Yua mendekat, wajahnya berubah datar mirip ekspresi dingin Jexeon yang bisa membuat orang merinding. Sepertinya sejak bergaul dengan Jexeon, wanita itu belajar jadi gunung es. "Kemasi barang-barangmu sebelum aku lempar keluar!" kata Yua dengan tatapan dingin. Saat ini Mia gemetar, bukan karena perkataan Yua, melainkan dengan Jexeon yang berada di belakang Yua. Pria berbadan tinggi itu seakan mengatakan jika tidak menuruti perkataan Yua maka dia akan membunuhnya. "Aakhh!" Teriak Mia menahan emosi, dia berbalik ke kamar. Membereskan barang-barang seperti permintaan Yua. Setelah kepergian Mia, Yua berbalik ke arah Jexeon. Senyumannya lebar. Sangat manis sampai Jexeon merasa kena diabetes. "Aku bisa buat orang takut, Mas." Yua terlihat sangat senang, Jexeon menyunggingkan senyum. Tangannya mengelus pucuk kepala istrinya, terlihat sangat lucu. Para pekerja membereskan barang-barang yang berserakan, pecahan kaca dari bingkai foto tercecer di mana-mana. Belum lagi pecahan vas bunga da
Jexeon memandang bergantian wajah dua orang yang tengah mengobrol sembari menikmati pecel lele, sementara dia hanya mengambil nasi tanpa ayam. Memakannya dengan lalapan. Benci sekali dengan keadaan ini. "Aku tuh dulu mikirnya kamu benci aku, tiap kita ketemu kamu selalu nyeremin," kata Yua. Tertawa bersama Lazio. "Yaelah, mukaku emang ganteng kayak gini. Bukannya judes sama kamu, malah aku pikir kamu anti sama cowok urakan." "Kalau aku anti sama cowok badboy, udah pasti aku nggak nikah sama Mas Iyon, iya 'kan Mas Iyon?" "Hmm," jawab Jexeon dingin seperti biasa. Lele yang mereka makan tinggal kepalanya, masih menjilat jari yang ada sambelnya. Sementara nasi sudah habis."Dulu aku temenan sama para badboy geng motor tahu." Yua memberitahu. Jexeon tertarik dengan obrolan Yua, tidak menyangka Yua pernah berteman dengan orang-orang yang seperti itu. Pantas saja Yua tidak canggung padanya. Ternyata pernah berada di dunia yang sama."Aku pikir kamu cuma temenan sama orang bersarung. Gi
Langkah kaki Jexeon menuju lantai atas, kamarnya yang sudah lama tidak ditempati sejak menikah dengan Yua. Setelah masuk kamar, ia mengunci pintunya, masih dengan posisi menggendong Yua. Tangan kirinya melepaskan resleting baju di punggung Yua, membuat wanita itu terkejut, kenapa dilepas? Dia melepaskan pelukan dari Jexeon yang masih berjalan menuju ranjang, melewati sofa. "Kita...." tanya Yua ragu ketika Jexeon membaringkan tubuhnya di ranjang. Jexeon hanya menyeringai, dia tahu apa yang dipikirkan Yua. "Iya," jawabnya walaupun Yua tidak bertanya. "Di sini?" Jexeon melepaskan hijab Yua, melemparkan ke samping. Jatuh di lantai. "Tidak ada kamera," jawab Jexeon. "Bukan itu, tapi ini kan bukan...." Rumah kita. Yua canggung melakukan di sini, di tempat asing. Jexeon tidak peduli, dia membuka kaosnya, menampakkan dada bidang dengan tato singa yang gagah. "Aku ingin kau hamil," kata Jexeon sembari memegang perut Yua. Bibirnya menyeringai. "Aku ingin di sini ada bayi."Jantung Yua
Rasa takut kehilangan bersanding dengan cinta, semakin dalam cinta maka semakin perasaan takut itu menjadi sangat nyata. Jexeon sadar betul hal itu. Dia tidak bisa keluar dari perasaan yang membelenggu dan mengikat seperti itu. Dia yang setiap saat berada dalam bahaya, memiliki banyak musuh, selalu takut terjadi sesuatu pada istrinya. Jexeon tidak ingin Yua terluka sekecil apapun. "Bener udah baikan?" tanya Jexeon. Yua sudah minum tolak angin yang dibeli di jalan, perasaannya sedikit membaik meskipun masih pusing. Rasa mualnya reda seiring waktu. Perjalanan ke rumah keluarga Nathanael membutuhkan waktu dua jam, ditambah macet yang panjang, kota Jakarta selalu saja seperti ini. Namun, Jexeon tidak merasa sebal. Pasalnya ia sedang bersama Yua. Perjalanan sepanjang apapun, ia rela asal ada Yua di sampingnya. Sekarang ia bisa mengobrol lebih lama. Tidak sekaku dulu.Rumah Nathanael terlihat lengang, Yua turun dengan hati-hati. Menatap halaman yang sepi. Mereka masuk ke dalam dengan s
