"Aku percaya Mas Iyon udah berubah, jangan berusaha membuatku ragu, karena itu percuma."Jantungku berdebar kencang, tubuhku gemetar ketakutan. Pandanganku beralih ke jam dinding, berharap Jexeon segera datang. Aku sudah membantah Pram. Bisa saja dia marah dan dor, menembakku di tempat. "Kau keras kepala sekali. Kalau dia tidak datang, aku berniat membunu--" Belum ucapan itu terselesaikan, teriakan dari ruang tamu terdengar."Pram!" Itu suara Jexeon, akhirnya dia datang. Aku sempat takut dia mengabaikanku. Wajah Pram berubah setelah melihat kedatangan Jexeon. Tubuh tinggi besar itu terlihat terengah-engah, menatapku yang masih duduk dengan tubuh gemetar. "Akhirnya kau datang, makanan sebentar lagi siap." Pram mengetuk meja dengan jemarinya, membuat suasana hening menjadi semakin tegang. Kepalanya meneleng sembari tersenyum. "Kau gila!" teriak Jexeon. Emosinya memuncak, dia berjalan cepat ke arah Pram dan menarik kerahnya. Membuat Pram berdiri santai. Para tukang pukul mengelu
Setelah mencapai tujuan masing-masing kami akan berpisah, itu adalah kesepakatan. Maka dari itu aku pernah berusaha menghilangkan rasa ketergantungan terhadap kehadirannya. Menahan perasaanku sendiri supaya tidak jatuh cinta. Namun, sepertinya aku terbawa arus, tidak bisa berhenti sekuat apapun mencoba. Setiap hari perasaan ini tumbuh subur, seolah aku memang ditakdirkan untuk mencintainya. "Kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja." Kata Jexeon, kakinya terus bergerak. Terlihat gugup. Padahal aku biasa saja, tetapi malah dia yang terlihat gugup. Tadi dokter mengarahkan kami ke dokter kandungan. Sekarang sedang persiapan USG. Namun, terjadi sesuatu dengan alatnya sampai dokter memanggil rekannya. "Aku santai kok, Mas. Kalau seumpama aku beneran hamil, gimana?" "Maksudnya gimana?"Kalau aku hamil, apa kamu akan senang atau tidak? Aku takut bertanya, pasalnya kami menikah bukan karena cinta. Sampai sekarang aku tidak tahu apakah Jexeon mencintaiku atau tidak.Aku sangat takut ji
Jexeon menoleh dan langsung mengangkat tubuhku, berjalan ke kamar tanpa memedulikan Arjun dengan buah berceceran. Lalu bagaimana nasip pecel leleku? Tanganku melingkar di leher Jexeon, dia menaiki tangga menuju kamar. Mendudukkanku di ranjang setelah melepaskan tas yang berada di punggungnya. "Kau mau mandi?" tanyanya.Aku mengangguk, badanku sudah sangat lengket. "Ayo mandi bareng," katanya. Tidak mungkin acara mandi bersama akan berlangsung lancar, Jexeon bukan tipe suami seperti itu. Dia pasti mengambil kesempatan untuk melakukan hal 'itu'. "Nggak usah, aku mandi sendiri aja." Aku meraih tongkat, berdiri menuju closet, mengambil baju tidur. "Aku tidak akan melakukannya, kau kan sedang hamil." Ucapannya membuatku langsung menoleh, dia seperti bisa membaca pikiranku. "Boleh ya aku mandiin?" Wajahnya memelas, kalau sudah begini pasti jantungku rontok. Wajah sangat tampan itu penuh harap, tanganku langsung pegangan. Tidak kuat menahan pesonanya.Kepalaku perlahan pengangguk, k
Usia kandungan yang semakin besar membuat wanita pincang itu sulit bergerak. Bahkan di hari wisudanya ia berjalan pelan hingga ditunggu orang-orang, sangat hati-hati supaya tidak terjatuh di tangga. Saat itu Jexeon melihat kegembiraan di mata Yua, istri yang tengah mengandung itu memakai toga. Foto bersamanya dan sekarang dipajang di dinding. Bersanding dengan foto pernikahan. "Kalian jangan menyusahkan Yua." Jexeon mengusap perut Yua, sudah memasuki bulan ke tujuh. Acara tujuh bulanan kemarin berjalan dengan lancar. Ia tidak menyangka akan memiliki keluarga sendiri. Beberapa bulan lalu ia bekerja keras untuk membuat kedamaian ini, membebaskan diri dari cengkraman Pram. Itu bukan hal yang sulit baginya, dari dulu posisinya setara dengan Pram meskipun Pram anak dari Tuan besar. Jexeon langsung mengadakan rapat bersama Lazio dan Elgar, tim terbaiknya. Menjalankan rencana setelah berpikir matang. "Apa rencanamu?" tanya Lazio, menyisir rambutnya yang semakin panjang menggunakan jari
