“Ada yang kau sembunyikan dari ibu ‘kan?” selidik Yuan. Ia tetap menatap mata Nathan untuk mendeteksi kebohongan. Nathan terdiam. Khawatir jika Monica juga akan disiksa Yuan sama seperti perlakuan mereka pada Arini. Ia tahu tugasnya, tapi tidak untuk dikerjakan sekarang Nathan butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. “Apa Arini membangkang lagi?” “Ibu, diamlah! Ini bukan tentang Arini. Nathan hanya punya masalah dengan pesaing perusahaan kita. Hanya itu saja,” kilahnya meyakinkan.Yuan diam. Entah tapi ia merasa Nathan sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Sebenarnya kedatangannya ke sini juga untuk itu, ingin meluruskan kejanggalan yang terjadi waktu dirinya masih berada di rumah sakit.“Kau yakin yang bersamamu itu adalah Arini?” “Apa maksud ibu?”“Nathan. Arini dibesarkan dengan tanganku juga. Ibu tahu seperti apa Arini, dia memang masih terlihat sopan, tapi Arini bukan tipikal wanita yang banyak bicara, bagaimana cara dia tersenyum, mengajak bercanda, dari mana Ari
Langit pekat sedikit menarik, membuat sepasang netra itu hanya memfokuskan pandangannya ke satu arah meski tak ada sedikit cahaya pun yang terlihat di cakrawala. Balkon atas diterpa angin sedingin salju, tapi gadis itu masih bergeming berdiri sembari mengeratkan pakaian tebalnya. “Ibu, entah seperti apa rupamu. Mungkin aku hanya akan merasakan rindu tanpa temu. Kata mereka ibu berhati lembut, bertutur kata halus, pribadi yang sabar dan patuh.” Tak terasa dua sudut matanya berair, untuk ke sekian kalinya ia lemah jika sudah mengingat ibunya, terlebih jika kenangan pahit itu terputar bak film lawas yang penuh derita, gadis kecil yang bermain saja seperti melakukan dosa besar, berapa banyak luka yang disembuhkan sendiri, mendapat tatapan iba dan kasihan dari tetangga.Sosok pria yang harusnya mengayomi dan menjadi cinta pertamanya, malah menuduh dirinya pembunuh dan pembawa sial, anak terkutuk yang mengancam nyawa hingga bidadarinya terbujur kaku, rasanya tidak pantas seorang bayi yang
Semua uang berada di ruangan pun terkejut, tak terkecuali Yuan sendiri. Melihat keberanian di mata Monica, ia memutuskan untuk berhenti mencari raut ketakutan yang dulu sering Arini tunjukkan padanya. Monica kembali berusaha mengendalikan diri, tetap memasang senyum dan menyuruh Yuan untuk berhenti bersikap seperti tak mengenalinya. “Ibu, aku berusaha memperbaiki semuanya. Tolong jangan memperbesar masalah yang seharusnya tidak menjadi masalah!”“Baiklah,” ucap Yuan akhirnya. Ia tak bisa terus menerus berdebat atau bahkan bertengkar dengan Monica, karena sejatinya yang ia hadapi bukan Arini. Untuk mencairkan suasana, Monica mengalihkan emosi Yuan dengan mengajaknya makan bersama. Sifatnya benar-benar jauh berbeda. Sekarang ia mulai sedikit memahami, Arini sejatinya bukan menantu kesayangan, justru dia gadis malang yang sering disiksa. Lalu, mengapa sikapnya begitu manis ketika berada di rumah sakit, bertingkah seolah ia paling mencintai Arini, dan seakan tak peduli pada darah daginy
