Bab 9

Pertunjukan bagus?

Setelah tertegun sesaat, aku pun memahami sindiran dalam kata-kata Ardi.

Jadi menurut pendapat dia, semua yang terjadi malam ini adalah bagian dari konspirasi Nyonya Larasati denganku untuk menjebaknya.

Dengan tujuan bisa hamil anak Keluarga Wijaya?

Untuk itu, kami bahkan menggunakan trik memalukan seperti pakaian dalam seksi?

Untuk sesaat, aku tidak tahu apakah aku harus menangis atau harus tertawa. Memikirkan kembali sikap lembutnya barusan, aku merasa seolah baru saja bermimpi indah selama beberapa detik.

"Sia-sia saja usahamu itu." Saat aku mendengar ejekannya itu, tatapan mata Ardi menjadi semakin dingin.

Aku memelototinya, pandanganku jatuh pada jakun pria itu yang menonjol dan berkata dengan tenang, "Dokter Ardi yang suci, kok kali ini bisa terjebak sih?"

Seolah-olah jalan pikirannya terkuak, Ardi sedikit mengernyit. Dia mencibir kemudian melangkah dari sisi badanku dan pergi meninggalkanku.

Ketika suara pintu ditutup terdengar, air mataku mengalir keluar. Aku menarik napas dalam-dalam dan memaksakan diri untuk berjalan menuju kamar mandi.

Uap air hangat seolah olah bisa menghapus kepahitan di hatiku. Tiba-tiba aku menyadari kalau hubunganku dengan Ardi memang sudah salah sejak awal. Meskipun aku memeras otak demi memikirkan cara untuk mempertahankannya selama tiga tahun terakhir ini, aku lupa kalau aku bukanlah wanita yang dia suka sejak awal.

Bagaikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan, sekeras apa pun aku berusaha menyelesaikannya, hasilnya akan sia-sia juga.

Setelah mengetahui hal ini, aku tidur sangat nyenyak malam itu.

Keesokan paginya, aku segera mengakses situs resmi Mogowa. Setelah membuka daftar peserta dengan rasa gentar, aku melihat namaku tercantum di layar seperti yang aku harapkan.

Namaku berada di barisan pertama, terlihat sangat mencolok.

Segera setelah itu, HRD Mogowa menelepon aku lagi dan meminta aku untuk mempersiapkan diri untuk sesi wawancara di lusa pagi.

Sebelum menutup telepon, aku melirik daftar peserta lagi dan melihat nama Zelda di baris terakhir.

Semua ini tergantung pada kemampuan masing-masing.

Saat ini pesan Rian juga muncul di layar ponselku.

[Selamat Nona Raisa, aku berharap bisa menjadi rekan kerjamu.]

Ketika aku membaca sebaris kalimat yang sederhana itu, wajah pria yang baik itu tiba-tiba muncul dalam pikiranku.

Oh ya, aku harus mengembalikan payungnya.

Rian dan aku membuat janji bertemu di lantai dasar di segmen rawat inap.

Saat aku menyerahkan payung dan kotak makan siang padanya, terlintas mimik terkejut di wajah Rian. Dia menunjuk ke segmen rawat inap dan berkata, "Dokter Ardi seharusnya masih sibuk."

Astaga, apakah aku terlalu sering mengirim kotak makan siang ke Ardi? Bahkan Rian saja sampai berpikir aku lagi-lagi mengantarkan makanan kepada Ardi dengan begitu tak tahu malu.

Aku tertawa sendiri dan berkata, "Dokter Rian salah paham. Ini adalah hadiah terima kasih untukmu karena sudah meminjamkan payung."

Rian menggaruk kepalanya dengan bingung, menggoyangkan kotak makan siang di tangannya. Dia berkata dengan gembira, "Sepertinya aku akan makan enak hari ini."

Dia berbicara dengan nada riang, kesannya agak kekanak-kanakan, tidak sesuai dengan usianya. Dia sangat bertolak belakang dengan sikap Ardi yang agak angkuh.

"Bukankah ini Rian? Sudah punya pacar, ya?"

Sebuah sapaan tiba-tiba menginterupsi kami, Rian dan aku menoleh bersamaan dan melihat sekelompok orang berjas putih berdiri tak jauh dari sana. Mereka menatap kami dengan ramah, juga dengan rasa penasaran ingin bergosip.

"Bukan begitu ...." Rian melirikku dengan gugup, wajahnya memerah, dan menjelaskan, "Mereka Cuma bercanda. Maaf Nona Raisa."

Tepat saat aku hendak berkata tidak apa-apa, terdengar seseorang memanggil "Dokter Ardi".

Ardi turun ke bawah.

Dia masih mengenakan jas putih yang sama, tetapi mungkin karena kesibukan pekerjaannya, ada sedikit tanda kelelahan di matanya yang tajam.

Ketika pandangan kami bertemu, aku memalingkan wajahku dengan bijak, tetapi aku mendengar Rian berkata, "Nona Raisa datang untuk mengembalikan payung."

Dia seperti sedang menjelaskannya pada Ardi.

Dari sudut mataku, aku melihat sosok yang familier itu berjalan semakin dekat dan akhirnya berhenti di antara Rian dan aku.

"Trik ini lagi?"

Dengan nada sindiran yang masih terngiang di telingaku, aku mendongakkan kepala dengan penasaran dan melihat Ardi menatap kotak makan siang itu dengan wajah linglung.

Aku langsung mengerti, ternyata di mata Ardi aku mengantarkan makanan untuknya, bagi dia itu hanyalah cara untuk menjebaknya.

Aku baru saja ingin menyelamatkan harga diriku, tiba-tiba mendengar Rian berkata terus terang, "Dokter Ardi belum makan, 'kan? Aku bagi setengah padamu."