Pria itu hanya tertawa geli saat dia melihat reaksi Radinya. Dia meminum alkohol di gelasnya. Kemudian dia duduk di kursi. Radinya dan ibunya tidak bergerak. Mereka seperti memasang kewaspadaan yang tinggi pada pria itu.
"Ayolah. Sambutan macam apa ini? Apa kau tidak merindukan suamimu?"
Radinya mulai maju. Sementara ibunya semakin menarik tubuh Radinya.
"Tidak apa-apa ibu. Aku bisa mengatasinya" ujar Radinya.
Ayahnya mulai menghampiri Radinya. Dia menyiramkan alkohol ke kepala Radinya.
"Bagaimana rasanya? Apakah segar?"
Radinya tidak menjawabnya. Dia memegang ibunya dengan erat.
"Ah, jangan-jangan kau menjadi gagu sejak kejadian itu?" tanya ayahnya sambil menarik tangan ibunya.
"Hentikan, mau apa kau di sini?" Bentak Radinya sambil menghempaskan tongkat di tangannya.
Ayahnya kembali tertawa. Dia tidak menanggapi pertanyaan Radinya.
"Bukan begini caramu bersikap setelah tidak bertemu denganku selama 5 tahun," ujar ayahnya yang mendorong Radinya hingga dia terjatuh.
Radinya tidak melawan. Dia mengambil ponsel dan menghubungi Resian.
"Hentikan..hentikan," ujar ibunya sambil berusaha melindungi Radinya.
Ibunya memegang tubuh anaknya. Dia memeluknya erat.
Sementara itu Resian baru memarkirkan mobilnya di depan rumah. Dia melihat panggilan suara dari Radinya.
"Sudah aku duga pria itu telah kembali," ujar Resian.
Saat Resian masuk, ayahnya baru berjalan ke luar. Ayahnya menatapnya dengan remeh. Resian masuk dan dia melihat hal mengejutkan.
Wajah Radinya sudah dipenuhi luka sementara ibu mereka duduk di sofa. Ibunya memegang secarik kertas.
"Pria gila," ujar Resian sambil mendekap ibunya.
Dia menyadari pandangan ibunya mulai kosong.
"Ibu, aku baik-baik saja. Jangan khawatir," ujar Radinya sambil mengelus rambut ibunya.
Resian menatap adiknya. Dia tidak menyangka adiknya akan sekuat ini. Dulu adiknya selalu menangis dan bersembunyi di kamar. Sekarang, dia bahkan bisa menenangkan ibunya.
Resian mengelus kepala Radinya. Air mata mulai membasahi matanya.
***
Augus menemui Seran. Mereka berbincang terkait masalah Radinya dan Ansara.
"Aku pikir mereka akan putus malam itu," ujar Seran.
Augus menggelengkan kepalanya. Dia mengambil wafel dan memakannya.
"Justru Radinya ingin melangkah ke arah serius," ujar Augus.
Augus menceritakan pada Seran tentang Radinya yang ingin bicara serius dengan Ansara. Dia yakin Radinya ingin melamar Ansara.
"Bagaimana kondisi Ansara?" tanya Seran.
"Aku tidak tahu. Sejak dia dirawat. Kami belum menemuinya," ujar Augus.
"Bahkan Radinya juga belum?,"
"Iya,"
Seran merasa aneh dengan Radinya. Dia bingung kenapa Radinya tidak menemui Ansara.
****
Radinya menatap wajahnya di cermin. Dia merasa khawatir karena lebam yang disebabkan ayahnya. Kemudian dia menutupinya dengan krim penutup luka.
"Huh, kalo bukan karena Seran. Aku tidak akan tahu ada krim ini,"
Kemudian Radinya pergi ke tempat wawancara. Radinya mulai bergulat dengan wawancaranya. Dia merasa sangat gugup. Kakinya terus gemetar.
Saat namanya dipanggil, dia memasuki ruangan itu. Tiga orang dosen penguji mulai mewawancarainya.
"Apa alasanmu masuk jurusan ini?,"
"Saya ingin menyembuhkan orang yang saya cintai," ujar Radinya.
"Apakah kau bisa menceritakannya secara spesifik?"