Setelah Irish ke dapur, Nathan juga mulai beranjak dari tempatnya, membuat Monica sedikit menaruh curiga. Matanya memicing, tatapan intimidasi ia hadiahkan dan itu membuat Nathan harus memutar otak mencari alasan. “Mau ke mana?” selidik Monica.“Ke sudut mana pun yang aku mau. Ini rumahku ‘kan?” balas Nathan bersikap tak acuh. Monica memutar bola mata malas, dan memilih untuk berhenti bertanya, lagi pula arahnya bukan ke dapur. Tanpa sepengetahuan Monica, Nathan memutar balik arah dan menghampiri Irish. Ditariknya Irish agak sedikit bersembunyi, tangan kekarnya mencekal leher pelayan Monica itu dengan kejam, membuat Irish ketakutan dan hanya bisa menatap wajah jahatnya saja.“Jangan senang dulu karena berhasil menjaga jarak dariku! Aku tetap mengawasimu. Jika kau nekat membocorkan semua pada Monica, maka keluargamu yang akan jadi sasarannya. Kau paham?!” “I-iya. Tolong lepaskan aku, Tuan!”Nathan mendorong Irish, kemudian berlalu setelah puas membuatnya ketakutan. Monica uang kala
Yuan duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang sudah mulai memiliki kerutan di beberapa sisi. Memang masih terlihat cantik, tapi kerutan di wajahnya sedikit mengganggu. Pantulan wajahnya terlihat menahan amarah."Arghhh!!!" Yuan menghamburkan semua kosmetik di atas meja, membuat kamar menjadi berantakan. Kedua tangan mengepal sempurna, rasa sakit hati, dendam, dan benci berbaur menjadi satu."Awas kau, Arini! Harusnya kau tak bersikap seperti ini pada Yuan. Sepertinya dia lupa satu hal, dia bahkan pernah mencium kakiku seperti hewan. Aku berjanji pada diriku sendiri, akan membuatnya sadar akan posisi dia yang seharusnya."Yuan geram.Ia kembali teringat dengan adegan mesra putranya dan juga Arini. Sekarang dirinya seperti berhadapan dengan Arini dalam versi pemberani, terlebih Nathan yang kin cenderung berpihak pada Arini. Ia sudah tak bisa diprovokasi olehnya. Nathan benar-benar berubah, tak peduli dengan janjinya yang akan menyakiti Arini sampai wanita itu lenyap dari muka bu
Ayunan samping rumah bergerak perlahan, seiring dengan gerakan yang dibuat Monica sendiri. Pikirannya kembali menerawang jauh, ia merasa seperti ada sesuatu yang harus ia cari tahu di sini, Monica yakin kedatangannya ke tempat ini bukan sebuah kebetulan. Terlebih ia adalah orang yang penasaran dengan apa pun yang mengganjal di hatinya. Dress putih selutut tanpa lengan itu membalut tubuh indahnya, tanpa riasan membuat wajahnya semakin mirip dengan Arini yang asli, rambut panjang sepinggang sedikit bergelombang itu dimainkan angin lembut sore hari. Tiba-tiba sesuatu mengenai pelipisnya membuat Monica meringis kesakitan sambil memegang pelipisnya tadi.“Aduh!!”Siluet perempuan berlari menjauh, dan menghilang di balik gerbang.“Hey! Mau lari ke mana kau? Jangan lari!” teriaknya tapi tak mampu membuat wanita itu menghentikan larinya sama sekali. Monica terdiam terus menatap ke arah gerbang sembari berusaha mengingat sesuatu.“Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu, tapi di mana?”
“Monica, keluar kamu!”Nathan berteriak memanggil Monica, wajahnya bersungut marah. Dia adalah lelaki yang tak terima jika dipermalukan, dan Monica baru saja melakukan hal itu kepadanya. Monica yang tadinya bersiap untuk istirahat sebentar pun merasa terganggu dengan teriakan Nathan.“Heh! Di mana majikanmu?” Pelayan wanita itu hanya menunduk takut dan tak menjawab pertanyaan Nathan sama sekali. Jelas saja itu membuatnya kesal. Hampir saja dia menghampiri untuk memberinya pelajaran, suara langkah kaki menuruni tangga menghentikan aksinya.“Apa seperti ini cara tamu berkunjung ke rumah orang?” Nathan membuang napas berat, menatap Monica yang memilih duduk di kursi dan terus menatapnya.“Ada perlu apa kau ke sini?”“Siapa pria tadi?”Bukannya menjawab pertanyaan Monica, ia malah balik bertanya, dan itu langsung memancing tawa Monica. Melihat respons Monica yang seperti itu membuat Nathan semakin terpancing amarah. Dia merasa Monica sudah menginjak harga dirinya.“Jangan lupa Monica!
