Seran. Gadis itu telah mengenal Radinya sejak kecil. Mereka selalu bermain bersama. Seran dan Radinya seperti soulmate yang tidak bisa dipisahkan. Seran adalah orang yang menyelamatkannya.
Ibunya Seran mengelola rumah makan. Radinya dan Resian selalu mampir untuk makan di sana. Orang tua Seran sudah menganggap mereka sebagai anaknya sendiri.
Ibunya Seran mengharapkan Radinya akan menjaga Seran saat mereka tidak ada. Awalnya semua baik-baik saja sampai kejadian buruk itu terjadi.
Malam itu hujan turun dengan deras. Radinya dan Resian makan bersama keluarga Seran. Namun, Radinya pulang ke rumah sebentar untuk memanggil ibunya.
Saat dia sampai di depan rumah. Dia mendengar suara keributan. Dia berlari ke arah ruang tamu dan mendapati ayahnya sedang memukuli ibunya.
Radinya tidak tinggal diam. Dia berusaha memukul ayahnya. Namun, dia malah terpental dan membentur meja. Saat Radinya sedang kesakitan, seorang pria masuk dan berusaha menolong ibu Radinya.
Perkelahian terjadi antara pria itu dan ayahnya Radinya. Radinya dan ibunya mengambil kesempatan itu untuk kabur. Namun, saat mereka mau keluar, suara teriakan terdengar.
Walau petir bergemuruh sangat kencang. Radinya tahu teriakan itu berasal dari pria yang menolongnya. Kaki Radinya gemetar. Dia mendorong ibunya ke luar rumah. Lalu dia mengunci pintu.
Ibunya panik. Dia berteriak minta tolong pada tetangga.
"Apa yang terjadi? Suamiku? Di mana suamiku?," tanya ibu Seran pada ibu Radinya.
Saat mereka menoleh. Mereka melihat Radinya berlumur darah.
"Ra...din?," ujar Resian.
"Aku...aku...telah...membunuh," ujar Radinya.
Ibunya Seran terkejut dengan pernyataan Radinya. Kemudian dia memeluk Radinya dengan erat.
"Maafkan aku, paman...paman," ujar Radinya.
"Tidak apa-apa. Semua bukan salahmu," ujar ibu Seran.
Saat polisi datang, mereka mengamankan TKP. Seran mulai menangis saat polisi mengeluarkan ayahnya dari tempat kejadian. Sementara itu, ayahnya Radinya masih kritis.
Resian memeluk adiknya. Dia tidak tahu kejadian buruk apa disaksikannya. Setelah kejadian itu, Radinya menerima rehabilitasi dari psikiater.
Hampir 3 tahun Radinya tidak bicara pada siapapun. Sementara ayah Radinya sudah mendekam di penjara. Sayangnya, dia tidak dihukum mati.
Sejak itu, Resian dan Radinya diasuh oleh bibi mereka. Rumah mereka ditinggalkan begitu saja. Ibu mereka juga menjalani pengobatan.
Resian berusaha kuat. Dia merelakan semua impiannya. Dia mulai bekerja sebagai pegawai toko. Dia mengambil semua pekerjaan yang dia bisa. Saat dia sudah mengumpulkan uang yang cukup, dia membiayai pendidikan Radinya.
Tanpa dia ketahui, Radinya sudah kuat kembali. Dia mulai bicara dengan orang-orang dan memiliki banyak teman.
"Kak, aku rasa kakak bisa gunakan uang ini untuk kuliah," ujar Radinya.
"Aku? kuliah? aku rasa tidak. Umurku sudah,"
"Apa yang kakak katakan, bahkan nenek-nenek saja masih bisa kuliah,"
Mendengar pernyataan Radinya, Resian tertawa. Dia tidak menyangka adiknya bisa berpikir seperti itu.
Akhirnya Resian memutuskan kuliah. Dia mengambil jurusan manajemen. Sementara saat lulus SMA, Radinya mulai bekerja. Dia bekerja di bagian mesin pesawat. Resian yakin kalau Radinya berbakat di tehnik mesin. Dia mengumpulkan uang untuk membiayai sekolah adiknya. Untungnya Resian adalah mahasiswa yang pintar sehingga dia tidak mengeluarkan biaya kuliah.
