memilih bahan-bahan yang masih segar, memadukan daging dengan sayuran sesuai selera Ardi. Lalu segera mengirimnya ke rumah sakit, tetapi pada akhirnya, dia bilang dia sudah bosan memakannya.

Ya juga sih, tidak peduli seberapa segar bahan-bahannya, atau seberapa besar usaha yang aku berikan untuk memasaknya. Kalau dimakan selama tiga tahun berturut-turut, memang bakal bosan juga.

Sama seperti pria yang tidur di sampingku ini.

"Oh ya, Nona Raisa mungkin belum tahu ini." Mungkin karena Rian mencium gelagat suasana yang tidak tepat, dia mengambil inisiatif untuk mengalihkan pembicaraan. "Ketika Dokter Ardi datang ke rumah sakit kami untuk wawancara, dia mendapat peringkat pertama dalam tes tertulis dan wawancara. Nona Raisa bisa meminta nasihat dari si genius ini."

Setelah berkata demikian, dia mengedipkan mata pada Ardi.

Ardi melirik ke arahku dan mencibir, "Nona Raisa sangat cerdas dan banyak trik, apa dia masih butuh meminta nasihatku?"

Sangat cerdas dan punya banyak trik.

Setiap kata yang diucapkan Ardi bagaikan sebilah pisau tajam yang menusuk hatiku.

Aku tahu dari lubuk hatinya, dia memandang rendah diriku. Sekarang dia bahkan sudah malas berpura-pura.

Memikirkan hal ini, aku melipat kedua telapak tanganku dan berkata dengan suara lembut, "Dokter Ardi sangat sibuk, aku tidak berani merepotkan dia."

Apalagi, aku ikut wawancara ini dengan kemampuanku sendiri.

Aku berkata dalam hati pada diriku sendiri.

Waktu berlalu dengan cepat, tanpa terasa ini sudah keesokan paginya, tetapi saat aku tiba di lantai dasar Mogowa dengan penuh percaya diri, aku diadang oleh sosok yang familier.

Dia adalah ibuku, Nyonya Larasati.

Dia tampak pucat dengan wajah tanpa riasan apa pun. Dia tampak lelah.

Berhadapan langsung, dia menatapku dari atas ke bawah dan berkata dengan tidak percaya, "Kamu benar-benar datang ke Mogowa untuk melamar pekerjaan?"

Aku tidak menyangkalnya. Dia berkata dengan nada kecewa, "Kamu bodoh ya, Raisa? Kamu bukannya menjadi Nyonya Wijaya yang baik, untuk apa kamu datang ke Mogowa, jadi dokter magang! Apakah kamu sudah lupa apa tugas utamamu saat ini?"

Dia mengucapkan kalimat terakhir itu dengan suara rendah.

Moto hidup Nyonya Larasati sangatlah sederhana. Seorang wanita, lebih baik menikah daripada belajar tinggi-tinggi. Daripada bekerja keras di laboratorium, lebih baik mencari bibit unggul, apalagi bibit yang sempurna seperti Ardi.

Melihat aku tak kunjung menanggapinya, Nyonya Larasati mencengkeram pergelangan tanganku dan berkata dengan marah, "Ayo kita pergi! Sebelum Keluarga Wijaya tahu, kamu harus segera pulang bersamaku dan mempersiapkan kehamilan, apa kamu mengerti!"

Mempersiapkan kehamilan, mempersiapkan kehamilan, lagi-lagi mempersiapkan kehamilan.

Kenapa semua orang mengira tujuan hidupku adalah untuk meneruskan garis keturunan keluarga. Kenapa mereka tidak pernah menanyakan apa yang aku inginkan?

Aku berdiri tak bergeming, tetapi hatiku dingin seperti air es. Hawa dingin menjalar dari hatiku menyusup ke seluruh tubuhku.

Nyonya Larasati juga enggan menyerah.

Ibuku dan aku terjebak dalam kebuntuan di lantai dasar Mogowa.

Nyonya Larasati mulai memainkan trik menyiksa diri, "Apakah kamu masih punya hati nurani? Pikirkanlah aku dan ayahmu bekerja keras untuk membesarkanmu. Saat ini ayahmu masih dirawat. Beginikah caramu membalas jasa kami?"

Setelah berkata demikian, dia pun meneteskan air mata.

Aku sudah terbiasa dan tidak terkejut. Aku hanya menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Ibu, aku tidak akan kembali. Lagian, Ardi tahu soal wawancara ini."

