Menjual diri ... dengan harga tinggi?Aku menatap Ardi dengan tidak percaya. Sesaat, aku bahkan meragukan pendengaranku sendiri.Dia menggunakan kata "menjual".Nyonya Larasati juga tampak terkejut dengan ucapan Ardi. Dia membuka mulut, lalu menjelaskan dengan nada tertekan, "Bukan begitu, Ardi. Jangan salah paham. Ibu hanya memikirkan kalian. Lagi pula, Raisa selalu tulus padamu. Cara bicaramu bisa menyakiti hatinya."Wajah Ardi menghitam, dia kembali melirik daftar hadiah, lalu bersuara keras, "Daftar hadiah sedetail ini, kalian benar-benar sudah perhitungkan dengan matang, ya."Dia memakai kata "kalian".Yang dia maksud adalah aku dan Nyonya Larasati.Dalam hati Ardi, aku mengerahkan segala cara untuk menikah dengannya, dan seluruh Keluarga Larasati pun dianggap penuh perhitungan dan berusaha memanfaatkannya.Dulu setidaknya dia masih menjaga sopan santun, tapi sekarang dia berani menuduh ibuku sendiri di hadapanku.Lantas, apa arti keberadaanku di matanya?Rasa nyeri di dadaku beru
Saat memotong kue tar, Zelda Hilmawan, adik kelasku yang satu jurusan denganku memberikan potongan kue pertama pada Ardi Wijaya yang datang tergesa-gesa.Bagaikan orang asing yang sama sekali tidak saling kenal, Ardi sama sekali tidak memperhatikan kehadiranku. Padahal aku ini Raisa Larasati, istrinya yang setiap malam tidur seranjang dengannya.Tiba-tiba suasana menjadi sedikit riuh, kemudian ada orang yang berseru dengan nada setengah bercanda, "Wah, Zelda, apa ini tandanya kamu mau umumin hubunganmu?"Gadis dengan rambut tersanggul itu tampak tersipu malu memandang pria di sampingnya. Dengan terbata-bata, dia berkata, "Kak Ardi jauh-jauh datang kemari, pasti capek 'kan?"Suara gadis itu terdengar begitu lembut, ditambah lesung pipi yang menghias di pipinya, tak heran kalau orang-orang menyayanginya.Ucapan gadis itu memang tidak salah, jarak waktu perjalanan dari Mogowa ke Fakultas Kedokteran hampir satu setengah jam. Kali ini pun, penampilan Ardi tampak begitu formal. Dia mengenaka
Di tengah hiruk pikuk suara sorak gembira, aku meninggalkan tempat itu sebelum acara selesai.Saat sampai di rumah, hari sudah larut malam.Di luar jendela, hujan masih belum berhenti. Permukaan kaca jendela terlihat berlapis embun. Suasana seperti ini semakin terasa pilu, ada kesepian yang menyusup di relung hatiku.Rumah ini cukup luas, dari balkon dapat terlihat pemandangan tepi sungai yang indah. Lingkungan di sekeliling apartemen ini memang sudah yang terbaik, apalagi harga tanah di Nowa tidaklah murah. Rumah ini adalah rumah idaman banyak orang.Namun, di rumah yang semewah dan senyaman ini, hampir sepanjang tahun, hanya aku sendiri saja yang menghuninya.Perlahan-lahan jarum jam pun menunjukkan waktu sudah tengah malam. Aku tahu, malam ini Ardi juga tidak akan pulang.Namun, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka.Aku melihat ke arah pintu dengan penasaran. Terlihat sosok seorang pria yang berjalan mendekat dengan langkah terhuyung.Ternyata Ardi habis minum.Saat lengannya yang
