Ansara menatap Radinya. Pertama kalinya mereka bertengkar sehebat ini. Keduanya terkubur dalam jurang emosi. Ansara merasa Radinya tidak percaya padanya dan terjebak rumor. Sementara Radinya merasa Ansara menyembunyikan banyak hal darinya.
"Sudah, aku sudah lelah," ujar Ansara yang pergi meninggalkan Radinya.
Radinya tidak mengejarnya. Dia mengerti emosi sedang menyelimuti mereka.
Sementara itu, Ansara berjalan ke arah belakang universitas. Dia mulai meneteskan air mata.
"Kenapa dia tidak mengerti. Kenapa?, ujar Ansara.
Ansara terus berjalan. Tanpa dia sadari ada seseorang yang berjalan di belakangnya.
"Permisi," ujar seorang mahasiswa di belakang Ansara.
"Iya,". Ansara menatap nametag dan almamater yang dikenakannya.
"Apakah kau tahu di mana gedung asrama putra?," tanya mahasiswa itu.
"Ah, gedung asrama putra ada di dekat danau. Kau harus berjalan jauh dari sini," ujar Ansara sambil menunjuk arah.
Mahasiswa itu mengucapkan terima kasih pada Ansara.
Ansara menatap ponselnya. Radinya sama sekali tidak menghubunginya. Ansara mengirimkan pesan singkat pada Radinya. Dia meminta Radinya menunggu di halte. Dia ingin menyelesaikan masalah di antara mereka.
Saat Ansara berjalan, sebuah tangan menariknya. Ansara berusaha berontak. Namun, tangan lainnya sudah menggerayangi tubuhnya. Mereka menariknya ke jurang kegelapan.
Sementara itu Radinya merasa bersalah. Akhirnya dia menghubungi Ansara. Namun, Ansara tidak menjawab.
"Kenapa telponnya mati?" guman Radinya. Dia mencari Ansara di sekitar kampus.
Dia tidak menemukan Ansara di mana pun. Kemudian dia melihat pesan singkat Ansara. Dia menungu di halte.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Radinya terus menghubungi Ansara.
Di jurang kegelapan, beberapa pria terlihat mengancingkan celana mereka. Mereka menghirup rokok dan melemparkannya.
"Apakah dia sudah mati?," tanya pria yang memakai almamater.
"Aku rasa dia hanya pingsan," ujar pria lain yang memakai ransel mahal.
"haruskah kita membunuhnya?"
"Tidak perlu. Dia tidak akan bisa bicara pada siapapun," ujar pria yang mengenakan kacamata.
Mereka meninggalkan Ansara di kegelapan. Gadis itu sudah tertutup oleh sungai merah. Hujan mulai mengguyur tempat itu. Ansara berusaha meraih ponselnya dengan sekuat tenaga.
"Ra..din...,"
Ansara mulai menangis. Dia tidak bisa berteriak. Seluruh tubuhnya terasa tertusuk. Dia juga merasa bagian bawahnya basah dengan merah yang mengental. Akhirnya Ansara kehilangan kesadarannya.
***
Radinya emosi. Dia langsung memukul mahasiwa di belakangnya. Walau dikeroyok, Radinya tetap berusaha memukul tiga orang mahasiswa itu secara bergantian.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ANSARA?" bentak Radinya.
"Ka...mi...tidak tahu. Kami hanya dengar rumor," ujar anak yang memakai kacamata.
"RUMOR APA? AKU TIDAK PERCAYA. DIAM," teriak Radinya semakin emosi.
"RADIN," panggil orang di belakangnya.
Dia menatap Augus. Tangannya masih belum terlepas dari mahasiswa itu.
"Pelakunya sudah ditemukan," ujar Augus.
Air mata mulai membasahi pipinya. Radinya berhenti dan menghampiri Augus. Mereka pergi meningggalkan tiga mahasiswa itu.
"Dasar bodoh," ujar mahasiswa yang mengenakan kacamata.
Saat di kantor polisi. Radinya mencari pelakunya. Dia menanyakan pada polisi terkait keberadaan mereka.