Aku hanya bisa menggunakan Ardi untuk meyakinkan ibuku.

"Tentu saja dia tahu," kata Nyonya Larasati dengan marah, "Kalau bukan dia yang mengingatkanku tadi pagi untuk menyiapkan jas wawancara untukmu, sampai sekarang aku masih belum tahu apa-apa!"

Jas untuk wawancara? Pagi ini?

Jadi, Ardi yang memberi tahu Nyonya Larasati soal wawancaraku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 11

    Setengah jam yang lalu, Ardi menelepon Nyonya Larasati.Katanya dia sudah menyiapkan satu set pakaian wawancara untukku, hasil pilihan dari seorang desainer busana eksklusif. Namun, karena sedang ada urusan mendesak di rumah sakit, dia meminta bantuan ibuku, salah satu orang yang tahu soal pernikahan kami, sekaligus mertuanya.Sekali lagi, Ardi memainkan perannya sebagai suami perhatian.Secara logis, semuanya masuk akal.Tapi hanya aku yang tahu, hubungan kami sebenarnya jauh dari titik di mana kami bisa saling memberi kejutan, apalagi hadiah.Kemudian, dia berujar lagi, sikapnya masih sama seperti tadi, "Nanti sepulang dari wawancara, kamu harus minta maaf padanya. Kalau Keluarga Wijaya bertanya, bilang saja kamu cuma ingin cari pengalaman kerja. Lalu sampaikan bahwa kamu akan serius menjalani program kehamilan dan berusaha kasih mereka cucu yang sehat. Mengerti?"Ibuku jelas ingin aku menunjukkan kesungguhan di hadapan Keluarga Wijaya.Strategi Nyonya Larasati itu mungkin akan berha

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 12

    Setelah dikhianati, aku melangkah keluar dari ruang wawancara tanpa menunjukkan sedikit pun emosi di wajah.Instingku berkata mungkin aku telah merusak peluangku untuk diterima.Langkah kakiku berat seperti tertimpa beban. Baru saja sampai di tikungan, suara lembut yang sangat kukenal langsung menyapa telingaku."Secara keseluruhan cukup lancar," ucap Zelda sambil memegang ponsel, nada bicaranya seolah sedang melapor pada seseorang yang penting. "Semua berkat catatan wawancara dari Kak Ardi."Begitu mata kami bertemu, dia buru-buru menutup telepon. Dengan langkah kecil yang anggun, dia menghampiriku dengan penuh gaya."Kak!" sapanya sambil memeluk mapnya seperti harta karun, senyum di wajahnya merekah. "Bagaimana wawancaranya?""Ada sedikit masalah," jawabku pelan."Tak apa-apa, Kak," balasnya lembut, mencoba menenangkan. "Para pewawancara semuanya tokoh besar, memang sulit untuk tampil sempurna."Sambil berbicara, dia mengulurkan tangannya, seolah ingin menyemangatiku. Namun tiba-tiba

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 13

    Begitu mendengar pertanyaanku, ekspresi Ardi langsung berubah serius.Tatapannya yang tajam menancap ke wajahku, mata itu menyimpan kegelapan yang sulit diterjemahkan.Aku membalas tatapannya tanpa gentar.Beberapa detik berlalu dalam diam, sampai akhirnya dia mengernyit dan mencibir. "Menurut Nona Raisa, apa alasan aku melakukan itu?"Dia mengerti maksud tersirat dari perkataanku.Kata-kata yang ingin kuucapkan terhenti di tenggorokan. Sebelum aku sempat menjawab, dia kembali melontarkan pertanyaan ini, "Jangan-jangan Nona Raisa berpikir menjadi dokter itu cukup hanya dengan berkutat dengan alat-alat laboratorium yang dingin itu?""Apa maksud Dokter Ardi?"Dengan tenang dia mengambil kunci mobil, lalu menjawab datar, "Seorang dokter yang bahkan tidak bisa menyelesaikan masalah sosial di sekitarnya, apa pantas dipercaya untuk mengurus kesehatan pasiennya?"Dia sedang menyindir hubunganku yang buruk dengan Nyonya Larasati, yang menyebabkan keterlambatanku di wawancara pagi tadi.Meskipu

