Rasa takut kehilangan bersanding dengan cinta, semakin dalam cinta maka semakin perasaan takut itu menjadi sangat nyata. Jexeon sadar betul hal itu. Dia tidak bisa keluar dari perasaan yang membelenggu dan mengikat seperti itu. Dia yang setiap saat berada dalam bahaya, memiliki banyak musuh, selalu takut terjadi sesuatu pada istrinya. Jexeon tidak ingin Yua terluka sekecil apapun. "Bener udah baikan?" tanya Jexeon. Yua sudah minum tolak angin yang dibeli di jalan, perasaannya sedikit membaik meskipun masih pusing. Rasa mualnya reda seiring waktu. Perjalanan ke rumah keluarga Nathanael membutuhkan waktu dua jam, ditambah macet yang panjang, kota Jakarta selalu saja seperti ini. Namun, Jexeon tidak merasa sebal. Pasalnya ia sedang bersama Yua. Perjalanan sepanjang apapun, ia rela asal ada Yua di sampingnya. Sekarang ia bisa mengobrol lebih lama. Tidak sekaku dulu.Rumah Nathanael terlihat lengang, Yua turun dengan hati-hati. Menatap halaman yang sepi. Mereka masuk ke dalam dengan s
Sekitar pukul 9 malam, suara Roan memanggil terdengar, menggunakan senter di area pemakaman. Ada suara orang lain juga, supir keluarga. "Xeon! Jexeon! Kamu di mana?" teriakan itu semakin terdengar jelas. Meskipun nadanya bergetar, Roan tetap lantang. Tak lama kemudian senter itu mengenai wajahnya, "Xeon!" Roan berlari menghampirinya, melewati beberapa makam. Dia berjongkok, melihat keadaannya. Mata adik tirinya itu berkaca-kaca. "Kenapa bisa kayak gini?" tanya Roan sembari menangis. Anak itu lebih cengeng darinya, mengambil tangan Jexeon yang berdarah. "Pasti ini sakit." Masih menangis sesenggukan. Padahal Roan yang terluka, padahal ia yang diusir, padahal ia yang merindukan ibunya, tetapi kenapa malah Roan yang menangis kencang seperti merasakan rasa sakitnya. "Iya, sakit." Jawab Jexeon. Ikut menangis. Dua anak itu menangis bersama di depan makam, berulang kali Roan minta maaf karena baru bisa menjemput. "Aku bakal jagain kamu," katanya. Padahal Roan adik dan dia adalah kak
Dunia yang belum pernah aku masuki, perasaan cinta yang setiap hari datang seperti hal baru. Senyuman yang setiap saat kurindukan, aku merasa bisa memberikan segalanya untuk Jexeon. Bahkan duniaku yang biasanya tenang kini berubah mendebarkan karena dia. Hidupku yang biasanya hanya ; datang ke kampus, ikut kajian, pengajian di pesantren milik Fatimah, dan melakukan kegiatan lurus lainnya lalu bertemu orang-orang baik dari kalangan terpelajar. Kini berbeda.Sekarang semua berubah. Itu karena aku memiliki suami mantan mafia, pernikahanku saja dihadiri mafia dan gengster. Sungguh keluar dari zona aman yang selama kutempati. Sesekali aku melirik ke samping, orang menyeramkan yang pernah Jexeon ceritakan. Pram, pemimpin Siluet. Mafia nomor 1 di Indonesia. Aku sedang diculik olehnya.Dia tidak menyakiti dan membawaku dengan baik-baik, aku menurut karena takut dia membuat keributan dan menyakiti. Aku memegang tongkat dengan erat, jantungku berdebar, rasanya takut tetapi juga penasaran. Or
"Aku percaya Mas Iyon udah berubah, jangan berusaha membuatku ragu, karena itu percuma."Jantungku berdebar kencang, tubuhku gemetar ketakutan. Pandanganku beralih ke jam dinding, berharap Jexeon segera datang. Aku sudah membantah Pram. Bisa saja dia marah dan dor, menembakku di tempat. "Kau keras kepala sekali. Kalau dia tidak datang, aku berniat membunu--" Belum ucapan itu terselesaikan, teriakan dari ruang tamu terdengar."Pram!" Itu suara Jexeon, akhirnya dia datang. Aku sempat takut dia mengabaikanku. Wajah Pram berubah setelah melihat kedatangan Jexeon. Tubuh tinggi besar itu terlihat terengah-engah, menatapku yang masih duduk dengan tubuh gemetar. "Akhirnya kau datang, makanan sebentar lagi siap." Pram mengetuk meja dengan jemarinya, membuat suasana hening menjadi semakin tegang. Kepalanya meneleng sembari tersenyum. "Kau gila!" teriak Jexeon. Emosinya memuncak, dia berjalan cepat ke arah Pram dan menarik kerahnya. Membuat Pram berdiri santai. Para tukang pukul mengelu