"Pelaku kasus Ansara? Kami belum menemukannya,"
Radinya merasa emosi, kemudian dia menatap Augus. Lalu dia memegang kerah temannya.
"Apa maksudmu?,"
Augus menatap tajam temannya.
"Kau tahu mahasiswa yang kau pukuli tadi adalah anak dekan psikologi. Kau mau ujianmu gagal?,"
Radinya tidak percaya dengan perkataan Augus.
"Lalu aku melepaskan pelakunya begitu saja?"
Radinya memukul kepalanya berulang kali. Dia merasa bodoh.
"Kau tidak bisa menangkap mereka tanpa bukti," ujar Augus.
Radinya tidak bisa membantah perkataan Augus. Dia harus menemukan bukti.
Mereka pergi meninggalkan kantor polisi. Kemudian, Radinya mendapat panggilan masuk.
"Halo Radinya, kami ingin memberitahukan bahwa anda diterima di jurusan psikologi,"
Radinya merasa lega. Tubuhnya terasa lemas.
"Terima kasih tuhan. Aku telah berhasil," ujar Radinya.
Augus memeluk sahabatnya itu.
***
"Apa maksudmu?" tanya Resian pada Atasya di hadapannya.
"Kenapa? kau terkejut?,"
Resian menghampiri Atasya. Dia memegang tangan Atasya dengan kencang.
"Jelaskan padaku,"
"Orang mencelakai Ansara adalah orang yang kau kenal,"
Resian muak dengan basa basi Atasya. Dia meminta wanita itu menjelaskannya bukan memintanya menebak.
"Aku masih belum menemukan bukti yang valid tapi aku dengar dia ada di tempat kejadian saat itu,"
"Apakah Radinya tahu?,"
Atasya terdiam. Resian menatapnya lagi.
"Tidak mungkin," ujar Resian yang melepaskan tangannya dari Atasya.
***
Radinya membereskan barang-barangnya. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
"Ansara, aku akan segera menemuimu,"
Radinya memulai petualangannya di dunia psikologi. Perjalanannya untuk menemui Ansara dimulai. Radinya Anugrah, seorang pria yang rela melepaskan semuanya demi Ansara.
Apakah ini cinta? Atau ini hanya perasaan bersalah?
Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Radinya sendiri.
Sementara Ansara masih menatap kilauan cahaya yang mengenai wajahnya. Dia menunggu Radinya datang menjemputnya.
"Radinya, kapan kau akan datang?," gumam Ansara.
***
Keramaian mulai menyelimuti malam itu. Suara musik bergemuruh begitu kencang. Anak muda yang memegang gelas mulai meracau.
Atasya berada di antara mereka. Gadis itu terlihat berkilau. Sementara jauh dari keramaian, Resian terlihat gloomy.
"Aku tahu tidak ada yang gratis di dunia ini," ujar Resian yang menyesal karena dia harus menemani Atasya.
Tanpa Resian sadari, semua mata menatapnya. Wajahnya yang blasteran jepang dan Indonesia menarik mata yang memandangnya. Bahkan jika Resian mau, dia bisa menjadi aktor.
Atasya yang menyadari mantannya begitu tampan tidak tinggal diam. Dia selalu mengajak Resian ke tempat keramaian. Dia tahu Resian akan menolaknya. Namun, Resian terlalu baik untuk meninggalkannya sendiri di tempat berbahaya ini.
Kalau saja Resian tidak brother complex, Atasya tidak akan putus dengannya.
"Hem, kepalaku mulai pusing," ujar Resian yang memilih memejamkan matanya.
Layaknya mangsa yang diburu heyna, Resian tidak menyadari beberapa wanita mulai mendekatinya.
"Halo, apakah kursi ini kosong?,"
"Tentu tidak. Kau pikir aku hantu," ujar Resian yang menatapnya dengan tajam.
Astasya tertawa saat dia melihat Resian.
"Bodoh sekali dia. Jika dia bersikap begitu. Mereka akan mengerubunginya seperti lebah,"
Atasya menghampiri Resian. Dia merangkulnya.
"Hai sayang. Maaf lama nunggunya,"
"Aku pusing. Ayo pulang," ujar Resian sambil membawa Atasya.