“Setelah ini kau akan ke mana, Arini?” tanya William.“Berbelanja. Kenapa? Kau ingin menemaniku?” tanya Monica membuat William kikuk. Arini tak pernah seberani ini sebelumnya.“Tapi, Nathan, ...”“Dia tidak bersamaku, William.”“Baiklah jika kau mengizinkan.”Keduanya berjalan beriringan. Meski banyak perubahan yang ada di dalam diri Arini, setidaknya ia senang karena Arini yang sekarang jauh lebih terbuka dan ceria, gadis yang dulunya sering berlindung di balik punggungnya jika diganggu Nathan juga Ambar, yang kerap ia gendong keliling rumah ketika menangis kencang atau sekedar menenangkannya, ketika ia disakiti Yuan dan adik-adiknya. Setelah puas berbelanja, William mengantar Monica ke tempat parkir mobil. Sebenarnya ia ingin bertanya sejak kapan Arini bisa menyetir sendiri, terlebih dulu waktunya hanya dihabiskan di dalam rumah karena ulah Nathan, tapi lebih baik dia diam, mungkin saja selama melakukan pengobatan, Nathan juga mengajarinya menyetir, bukankah tadi Arini bilang kalau
Ponsel Monica berdering lagi, panggilan dari William. Wanita keras kepala itu memilih tak acuh, persetan dengan penjelasan yang tak masuk akal, ia benci karena William mengambil keputusan secara sepihak.Setelah beberapa panggilan ia lewatkan, satu pesan masuk dari William. Dengan enggan ia pun membacanya.[Aku tahu kau marah. Tapi aku sama sekali tak membebaskan Nathan, ia murni dibebaskan karena sikap baik dan juga sering disakiti di dalam sel sampai hampir mati, itu yang aku dengar dari penjelasan polisi. Awalnya aku juga tak mau menampung Nathan, tapi dia tak punya rumah dan sepeser pun harta, aku bertemu dengannya di tengah jalan dalam keadaan pingsan.]"Pembohong besar," sungut Monica. Satu pesan susulan masuk lagi.[Kau boleh memaki, atau bahkan menghancurkan wajahku. Tapi, Monica. Aku hanya bersikap sebagai seorang kakak, hanya dia yang dibebaskan, bukan ibu atau pun Ambar. Untuk keamanan dua keponakanku, aku juga tak berniat memberitahukannya pada Nathan, keputusan ada di tan
Edward, apa kau sudah menemukan informasi tentang Daddy?" Edgard masuk dan duduk di sebelah Edward, anak itu begitu sibuk dengan laptop di hadapan, sesekali membenarkan kacamata. Tangannya bergerak lancar di tombol, menemukan beberapa informasi penting yang sekiranya berguna. Edward menggeleng lemah, menciptakan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah Edgard. Edgard melipat kedua tangan di meja, kemudian menjadikannya penyangga dagu. "Kapan kita akan bertemu Daddy?" Edward terlihat serius dan belum menyerah, ia yakin masih ada petunjuk lain. Keduanya terus menjalin komunikasi dengan William dan juga Sean, yang berulang kali mengatakan jika dirinya begitu merindukan kedua cucunya tersebut. "Entah. Padahal keluarga Daddy sangat mudah dikenal, tapi mendapatkan potretnya saja terasa sulit. Apa mungkin semua informasi tentang Daddy terhapus dari media?" sahut Edward. Edgard berpikir keras. Ia tak yakin jika ayah kandung mereka mirip dengan William, bisa saja ayahnya jauh lebih