Tiga tahun lalu, ayahku sedang berobat di rumah sakit. Namun, karena suatu masalah, dia secara tak terduga mengadang pisau yang ditodongkan ke arah Ardi, yang kala itu baru naik jabatan.Atas keberanian ayahku yang telah menolong Ardi, Keluarga Wijaya berjanji akan membalas jasa ayahku sebagai tanda terima kasih. Namun, tanpa diduga, ayahku malah mengusulkan pernikahan antara kedua keluarga.Keluarga Wijaya adalah salah satu keluarga kaya dan terpandang di Nowa, sedangkan ayahku hanyalah seorang manajer biasa di salah satu perusahaan farmasi kecil. Jadi bagi Keluarga Wijaya, gagasan pernikahan ini adalah bentuk pemerasan dengan mengatasnamakan balas budi.Saat semua itu terjadi, aku tak ada di sana. Namun, kemudian Ardi menemui dengan membawa surat perjanjian pranikah, tatapan matanya tampak asing dan angkuh. Dia berkata, "Waktu perjanjian pernikahannya tiga tahun, langsung berakhir begitu tenggat waktunya tiba. Kalau tidak ada masalah lain, besok pagi kita bertemu di Kantor Dinas Cata
Suasana tiba-tiba menjadi hening sejenak.Beberapa saat kemudian, Ardi berjalan mendekat perlahan, dia menatap ibu mertuaku dan bertanya, "Ibu sudah makan?"Suara Ardi begitu datar, tidak ada emosi yang meluap di wajahnya. Aku juga tidak bisa menebak suasana hatinya saat ini.Ibu mertuaku melirikku sekilas, kemudian suaranya pun meninggi, "Sudah begini, mana ada nafsu makan lagi? Ardi, istrimu sudah hebat sekarang, ya? Bukannya jadi Nyonya Keluarga Wijaya yang baik, malah ngotot mau melamar kerja. Profesi dokter selalu sibuk setiap harinya. Kalau begini terus, aku dan ayahmu bisa gagal lagi momong cucu."Tahun ini?Mendengar dua kata itu, aku pun merasa sesak di dada.Mungkin karena aktingku dan Ardi sangat bagus, sehingga kami berhasil menyembunyikan kebenaran dari orang tua kami. Mereka mengira kami adalah pasangan suami istri sungguhan.Namun, mereka tidak tahu, pernikahan yang diawali dengan kesalahan ini, sudah hampir tiba tenggat waktunya."Ardi, katakanlah sesuatu." Melihat Ardi
Begitu kata "batu loncatan" itu keluar dari mulut Ardi, aku tersedak dan tidak bisa berkata apa-apa untuk waktu yang lama.Benar sekali. Ayahku memang salah karena mengatasnamakan "balas budi" untuk mengajukan pernikahan kepada Keluarga Wijaya, tapi sebagai gantinya ayahku juga sudah terbaring di sanatorium selama tiga tahun.Sedangkan aku, toh aku menandatangani perjanjian pranikah itu sesuai keinginannya. Apalagi status pernikahan kami tidak diketahui pihak ketiga kecuali anggota kedua keluarga.Cincin kawin ini pun dibeli secara asal-asalan di butik aksesoris dekat kampus. Tidak ada undangan, tidak ada resepsi pernikahan, bahkan foto pernikahan pun tidak ada. Satu-satunya foto bersama yang kami miliki hanya tertempel di buku nikah kami. Jadi, apa keuntungan yang sudah kuterima dari Keluarga Wijaya?Tidak ada.Oh ya, jika tinggal di apartemen Ardi yang berpemandangan sungai terbaik di Nowa juga dianggap sebagai menikmati keuntungan ... maka dengan mencuci pakaian, memasak, serta mela
Diam-diam aku meninggalkan ruang rapat itu, sementara orang-orang masih berkerumun melihat mereka.Namun siapa yang menyangka, baru dua langkah, aku malah berpapasan muka dengan Rian Pratama.Dia melihatku dan menyapaku dengan suara yang lembut, "Nona Raisa, apakah kamu tidak melihat Dokter Ardi?"Rian Pratama dan Ardi adalah rekan kerja. Mereka seumuran, tetapi Rian masuk ke Departemen Bedah Saraf satu tahun setelah Ardi. Sampai sekarang, dia masih berstatus dokter residen.Kami saling mengenal. Itu juga karena aku tak sengaja kedapatan olehnya saat beberapa kali mengantarkan makanan dan bubur untuk Ardi.Setelah itu karena Ardi sering sibuk, dia pun memintaku untuk menghubungi dan menyerahkannya pada Rian. Seiring dengan berjalannya waktu, kami pun menjadi saling kenal satu sama lain.Setelah kupikir-pikir, aku rasa Ardi tidak benar-benar sibuk, dia hanya tidak ingin bertemu denganku.Namun, Rian sepertinya tidak terlalu terkejut melihat aku ikut ujian tertulis di Mogowa?"Oh, tadi s