"Kak," ujar Radinya.
Resian menatap adiknya. Tidak biasanya Radinya hanya memanggilnya hanya "kak".
"Ada apa?,"
Radinya mengeluarkan sebuah kertas. Air mata Resian tidak tertahankan. Dia menatap adiknya dan kertas itu bergantian. Lalu dia memeluk Radinya.
"Terima kasih. Terima kasih," ujar Resian.
Resian mengantar Radinya. Dia merapihkan baju adiknya berulang kali.
"Kak Resian, bajuku sudah rapih," ujar Radinya.
"Ah iya iya," ujar Resian.
Resian merasa seperti orang tua yang melepas anaknya pergi. Dia tidak menyangka adiknya sudah tumbuh besar.
***
Seran membuka matanya. Dia melihat Radinya membaca buku.
"Kau mau makan siang?," tanya Radinya.
Seran mengangguk. Kemudian mereka pergi ke kantin. Radinya membelikan Seran makanan kesukaannya, nasi goreng.
Seran menatap Radinya. Mereka berhadapan. Namun, tidak ada kata-kata yang meluncur dari mulut keduanya.
"Kau tidak perlu merasa bersalah," ujar Seran.
"Terima kasih," ujar Radinya.
"Bagaimana keadaan Ansara?"
"Aku belum menemuinya,"
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa melakukan apapun,"
Seran tahu bahwa Radinya sangat mencintai Ansara. Namun, dia tidak menyangka Radinya akan merasa dirinya tidak berguna.
"Profesor Maron menanyakanmu," ujar Seran.
"Ah, dia ingin membahas beasiswa itu. Aku sudah membatalkannya,"
"Bukankah itu impianmu?"
"Aku tidak mau meraih impian dengan membuang semuanya,"
Seran tidak bisa membantah kata-kata Radinya.
Setelah makan, Radinya berpisah dengan Seran. Dia pergi ke perpustakaan.
***
Resian mulai burn out. Dia merasa tumpukan pekerjaannya terus menggunung. Baginya, bekerja dari rumah seperti neraka. Waktu tidurnya kurang. Dia juga tidak bisa menghubungi Radinya.
"Huh, apa mereka berniat membunuhku?"
Resian membereskan berkas di mejanya. Dia menatanya sesuai daftar pengumpulan. Kemudian dia membeli sebuah kopi. Baru mau memesan, bel apartemennya berbunyi.
Saat dia membuka pintu. Seorang wanita berdiri di sana. Wanita itu membawa makanan dan kopi.
"Apa aku tidak boleh masuk?"
Resian memberikan jalan untuknya. Resian mengambil makanan dan kopinya sementara wanita itu melepas sepatu hak dan menaruhnya di rak sepatu.
"Wah, ruangan ini seperti kena perang," ujarnya.
Resian menatapnya. Dia hanya menghela nafas. Lalu dia membereskan kertas yang bertebaran.
"Untungnya kau membeli apartemen studio. Jadi ruangan yang berantakan hanya segini," ujarnya.
"Ada perlu apa kau ke sini?"
"Di mana ucapan terima kasihmu?" ujar wanita itu.
"Terima kasih. Ada apa?"
"Aku dengar Radinya pindah jurusan,"
Resian menatapnya.
"Ayolah, aku memiliki jaringan ke seluruh bagian universitas. Kau tahu itu," ujar wanita.
"Bukan kau. Ayahmu,"
Wanita itu tertawa. Kemudian dia duduk di kursi. Dia menatap tumpukan pekerjaan Resian.
Wanita itu bernama Atasya. Dia adalah mantan pacar Resian. Namun, dia masih berharap Resian kembali padanya. Atasya selalu merasa Resian memiliki brother complex sehingga hubungan mereka tidak langgeng.
Resian menaruh makanan di meja. Kemudian dia melanjutkan pekerjaannya. Atasya menatap Resian. Dia merasa Resian sangat tampan. Namun, Atasya mengetahui sesuatu yang Resian tidak ketahui terkait Radinya.