Sekitar pukul 9 malam, suara Roan memanggil terdengar, menggunakan senter di area pemakaman. Ada suara orang lain juga, supir keluarga. "Xeon! Jexeon! Kamu di mana?" teriakan itu semakin terdengar jelas. Meskipun nadanya bergetar, Roan tetap lantang. Tak lama kemudian senter itu mengenai wajahnya, "Xeon!" Roan berlari menghampirinya, melewati beberapa makam. Dia berjongkok, melihat keadaannya. Mata adik tirinya itu berkaca-kaca. "Kenapa bisa kayak gini?" tanya Roan sembari menangis. Anak itu lebih cengeng darinya, mengambil tangan Jexeon yang berdarah. "Pasti ini sakit." Masih menangis sesenggukan. Padahal Roan yang terluka, padahal ia yang diusir, padahal ia yang merindukan ibunya, tetapi kenapa malah Roan yang menangis kencang seperti merasakan rasa sakitnya. "Iya, sakit." Jawab Jexeon. Ikut menangis. Dua anak itu menangis bersama di depan makam, berulang kali Roan minta maaf karena baru bisa menjemput. "Aku bakal jagain kamu," katanya. Padahal Roan adik dan dia adalah kak
Dunia yang belum pernah aku masuki, perasaan cinta yang setiap hari datang seperti hal baru. Senyuman yang setiap saat kurindukan, aku merasa bisa memberikan segalanya untuk Jexeon. Bahkan duniaku yang biasanya tenang kini berubah mendebarkan karena dia. Hidupku yang biasanya hanya ; datang ke kampus, ikut kajian, pengajian di pesantren milik Fatimah, dan melakukan kegiatan lurus lainnya lalu bertemu orang-orang baik dari kalangan terpelajar. Kini berbeda.Sekarang semua berubah. Itu karena aku memiliki suami mantan mafia, pernikahanku saja dihadiri mafia dan gengster. Sungguh keluar dari zona aman yang selama kutempati. Sesekali aku melirik ke samping, orang menyeramkan yang pernah Jexeon ceritakan. Pram, pemimpin Siluet. Mafia nomor 1 di Indonesia. Aku sedang diculik olehnya.Dia tidak menyakiti dan membawaku dengan baik-baik, aku menurut karena takut dia membuat keributan dan menyakiti. Aku memegang tongkat dengan erat, jantungku berdebar, rasanya takut tetapi juga penasaran. Or
"Aku percaya Mas Iyon udah berubah, jangan berusaha membuatku ragu, karena itu percuma."Jantungku berdebar kencang, tubuhku gemetar ketakutan. Pandanganku beralih ke jam dinding, berharap Jexeon segera datang. Aku sudah membantah Pram. Bisa saja dia marah dan dor, menembakku di tempat. "Kau keras kepala sekali. Kalau dia tidak datang, aku berniat membunu--" Belum ucapan itu terselesaikan, teriakan dari ruang tamu terdengar."Pram!" Itu suara Jexeon, akhirnya dia datang. Aku sempat takut dia mengabaikanku. Wajah Pram berubah setelah melihat kedatangan Jexeon. Tubuh tinggi besar itu terlihat terengah-engah, menatapku yang masih duduk dengan tubuh gemetar. "Akhirnya kau datang, makanan sebentar lagi siap." Pram mengetuk meja dengan jemarinya, membuat suasana hening menjadi semakin tegang. Kepalanya meneleng sembari tersenyum. "Kau gila!" teriak Jexeon. Emosinya memuncak, dia berjalan cepat ke arah Pram dan menarik kerahnya. Membuat Pram berdiri santai. Para tukang pukul mengelu
Setelah mencapai tujuan masing-masing kami akan berpisah, itu adalah kesepakatan. Maka dari itu aku pernah berusaha menghilangkan rasa ketergantungan terhadap kehadirannya. Menahan perasaanku sendiri supaya tidak jatuh cinta. Namun, sepertinya aku terbawa arus, tidak bisa berhenti sekuat apapun mencoba. Setiap hari perasaan ini tumbuh subur, seolah aku memang ditakdirkan untuk mencintainya. "Kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja." Kata Jexeon, kakinya terus bergerak. Terlihat gugup. Padahal aku biasa saja, tetapi malah dia yang terlihat gugup. Tadi dokter mengarahkan kami ke dokter kandungan. Sekarang sedang persiapan USG. Namun, terjadi sesuatu dengan alatnya sampai dokter memanggil rekannya. "Aku santai kok, Mas. Kalau seumpama aku beneran hamil, gimana?" "Maksudnya gimana?"Kalau aku hamil, apa kamu akan senang atau tidak? Aku takut bertanya, pasalnya kami menikah bukan karena cinta. Sampai sekarang aku tidak tahu apakah Jexeon mencintaiku atau tidak.Aku sangat takut ji