Langit pekat sedikit menarik, membuat sepasang netra itu hanya memfokuskan pandangannya ke satu arah meski tak ada sedikit cahaya pun yang terlihat di cakrawala. Balkon atas diterpa angin sedingin salju, tapi gadis itu masih bergeming berdiri sembari mengeratkan pakaian tebalnya. “Ibu, entah seperti apa rupamu. Mungkin aku hanya akan merasakan rindu tanpa temu. Kata mereka ibu berhati lembut, bertutur kata halus, pribadi yang sabar dan patuh.” Tak terasa dua sudut matanya berair, untuk ke sekian kalinya ia lemah jika sudah mengingat ibunya, terlebih jika kenangan pahit itu terputar bak film lawas yang penuh derita, gadis kecil yang bermain saja seperti melakukan dosa besar, berapa banyak luka yang disembuhkan sendiri, mendapat tatapan iba dan kasihan dari tetangga.Sosok pria yang harusnya mengayomi dan menjadi cinta pertamanya, malah menuduh dirinya pembunuh dan pembawa sial, anak terkutuk yang mengancam nyawa hingga bidadarinya terbujur kaku, rasanya tidak pantas seorang bayi yang
Semua uang berada di ruangan pun terkejut, tak terkecuali Yuan sendiri. Melihat keberanian di mata Monica, ia memutuskan untuk berhenti mencari raut ketakutan yang dulu sering Arini tunjukkan padanya. Monica kembali berusaha mengendalikan diri, tetap memasang senyum dan menyuruh Yuan untuk berhenti bersikap seperti tak mengenalinya. “Ibu, aku berusaha memperbaiki semuanya. Tolong jangan memperbesar masalah yang seharusnya tidak menjadi masalah!”“Baiklah,” ucap Yuan akhirnya. Ia tak bisa terus menerus berdebat atau bahkan bertengkar dengan Monica, karena sejatinya yang ia hadapi bukan Arini. Untuk mencairkan suasana, Monica mengalihkan emosi Yuan dengan mengajaknya makan bersama. Sifatnya benar-benar jauh berbeda. Sekarang ia mulai sedikit memahami, Arini sejatinya bukan menantu kesayangan, justru dia gadis malang yang sering disiksa. Lalu, mengapa sikapnya begitu manis ketika berada di rumah sakit, bertingkah seolah ia paling mencintai Arini, dan seakan tak peduli pada darah daginy
Setelah Irish ke dapur, Nathan juga mulai beranjak dari tempatnya, membuat Monica sedikit menaruh curiga. Matanya memicing, tatapan intimidasi ia hadiahkan dan itu membuat Nathan harus memutar otak mencari alasan. “Mau ke mana?” selidik Monica.“Ke sudut mana pun yang aku mau. Ini rumahku ‘kan?” balas Nathan bersikap tak acuh. Monica memutar bola mata malas, dan memilih untuk berhenti bertanya, lagi pula arahnya bukan ke dapur. Tanpa sepengetahuan Monica, Nathan memutar balik arah dan menghampiri Irish. Ditariknya Irish agak sedikit bersembunyi, tangan kekarnya mencekal leher pelayan Monica itu dengan kejam, membuat Irish ketakutan dan hanya bisa menatap wajah jahatnya saja.“Jangan senang dulu karena berhasil menjaga jarak dariku! Aku tetap mengawasimu. Jika kau nekat membocorkan semua pada Monica, maka keluargamu yang akan jadi sasarannya. Kau paham?!” “I-iya. Tolong lepaskan aku, Tuan!”Nathan mendorong Irish, kemudian berlalu setelah puas membuatnya ketakutan. Monica uang kala
Yuan duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang sudah mulai memiliki kerutan di beberapa sisi. Memang masih terlihat cantik, tapi kerutan di wajahnya sedikit mengganggu. Pantulan wajahnya terlihat menahan amarah."Arghhh!!!" Yuan menghamburkan semua kosmetik di atas meja, membuat kamar menjadi berantakan. Kedua tangan mengepal sempurna, rasa sakit hati, dendam, dan benci berbaur menjadi satu."Awas kau, Arini! Harusnya kau tak bersikap seperti ini pada Yuan. Sepertinya dia lupa satu hal, dia bahkan pernah mencium kakiku seperti hewan. Aku berjanji pada diriku sendiri, akan membuatnya sadar akan posisi dia yang seharusnya."Yuan geram.Ia kembali teringat dengan adegan mesra putranya dan juga Arini. Sekarang dirinya seperti berhadapan dengan Arini dalam versi pemberani, terlebih Nathan yang kin cenderung berpihak pada Arini. Ia sudah tak bisa diprovokasi olehnya. Nathan benar-benar berubah, tak peduli dengan janjinya yang akan menyakiti Arini sampai wanita itu lenyap dari muka bu