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 14

    Kandidat lain.Seolah disiram seember air dingin, tubuhku langsung membeku dari kepala hingga kaki.Kedua kakiku pun terasa seberat timah, tak bisa digerakkan sama sekali.Pada saat yang sama, wajah Zelda langsung membanjiri pikiranku tanpa bisa kucegah."Oh? Siapa orangnya?" tanya Tuan Johan."Lulusan baru jurusan bedah saraf," jawab Ardi, mantap. "Gadis kecil itu cukup cerdas."Hening kembali menyelimuti ruangan.Sementara hatiku, pelan-pelan tenggelam, seolah ditarik ke dasar lautan.Gadis kecil.Panggilan itu terasa terlalu akrab, terlalu intim.Ardi, yang biasanya sangat berhati-hati dalam bicara, kini menyebut Zelda di depan ayahnya dengan nada bangga. Ardi jelas menyukainya.Dia memang berbeda jika menyangkut perempuan itu."Baik, aku percaya penilaianmu."Tuan Johan menutup percakapan dengan nada penuh kepercayaan pada putranya.Pujian padaku yang hanya terucap satu menit lalu, tak sebanding dengan orang pilihan Ardi.Aku perlahan menuruni tangga dan menyelinap ke kamar tamu.S

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 15

    Di hadapanku, Ardi langsung mengangkat telepon.Suara lembut penuh semangat terdengar dari seberang, seorang gadis berseru riang, "Kak Ardi, temanku bilang dia melihat kamu di parkiran. Apakah benar itu kamu?"Jari-jarinya mengetuk ringan setir, nada bicaranya tenang, "Mm, benar aku.""Serius? Kejutan ini terlalu tiba-tiba."Mendengar itu, Ardi mendekatkan ponsel ke telinganya, seolah tak ingin melewatkan sepatah kata pun dari lawan bicaranya. Di sudut bibirnya, tergurat senyuman samar."Eh? Apa aku salah ngomong?" tanya Zelda ragu-ragu, suaranya mengandung sedikit rasa takut. "Jangan-jangan Kak Ardi memang lagi ada urusan di kampus?"Gadis itu masih muda, pikirannya yang polos pun tampak jelas. Bahkan cara dia mencoba memastikan juga begitu terang-terangan.Namun, Ardi tampak tidak terganggu. Dia malah mengganti topik, "Sudah makan belum?"Saat dia mengucapkan kalimat itu, sepasang mata phoenix-nya menyapu wajahku, lalu tubuhnya miring sedikit, condong ke arah pintu mobil.Mungkin dia

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 16

    Ya, aku diterima bekerja, tapi bukan di Departemen Bedah Saraf Mogowa, melainkan di Departemen Anestesi.Kabar gembira itu datang terlalu tiba-tiba, sesaat aku tidak tahu apakah harus merasa bersyukur atau menyesal.Siapa yang mengira, bahwa aku yang selalu meraih peringkat pertama dalam jurusan bedah saraf setiap tahun, akhirnya justru masuk ke Mogowa karena mata kuliah pilihan anestesiologi.Sementara nama Zelda, tertera jelas di bawah Departemen Bedah Saraf.Bersama dia, satu lagi lulusan magister dari Fakultas Kedokteran lain juga diterima.Dari dua kuota tersebut, tidak ada namaku."Kalau begitu, kita tetapkan saja, ya." Suara Nyonya Larasati di ujung telepon masih terus mengoceh, "Pertunjukan sebagus ini, kursi penontonnya harus penuh. Biar Ibu yang atur."Aku tentu tahu Nyonya Larasati tidak sekadar bercanda, segera aku menyela, "Jangan buru-buru, biarkan aku ... memikirkannya dulu."Nyonya Larasati menangkap keraguan dalam suaraku, nadanya langsung tidak senang, "Jangan-jangan

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 17

    Ternyata memang benar Ardi.Sesaat aku merasa ingin menangis sekaligus tertawa.Aku sangat mengenal watak suamiku ini. Dia menyukai ketenangan, dan tidak akan menghadiri acara apa pun kecuali sangat terpaksa. Selama tiga tahun aku menikah dengan Ardi, situasi seperti ini hanya terjadi satu dua kali saja. Tapi dalam waktu setengah bulan ini, Ardi sudah dua kali melanggar kebiasaan itu.Demi gadis muda polos dan ceria di hadapanku ini.Merayakan? Mengundang tamu? Lalu aku? Hanya pantas menyuguhkan teh dan air untuknya?Hati ini seperti disobek menjadi dua, separuh kecewa, separuh iri."Tak perlu," jawabku dengan nada pelan, "Aku sudah janjian dengan seseorang."Mendengarnya, Zelda menghela napas pelan dan berkata lembut, "Kalau begitu, lain kali kita janjian lagi ya, Kak."Melihat gadis itu melompat-lompat dan menghilang dari pandanganku, aku langsung membuka ponsel dan melirik jadwal jaga di layar kunci.Kalau aku tidak salah ingat, malam ini seharusnya giliran Ardi berjaga malam.Jadi,