Layaknya kemenangan, Atasya merangkul Resian lebih erat.
"Dasar, aku bahkan butuh tiga tahun untuk menjadi kekasihnya. Kalian bukan apa-apa," ujar Atasya.
Saat keluar dari bar, Resian melepaskan tangan Atasya.
"Kau bisa pulang sendiri kan? Aku mau pesan taksi," ujar Resian.
"Iya. Kau dingin seperti biasa," ujar Atasya yang merapihkan bajunya.
Kemudian Resian memberikan jaketnya pada Astasya.
"Kau bisa masuk angin,"
Astasya menatap Resian. Dia merasa Resian sangat manis. Tanpa mereka sadari ada kamera yang memotret.
"Wah, aku dapat jackpot,"
Resian membukakan pintu untuk Atasya. Sebelum pergi, Atasya melambaikan tangannya pada Resian.
Setelah taksi sudah berjalan jauh, Resian berjalan ke arah mobil. Dia mengetuk kaca mobil.
"Iya ada apa?" Tanya orang di dalam mobil.
Tanpa basa basi, Resian menarik kamera yang dipegangnya dan membantingnya.
"Aku tahu kau tadi memotret bagian tubuhnya. Daripada kau susah-susah. Kau bisa menyewa wanita malam. Aku rasa kau mampu melakukannya,"
Resian meninggalkan pria itu. Pria itu terlihat kesal.
Radinya menuju toko buku. Dia mencari buku psikologi. Tangannya mulai menjelajahi satu persatu rak. Dia membaca setiap deskripsi yang terukir di bagian belakang buku. Nafasnya semakin terasa berat karena kerumitan yang tertuang di sana. Dia menggaruk kepalanya karena teori ini lebih sulit dari dugaannya. Saat dia hampir menyerah. dia melihat sebuah buku bersampul merah. Ada gambar dua saudara laki-laki yang bergandengan tangan. Dia menatap buku itu. Ilustrasinya sangat mirip dengannya. Matanya terbuka lebar saat dia membaca deskripsi yang tertulis. ''aku memiliki seorang kekasih. Dia sangat menyayangi adiknya. Aku ingin menikahi pria yang telah aku kejar selama tiga tahun. Namun, dia menolak semua itu. Aku harap dia bisa membuka hatinya padaku. Setelah kami berpacaran, aku baru mengetahui dia telah menyimpan luka yang begitu berat...'' Radinya membaca nama penulis buku itu. Atasya Sailendra. Dia sadar penulisnya adalah mantan kekasih kakaknya. Satu-satu
Suasana tegang terasa di kantor polisi. Arisa menjawab pertanyaan polisi dengan ketus. Dia merasa kejadian yang menimpa Ansara bukan kesalahannya. Sementara itu, polisi juga menanyakan kesaksian Ansara terkait kejadian yang menimpanya. Ansara mulai merasa tertekan. Dia mulai menggaruk tangannya berulang kali."pak, sepertinya anak saya tidak bisa melanjutkan sesi ini. dia harus istirahat."polisi menatap Ansara. mereka mulai memahami wajah ansara yang terlihat pucat."baiklah, kami akan kembali besok."ibu Ansara membawanya kembali ke kamar. Ansara memegang tangan ibunya. Dia memegangnya dengan erat."ibu, aku takut."ibunya mendekap tubuh Ansara. Dia mengelus rambutnya."kau akan baik-baik saja."Arisa mulai mengamuk di kantor polisi. Dia merasa kesal karena polisi menghujaninya dengan pertanyaan yang dia anggap aneh."kalian menuduhku melukainya?'' bentak Arisa.''kami tidak menuduhmu, kami hanya menanyakan keberadaanmu saat kejadian menimpa Ansara.'' ujar polisi berusaha menenan