"Apa aku harus memberitahunya?" gumam Atasya.
***
Radinya melihat jam di tangannya. Dia merasa suasananya sangat sepi. Kemudian dia meninggalkan perpustakaan.
Langkahnya berhenti di sebuah taman. Ingatan tentang Ansara kembali berterbangan di sana. Saat dia ingin beranjak. Dia melihat seorang mahasiswa berdiri di sana. Mahasiswa itu seperti bingung mencari arah.
"Ada yang bisa aku bantu?,"
"Ah, saya ingin ke asrama putra," ujar mahasiswa itu.
"Oh, kau bisa jalan lurus aja. Asrama putra ada di ujung,"
Mahasiswa itu menatap Radinya.
"Ada apa?"
"Kau mirip dengannya"
"Siapa?" tanya Radinya.
"Gadis itu. Dia juga memberitahuku,"
Kalau dia sudah tahu. Kenapa dia bertanya. Radinya menoleh ke belakangnya. Dia terkejut saat dia melihat beberapa pria bergelombol. Mereka menariknya secara bersamaan.
"Ah, jadi dia kekasih wanita itu,"
Radinya membuka matanya. Gadis itu? Apakah yang mereka maksud Ansara.
Ansara menatap Radinya. Pertama kalinya mereka bertengkar sehebat ini. Keduanya terkubur dalam jurang emosi. Ansara merasa Radinya tidak percaya padanya dan terjebak rumor. Sementara Radinya merasa Ansara menyembunyikan banyak hal darinya. "Sudah, aku sudah lelah," ujar Ansara yang pergi meninggalkan Radinya. Radinya tidak mengejarnya. Dia mengerti emosi sedang menyelimuti mereka. Sementara itu, Ansara berjalan ke arah belakang universitas. Dia mulai meneteskan air mata. "Kenapa dia tidak mengerti. Kenapa?, ujar Ansara. Ansara terus berjalan. Tanpa dia sadari ada seseorang yang berjalan di belakangnya. "Permisi," ujar seorang mahasiswa di belakang Ansara. "Iya,". Ansara menatap nametag dan almamater yang dikenakannya. "Apakah kau tahu di mana gedung asrama putra?," tanya mahasiswa itu. "Ah, gedung asrama putra ada di dekat danau. Kau harus berjalan jauh dari sini," ujar Ansara sambil menunjuk arah. Mahas
Radinya menuju toko buku. Dia mencari buku psikologi. Tangannya mulai menjelajahi satu persatu rak. Dia membaca setiap deskripsi yang terukir di bagian belakang buku. Nafasnya semakin terasa berat karena kerumitan yang tertuang di sana. Dia menggaruk kepalanya karena teori ini lebih sulit dari dugaannya. Saat dia hampir menyerah. dia melihat sebuah buku bersampul merah. Ada gambar dua saudara laki-laki yang bergandengan tangan. Dia menatap buku itu. Ilustrasinya sangat mirip dengannya. Matanya terbuka lebar saat dia membaca deskripsi yang tertulis. ''aku memiliki seorang kekasih. Dia sangat menyayangi adiknya. Aku ingin menikahi pria yang telah aku kejar selama tiga tahun. Namun, dia menolak semua itu. Aku harap dia bisa membuka hatinya padaku. Setelah kami berpacaran, aku baru mengetahui dia telah menyimpan luka yang begitu berat...'' Radinya membaca nama penulis buku itu. Atasya Sailendra. Dia sadar penulisnya adalah mantan kekasih kakaknya. Satu-satu
Suasana tegang terasa di kantor polisi. Arisa menjawab pertanyaan polisi dengan ketus. Dia merasa kejadian yang menimpa Ansara bukan kesalahannya. Sementara itu, polisi juga menanyakan kesaksian Ansara terkait kejadian yang menimpanya. Ansara mulai merasa tertekan. Dia mulai menggaruk tangannya berulang kali."pak, sepertinya anak saya tidak bisa melanjutkan sesi ini. dia harus istirahat."polisi menatap Ansara. mereka mulai memahami wajah ansara yang terlihat pucat."baiklah, kami akan kembali besok."ibu Ansara membawanya kembali ke kamar. Ansara memegang tangan ibunya. Dia memegangnya dengan erat."ibu, aku takut."ibunya mendekap tubuh Ansara. Dia mengelus rambutnya."kau akan baik-baik saja."Arisa mulai mengamuk di kantor polisi. Dia merasa kesal karena polisi menghujaninya dengan pertanyaan yang dia anggap aneh."kalian menuduhku melukainya?'' bentak Arisa.''kami tidak menuduhmu, kami hanya menanyakan keberadaanmu saat kejadian menimpa Ansara.'' ujar polisi berusaha menenan