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 18

    Setelah pulang, aku langsung mulai membereskan barang-barangku.Kupikir, daripada menunggu Ardi mengusirku keluar, lebih baik aku tahu diri lebih dulu.Saat koper hampir penuh, tiba-tiba terdengar suara dari ruang tamu. Dalam sekejap, sosok pria tinggi tegap muncul di ambang pintu kamar tidur.Ardi sudah pulang.Berbeda dari biasanya yang selalu tertata dan rapi, kali ini kerah kemejanya terbuka, dasinya terkulai longgar di lehernya. Cahaya lampu langit-langit menyinari tubuhnya, menciptakan kesan rapuh.Sangat tidak biasa.Setelah bertukar pandang sebentar, aku menutup koper dengan tenang, namun suara pria itu yang terdengar kesal menyusul, "Apa yang kamu ributkan?"Ribut?Aku mengulang kata itu dalam hati, dan tak bisa menahan diri untuk tertawa miris.Di saat seperti ini, dia masih ingin terus berpura-pura denganku?Aku menggenggam erat koperku, menahan perasaan tak nyaman di dada, dan pura-pura tenang berkata, "Tidak sedang ribut, toh perjanjian kita tinggal dua bulan lagi, jadi le

Latest chapter

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 20

    Menjual diri ... dengan harga tinggi?Aku menatap Ardi dengan tidak percaya. Sesaat, aku bahkan meragukan pendengaranku sendiri.Dia menggunakan kata "menjual".Nyonya Larasati juga tampak terkejut dengan ucapan Ardi. Dia membuka mulut, lalu menjelaskan dengan nada tertekan, "Bukan begitu, Ardi. Jangan salah paham. Ibu hanya memikirkan kalian. Lagi pula, Raisa selalu tulus padamu. Cara bicaramu bisa menyakiti hatinya."Wajah Ardi menghitam, dia kembali melirik daftar hadiah, lalu bersuara keras, "Daftar hadiah sedetail ini, kalian benar-benar sudah perhitungkan dengan matang, ya."Dia memakai kata "kalian".Yang dia maksud adalah aku dan Nyonya Larasati.Dalam hati Ardi, aku mengerahkan segala cara untuk menikah dengannya, dan seluruh Keluarga Larasati pun dianggap penuh perhitungan dan berusaha memanfaatkannya.Dulu setidaknya dia masih menjaga sopan santun, tapi sekarang dia berani menuduh ibuku sendiri di hadapanku.Lantas, apa arti keberadaanku di matanya?Rasa nyeri di dadaku beru

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 19

    Aku duduk berdampingan dengan Nyonya Larasati, berhadapan langsung dengan ibu mertuaku.Baru saja duduk, aku langsung menatap Nyonya Larasati dengan tatapan bertanya.Sambil menuang anggur, Nyonya Larasati menjawab, "Bukankah kamu baru saja diterima bekerja di Mogowa? Kabar baik seperti ini tentu harus dibagikan kepada besan."Setelah berbicara, dia menoleh ke ibu mertuaku. Matanya penuh kebanggaan dan rasa puas yang tak tersembunyi.Aku seharusnya sudah menduganya. Dengan sifat Nyonya Larasati, mana mungkin dia membiarkanku tetap diam dan tidak bertindak.Hanya saja, aku tak menyangka dia akan langsung mengundang ibu mertuaku ke pertemuan ini.Namun, ibu mertuaku yang sudah terbiasa menghadapi situasi besar hanya menunjukkan ekspresi tenang, lalu berkata, "Hanya seorang dokter magang di Departemen Anestesi. Apa yang patut dibatidakan?"Rupanya ibu mertua juga sudah mendengar kabar tersebut."Jangan bicara seperti itu, Besan." Nyonya Larasati mulai berbicara panjang lebar, "Raisa menga