Kami berempat pun berdiri di tempat yang sama.Mungkin karena sosok Ardi terlalu mencolok, sehingga perhatian banyak orang pun tertuju ke sini.Aku merasa kurang nyaman dipandang orang-orang di sekeliling. Ketika mataku menyapu Zelda, gadis itu tampak terkagum menatap Ardi, posisinya jauh lebih baik dariku.Aku tahu, itu adalah rasa kepercayaan diri yang timbul dari perasaan dilindungi."Kak Ardi bilang sudah menjelang waktu makan siang, dia ingin mentraktirku makan di kantin rumah sakit," ujarnya dengan nada polos.Rian menatapku dengan bingung, lalu menatap Zelda yang berdiri di sebelah Ardi dan berkata, "Dokter Ardi, kok tak dikenalkan?"Ardi memperkenalkan secara singkat, "Zelda, adik kelasku dari Fakultas Kedokteran."Zelda mengedipkan matanya yang jeli itu, lalu melirik kartu nama Rian dan berkata, "Halo, Dokter Rian. Perkenalkan, aku Zelda Hilmawan."Rian mengangguk dan tersenyum canggung, matanya sesekali menatap ke arahku. Ada rasa simpati yang terlihat di matanya."Kak Raisa,
Menjual diri ... dengan harga tinggi?Aku menatap Ardi dengan tidak percaya. Sesaat, aku bahkan meragukan pendengaranku sendiri.Dia menggunakan kata "menjual".Nyonya Larasati juga tampak terkejut dengan ucapan Ardi. Dia membuka mulut, lalu menjelaskan dengan nada tertekan, "Bukan begitu, Ardi. Jangan salah paham. Ibu hanya memikirkan kalian. Lagi pula, Raisa selalu tulus padamu. Cara bicaramu bisa menyakiti hatinya."Wajah Ardi menghitam, dia kembali melirik daftar hadiah, lalu bersuara keras, "Daftar hadiah sedetail ini, kalian benar-benar sudah perhitungkan dengan matang, ya."Dia memakai kata "kalian".Yang dia maksud adalah aku dan Nyonya Larasati.Dalam hati Ardi, aku mengerahkan segala cara untuk menikah dengannya, dan seluruh Keluarga Larasati pun dianggap penuh perhitungan dan berusaha memanfaatkannya.Dulu setidaknya dia masih menjaga sopan santun, tapi sekarang dia berani menuduh ibuku sendiri di hadapanku.Lantas, apa arti keberadaanku di matanya?Rasa nyeri di dadaku beru
Aku duduk berdampingan dengan Nyonya Larasati, berhadapan langsung dengan ibu mertuaku.Baru saja duduk, aku langsung menatap Nyonya Larasati dengan tatapan bertanya.Sambil menuang anggur, Nyonya Larasati menjawab, "Bukankah kamu baru saja diterima bekerja di Mogowa? Kabar baik seperti ini tentu harus dibagikan kepada besan."Setelah berbicara, dia menoleh ke ibu mertuaku. Matanya penuh kebanggaan dan rasa puas yang tak tersembunyi.Aku seharusnya sudah menduganya. Dengan sifat Nyonya Larasati, mana mungkin dia membiarkanku tetap diam dan tidak bertindak.Hanya saja, aku tak menyangka dia akan langsung mengundang ibu mertuaku ke pertemuan ini.Namun, ibu mertuaku yang sudah terbiasa menghadapi situasi besar hanya menunjukkan ekspresi tenang, lalu berkata, "Hanya seorang dokter magang di Departemen Anestesi. Apa yang patut dibatidakan?"Rupanya ibu mertua juga sudah mendengar kabar tersebut."Jangan bicara seperti itu, Besan." Nyonya Larasati mulai berbicara panjang lebar, "Raisa menga