Suara gemuruh saling bersautan. Namun, dia tetap berdiri bersama angin dingin yang mulai menusuk tubuhnya. Ponselnya terus dinyalakan seakan dia menunggu jawaban yang tak nampak. Kakinya mulai gemetar. Rasa dingin mulai menjalar ke tubuhnya. Kemudian ponselnya berdering. "Kau ada di mana?," tanya suara berat yang menghilangkan keheningannya. "Aku di halte dekat kampus. Aku masih menunggu Ansara," ujarnya sambil memasukkan tangannya ke kantung jaket. "Pulanglah. Udara sedang dingin. Kau bisa sakit," ujar pria itu. Namun, dia tidak menjawab dan malah mengakhiri pembicaraan. Dia tetap menatap ponselnya. Lampu di atasnya mulai mati satu demi satu. Halte itu mulai gelap. Tiba-tiba sebuah kilatan muncul. Dia terkejut dan mulai mundur ke bagian dalam halte. Saat kilat itu hilang, dia melihat beberapa mobil melintas. Salah satunya ambulance. Penasaran, dia melangkahkan kakinya menuju arah ambulance itu pergi. Saat dia sam
Ombak seakan menerjang hidup Radinya. Dia harus memutar haluan jauh ke samudra baru. Bagi Radinya yang memiliki kecerdasan, rintangan ini seharusnya tidak sulit. Namun, dia mengalami banyak sandungan."Bagaimana perasaanmu setelah ujian tes masuk?" tanya Augus."Rasanya aku ingin muntah. Aku tidak tahu tesnya berlapis," ujar Radinya."sistem pindah jurusan universitas yang kau pilih adalah yang terbaik. Tentu saja tesnya sulit,""Iya. Jurusan itu cara satu-satunya aku bisa menemui Ansara,""Kau tahu, kau sudah menjadi selebriti di universitas ini. Pertama kau disebut gila dan kedua "bucin". Selamat kawan,"Radinya hanya tertawa mendengar pernyataan Augus. Dia tidak masalah dengan nama yang disematkan padanya.Radinya mulai membaca buku. Dia mulai larut dalam bayang Ansara. Kemudian dia teringat pertemuan mereka.***Radinya Anugrah berlindung di bawah pohon yang rindang. Dia berharap tidak ada orang yang mengganggunya. N
Pria itu hanya tertawa geli saat dia melihat reaksi Radinya. Dia meminum alkohol di gelasnya. Kemudian dia duduk di kursi. Radinya dan ibunya tidak bergerak. Mereka seperti memasang kewaspadaan yang tinggi pada pria itu. "Ayolah. Sambutan macam apa ini? Apa kau tidak merindukan suamimu?" Radinya mulai maju. Sementara ibunya semakin menarik tubuh Radinya. "Tidak apa-apa ibu. Aku bisa mengatasinya" ujar Radinya. Ayahnya mulai menghampiri Radinya. Dia menyiramkan alkohol ke kepala Radinya. "Bagaimana rasanya? Apakah segar?" Radinya tidak menjawabnya. Dia memegang ibunya dengan erat. "Ah, jangan-jangan kau menjadi gagu sejak kejadian itu?" tanya ayahnya sambil menarik tangan ibunya. "Hentikan, mau apa kau di sini?" Bentak Radinya sambil menghempaskan tongkat di tangannya. Ayahnya kembali tertawa. Dia tidak menanggapi pertanyaan Radinya. "Bukan begini caramu bersikap setelah tidak bertemu denganku selam
Seran. Gadis itu telah mengenal Radinya sejak kecil. Mereka selalu bermain bersama. Seran dan Radinya seperti soulmate yang tidak bisa dipisahkan. Seran adalah orang yang menyelamatkannya. Ibunya Seran mengelola rumah makan. Radinya dan Resian selalu mampir untuk makan di sana. Orang tua Seran sudah menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Ibunya Seran mengharapkan Radinya akan menjaga Seran saat mereka tidak ada. Awalnya semua baik-baik saja sampai kejadian buruk itu terjadi. Malam itu hujan turun dengan deras. Radinya dan Resian makan bersama keluarga Seran. Namun, Radinya pulang ke rumah sebentar untuk memanggil ibunya. Saat dia sampai di depan rumah. Dia mendengar suara keributan. Dia berlari ke arah ruang tamu dan mendapati ayahnya sedang memukuli ibunya. Radinya tidak tinggal diam. Dia berusaha memukul ayahnya. Namun, dia malah terpental dan membentur meja. Saat Radinya sedang kesakitan, seorang pria masuk dan berusaha menolong ibu Rad