"Saya memiliki tiga orang yang sangat saya cintai. Mereka mengalami masalah yang tidak bisa mereka lupakan. Saya ingin mengurangi beban mereka. Awalnya saya merasa ragu. Namun, saya yakin bisa menyembuhkan luka di hati mereka,"
Penguji terlihat yakin dengan perkataan Radinya.
Setelah dia keluar ruangan. Tubuhnya terasa lemas. Kepalanya mulai pusing. Kemudian, pandanganya berubah menjadi putih.
Radinya berjalan dengan sempoyongan. Dia hanya berharap ujiannya berhasil. Kemudian dia melihat beberapa mahasiswa jurusan tehnik di hadapannya.
Mereka terlihat akan mengadakan kunjungan universitas. Tiba-tiba sebuah pikiran terlintas di kepalanya.
Apakah ini pilihan yang terbaik?
Aku telah membuang semuanya demi sampai di sini.
Lalu, Radinya tersenyum. Dia berusaha menghilangkan keraguan di hatinya.
"Semua akan baik-baik saja Radinya," gumamnya.
Radinya berjalan ke taman. Dia meletakkan kepalanya di kursi taman. Matanya mulai terpejam.
Saat matanya terpejam, kenangan bersama Ansara mulai muncul.
Kilas balik...
Radinya menatap Ansara. Rasa cintanya pada Ansara begitu besar. Ansara sadar Radinya terus menatapnya.
"Apakah ada sesuatu di wajahku?," ujar Ansara.
"Tidak," ujar Radinya.
Kemudian Radinya mulai memotret pemandangan. Dia mengambil beberapa foto Ansara. Gadis itu terlihat menyatu dengan pemandangan indah di hadapannya.
Ansara mulai tersenyum ke arah kamera. Mereka berdua memancarkan kebahagiaan.
***
Augus dan Seran mencari Radinya. Saat mereka melihat Radinya terbaring di kursi taman, mereka saling bertatapan.
"Haruskah kita membangunkannya?," tanya Augus.
Seran menggelengkan kepalanya. "Biarkan dia istirahat,"
Augus mendekati Radinya. Dia memberikan jaketnya untuk menutupi tubuh Radinya. Sementara Seran menaruh topi untuk menutupi wajah Radinya.
"Dia terlihat lelah sekali," ujar Seran.
Augus bisa melihat pancaran dari wajah Seran. Dia tahu jelas bahwa Seran menaruh perasaan pada Radinya.
Namun, dia sadar Radinya hanya memikirkan Ansara. Augus mulai menatap ponselnya.
Dia meninggalkan Radinya dan Seran tanpa pamitan.
Langkah kaki Augus mendarat di sebuah cafe. Dia melihat Ayuna di sana. Gadis itu terlihat cantik dengan setelan ungu.
"Bagaimana keadaan Radinya?," tanya gadis itu.
"Dia baik-baik saja," ujar Augus.
"Benarkah? Aku dengar dia pindah jurusan,"
"Wah, cepat sekali beritanya tersebar,"
"Jangan mengalihkan pembicaraan Augus. Apa yang terjadi pada Radinya?,"
"Aku bahkan belum minum dan kau terus menghujaniku dengan pertanyaan,"
Augus memesan minuman. Dia tidak menghiraukan wajah Ayuna yang terlihat kesal.
"Radinya akan mengambil jurusan psikologi. Dia akan memulai semuanya dari awal," ujar Augus.
"Dari awal? Dia kan sudah hampir skripsi, kenapa dia? Gara-gara Ansara?," tanya Ayuna.
"Kau sudah tahu jawabannya. Kenapa kau bertanya lagi," ujar Augus.
Ayuna merasa terluka. Dia tidak menyangka Radinya rela meninggalkan impiannya demi Ansara.
"Gadis itu, seharusnya dia mati saja,"
Augus merasa terkejut dengan pernyataan Ayuna. Kata-kata buruk itu meluncur indah lewat bibirnya. Matanya terlihat marah.
Namun, Augus juga memikirkan hal yang sama. Dia berharap Ansara dan Radinya tidak pernah bertemu. Takdir mereka terlalu rumit.