Ayunan samping rumah bergerak perlahan, seiring dengan gerakan yang dibuat Monica sendiri. Pikirannya kembali menerawang jauh, ia merasa seperti ada sesuatu yang harus ia cari tahu di sini, Monica yakin kedatangannya ke tempat ini bukan sebuah kebetulan. Terlebih ia adalah orang yang penasaran dengan apa pun yang mengganjal di hatinya. Dress putih selutut tanpa lengan itu membalut tubuh indahnya, tanpa riasan membuat wajahnya semakin mirip dengan Arini yang asli, rambut panjang sepinggang sedikit bergelombang itu dimainkan angin lembut sore hari. Tiba-tiba sesuatu mengenai pelipisnya membuat Monica meringis kesakitan sambil memegang pelipisnya tadi.“Aduh!!”Siluet perempuan berlari menjauh, dan menghilang di balik gerbang.“Hey! Mau lari ke mana kau? Jangan lari!” teriaknya tapi tak mampu membuat wanita itu menghentikan larinya sama sekali. Monica terdiam terus menatap ke arah gerbang sembari berusaha mengingat sesuatu.“Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu, tapi di mana?”
“Monica, keluar kamu!”Nathan berteriak memanggil Monica, wajahnya bersungut marah. Dia adalah lelaki yang tak terima jika dipermalukan, dan Monica baru saja melakukan hal itu kepadanya. Monica yang tadinya bersiap untuk istirahat sebentar pun merasa terganggu dengan teriakan Nathan.“Heh! Di mana majikanmu?” Pelayan wanita itu hanya menunduk takut dan tak menjawab pertanyaan Nathan sama sekali. Jelas saja itu membuatnya kesal. Hampir saja dia menghampiri untuk memberinya pelajaran, suara langkah kaki menuruni tangga menghentikan aksinya.“Apa seperti ini cara tamu berkunjung ke rumah orang?” Nathan membuang napas berat, menatap Monica yang memilih duduk di kursi dan terus menatapnya.“Ada perlu apa kau ke sini?”“Siapa pria tadi?”Bukannya menjawab pertanyaan Monica, ia malah balik bertanya, dan itu langsung memancing tawa Monica. Melihat respons Monica yang seperti itu membuat Nathan semakin terpancing amarah. Dia merasa Monica sudah menginjak harga dirinya.“Jangan lupa Monica!
“Setelah ini kau akan ke mana, Arini?” tanya William.“Berbelanja. Kenapa? Kau ingin menemaniku?” tanya Monica membuat William kikuk. Arini tak pernah seberani ini sebelumnya.“Tapi, Nathan, ...”“Dia tidak bersamaku, William.”“Baiklah jika kau mengizinkan.”Keduanya berjalan beriringan. Meski banyak perubahan yang ada di dalam diri Arini, setidaknya ia senang karena Arini yang sekarang jauh lebih terbuka dan ceria, gadis yang dulunya sering berlindung di balik punggungnya jika diganggu Nathan juga Ambar, yang kerap ia gendong keliling rumah ketika menangis kencang atau sekedar menenangkannya, ketika ia disakiti Yuan dan adik-adiknya. Setelah puas berbelanja, William mengantar Monica ke tempat parkir mobil. Sebenarnya ia ingin bertanya sejak kapan Arini bisa menyetir sendiri, terlebih dulu waktunya hanya dihabiskan di dalam rumah karena ulah Nathan, tapi lebih baik dia diam, mungkin saja selama melakukan pengobatan, Nathan juga mengajarinya menyetir, bukankah tadi Arini bilang kalau