Suara gemuruh saling bersautan. Namun, dia tetap berdiri bersama angin dingin yang mulai menusuk tubuhnya. Ponselnya terus dinyalakan seakan dia menunggu jawaban yang tak nampak. Kakinya mulai gemetar. Rasa dingin mulai menjalar ke tubuhnya. Kemudian ponselnya berdering. "Kau ada di mana?," tanya suara berat yang menghilangkan keheningannya. "Aku di halte dekat kampus. Aku masih menunggu Ansara," ujarnya sambil memasukkan tangannya ke kantung jaket. "Pulanglah. Udara sedang dingin. Kau bisa sakit," ujar pria itu. Namun, dia tidak menjawab dan malah mengakhiri pembicaraan. Dia tetap menatap ponselnya. Lampu di atasnya mulai mati satu demi satu. Halte itu mulai gelap. Tiba-tiba sebuah kilatan muncul. Dia terkejut dan mulai mundur ke bagian dalam halte. Saat kilat itu hilang, dia melihat beberapa mobil melintas. Salah satunya ambulance. Penasaran, dia melangkahkan kakinya menuju arah ambulance itu pergi. Saat dia sam
Ombak seakan menerjang hidup Radinya. Dia harus memutar haluan jauh ke samudra baru. Bagi Radinya yang memiliki kecerdasan, rintangan ini seharusnya tidak sulit. Namun, dia mengalami banyak sandungan."Bagaimana perasaanmu setelah ujian tes masuk?" tanya Augus."Rasanya aku ingin muntah. Aku tidak tahu tesnya berlapis," ujar Radinya."sistem pindah jurusan universitas yang kau pilih adalah yang terbaik. Tentu saja tesnya sulit,""Iya. Jurusan itu cara satu-satunya aku bisa menemui Ansara,""Kau tahu, kau sudah menjadi selebriti di universitas ini. Pertama kau disebut gila dan kedua "bucin". Selamat kawan,"Radinya hanya tertawa mendengar pernyataan Augus. Dia tidak masalah dengan nama yang disematkan padanya.Radinya mulai membaca buku. Dia mulai larut dalam bayang Ansara. Kemudian dia teringat pertemuan mereka.***Radinya Anugrah berlindung di bawah pohon yang rindang. Dia berharap tidak ada orang yang mengganggunya. N
Pria itu hanya tertawa geli saat dia melihat reaksi Radinya. Dia meminum alkohol di gelasnya. Kemudian dia duduk di kursi. Radinya dan ibunya tidak bergerak. Mereka seperti memasang kewaspadaan yang tinggi pada pria itu. "Ayolah. Sambutan macam apa ini? Apa kau tidak merindukan suamimu?" Radinya mulai maju. Sementara ibunya semakin menarik tubuh Radinya. "Tidak apa-apa ibu. Aku bisa mengatasinya" ujar Radinya. Ayahnya mulai menghampiri Radinya. Dia menyiramkan alkohol ke kepala Radinya. "Bagaimana rasanya? Apakah segar?" Radinya tidak menjawabnya. Dia memegang ibunya dengan erat. "Ah, jangan-jangan kau menjadi gagu sejak kejadian itu?" tanya ayahnya sambil menarik tangan ibunya. "Hentikan, mau apa kau di sini?" Bentak Radinya sambil menghempaskan tongkat di tangannya. Ayahnya kembali tertawa. Dia tidak menanggapi pertanyaan Radinya. "Bukan begini caramu bersikap setelah tidak bertemu denganku selam