Setelah pulang, aku langsung mulai membereskan barang-barangku.Kupikir, daripada menunggu Ardi mengusirku keluar, lebih baik aku tahu diri lebih dulu.Saat koper hampir penuh, tiba-tiba terdengar suara dari ruang tamu. Dalam sekejap, sosok pria tinggi tegap muncul di ambang pintu kamar tidur.Ardi sudah pulang.Berbeda dari biasanya yang selalu tertata dan rapi, kali ini kerah kemejanya terbuka, dasinya terkulai longgar di lehernya. Cahaya lampu langit-langit menyinari tubuhnya, menciptakan kesan rapuh.Sangat tidak biasa.Setelah bertukar pandang sebentar, aku menutup koper dengan tenang, namun suara pria itu yang terdengar kesal menyusul, "Apa yang kamu ributkan?"Ribut?Aku mengulang kata itu dalam hati, dan tak bisa menahan diri untuk tertawa miris.Di saat seperti ini, dia masih ingin terus berpura-pura denganku?Aku menggenggam erat koperku, menahan perasaan tak nyaman di dada, dan pura-pura tenang berkata, "Tidak sedang ribut, toh perjanjian kita tinggal dua bulan lagi, jadi le
Ternyata memang benar Ardi.Sesaat aku merasa ingin menangis sekaligus tertawa.Aku sangat mengenal watak suamiku ini. Dia menyukai ketenangan, dan tidak akan menghadiri acara apa pun kecuali sangat terpaksa. Selama tiga tahun aku menikah dengan Ardi, situasi seperti ini hanya terjadi satu dua kali saja. Tapi dalam waktu setengah bulan ini, Ardi sudah dua kali melanggar kebiasaan itu.Demi gadis muda polos dan ceria di hadapanku ini.Merayakan? Mengundang tamu? Lalu aku? Hanya pantas menyuguhkan teh dan air untuknya?Hati ini seperti disobek menjadi dua, separuh kecewa, separuh iri."Tak perlu," jawabku dengan nada pelan, "Aku sudah janjian dengan seseorang."Mendengarnya, Zelda menghela napas pelan dan berkata lembut, "Kalau begitu, lain kali kita janjian lagi ya, Kak."Melihat gadis itu melompat-lompat dan menghilang dari pandanganku, aku langsung membuka ponsel dan melirik jadwal jaga di layar kunci.Kalau aku tidak salah ingat, malam ini seharusnya giliran Ardi berjaga malam.Jadi,
Ya, aku diterima bekerja, tapi bukan di Departemen Bedah Saraf Mogowa, melainkan di Departemen Anestesi.Kabar gembira itu datang terlalu tiba-tiba, sesaat aku tidak tahu apakah harus merasa bersyukur atau menyesal.Siapa yang mengira, bahwa aku yang selalu meraih peringkat pertama dalam jurusan bedah saraf setiap tahun, akhirnya justru masuk ke Mogowa karena mata kuliah pilihan anestesiologi.Sementara nama Zelda, tertera jelas di bawah Departemen Bedah Saraf.Bersama dia, satu lagi lulusan magister dari Fakultas Kedokteran lain juga diterima.Dari dua kuota tersebut, tidak ada namaku."Kalau begitu, kita tetapkan saja, ya." Suara Nyonya Larasati di ujung telepon masih terus mengoceh, "Pertunjukan sebagus ini, kursi penontonnya harus penuh. Biar Ibu yang atur."Aku tentu tahu Nyonya Larasati tidak sekadar bercanda, segera aku menyela, "Jangan buru-buru, biarkan aku ... memikirkannya dulu."Nyonya Larasati menangkap keraguan dalam suaraku, nadanya langsung tidak senang, "Jangan-jangan
Di hadapanku, Ardi langsung mengangkat telepon.Suara lembut penuh semangat terdengar dari seberang, seorang gadis berseru riang, "Kak Ardi, temanku bilang dia melihat kamu di parkiran. Apakah benar itu kamu?"Jari-jarinya mengetuk ringan setir, nada bicaranya tenang, "Mm, benar aku.""Serius? Kejutan ini terlalu tiba-tiba."Mendengar itu, Ardi mendekatkan ponsel ke telinganya, seolah tak ingin melewatkan sepatah kata pun dari lawan bicaranya. Di sudut bibirnya, tergurat senyuman samar."Eh? Apa aku salah ngomong?" tanya Zelda ragu-ragu, suaranya mengandung sedikit rasa takut. "Jangan-jangan Kak Ardi memang lagi ada urusan di kampus?"Gadis itu masih muda, pikirannya yang polos pun tampak jelas. Bahkan cara dia mencoba memastikan juga begitu terang-terangan.Namun, Ardi tampak tidak terganggu. Dia malah mengganti topik, "Sudah makan belum?"Saat dia mengucapkan kalimat itu, sepasang mata phoenix-nya menyapu wajahku, lalu tubuhnya miring sedikit, condong ke arah pintu mobil.Mungkin dia