Suara mesin di dalam ruangan terdengar mencekam, dan wanita yang berstatus istrinya itu terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan di hidungnya, belum lagi selang infus yang melekat pada punggung tangan Monica. Melihat keadaan Monica sekarang, jujur saja membangkitkan rasa sesal dalam diri Nathan.Tadi ia menemukan Monica dalam keadaan tak sadarkan diri, ternyata Monica mengalami kecelakaan kecil dengan menabrak pohon dipinggir taman, untungnya tak ada kendaraan yang lalu lalang di sekitar tempat kejadian. Sedikit perban menempel di dahi. Apa sebegitu tersiksanya dia dengan sikap Nathan semalam, sampai akhirnya tak fokus dan menabrak sesuatu begini.“Ini semua karena William!” Nathan mengepalkan kedua tangan, ia harus memberi William pelajaran agar tak mengusik Monica lagi. Setelah menitipkan Monica pada perawat, ia langsung bergegas pergi ke perusahaan William. Pagi-pagi sekali pasti kakaknya sudah bergelut dengan pekerjaannya. Pria tampan itu terus masuk tanpa menghiraukan ucapa
"Di mana Adam?" William baru saja masuk rumah, padahal ia sudah sengaja pulang saat malam semakin larut, tapi ternyata Arini belum juga tertidur. Matanya sembao seperti baru habis menangis. "Dia pasti sibuk dengan urusannya, Sayang." William mencoba berkelit seperti tak tahu apa pun. "Katakan di mana Adam! Apa dia masih berani menunjukkan muka setelah apa yang ia lakukan?" William terdiam. Ia yakin cepat atau lambat kabar ini akan tersebar. Arini terduduk di sofa dengan tatapan kosong. Ibu mana yang tak sakit hati ketika tahu, bahwa putranya melakukan kejahatan. "Aku sudah membesarkan pembunuh," lirihnya sedih. Air mata yang sejak tadi kering perlahan turun dan membasahi pipi. "Monica begitu menjaga dan melindungi aku dari bahaya, tapi aku malah melahirkan pembunuh untuk mencelakai putranya. Ibu macam apa aku ini?" William mendekat dan mendekap Arini penuh sayang. "Padahal sebentar lagi Allea akan menikah, tapi ketika mendengar kabar Adam menjadi pembunuh yang hampir membuat
William yang saat itu berada di laboratorium, mengecek sidik jari yang mereka temukan, tidak menyangka jika ternyata sidik jari itu milik Adam. Akhirnya tanpa membuang waktu, ia segera menghubungi Nathan dan Edgard, menceritakan semuanya tanpa mengabari Arini, istrinya pasti akan sangat khawatir dan ia tentu saja tak ingin hal itu terjadi. "Ayah kecewa padamu," lirih William yang seperti kehilangan semangatnya. Adam menatap William yang menunjukkan raut kecewanya yang jelas. "Ayah dan Ibu tak pernah mengajarimu menjadi pemberontak dan pembunuh, kau ditempatkan di posisi paling aman karena ibumu sangat menyayangimu. Sejak kecil, kau dan Allea adalah hidupnya." "Ayah, aku melakukan ini karena iri pada Edward, mengapa ia bisa dipilih menjadi orang paling berpengaruh sementara aku tidak?" William membuang napas berat. "Itu hak kakekmu, dia yang pebih tahu siapa yang paling kuat dan tangguh, tapi bukan berarti dirimu tidak mampu. Aku, ayahmu pernah mengajukan dirimu sebagai cucu pal
"Apa maksud semua ini, hah? Jujur, paman pasti kecewa ketika tahu siapa dalang di balik semua ini." Pria yang ternyata adalah Adam itu tertawa jahat, ia bersusah payah berdiri, menatap Edward yang sepertinya syok, tapi Adam tak peduli. Ia jujur sangat membenci Edward. "Bibi dan paman adalah orang baik, mereka tak pernah gagal dalam mendidik dirimu. Kenapa harus berjalan menjadi musuh? Jika kau memang tertarik dengan dunia misi, harusnya mengajukan diri menjadi satu kelompok yang utuh, bukan malah menjadi musuh. Aku tak ingin ada pertumpahan darah di keluarga kita, Adam." "Diam kau munafik! Apa kau tak sadar jika semua ini bermula dari dirimu?" Edward semakin kebingungan, ia heran mengapa bisa Adam berpikir seperti itu, padahal selama ini hubungan mereka baik-baik saja. Adam si sibuk kerja menjadi arsitek muda, sampai jarang memiliki waktu bersama keluarganya. Tiba-tiba jadi seperti ini. "Kau yang berhasil menjadi pusat perhatian, keamananmu sangat dijaga, bahkan ayahku sangat meli