Suasana tegang terasa di kantor polisi. Arisa menjawab pertanyaan polisi dengan ketus. Dia merasa kejadian yang menimpa Ansara bukan kesalahannya. Sementara itu, polisi juga menanyakan kesaksian Ansara terkait kejadian yang menimpanya. Ansara mulai merasa tertekan. Dia mulai menggaruk tangannya berulang kali."pak, sepertinya anak saya tidak bisa melanjutkan sesi ini. dia harus istirahat."polisi menatap Ansara. mereka mulai memahami wajah ansara yang terlihat pucat."baiklah, kami akan kembali besok."ibu Ansara membawanya kembali ke kamar. Ansara memegang tangan ibunya. Dia memegangnya dengan erat."ibu, aku takut."ibunya mendekap tubuh Ansara. Dia mengelus rambutnya."kau akan baik-baik saja."Arisa mulai mengamuk di kantor polisi. Dia merasa kesal karena polisi menghujaninya dengan pertanyaan yang dia anggap aneh."kalian menuduhku melukainya?'' bentak Arisa.''kami tidak menuduhmu, kami hanya menanyakan keberadaanmu saat kejadian menimpa Ansara.'' ujar polisi berusaha menenan
Radinya menuju toko buku. Dia mencari buku psikologi. Tangannya mulai menjelajahi satu persatu rak. Dia membaca setiap deskripsi yang terukir di bagian belakang buku. Nafasnya semakin terasa berat karena kerumitan yang tertuang di sana. Dia menggaruk kepalanya karena teori ini lebih sulit dari dugaannya. Saat dia hampir menyerah. dia melihat sebuah buku bersampul merah. Ada gambar dua saudara laki-laki yang bergandengan tangan. Dia menatap buku itu. Ilustrasinya sangat mirip dengannya. Matanya terbuka lebar saat dia membaca deskripsi yang tertulis. ''aku memiliki seorang kekasih. Dia sangat menyayangi adiknya. Aku ingin menikahi pria yang telah aku kejar selama tiga tahun. Namun, dia menolak semua itu. Aku harap dia bisa membuka hatinya padaku. Setelah kami berpacaran, aku baru mengetahui dia telah menyimpan luka yang begitu berat...'' Radinya membaca nama penulis buku itu. Atasya Sailendra. Dia sadar penulisnya adalah mantan kekasih kakaknya. Satu-satu
Ansara menatap Radinya. Pertama kalinya mereka bertengkar sehebat ini. Keduanya terkubur dalam jurang emosi. Ansara merasa Radinya tidak percaya padanya dan terjebak rumor. Sementara Radinya merasa Ansara menyembunyikan banyak hal darinya. "Sudah, aku sudah lelah," ujar Ansara yang pergi meninggalkan Radinya. Radinya tidak mengejarnya. Dia mengerti emosi sedang menyelimuti mereka. Sementara itu, Ansara berjalan ke arah belakang universitas. Dia mulai meneteskan air mata. "Kenapa dia tidak mengerti. Kenapa?, ujar Ansara. Ansara terus berjalan. Tanpa dia sadari ada seseorang yang berjalan di belakangnya. "Permisi," ujar seorang mahasiswa di belakang Ansara. "Iya,". Ansara menatap nametag dan almamater yang dikenakannya. "Apakah kau tahu di mana gedung asrama putra?," tanya mahasiswa itu. "Ah, gedung asrama putra ada di dekat danau. Kau harus berjalan jauh dari sini," ujar Ansara sambil menunjuk arah. Mahas