Kandidat lain.Seolah disiram seember air dingin, tubuhku langsung membeku dari kepala hingga kaki.Kedua kakiku pun terasa seberat timah, tak bisa digerakkan sama sekali.Pada saat yang sama, wajah Zelda langsung membanjiri pikiranku tanpa bisa kucegah."Oh? Siapa orangnya?" tanya Tuan Johan."Lulusan baru jurusan bedah saraf," jawab Ardi, mantap. "Gadis kecil itu cukup cerdas."Hening kembali menyelimuti ruangan.Sementara hatiku, pelan-pelan tenggelam, seolah ditarik ke dasar lautan.Gadis kecil.Panggilan itu terasa terlalu akrab, terlalu intim.Ardi, yang biasanya sangat berhati-hati dalam bicara, kini menyebut Zelda di depan ayahnya dengan nada bangga. Ardi jelas menyukainya.Dia memang berbeda jika menyangkut perempuan itu."Baik, aku percaya penilaianmu."Tuan Johan menutup percakapan dengan nada penuh kepercayaan pada putranya.Pujian padaku yang hanya terucap satu menit lalu, tak sebanding dengan orang pilihan Ardi.Aku perlahan menuruni tangga dan menyelinap ke kamar tamu.S
Begitu mendengar pertanyaanku, ekspresi Ardi langsung berubah serius.Tatapannya yang tajam menancap ke wajahku, mata itu menyimpan kegelapan yang sulit diterjemahkan.Aku membalas tatapannya tanpa gentar.Beberapa detik berlalu dalam diam, sampai akhirnya dia mengernyit dan mencibir. "Menurut Nona Raisa, apa alasan aku melakukan itu?"Dia mengerti maksud tersirat dari perkataanku.Kata-kata yang ingin kuucapkan terhenti di tenggorokan. Sebelum aku sempat menjawab, dia kembali melontarkan pertanyaan ini, "Jangan-jangan Nona Raisa berpikir menjadi dokter itu cukup hanya dengan berkutat dengan alat-alat laboratorium yang dingin itu?""Apa maksud Dokter Ardi?"Dengan tenang dia mengambil kunci mobil, lalu menjawab datar, "Seorang dokter yang bahkan tidak bisa menyelesaikan masalah sosial di sekitarnya, apa pantas dipercaya untuk mengurus kesehatan pasiennya?"Dia sedang menyindir hubunganku yang buruk dengan Nyonya Larasati, yang menyebabkan keterlambatanku di wawancara pagi tadi.Meskipu
Setelah dikhianati, aku melangkah keluar dari ruang wawancara tanpa menunjukkan sedikit pun emosi di wajah.Instingku berkata mungkin aku telah merusak peluangku untuk diterima.Langkah kakiku berat seperti tertimpa beban. Baru saja sampai di tikungan, suara lembut yang sangat kukenal langsung menyapa telingaku."Secara keseluruhan cukup lancar," ucap Zelda sambil memegang ponsel, nada bicaranya seolah sedang melapor pada seseorang yang penting. "Semua berkat catatan wawancara dari Kak Ardi."Begitu mata kami bertemu, dia buru-buru menutup telepon. Dengan langkah kecil yang anggun, dia menghampiriku dengan penuh gaya."Kak!" sapanya sambil memeluk mapnya seperti harta karun, senyum di wajahnya merekah. "Bagaimana wawancaranya?""Ada sedikit masalah," jawabku pelan."Tak apa-apa, Kak," balasnya lembut, mencoba menenangkan. "Para pewawancara semuanya tokoh besar, memang sulit untuk tampil sempurna."Sambil berbicara, dia mengulurkan tangannya, seolah ingin menyemangatiku. Namun tiba-tiba