Setelah mencapai tujuan masing-masing kami akan berpisah, itu adalah kesepakatan. Maka dari itu aku pernah berusaha menghilangkan rasa ketergantungan terhadap kehadirannya. Menahan perasaanku sendiri supaya tidak jatuh cinta. Namun, sepertinya aku terbawa arus, tidak bisa berhenti sekuat apapun mencoba. Setiap hari perasaan ini tumbuh subur, seolah aku memang ditakdirkan untuk mencintainya. "Kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja." Kata Jexeon, kakinya terus bergerak. Terlihat gugup. Padahal aku biasa saja, tetapi malah dia yang terlihat gugup. Tadi dokter mengarahkan kami ke dokter kandungan. Sekarang sedang persiapan USG. Namun, terjadi sesuatu dengan alatnya sampai dokter memanggil rekannya. "Aku santai kok, Mas. Kalau seumpama aku beneran hamil, gimana?" "Maksudnya gimana?"Kalau aku hamil, apa kamu akan senang atau tidak? Aku takut bertanya, pasalnya kami menikah bukan karena cinta. Sampai sekarang aku tidak tahu apakah Jexeon mencintaiku atau tidak.Aku sangat takut ji
Jexeon menoleh dan langsung mengangkat tubuhku, berjalan ke kamar tanpa memedulikan Arjun dengan buah berceceran. Lalu bagaimana nasip pecel leleku? Tanganku melingkar di leher Jexeon, dia menaiki tangga menuju kamar. Mendudukkanku di ranjang setelah melepaskan tas yang berada di punggungnya. "Kau mau mandi?" tanyanya.Aku mengangguk, badanku sudah sangat lengket. "Ayo mandi bareng," katanya. Tidak mungkin acara mandi bersama akan berlangsung lancar, Jexeon bukan tipe suami seperti itu. Dia pasti mengambil kesempatan untuk melakukan hal 'itu'. "Nggak usah, aku mandi sendiri aja." Aku meraih tongkat, berdiri menuju closet, mengambil baju tidur. "Aku tidak akan melakukannya, kau kan sedang hamil." Ucapannya membuatku langsung menoleh, dia seperti bisa membaca pikiranku. "Boleh ya aku mandiin?" Wajahnya memelas, kalau sudah begini pasti jantungku rontok. Wajah sangat tampan itu penuh harap, tanganku langsung pegangan. Tidak kuat menahan pesonanya.Kepalaku perlahan pengangguk, k
Usia kandungan yang semakin besar membuat wanita pincang itu sulit bergerak. Bahkan di hari wisudanya ia berjalan pelan hingga ditunggu orang-orang, sangat hati-hati supaya tidak terjatuh di tangga. Saat itu Jexeon melihat kegembiraan di mata Yua, istri yang tengah mengandung itu memakai toga. Foto bersamanya dan sekarang dipajang di dinding. Bersanding dengan foto pernikahan. "Kalian jangan menyusahkan Yua." Jexeon mengusap perut Yua, sudah memasuki bulan ke tujuh. Acara tujuh bulanan kemarin berjalan dengan lancar. Ia tidak menyangka akan memiliki keluarga sendiri. Beberapa bulan lalu ia bekerja keras untuk membuat kedamaian ini, membebaskan diri dari cengkraman Pram. Itu bukan hal yang sulit baginya, dari dulu posisinya setara dengan Pram meskipun Pram anak dari Tuan besar. Jexeon langsung mengadakan rapat bersama Lazio dan Elgar, tim terbaiknya. Menjalankan rencana setelah berpikir matang. "Apa rencanamu?" tanya Lazio, menyisir rambutnya yang semakin panjang menggunakan jari
Lewat kekuasaan Ghurair, 10 tukang pukul berpangkat letnan keluarga Siluet mampu dibebaskan. Pram sangat senang mendengar hal itu, berharap bisnis haramnya di Dubai akan berjalan lancar kembali. Sayangnya tidak semudah itu, Jexeon menjalankan rencana selanjutnya. Membuat markas Siluet hancur. Menghanguskan semua berkas penting dan meninggalkan jejak remakan CCTV, itu adalah rencana untuk mengadu domba.Jexeon, Elgar dan Lazio mengenakan pakaian ala keluarga Yen. Mengendap-endap menuju pintu keluar setelah menembaki para tukang pukul. Hal yang sulit adalah Jexeon tidak boleh melakukan pertarungan jarak dekat. Gerakannya bisa ketahuan. Pria yang tidak ahli menembak itu terpaksa harus menggunakan pistol."Sial, mereka tidak ada habisnya." Lazio terus menembak menggunakan dua pistol. Bahkan si penembak jitu saja sudah kualahan.Sementara tembakan Jexeon terus saja meleset, dia tidak ahli menembak. Bisa dibilang itu adalah kelemahannya. "El, kapan bomnya meledak?" tanya Jexeon dengan na