"Baguslah kau sudah bangun. Setelah ini aku akan mengantarmu kembali ke kantor polisi, aku juga tak ingin menampung buronan terlalu lama," ujar William yang berdiri sembari bersandar pada pintu. Nathan menoleh, tak menyangka ia sekarang berada di rumah kakak kandungnya. Sedari tadi dia berusaha mencari tempat berlindung, dan takdir masih memihak padanya, ia bertemu dengan salah satu keluarga, setidaknya Nathan bersyukur karena tak akan terlantar di jalanan. Melihat Nathan yang tersenyum malah membuat William muak, ia tak pernah melihat adik laki-lakinya itu tersenyum bahkan untuk menghormati dirinya yang lebih tua saja tidak ia lakukan. Sejak kecil Nathan adalah adik yang menyebalkan, yang selalu menempatkannya ke dalam masalah. "Kau pikir dengan senyum palsu mu itu bisa merayuku? Lupakan dan cepat pergi dari sini!" usirnya terang-terangan. "Kak, ..." William terkejut. Pertama kalinya ia mendengar panggilan Kakak dari bibir Nathan. Tapi William tak boleh terkecoh, bisa saja ini a
"Saudara Nathan, Anda dibebaskan!"Nathan yang masih terbatuk darah itu terlihat lemas, tak terhitung sudah ribuan kali ia dihajar selama di tahan, padahal ia sudah kerap berganti ruangan sel, tapi semuanya terasa mengancam nyawa. Nathan bahkan tak pernah melakukan perlawanan, ia sama sekali tak diberi kesempatan untuk membela diri, dan itu juga yang membuatnya masa tahanannya dikurangi, atau Nathan akan benar-benar mati konyol di dalam sel."Nasib baik kau bisa keluar dari sini. Tapi kau tahu, namamu sudah buruk di luar sana."Pria kekar itu kembali menghantam wajahnya, sebelum petugas kepolisian menarik Nathan keluar. Ia pingsan, dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sementara Yuan, tiga tahun yang lalu ia mati di dalam sel karena kesehatan fisiknya menurun, dan Nathan belum mengetahui kebenaran tersebut karena sel mereka terpisah. Cukup lama ia terbaring, setelah dilakukan serangkaian perawatan, Nathan terbangun dengan suara batuknya. Ya, paru-parunya bermasalah dan harus seger
"Edward, apa kau sudah menemukan informasi tentang Daddy?" Edgard masuk dan duduk di sebelah Edward, anak itu begitu sibuk dengan laptop di hadapan, sesekali membenarkan kacamata. Tangannya bergerak lancar di tombol, menemukan beberapa informasi penting yang sekiranya berguna. Edward menggeleng lemah, menciptakan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah Edgard. Edgard melipat kedua tangan di meja, kemudian menjadikannya penyangga dagu. "Kapan kita akan bertemu Daddy?" Edward terlihat serius dan belum menyerah, ia yakin masih ada petunjuk lain. Keduanya terus menjalin komunikasi dengan William dan juga Sean, yang berulang kali mengatakan jika dirinya begitu merindukan kedua cucunya tersebut. "Entah. Padahal keluarga Daddy sangat mudah dikenal, tapi mendapatkan potretnya saja terasa sulit. Apa mungkin semua informasi tentang Daddy terhapus dari media?" sahut Edward. Edgard berpikir keras. Ia tak yakin jika ayah kandung mereka mirip dengan William, bisa saja ayahnya jauh lebih
6 Bulan kemudian ... Ruang operasi menampakkan beberapa orang yang terlihat sibuk, dengan kepanikan luar biasa. Pasien wanita terbaring lemah tak sadarkan diri setelah disuntikan bius. Banyak darah yang terbuang dan membuatnya membutuhkan transfusi darah. Untungnya tidak terlalu sulit. Setelah satu masalah selesai, operasi persalinan mulai dilakukan, semuanya siap dengan tugas masing-masing. Tak ada keluarga yang menunggu, pasien itu datang seorang diri dan mengurus semuanya sendiri. Waktu operasi memakan waktu selama dua jam, dua bayi kembar berhasil diselamatkan. Beberapa orang di ruangan itu bernapas lega, sebelum akhirnya memindahkan pasien tersebut ke ruang rawat khusus selama masa pemulihan. Perawat pria masuk untuk mengecek kondisinya, menyuntikkan sesuatu pada cairan infus dan menatap pasiennya cukup lama. "Kau memang wanita yang hebat. Aku harap, setelah ini kau hanya akan mendapatkan kebahagian yang tak berujung," ujarnya lirih. Di balik masker bibirnya terseny