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 18

    Setelah pulang, aku langsung mulai membereskan barang-barangku.Kupikir, daripada menunggu Ardi mengusirku keluar, lebih baik aku tahu diri lebih dulu.Saat koper hampir penuh, tiba-tiba terdengar suara dari ruang tamu. Dalam sekejap, sosok pria tinggi tegap muncul di ambang pintu kamar tidur.Ardi sudah pulang.Berbeda dari biasanya yang selalu tertata dan rapi, kali ini kerah kemejanya terbuka, dasinya terkulai longgar di lehernya. Cahaya lampu langit-langit menyinari tubuhnya, menciptakan kesan rapuh.Sangat tidak biasa.Setelah bertukar pandang sebentar, aku menutup koper dengan tenang, namun suara pria itu yang terdengar kesal menyusul, "Apa yang kamu ributkan?"Ribut?Aku mengulang kata itu dalam hati, dan tak bisa menahan diri untuk tertawa miris.Di saat seperti ini, dia masih ingin terus berpura-pura denganku?Aku menggenggam erat koperku, menahan perasaan tak nyaman di dada, dan pura-pura tenang berkata, "Tidak sedang ribut, toh perjanjian kita tinggal dua bulan lagi, jadi le

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 17

    Ternyata memang benar Ardi.Sesaat aku merasa ingin menangis sekaligus tertawa.Aku sangat mengenal watak suamiku ini. Dia menyukai ketenangan, dan tidak akan menghadiri acara apa pun kecuali sangat terpaksa. Selama tiga tahun aku menikah dengan Ardi, situasi seperti ini hanya terjadi satu dua kali saja. Tapi dalam waktu setengah bulan ini, Ardi sudah dua kali melanggar kebiasaan itu.Demi gadis muda polos dan ceria di hadapanku ini.Merayakan? Mengundang tamu? Lalu aku? Hanya pantas menyuguhkan teh dan air untuknya?Hati ini seperti disobek menjadi dua, separuh kecewa, separuh iri."Tak perlu," jawabku dengan nada pelan, "Aku sudah janjian dengan seseorang."Mendengarnya, Zelda menghela napas pelan dan berkata lembut, "Kalau begitu, lain kali kita janjian lagi ya, Kak."Melihat gadis itu melompat-lompat dan menghilang dari pandanganku, aku langsung membuka ponsel dan melirik jadwal jaga di layar kunci.Kalau aku tidak salah ingat, malam ini seharusnya giliran Ardi berjaga malam.Jadi,

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 16

    Ya, aku diterima bekerja, tapi bukan di Departemen Bedah Saraf Mogowa, melainkan di Departemen Anestesi.Kabar gembira itu datang terlalu tiba-tiba, sesaat aku tidak tahu apakah harus merasa bersyukur atau menyesal.Siapa yang mengira, bahwa aku yang selalu meraih peringkat pertama dalam jurusan bedah saraf setiap tahun, akhirnya justru masuk ke Mogowa karena mata kuliah pilihan anestesiologi.Sementara nama Zelda, tertera jelas di bawah Departemen Bedah Saraf.Bersama dia, satu lagi lulusan magister dari Fakultas Kedokteran lain juga diterima.Dari dua kuota tersebut, tidak ada namaku."Kalau begitu, kita tetapkan saja, ya." Suara Nyonya Larasati di ujung telepon masih terus mengoceh, "Pertunjukan sebagus ini, kursi penontonnya harus penuh. Biar Ibu yang atur."Aku tentu tahu Nyonya Larasati tidak sekadar bercanda, segera aku menyela, "Jangan buru-buru, biarkan aku ... memikirkannya dulu."Nyonya Larasati menangkap keraguan dalam suaraku, nadanya langsung tidak senang, "Jangan-jangan

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 15

    Di hadapanku, Ardi langsung mengangkat telepon.Suara lembut penuh semangat terdengar dari seberang, seorang gadis berseru riang, "Kak Ardi, temanku bilang dia melihat kamu di parkiran. Apakah benar itu kamu?"Jari-jarinya mengetuk ringan setir, nada bicaranya tenang, "Mm, benar aku.""Serius? Kejutan ini terlalu tiba-tiba."Mendengar itu, Ardi mendekatkan ponsel ke telinganya, seolah tak ingin melewatkan sepatah kata pun dari lawan bicaranya. Di sudut bibirnya, tergurat senyuman samar."Eh? Apa aku salah ngomong?" tanya Zelda ragu-ragu, suaranya mengandung sedikit rasa takut. "Jangan-jangan Kak Ardi memang lagi ada urusan di kampus?"Gadis itu masih muda, pikirannya yang polos pun tampak jelas. Bahkan cara dia mencoba memastikan juga begitu terang-terangan.Namun, Ardi tampak tidak terganggu. Dia malah mengganti topik, "Sudah makan belum?"Saat dia mengucapkan kalimat itu, sepasang mata phoenix-nya menyapu wajahku, lalu tubuhnya miring sedikit, condong ke arah pintu mobil.Mungkin dia