***
Suster memakaikan baju pada Ansara. Selang masih terikat di tubuhnya. Dia tidak bereaksi apa-apa. Ansara hanya menatap kosong ke jendela.
"Bagaimana keadaan gadis itu?," tanya salah satu suster.
"Dia masih sama. Dia tidak bereaksi pada apapun dan selalu melihat jendela," ujar suster yang menggantikan baju Ansara.
Ansara melihat cahaya dari jendela. Tangannya seperti ingin meraih sesuatu. Dia tidak menyangka bahwa dirinya akan mengalami kejadian seburuk ini.
Semua dinding di sekitarnya berwarna putih. Dia hanya ingat dua orang yang mengunjunginya. Psikiater dan dokter rumah sakit. Dia belum bertemu ibunya, ayahnya atau bahkan Radinya.
Mereka seperti lenyap ditelan bumi. Ansara tidak bisa melihat orang yang dia cintai.
"Semua orang telah meninggalkanku," gumam Ansara.
Seperti telepati. Radinya mulai memimpikan Ansara. Saat dia membuka matanya. Dia melihat Seran.
"Apa yang dilakukan Seran di sini?," gumam Radinya.
Kemudian Radinya melihat jaket yang menyelimutinya.
"Ah, aku tertidur pulas,"
Radinya menatap Seran. Gadis itu masih setia menunggunya.
"Ini sudah 5 tahun, kenapa kau masih menungguku?" ujar Radinya sambil menyelimuti Seran dengan jaket.
Seran. Gadis itu telah mengenal Radinya sejak kecil. Mereka selalu bermain bersama. Seran dan Radinya seperti soulmate yang tidak bisa dipisahkan. Seran adalah orang yang menyelamatkannya. Ibunya Seran mengelola rumah makan. Radinya dan Resian selalu mampir untuk makan di sana. Orang tua Seran sudah menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Ibunya Seran mengharapkan Radinya akan menjaga Seran saat mereka tidak ada. Awalnya semua baik-baik saja sampai kejadian buruk itu terjadi. Malam itu hujan turun dengan deras. Radinya dan Resian makan bersama keluarga Seran. Namun, Radinya pulang ke rumah sebentar untuk memanggil ibunya. Saat dia sampai di depan rumah. Dia mendengar suara keributan. Dia berlari ke arah ruang tamu dan mendapati ayahnya sedang memukuli ibunya. Radinya tidak tinggal diam. Dia berusaha memukul ayahnya. Namun, dia malah terpental dan membentur meja. Saat Radinya sedang kesakitan, seorang pria masuk dan berusaha menolong ibu Rad
Ansara menatap Radinya. Pertama kalinya mereka bertengkar sehebat ini. Keduanya terkubur dalam jurang emosi. Ansara merasa Radinya tidak percaya padanya dan terjebak rumor. Sementara Radinya merasa Ansara menyembunyikan banyak hal darinya. "Sudah, aku sudah lelah," ujar Ansara yang pergi meninggalkan Radinya. Radinya tidak mengejarnya. Dia mengerti emosi sedang menyelimuti mereka. Sementara itu, Ansara berjalan ke arah belakang universitas. Dia mulai meneteskan air mata. "Kenapa dia tidak mengerti. Kenapa?, ujar Ansara. Ansara terus berjalan. Tanpa dia sadari ada seseorang yang berjalan di belakangnya. "Permisi," ujar seorang mahasiswa di belakang Ansara. "Iya,". Ansara menatap nametag dan almamater yang dikenakannya. "Apakah kau tahu di mana gedung asrama putra?," tanya mahasiswa itu. "Ah, gedung asrama putra ada di dekat danau. Kau harus berjalan jauh dari sini," ujar Ansara sambil menunjuk arah. Mahas