Kedatangan Sean dan William tentu saja disambut baik oleh Budi, pria itu turut senang ketika mengetahui kedatangan keduanya yang bermaksud untuk melamar Arini. Dari yang ia dengar dari anak-anaknya, Sean dan William adalah orang baik yang mengasingkan diri dan juga kerap melindungi Arini.Budi beruntung hal-hal baik masih menimpa dirinya, andai saja Arumi masih hidup, pasti istrinya akan sangat bahagia. Arini pun tak keberatan dan menerima lamaran William, meski mereka berdua juga heran ke mana perginya Monica, William hanya memberitahu jika Monica sedang ada urusan bisnis di luar negeri selama beberapa tahun ke depan, dan tidak bisa diganggu untuk sementara waktu.Satu bulan setelah kedatangan William, mereka benar-benar menikah, dan memutuskan untuk tetap menetap di desa, lagi pula William juga menyukai suasana di sana, meski sesekali mengurus pekerjaan di kota, ia tetap tak lupa pada tanggung jawabnya."Sayang, masak apa hari ini?"Tangan kekar William melingkar di pinggang ramping
"Selamat, ya! Usia kehamilan Anda sudah memasuki tiga bulan." Bagaimana tersambar petir, ini kabar yang tidak ingin ia dengar. Monica semakin panik, tapi berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan emosinya sendiri. Ingin marah pada siapa? Nathan? Pria itu sudah mendekam di penjara. "Dokter yakin ini hasil akhirnya?" Dokter tersebut tersenyum. Ia malah menawarkan tes USG, akhirnya Monica menyetujui. Dan hasilnya, ia bisa melihat dengan jelas wujud makhluk kecil di dalam perutnya. Refleks ia menangis, membuat dokter berpikir jika Monica hanya terharu. Ia pergi, dengan perasaan yang entah. Karena tak percaya, ia memutuskan untuk mengecek kandungannya di beberapa rumah sakit kota dan hasilnya tetap sama. Di dalam mobil pikirannya entah ke mana. Monica meremas kuat perutnya, berharap makhluk tak berdosa itu segera pergi dan hancur di dalam sana. Ia memukul beberapa kali tapi berakhir dengan suara tangis yang menggema di seisi mobil. Malam semakin larut, sementara dirinya ma
Pintu tiba-tiba terbuka, beberapa orang berseragam datang menerobos masuk secara paksa ke ruangan Nathan. "Apa-apaan ini? Kalian bersikap tidak sopan di tempatku," bentak Nathan garang. "Angkat tangan dan jangan bergerak! Anda ditangkap atas kasus penganiayaan yang dilakukan terhadap saudari Arini." Nathan langsung menoleh cepat ke arah Monica. Wanita itu memasang wajah sedih dan juga air mata palsunya. "Pak, ini pasti hanya salah paham. Tolong jangan tangkap suami saya!" "Maaf, Bu. Barang bukti sudah ada di kantor polisi. Jika ingin menjelaskan lebih lanjut, silahkan ke kantor polisi. "Sayang, apa ini rencanamu?" Monica yang tadinya nangis malah tersenyum miring. Buru-buru ia mengganti ekspresi dan berbicara mengiba pada beberapa anggota itu. "Bolehkah saya memeluknya dulu?" Mereka saling adu tatap seperti meminta persetujuan, atau mungkin keheranan. Karena sebagai korban, Monica dianggap terlalu baik pada suaminya. "Baiklah. Satu menit!" Monica tersenyum antus