“Saya ingin membelinya!”
Madam yang tadi sedang sibuk menghitung rupiah mendadak terdiam, menatap bergantian ke arah Monica dan Nathan. Wajah tampan pria itu terlihat dingin, tanpa basa-basi melempar beberapa gepok uang ke atas meja, semakin membuat mata Madam terbelalak. Luar biasa pesona Monica, pria tampan seperti Nathan bisa bertekuk lutut di bawah pesonanya, pikir Madam. “Tuan, tolong baca peraturan yang sudah tertera di sini!” Madam memberikan map hijau ke arah Nathan. “Di sini sudah tertera keputusan mutlak, bahwa semua wanita yang ada di sini tak bisa dibeli, jika tuan masih menginginkannya tidak masalah, bukankah tuan bisa kembali ke tempat ini kapan saja?” Nathan masih menatap datar, ia tak tertarik dengan peraturan sampah yang menurutnya tidak masuk akal. Dengan berani, tangan kekarnya merobek kertas itu, membuat semua yang ada di sana begitu terkejut. Tatapan dinginnya seperti hendak menerkam Madam, ia benci penolakan, ia tak menyukai protes dalam bentuk apa pun. “Hei! Apa yang kau lakukan? Saya dari tadi berusaha menghargai Anda karena Anda adalah pelanggan di sini, tapi sikap kurang ajar ini tak bisa saya biarkan. Ayo, apa yang kalian lihat!” Beberapa pria berbadan kekar berusaha menyerang Nathan, tapi sepertinya memang bukan lawannya, baru berapa gerakan, orang suruhan Madam itu sudah terkapar dan merintih kesakitan. “Kurang ajar! Kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa.” Madam mengambil ponsel, menghubungi mister A yang memang berkuasa di tempat itu. Senyum puas terukir di bibir Madam, ia merasa kemenangan sudah berada di tangannya. “Sini, Monica! Kau tak boleh percaya pada siapa pun, mereka semua berbahaya, hanya aku yang bisa dipercaya di sini,” bujuk Madam. Wanita yang tadinya hanya berdiri di belakang Nathan pun maju, menatap lekat mata Madam dan tersenyum tipis. “Benarkah begitu? Tapi sayangnya aku sudah muak di tempat ini, Monica hanya ingin mencari suasana baru di luar sana. Oh iya, berhenti membual dan menganggap semua orang jahat! Kau bahkan lebih jahat dari seekor singa,” balas Monica berani. Madam naik pitam, serta merta mendekat dan hendak melayangkan tamparan, tapi tangannya tertahan di udara. Matanya beralih pada Nathan yang saat ini menahan tangannya agar tak menyentuh Monica. “Jangan sentuh dia, atau kau akan kehilangan satu tanganmu!” Dengan keras Nathan menepis tangan Madam, membuat wanita itu sedikit terdorong ke belakang. Tiba-tiba dari belakang ada yang menahan tubuhnya. “Mister A, akhirnya kau datang. Dia, dia berani menentang ku dan ingin membawa Monica pergi dari sini!” Mister A mendongak, kini tatapannya beradu dengan Nathan yang terlihat berani. “Lepaskan Monica atau aku juga akan membuat Anda hancur!” Pria itu gelagapan, ia tahu betul siapa yang ia hadapi. Akhirnya tanpa banyak protes mengizinkan Monica pergi, Nathan menatap sebentar ke mister A, mengangkat sudut bibirnya sebelum akhirnya pergi sembari menggandeng tangan Monica. Di dalam mobil keduanya membisu, Monica masih bertanya-tanya, seberapa besar pengaruh Nathan, bahkan mister A yang memiliki kuasa sampai tempat itu tak pernah tersentuh pun memilih untuk menunduk patuh padanya. “Kau mengenal mister A?” tanya Monica masih dengan rasa penasarannya. “Lebih dari itu,” jawabnya singkat. Monica kembali terdiam dan memilih menikmati pemandangan sepanjang jalan, sudah lama ia tak menghirup udara segar, hanya suara dentuman musik, aroma alkohol, desahan menjijikkan yang menemani kesehariannya. Jika tak bertemu Nathan entah harus berapa lama lagi ia bertahan di tempat haram tanpa perubahan. Setelah lama berdiam diri, ia kembali mengajukan pertanyaan. “Anda serius mau menikahi saya?” Monica menatap wajah Nathan. Tak seperti tadi, kini Nathan malah mendiamkannya. “Menyebalkan! Pria memang sama saja, setelah mendapatkan apa yang dia mau, semuanya jadi transparan di matanya.” Wanita itu kini membuang pandang ke luar jendela, angin yang berembus menyapu wajah, membuatnya perlahan terbuai hingga terlelap. ** “Kita sudah sampai.” Suara bariton Nathan membangunkannya. Wanita itu terjaga, melihat ke arah luar, di mana bangunan serba putih itu berdiri kokoh. “Kau membawaku ke rumah sakit?” “Ibu dirawat di sini.” Mau tak mau, Monica terus mengekori hingga akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan VIP, wanita setengah tua berbaring dengan mata terpejam. Nathan mendekat, kemudian meraba punggung tangannya dengan lembut, menciptakan respons positif dari pasien. “Nathan,” panggilnya parau. ‘Ternyata dia tak berbohong. Ibunya benar-benar sakit. Bukankah mustahil jika sakitnya bisa sembuh hanya dengan melihat wajahku?’ Batin Monica berperang, tak sadar Nathan kini menggenggam pergelangan tangannya, membuat Monica bingung harus mengatakan apa. Senyum tipis ia pasang senatural mungkin, dengan iris mata yang kini berpusat pada wanita tua yang sekarang juga menatapnya terharu, tersirat rindu di mata tua itu. “Arini?” Suaranya lirih setengah parau. Monica mendekat ketika diberi kode melalui genggaman tangan Nathan. Tanpa dipaksa, ia bergegas memeluk wanita itu. “Dari awal memang ibu yakin jika Arini masih hidup. Dan sekarang lihat, sekarang ibu bisa memeluknya lagi kan, Nathan!?” Raut kegirangan terpancar jelas, sedang Monica masih setia memilih bungkam. Pelukannya mendadak longgar, ia menatap Monica bingung. “Tapi, Arini tak suka warna merah. Sejak kapan kau mulai suka memakai gaun merah, Sayang?” Nathan mengutuk kebodohannya, harusnya ia mengubah penampilan Monica lebih dulu. “Dan biasanya kau akan lebih antusias jika bertemu ibu. Kau sehat ‘kan?” Nathan langsung mendekap Monica, tangannya mencekal pinggang ramping gadis itu dengan mesra. “Bu, sepertinya Arini sedang tidak enak badan, sebelum ke sini juga dia sempat mengeluh pusing, tenggorokannya juga sakit, jadi dia tak bisa banyak bicara. Nanti setelah sehat, Nathan dan Arini pasti kembali menemui ibu.” ‘Pintar sekali lelaki mengarang cerita. Sepertinya kalau aku jujur, ibunya malah mati.’ Monica terdiam, tapi batinnya mengomel. “Iya ‘kan, Sayang?” Setengah terkejut tapi akhirnya Monica mengangguk. Setelah pertimbangan kecil dengan sang ibu, keduanya berhasil keluar dan kembali masuk ke dalam mobil. “Kau tak mengatakan apa pun sebelumnya, tentang aku harus apa, bagaimana biasanya Arini memperlakukan ibumu, kau tak memberitahukan apa pun, Nathan. Menyebalkan sekali!” Monica bersungut-sungut dengan kedua tangan terlipat ke depan, Nathan tak meliriknya sedikit pun. Monica dan Arini hanya memiliki kemiripan dari segi fisik, tapi tidak dengan kebiasaannya. Arini adalah tipikal yang ceria, penurut, sopan, dan lembut dalam bertutur kata. Berbeda jauh dengan Monica. “Lihat! Kau akan terus mendiamkanku seperti biasa. Tadi di depan ibumu saja kau bertindak mesra, sandiwara yang sempurna, Nathan.” Nathan masih memilih diam. “Sekarang kau akan membawaku ke mana, bertemu keluargamu yang mana lagi?” Beberapa saat kemudian kendaraan roda empat itu berhenti tepat di depan gerbang, seorang pria membuka gerbang memberi jalan, memamerkan bangunan mewah putih bersih di hadapan, dengan taman depannya yang indah, tapi Monica tidak tertarik dengan itu, ia lebih tertarik dengan sesuatu yang ia lihat di lantai atas, wanita yang berdiri mengintip di balik gorden. Pintu mobil terbuka, Nathan menyambut tangannya yang terulur ragu. Monica turun, sementara matanya tak lepas dari jendela. Mendadak wanita itu hilang, membuatnya curiga. “Siapa yang menghuni kamar itu?” tunjuknya ke atas, membuat Nathan menoleh cepat. “Kau ingin masuk atau terus bertanya tentang hal yang tak perlu?” ‘Aneh. Mungkin saudaranya,’ batin Monica meyakinkan dirinya sendiri.“Jadi, kapan kita menikah?”Dua pasang kaki beriringan masuk, bahkan sebelum menyentuh sofa, pertanyaan logis langsung terucap dari bibir Monica. Nathan menahan senyum, mengira jika Monica sebenarnya terlalu terburu-buru karena telah melihat kekayaannya yang terpampang jelas sekarang.“Kau sangat tidak sabaran. Sepertinya setiap wanita pasti akan silau dengan harta, jika tadinya kau menolak dengan tegas, sekarang kau justru terdengar mendesakku untuk segera menikahimu.”Monica menatap Nathan yang menurutnya terlalu percaya diri, senyum miring terlihat menjengkelkan buat Nathan, terkesan menghina dan meremehkan.“Rasa percaya dirimu cukup bagus, tapi aku tak tertarik. Tujuan awal kau membawaku ke sini kan untuk menikah, jika hanya ingin bermain-main, kau salah memilih lawan. Dan satu lagi, apa keuntungannya setelah aku menikah denganmu nanti?”Nathan sedikit takjub dengan cara berpikir Monica, tidak mudah diperdaya padahal ia banyak menghabiskan waktu di tempat liar yang minim pendidik