Radinya menuju toko buku. Dia mencari buku psikologi. Tangannya mulai menjelajahi satu persatu rak. Dia membaca setiap deskripsi yang terukir di bagian belakang buku. Nafasnya semakin terasa berat karena kerumitan yang tertuang di sana. Dia menggaruk kepalanya karena teori ini lebih sulit dari dugaannya. Saat dia hampir menyerah. dia melihat sebuah buku bersampul merah. Ada gambar dua saudara laki-laki yang bergandengan tangan. Dia menatap buku itu. Ilustrasinya sangat mirip dengannya. Matanya terbuka lebar saat dia membaca deskripsi yang tertulis. ''aku memiliki seorang kekasih. Dia sangat menyayangi adiknya. Aku ingin menikahi pria yang telah aku kejar selama tiga tahun. Namun, dia menolak semua itu. Aku harap dia bisa membuka hatinya padaku. Setelah kami berpacaran, aku baru mengetahui dia telah menyimpan luka yang begitu berat...'' Radinya membaca nama penulis buku itu. Atasya Sailendra. Dia sadar penulisnya adalah mantan kekasih kakaknya. Satu-satu
Suasana tegang terasa di kantor polisi. Arisa menjawab pertanyaan polisi dengan ketus. Dia merasa kejadian yang menimpa Ansara bukan kesalahannya. Sementara itu, polisi juga menanyakan kesaksian Ansara terkait kejadian yang menimpanya. Ansara mulai merasa tertekan. Dia mulai menggaruk tangannya berulang kali."pak, sepertinya anak saya tidak bisa melanjutkan sesi ini. dia harus istirahat."polisi menatap Ansara. mereka mulai memahami wajah ansara yang terlihat pucat."baiklah, kami akan kembali besok."ibu Ansara membawanya kembali ke kamar. Ansara memegang tangan ibunya. Dia memegangnya dengan erat."ibu, aku takut."ibunya mendekap tubuh Ansara. Dia mengelus rambutnya."kau akan baik-baik saja."Arisa mulai mengamuk di kantor polisi. Dia merasa kesal karena polisi menghujaninya dengan pertanyaan yang dia anggap aneh."kalian menuduhku melukainya?'' bentak Arisa.''kami tidak menuduhmu, kami hanya menanyakan keberadaanmu saat kejadian menimpa Ansara.'' ujar polisi berusaha menenan
Suara gemuruh saling bersautan. Namun, dia tetap berdiri bersama angin dingin yang mulai menusuk tubuhnya. Ponselnya terus dinyalakan seakan dia menunggu jawaban yang tak nampak. Kakinya mulai gemetar. Rasa dingin mulai menjalar ke tubuhnya. Kemudian ponselnya berdering. "Kau ada di mana?," tanya suara berat yang menghilangkan keheningannya. "Aku di halte dekat kampus. Aku masih menunggu Ansara," ujarnya sambil memasukkan tangannya ke kantung jaket. "Pulanglah. Udara sedang dingin. Kau bisa sakit," ujar pria itu. Namun, dia tidak menjawab dan malah mengakhiri pembicaraan. Dia tetap menatap ponselnya. Lampu di atasnya mulai mati satu demi satu. Halte itu mulai gelap. Tiba-tiba sebuah kilatan muncul. Dia terkejut dan mulai mundur ke bagian dalam halte. Saat kilat itu hilang, dia melihat beberapa mobil melintas. Salah satunya ambulance. Penasaran, dia melangkahkan kakinya menuju arah ambulance itu pergi. Saat dia sam
Ombak seakan menerjang hidup Radinya. Dia harus memutar haluan jauh ke samudra baru. Bagi Radinya yang memiliki kecerdasan, rintangan ini seharusnya tidak sulit. Namun, dia mengalami banyak sandungan."Bagaimana perasaanmu setelah ujian tes masuk?" tanya Augus."Rasanya aku ingin muntah. Aku tidak tahu tesnya berlapis," ujar Radinya."sistem pindah jurusan universitas yang kau pilih adalah yang terbaik. Tentu saja tesnya sulit,""Iya. Jurusan itu cara satu-satunya aku bisa menemui Ansara,""Kau tahu, kau sudah menjadi selebriti di universitas ini. Pertama kau disebut gila dan kedua "bucin". Selamat kawan,"Radinya hanya tertawa mendengar pernyataan Augus. Dia tidak masalah dengan nama yang disematkan padanya.Radinya mulai membaca buku. Dia mulai larut dalam bayang Ansara. Kemudian dia teringat pertemuan mereka.***Radinya Anugrah berlindung di bawah pohon yang rindang. Dia berharap tidak ada orang yang mengganggunya. N