Suasana tegang terasa di kantor polisi. Arisa menjawab pertanyaan polisi dengan ketus. Dia merasa kejadian yang menimpa Ansara bukan kesalahannya. Sementara itu, polisi juga menanyakan kesaksian Ansara terkait kejadian yang menimpanya. Ansara mulai merasa tertekan. Dia mulai menggaruk tangannya berulang kali."pak, sepertinya anak saya tidak bisa melanjutkan sesi ini. dia harus istirahat."polisi menatap Ansara. mereka mulai memahami wajah ansara yang terlihat pucat."baiklah, kami akan kembali besok."ibu Ansara membawanya kembali ke kamar. Ansara memegang tangan ibunya. Dia memegangnya dengan erat."ibu, aku takut."ibunya mendekap tubuh Ansara. Dia mengelus rambutnya."kau akan baik-baik saja."Arisa mulai mengamuk di kantor polisi. Dia merasa kesal karena polisi menghujaninya dengan pertanyaan yang dia anggap aneh."kalian menuduhku melukainya?'' bentak Arisa.''kami tidak menuduhmu, kami hanya menanyakan keberadaanmu saat kejadian menimpa Ansara.'' ujar polisi berusaha menenan
Radinya menuju toko buku. Dia mencari buku psikologi. Tangannya mulai menjelajahi satu persatu rak. Dia membaca setiap deskripsi yang terukir di bagian belakang buku. Nafasnya semakin terasa berat karena kerumitan yang tertuang di sana. Dia menggaruk kepalanya karena teori ini lebih sulit dari dugaannya. Saat dia hampir menyerah. dia melihat sebuah buku bersampul merah. Ada gambar dua saudara laki-laki yang bergandengan tangan. Dia menatap buku itu. Ilustrasinya sangat mirip dengannya. Matanya terbuka lebar saat dia membaca deskripsi yang tertulis. ''aku memiliki seorang kekasih. Dia sangat menyayangi adiknya. Aku ingin menikahi pria yang telah aku kejar selama tiga tahun. Namun, dia menolak semua itu. Aku harap dia bisa membuka hatinya padaku. Setelah kami berpacaran, aku baru mengetahui dia telah menyimpan luka yang begitu berat...'' Radinya membaca nama penulis buku itu. Atasya Sailendra. Dia sadar penulisnya adalah mantan kekasih kakaknya. Satu-satu
Ansara menatap Radinya. Pertama kalinya mereka bertengkar sehebat ini. Keduanya terkubur dalam jurang emosi. Ansara merasa Radinya tidak percaya padanya dan terjebak rumor. Sementara Radinya merasa Ansara menyembunyikan banyak hal darinya. "Sudah, aku sudah lelah," ujar Ansara yang pergi meninggalkan Radinya. Radinya tidak mengejarnya. Dia mengerti emosi sedang menyelimuti mereka. Sementara itu, Ansara berjalan ke arah belakang universitas. Dia mulai meneteskan air mata. "Kenapa dia tidak mengerti. Kenapa?, ujar Ansara. Ansara terus berjalan. Tanpa dia sadari ada seseorang yang berjalan di belakangnya. "Permisi," ujar seorang mahasiswa di belakang Ansara. "Iya,". Ansara menatap nametag dan almamater yang dikenakannya. "Apakah kau tahu di mana gedung asrama putra?," tanya mahasiswa itu. "Ah, gedung asrama putra ada di dekat danau. Kau harus berjalan jauh dari sini," ujar Ansara sambil menunjuk arah. Mahas