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 14

    Kandidat lain.Seolah disiram seember air dingin, tubuhku langsung membeku dari kepala hingga kaki.Kedua kakiku pun terasa seberat timah, tak bisa digerakkan sama sekali.Pada saat yang sama, wajah Zelda langsung membanjiri pikiranku tanpa bisa kucegah."Oh? Siapa orangnya?" tanya Tuan Johan."Lulusan baru jurusan bedah saraf," jawab Ardi, mantap. "Gadis kecil itu cukup cerdas."Hening kembali menyelimuti ruangan.Sementara hatiku, pelan-pelan tenggelam, seolah ditarik ke dasar lautan.Gadis kecil.Panggilan itu terasa terlalu akrab, terlalu intim.Ardi, yang biasanya sangat berhati-hati dalam bicara, kini menyebut Zelda di depan ayahnya dengan nada bangga. Ardi jelas menyukainya.Dia memang berbeda jika menyangkut perempuan itu."Baik, aku percaya penilaianmu."Tuan Johan menutup percakapan dengan nada penuh kepercayaan pada putranya.Pujian padaku yang hanya terucap satu menit lalu, tak sebanding dengan orang pilihan Ardi.Aku perlahan menuruni tangga dan menyelinap ke kamar tamu.S

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 13

    Begitu mendengar pertanyaanku, ekspresi Ardi langsung berubah serius.Tatapannya yang tajam menancap ke wajahku, mata itu menyimpan kegelapan yang sulit diterjemahkan.Aku membalas tatapannya tanpa gentar.Beberapa detik berlalu dalam diam, sampai akhirnya dia mengernyit dan mencibir. "Menurut Nona Raisa, apa alasan aku melakukan itu?"Dia mengerti maksud tersirat dari perkataanku.Kata-kata yang ingin kuucapkan terhenti di tenggorokan. Sebelum aku sempat menjawab, dia kembali melontarkan pertanyaan ini, "Jangan-jangan Nona Raisa berpikir menjadi dokter itu cukup hanya dengan berkutat dengan alat-alat laboratorium yang dingin itu?""Apa maksud Dokter Ardi?"Dengan tenang dia mengambil kunci mobil, lalu menjawab datar, "Seorang dokter yang bahkan tidak bisa menyelesaikan masalah sosial di sekitarnya, apa pantas dipercaya untuk mengurus kesehatan pasiennya?"Dia sedang menyindir hubunganku yang buruk dengan Nyonya Larasati, yang menyebabkan keterlambatanku di wawancara pagi tadi.Meskipu

  • Aku Minta Diceraikan, Dia Malah Mewek-mewek   Bab 12

    Setelah dikhianati, aku melangkah keluar dari ruang wawancara tanpa menunjukkan sedikit pun emosi di wajah.Instingku berkata mungkin aku telah merusak peluangku untuk diterima.Langkah kakiku berat seperti tertimpa beban. Baru saja sampai di tikungan, suara lembut yang sangat kukenal langsung menyapa telingaku."Secara keseluruhan cukup lancar," ucap Zelda sambil memegang ponsel, nada bicaranya seolah sedang melapor pada seseorang yang penting. "Semua berkat catatan wawancara dari Kak Ardi."Begitu mata kami bertemu, dia buru-buru menutup telepon. Dengan langkah kecil yang anggun, dia menghampiriku dengan penuh gaya."Kak!" sapanya sambil memeluk mapnya seperti harta karun, senyum di wajahnya merekah. "Bagaimana wawancaranya?""Ada sedikit masalah," jawabku pelan."Tak apa-apa, Kak," balasnya lembut, mencoba menenangkan. "Para pewawancara semuanya tokoh besar, memang sulit untuk tampil sempurna."Sambil berbicara, dia mengulurkan tangannya, seolah ingin menyemangatiku. Namun tiba-tiba

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status