Suasana tegang terasa di kantor polisi. Arisa menjawab pertanyaan polisi dengan ketus. Dia merasa kejadian yang menimpa Ansara bukan kesalahannya. Sementara itu, polisi juga menanyakan kesaksian Ansara terkait kejadian yang menimpanya. Ansara mulai merasa tertekan. Dia mulai menggaruk tangannya berulang kali."pak, sepertinya anak saya tidak bisa melanjutkan sesi ini. dia harus istirahat."polisi menatap Ansara. mereka mulai memahami wajah ansara yang terlihat pucat."baiklah, kami akan kembali besok."ibu Ansara membawanya kembali ke kamar. Ansara memegang tangan ibunya. Dia memegangnya dengan erat."ibu, aku takut."ibunya mendekap tubuh Ansara. Dia mengelus rambutnya."kau akan baik-baik saja."Arisa mulai mengamuk di kantor polisi. Dia merasa kesal karena polisi menghujaninya dengan pertanyaan yang dia anggap aneh."kalian menuduhku melukainya?'' bentak Arisa.''kami tidak menuduhmu, kami hanya menanyakan keberadaanmu saat kejadian menimpa Ansara.'' ujar polisi berusaha menenan
Radinya menuju toko buku. Dia mencari buku psikologi. Tangannya mulai menjelajahi satu persatu rak. Dia membaca setiap deskripsi yang terukir di bagian belakang buku. Nafasnya semakin terasa berat karena kerumitan yang tertuang di sana. Dia menggaruk kepalanya karena teori ini lebih sulit dari dugaannya. Saat dia hampir menyerah. dia melihat sebuah buku bersampul merah. Ada gambar dua saudara laki-laki yang bergandengan tangan. Dia menatap buku itu. Ilustrasinya sangat mirip dengannya. Matanya terbuka lebar saat dia membaca deskripsi yang tertulis. ''aku memiliki seorang kekasih. Dia sangat menyayangi adiknya. Aku ingin menikahi pria yang telah aku kejar selama tiga tahun. Namun, dia menolak semua itu. Aku harap dia bisa membuka hatinya padaku. Setelah kami berpacaran, aku baru mengetahui dia telah menyimpan luka yang begitu berat...'' Radinya membaca nama penulis buku itu. Atasya Sailendra. Dia sadar penulisnya adalah mantan kekasih kakaknya. Satu-satu
Ansara menatap Radinya. Pertama kalinya mereka bertengkar sehebat ini. Keduanya terkubur dalam jurang emosi. Ansara merasa Radinya tidak percaya padanya dan terjebak rumor. Sementara Radinya merasa Ansara menyembunyikan banyak hal darinya. "Sudah, aku sudah lelah," ujar Ansara yang pergi meninggalkan Radinya. Radinya tidak mengejarnya. Dia mengerti emosi sedang menyelimuti mereka. Sementara itu, Ansara berjalan ke arah belakang universitas. Dia mulai meneteskan air mata. "Kenapa dia tidak mengerti. Kenapa?, ujar Ansara. Ansara terus berjalan. Tanpa dia sadari ada seseorang yang berjalan di belakangnya. "Permisi," ujar seorang mahasiswa di belakang Ansara. "Iya,". Ansara menatap nametag dan almamater yang dikenakannya. "Apakah kau tahu di mana gedung asrama putra?," tanya mahasiswa itu. "Ah, gedung asrama putra ada di dekat danau. Kau harus berjalan jauh dari sini," ujar Ansara sambil menunjuk arah. Mahas