Lewat kekuasaan Ghurair, 10 tukang pukul berpangkat letnan keluarga Siluet mampu dibebaskan. Pram sangat senang mendengar hal itu, berharap bisnis haramnya di Dubai akan berjalan lancar kembali. Sayangnya tidak semudah itu, Jexeon menjalankan rencana selanjutnya. Membuat markas Siluet hancur. Menghanguskan semua berkas penting dan meninggalkan jejak remakan CCTV, itu adalah rencana untuk mengadu domba.Jexeon, Elgar dan Lazio mengenakan pakaian ala keluarga Yen. Mengendap-endap menuju pintu keluar setelah menembaki para tukang pukul. Hal yang sulit adalah Jexeon tidak boleh melakukan pertarungan jarak dekat. Gerakannya bisa ketahuan. Pria yang tidak ahli menembak itu terpaksa harus menggunakan pistol."Sial, mereka tidak ada habisnya." Lazio terus menembak menggunakan dua pistol. Bahkan si penembak jitu saja sudah kualahan.Sementara tembakan Jexeon terus saja meleset, dia tidak ahli menembak. Bisa dibilang itu adalah kelemahannya. "El, kapan bomnya meledak?" tanya Jexeon dengan na
Lazio langsung mengerem mendadak, hampir menabrak mobil kecil yang ada di depan mereka. Tidak ada yang memakai sabuk pengaman membuat jidat mereka hampir kejedot."Lihat ke depan, Bangsat! Akh." Jexeon terlihat sangat kesakitan. "Kau gila, bagaimana bisa kau punya anak?" tanya Lazio kesal. "Itu karena kecebongku normal!" jawab Jexeon masih emosi."Kau sungguh gila!" Balas Lazio.Mobil melaju lebih pelan, Lazio masih tidak habis pikir. Dunia mereka berbeda dengan Yua, tidak bisa hidup normal. Memiliki keluarga berarti harus siap memiliki kelemahan. "Berarti sebentar lagi aku punya ponakan dong?" tanya Elgar. Tidak ada yang menanggapi. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, Lazio terlihat begitu kesal mendengar kehamilan Yua. Bukan karena dia memiliki perasaan kepada wanita itu, hanya saja tindakan Jexeon dengan menghamili Yua sama saja membuat wanita itu berada dalam bahaya. Ia kesal karena Jexeon tidak berpikir sampai ke sana. "Apa kau sadar sudah membuat Yua dalam bahaya? Apa kau
Suasana kelas begitu tenang, guru menjelaskan tentang hidrokarbon dan minyak bumi, pelajaran kimia dari Pak Ridwan selalu menjadi hal paling menegangkan. Elgar melirik Arjun, ia menyangga kepalanya malas. Sahabatnya itu terlihat antusias dalam belajar. Selalu bilang ingin ranking satu, menggeser posisinya.Dia berbeda dengan Arjun ataupun anak normal lainnya, baginya sekolah hal yang membosankan, tidak penting. Rangking satu memang sudah seharusnya miliknya.Semua hal terlalu mudah bagi Elgar, nilai, kepopuleran dan mendapat keistimewaan dari guru. Baginya tidak seru, tidak menantang. Dia bosan. "Pak, izin ke toilet." Elgar mengangkat tangan. Pak Ridwan menghentikan penjelasannya dan menjawab, "Cepat." Elgar berjalan santai keluar kelas, suasana sekolah selalu seperti ini, tidak ada yang menarik. Andai Jexeon tidak menyuruhnya sekolah, sudah pasti ia keluar dari dulu. Tidak peduli tentang ijazah atau apapun. Baginya menjalankan misi bersama Jexeon dan Lazio jauh lebih asik.Dia be
Elgar tidak jadi mengambil pistol, dia berlari ke gedung. Mulai meretas semua CCTV dan mengarahkan komplotannya yang ada di dalam untuk keluar dengan selamat. Peluhnya menetes, baju putih abu-abu penuh dengan keringat. Jantungnya berdebar kencang, bunyi tembakan terus bersautan. Misi penyelamatan Yua sangat menegangkan. Pasalnya selain sulit, keadaan kakak perempuan Arjun itu tengah hamil 8 bulan. Dari earphone Elgar mendengar instruksi dari Jexeon, "kami sebentar lagi berada di luar. Cepat bawa mobil kemari!" Elgar menutup laptopnya, ia berlari ke arah mobil dan mengendarainya, berputar ke arah belakang gedung. Bersiap menerima penumpang setelah menembaki orang-orang yang menghalangi. Jexeon menggendong Yua sembari berlari ke arah mobil, dilindungi beberapa orang yang Elgar tahu itu adalah mantan anggota Gengster Singa Hitam. Mereka menginstruksikan supaya Jexeon pergi duluan. Orang-orang akan melindunginya sampai benar-benar aman. "Jalan!" Perintah Jexeon setelah berhasil masuk