Seran. Gadis itu telah mengenal Radinya sejak kecil. Mereka selalu bermain bersama. Seran dan Radinya seperti soulmate yang tidak bisa dipisahkan. Seran adalah orang yang menyelamatkannya. Ibunya Seran mengelola rumah makan. Radinya dan Resian selalu mampir untuk makan di sana. Orang tua Seran sudah menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Ibunya Seran mengharapkan Radinya akan menjaga Seran saat mereka tidak ada. Awalnya semua baik-baik saja sampai kejadian buruk itu terjadi. Malam itu hujan turun dengan deras. Radinya dan Resian makan bersama keluarga Seran. Namun, Radinya pulang ke rumah sebentar untuk memanggil ibunya. Saat dia sampai di depan rumah. Dia mendengar suara keributan. Dia berlari ke arah ruang tamu dan mendapati ayahnya sedang memukuli ibunya. Radinya tidak tinggal diam. Dia berusaha memukul ayahnya. Namun, dia malah terpental dan membentur meja. Saat Radinya sedang kesakitan, seorang pria masuk dan berusaha menolong ibu Rad
Pria itu hanya tertawa geli saat dia melihat reaksi Radinya. Dia meminum alkohol di gelasnya. Kemudian dia duduk di kursi. Radinya dan ibunya tidak bergerak. Mereka seperti memasang kewaspadaan yang tinggi pada pria itu. "Ayolah. Sambutan macam apa ini? Apa kau tidak merindukan suamimu?" Radinya mulai maju. Sementara ibunya semakin menarik tubuh Radinya. "Tidak apa-apa ibu. Aku bisa mengatasinya" ujar Radinya. Ayahnya mulai menghampiri Radinya. Dia menyiramkan alkohol ke kepala Radinya. "Bagaimana rasanya? Apakah segar?" Radinya tidak menjawabnya. Dia memegang ibunya dengan erat. "Ah, jangan-jangan kau menjadi gagu sejak kejadian itu?" tanya ayahnya sambil menarik tangan ibunya. "Hentikan, mau apa kau di sini?" Bentak Radinya sambil menghempaskan tongkat di tangannya. Ayahnya kembali tertawa. Dia tidak menanggapi pertanyaan Radinya. "Bukan begini caramu bersikap setelah tidak bertemu denganku selam
Ombak seakan menerjang hidup Radinya. Dia harus memutar haluan jauh ke samudra baru. Bagi Radinya yang memiliki kecerdasan, rintangan ini seharusnya tidak sulit. Namun, dia mengalami banyak sandungan."Bagaimana perasaanmu setelah ujian tes masuk?" tanya Augus."Rasanya aku ingin muntah. Aku tidak tahu tesnya berlapis," ujar Radinya."sistem pindah jurusan universitas yang kau pilih adalah yang terbaik. Tentu saja tesnya sulit,""Iya. Jurusan itu cara satu-satunya aku bisa menemui Ansara,""Kau tahu, kau sudah menjadi selebriti di universitas ini. Pertama kau disebut gila dan kedua "bucin". Selamat kawan,"Radinya hanya tertawa mendengar pernyataan Augus. Dia tidak masalah dengan nama yang disematkan padanya.Radinya mulai membaca buku. Dia mulai larut dalam bayang Ansara. Kemudian dia teringat pertemuan mereka.***Radinya Anugrah berlindung di bawah pohon yang rindang. Dia berharap tidak ada orang yang mengganggunya. N
Suara gemuruh saling bersautan. Namun, dia tetap berdiri bersama angin dingin yang mulai menusuk tubuhnya. Ponselnya terus dinyalakan seakan dia menunggu jawaban yang tak nampak. Kakinya mulai gemetar. Rasa dingin mulai menjalar ke tubuhnya. Kemudian ponselnya berdering. "Kau ada di mana?," tanya suara berat yang menghilangkan keheningannya. "Aku di halte dekat kampus. Aku masih menunggu Ansara," ujarnya sambil memasukkan tangannya ke kantung jaket. "Pulanglah. Udara sedang dingin. Kau bisa sakit," ujar pria itu. Namun, dia tidak menjawab dan malah mengakhiri pembicaraan. Dia tetap menatap ponselnya. Lampu di atasnya mulai mati satu demi satu. Halte itu mulai gelap. Tiba-tiba sebuah kilatan muncul. Dia terkejut dan mulai mundur ke bagian dalam halte. Saat kilat itu hilang, dia melihat beberapa mobil melintas. Salah satunya ambulance. Penasaran, dia melangkahkan kakinya menuju arah ambulance itu pergi. Saat dia sam