Di depan ruangan banyak orang yang menunggu dengan gelisah. Suasana benar-benar genting, sampai akhirnya semua tatapan tertuju pada Monica dan Nathan yang baru saja tiba.“Kak, bagaimana keadaan ibu?” tanya Nathan getir. Seorang pria yang jauh lebih tua darinya itu memandang dan berusaha menahan rasa sedihnya sendiri.“Tenanglah! Kita semua masih menunggu keterangan dokter sekarang,” balasnya dengan satu tangan yang menepuk bahu Nathan perlahan. Monica kini terlihat lebih santai, meski sedikit gelisah, sementara dua wanita yang tak jauh darinya malah menatap sinis.“Arini, kau sudah benar-benar sembuh ternyata?”Nathan menatap istrinya yang kebingungan, menggenggam jemari lembutnya sebelum tersenyum ke arah dua wanita itu.“Tapi baru kemarin aku melihatmu terbaring sakit seperti orang mati. Bukankah terlalu cepat sampai kau bisa berdiri di hadapan kami semua sekarang?” Ambar membuatnya sedikit takut, bagaimana jika Monica tahu banyak tentang rahasianya.“Kak Ambar, tolong fokus pada k
“Aku begitu khawatir ketika meninggalkanmu bersama ibu, tapi rupanya kau adalah bakal aktor hebat, Monica.”Jika biasanya Monica yang terdengar cerewet, sekarang ia malah tak acuh pada pernyataan konyol Nathan, tidak penting. “Kau pasti sedang berpikir keras siapa itu Arini,” celetuknya lagi berusaha memancing Monica untuk bicara. Monica memilih memejamkan matanya, dan melipat kedua tangan di dada, dengan wajah yang ia arahkan ke arah jendela.Nathan menyerah. Ternyata seperti ini rasanya mencari topik pembicaraan, tapi yang diajak bicara adalah batu karang. Sepanjang jalan keduanya hanya bisu, tak lama mobil berhenti, otomatis membuat Monica langsung terjaga. “Tetap di sini!” perintah Nathan. Monica menguap malas, ternyata Nathan membawanya ke rumah ini, bukan kediamannya. Netranya menatap Nathan yang telah menghilang di balik pintu. Awalnya ia memang sabar menunggu, memainkan ponsel dan mencoba aplikasi baru yang belum ia tahu, sampai menonton video, Nathan belum juga keluar.“Ng
Jemarinya bergerak, disusul netra yang perlahan terbuka memindai sekeliling, ruangan serba putih ia lihat lagi setelah menjadi istri Nathan. Bodohnya mengapa terlihat lemah di hadapan pria angkuh seperti Nathan, harusnya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri.Bayangan Nathan membentaknya harusnya adalah hal sepele, hanya saja kenapa wajah Budi yang melintas di hadapannya, bedanya Nathan tak membawa serta cambuk, atau mungkin belum. Itu yang membuatnya tak ingin mengenal lelaki lebih jauh, atau nasibnya akan memburuk di tangan laki-laki. ‘Aku yakin pasti ada seseorang selain dirinya di tempat itu,’ batinnya. Untuk melihat keadaan di luar saja ia tak bisa, jendela yang tertutup gorden itu menghalangi pandangannya. Perlahan ia bangkit, mencabut selang yang menempel di punggung tangan, lagi pula dirinya tak sakit keras.Kedua tangan menyingkap gorden, ternyata langit sudah gelap. Baru saja berdiri, suara bariton Nathan terdengar dari belakang. “Kau sudah sadar?” Sudut bibir Monica teran
“Monica, ada panggilan di kamar 310.”“Madam, sepertinya aku sedang tidak ingin melayani siapa pun malam ini,” balasnya sembari mematikan rokok. Wanita dewasa dengan dandanan glamor itu membuang napas berat, mengambil ponsel dan berbicara beberapa kata sebelum akhirnya kembali fokus pada Monica. Gadis cantik kesayangan rumah bordilnya itu hanya terdiam sembari menunggu kelanjutan dari keputusan akhir Madam.“Aku sudah membuat tawaran, tapi pelanggan di kamar itu hanya menginginkan dirimu,” ujarnya membujuk Monica. Sementara gadis itu masih bungkam, badannya seperti remuk, suasana hati yang kacau membuatnya terlalu malas untuk bertempur di atas ranjang seperti biasa.“Tolong pikiran lagi, Monica! Dia berani membayar mahal atas dirimu. Tolong jangan sia-siakan kesempatan ini!”Ternyata benar, seistimewa apa pun perlakuan Madam padanya, tetap saja kalah jika dibandingkan dengan uang, rupiah memiliki tempat tersendiri di dalam diri Madam, bukankah harusnya ia juga sadar bahwa keberadaan