Seran. Gadis itu telah mengenal Radinya sejak kecil. Mereka selalu bermain bersama. Seran dan Radinya seperti soulmate yang tidak bisa dipisahkan. Seran adalah orang yang menyelamatkannya. Ibunya Seran mengelola rumah makan. Radinya dan Resian selalu mampir untuk makan di sana. Orang tua Seran sudah menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Ibunya Seran mengharapkan Radinya akan menjaga Seran saat mereka tidak ada. Awalnya semua baik-baik saja sampai kejadian buruk itu terjadi. Malam itu hujan turun dengan deras. Radinya dan Resian makan bersama keluarga Seran. Namun, Radinya pulang ke rumah sebentar untuk memanggil ibunya. Saat dia sampai di depan rumah. Dia mendengar suara keributan. Dia berlari ke arah ruang tamu dan mendapati ayahnya sedang memukuli ibunya. Radinya tidak tinggal diam. Dia berusaha memukul ayahnya. Namun, dia malah terpental dan membentur meja. Saat Radinya sedang kesakitan, seorang pria masuk dan berusaha menolong ibu Rad
Pria itu hanya tertawa geli saat dia melihat reaksi Radinya. Dia meminum alkohol di gelasnya. Kemudian dia duduk di kursi. Radinya dan ibunya tidak bergerak. Mereka seperti memasang kewaspadaan yang tinggi pada pria itu. "Ayolah. Sambutan macam apa ini? Apa kau tidak merindukan suamimu?" Radinya mulai maju. Sementara ibunya semakin menarik tubuh Radinya. "Tidak apa-apa ibu. Aku bisa mengatasinya" ujar Radinya. Ayahnya mulai menghampiri Radinya. Dia menyiramkan alkohol ke kepala Radinya. "Bagaimana rasanya? Apakah segar?" Radinya tidak menjawabnya. Dia memegang ibunya dengan erat. "Ah, jangan-jangan kau menjadi gagu sejak kejadian itu?" tanya ayahnya sambil menarik tangan ibunya. "Hentikan, mau apa kau di sini?" Bentak Radinya sambil menghempaskan tongkat di tangannya. Ayahnya kembali tertawa. Dia tidak menanggapi pertanyaan Radinya. "Bukan begini caramu bersikap setelah tidak bertemu denganku selam
Ombak seakan menerjang hidup Radinya. Dia harus memutar haluan jauh ke samudra baru. Bagi Radinya yang memiliki kecerdasan, rintangan ini seharusnya tidak sulit. Namun, dia mengalami banyak sandungan."Bagaimana perasaanmu setelah ujian tes masuk?" tanya Augus."Rasanya aku ingin muntah. Aku tidak tahu tesnya berlapis," ujar Radinya."sistem pindah jurusan universitas yang kau pilih adalah yang terbaik. Tentu saja tesnya sulit,""Iya. Jurusan itu cara satu-satunya aku bisa menemui Ansara,""Kau tahu, kau sudah menjadi selebriti di universitas ini. Pertama kau disebut gila dan kedua "bucin". Selamat kawan,"Radinya hanya tertawa mendengar pernyataan Augus. Dia tidak masalah dengan nama yang disematkan padanya.Radinya mulai membaca buku. Dia mulai larut dalam bayang Ansara. Kemudian dia teringat pertemuan mereka.***Radinya Anugrah berlindung di bawah pohon yang rindang. Dia berharap tidak ada orang yang mengganggunya. N
Suara gemuruh saling bersautan. Namun, dia tetap berdiri bersama angin dingin yang mulai menusuk tubuhnya. Ponselnya terus dinyalakan seakan dia menunggu jawaban yang tak nampak. Kakinya mulai gemetar. Rasa dingin mulai menjalar ke tubuhnya. Kemudian ponselnya berdering. "Kau ada di mana?," tanya suara berat yang menghilangkan keheningannya. "Aku di halte dekat kampus. Aku masih menunggu Ansara," ujarnya sambil memasukkan tangannya ke kantung jaket. "Pulanglah. Udara sedang dingin. Kau bisa sakit," ujar pria itu. Namun, dia tidak menjawab dan malah mengakhiri pembicaraan. Dia tetap menatap ponselnya. Lampu di atasnya mulai mati satu demi satu. Halte itu mulai gelap. Tiba-tiba sebuah kilatan muncul. Dia terkejut dan mulai mundur ke bagian dalam halte. Saat kilat itu hilang, dia melihat beberapa mobil melintas. Salah satunya ambulance. Penasaran, dia melangkahkan kakinya menuju arah ambulance itu pergi. Saat dia sam