Seran. Gadis itu telah mengenal Radinya sejak kecil. Mereka selalu bermain bersama. Seran dan Radinya seperti soulmate yang tidak bisa dipisahkan. Seran adalah orang yang menyelamatkannya. Ibunya Seran mengelola rumah makan. Radinya dan Resian selalu mampir untuk makan di sana. Orang tua Seran sudah menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. Ibunya Seran mengharapkan Radinya akan menjaga Seran saat mereka tidak ada. Awalnya semua baik-baik saja sampai kejadian buruk itu terjadi. Malam itu hujan turun dengan deras. Radinya dan Resian makan bersama keluarga Seran. Namun, Radinya pulang ke rumah sebentar untuk memanggil ibunya. Saat dia sampai di depan rumah. Dia mendengar suara keributan. Dia berlari ke arah ruang tamu dan mendapati ayahnya sedang memukuli ibunya. Radinya tidak tinggal diam. Dia berusaha memukul ayahnya. Namun, dia malah terpental dan membentur meja. Saat Radinya sedang kesakitan, seorang pria masuk dan berusaha menolong ibu Rad
Pria itu hanya tertawa geli saat dia melihat reaksi Radinya. Dia meminum alkohol di gelasnya. Kemudian dia duduk di kursi. Radinya dan ibunya tidak bergerak. Mereka seperti memasang kewaspadaan yang tinggi pada pria itu. "Ayolah. Sambutan macam apa ini? Apa kau tidak merindukan suamimu?" Radinya mulai maju. Sementara ibunya semakin menarik tubuh Radinya. "Tidak apa-apa ibu. Aku bisa mengatasinya" ujar Radinya. Ayahnya mulai menghampiri Radinya. Dia menyiramkan alkohol ke kepala Radinya. "Bagaimana rasanya? Apakah segar?" Radinya tidak menjawabnya. Dia memegang ibunya dengan erat. "Ah, jangan-jangan kau menjadi gagu sejak kejadian itu?" tanya ayahnya sambil menarik tangan ibunya. "Hentikan, mau apa kau di sini?" Bentak Radinya sambil menghempaskan tongkat di tangannya. Ayahnya kembali tertawa. Dia tidak menanggapi pertanyaan Radinya. "Bukan begini caramu bersikap setelah tidak bertemu denganku selam
Ombak seakan menerjang hidup Radinya. Dia harus memutar haluan jauh ke samudra baru. Bagi Radinya yang memiliki kecerdasan, rintangan ini seharusnya tidak sulit. Namun, dia mengalami banyak sandungan."Bagaimana perasaanmu setelah ujian tes masuk?" tanya Augus."Rasanya aku ingin muntah. Aku tidak tahu tesnya berlapis," ujar Radinya."sistem pindah jurusan universitas yang kau pilih adalah yang terbaik. Tentu saja tesnya sulit,""Iya. Jurusan itu cara satu-satunya aku bisa menemui Ansara,""Kau tahu, kau sudah menjadi selebriti di universitas ini. Pertama kau disebut gila dan kedua "bucin". Selamat kawan,"Radinya hanya tertawa mendengar pernyataan Augus. Dia tidak masalah dengan nama yang disematkan padanya.Radinya mulai membaca buku. Dia mulai larut dalam bayang Ansara. Kemudian dia teringat pertemuan mereka.***Radinya Anugrah berlindung di bawah pohon yang rindang. Dia berharap tidak ada orang yang mengganggunya. N
Suara gemuruh saling bersautan. Namun, dia tetap berdiri bersama angin dingin yang mulai menusuk tubuhnya. Ponselnya terus dinyalakan seakan dia menunggu jawaban yang tak nampak. Kakinya mulai gemetar. Rasa dingin mulai menjalar ke tubuhnya. Kemudian ponselnya berdering. "Kau ada di mana?," tanya suara berat yang menghilangkan keheningannya. "Aku di halte dekat kampus. Aku masih menunggu Ansara," ujarnya sambil memasukkan tangannya ke kantung jaket. "Pulanglah. Udara sedang dingin. Kau bisa sakit," ujar pria itu. Namun, dia tidak menjawab dan malah mengakhiri pembicaraan. Dia tetap menatap ponselnya. Lampu di atasnya mulai mati satu demi satu. Halte itu mulai gelap. Tiba-tiba sebuah kilatan muncul. Dia terkejut dan mulai mundur ke bagian dalam halte. Saat kilat itu hilang, dia melihat beberapa mobil melintas. Salah satunya ambulance. Penasaran, dia melangkahkan kakinya menuju arah ambulance itu pergi. Saat dia sam