"Sial! Edward sok pintar itu selalu bisa menemukan celah. Tidak! Dia pikir akan mudah menangkapku?" Pria dengan topeng perak itu duduk di kursi, sebuah ruangan temaram dengan banyak layar monitor di sekitar menjadi tempat paling nyaman, tempat di mana tak satu pun orang yang berhasil mendeteksi keberadaannya. Tapi telepon milik salah satu anak buahnya tidak sengaja menunjukkan poisis terakhirnya saat ini. Pria yang dikenal sebagai Max itu sudah mempersiapkan ini sejak awal, ia memiliki banyak tempat pelarian, dan ia yakin sepintar apa pun Edward, tidak akan bisa menemukan dirinya dengan mudah. Pundi-pundi rupiah dan emas batangan menumpuk di mana-mana, hampir semua titik menjadi tempat persembunyian uang hasil penjualan organ manusia, dan itu ia lakukan dengan rapi sekali. Sayangnya beberapa kacungnya ceroboh, hingga mampu terendus oleh hidung tajam Edward. "Aku memang memiliki banyak kesempatan untuk membunuhmu, tapi aku tidak melakukan itu sekarang." Kedua tangannya mengepal k
"Ngga bisa dibiarkan! Ali just my mine, not her. Argh, shit!" Bianca sibuk memaki. Napasnya sesak, sedari dulu ia memang menginginkan Ali, melakukan seribu satu cara untuk mendekatkan diri dengan Aliando, tapi nyatanya sejak masuk di bangku kuliah, Allea dengan lancang masuk ke hati Ali, gadis sialan itu bahkan mencuri perhatian orang tua Ali, jalannya begitu mulus, sekali pun ia menghasut agar Allea dibenci, tapi dokter cantik itu seperti tak memiliki celah untuk membuktikan keburukan Allea. Bianca pulang dengan rasa kesal, di kamar ia meminum banyak pil dengan asal, atanya berkunang-kunang, bayangan masa kecil dengan puing-puing kenangan bersama Ali berputar di benaknya. Mata hingga pipinya basah. Ia memang bisa mendapatkan segalanya. Harta, kecantikan, perhatian kedua orang tuanya, tapi ia ditakdirkan memiliki penyakit kronis yang membuatnya harus bergantung sepenuhnya pada obat-obatan, bahkan menjadikan Ali semangatnya untuk sembuh. Selama ini berusaha kuat dan sehat, karena
"Konsep pernikahannya bagus, ya." Allea dan dokter muda bernama Aliando duduk di sebuah meja yang tak jauh dari tempat Evelyn dan Leo berada, mereka juga melihat langsung keributan yang baru saja tercipta, tapi tak satu pun dari keluarga Evelyn yang turun tangan untuk mengatasinya, mereka memilih berpura-pura buta dan tuli. Lagi pula ini acara sakral Edgard, jika mereka ikut turun tangan membela Evelyn, masalah akan semakin panjang, toh semua masalah sudah selesai dengan cepat karena Evelyn memang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. "Iya, bagus. Jadi, kapan kau siap menikah? Aku akan siapkan konsep pernikahan yang lebih meriah dari ini," balas Ali semringah. Allea membatu sesaat, kemudian menatap ke arah pelaminan lagi, di mana sepasang raja dan ratu sehari itu berada. Ia memang sudah dilamar, cincin terpasang sempurna, tapi untuk menentukan kapan hari pernikahannya sendiri pun ia tak tahu. Allea menyimpan masalahnya sendiri. Padahal ia terlahir dari keluarga cemara, tak ada
Semua persiapan pernikahan sudah siap, sesuai dengan pilihan Tasya, bahkan rumah impian Tasya juga sudah ditentukan. Akhirnya hari yang ditunggu Edgard pun datang, ia sudah rapi dengan pakaian formalnya, menunggu dengan gagah, meski sejatinya ia tampak gelisah, sejak melamar Tasya, ia tak melihat bahkan berbicara dengan Edward. Pria itu sedang sibuk dengan misi berbahaya tanpa melibatkan dirinya. Mungkin Edward memang kuat, karena ia adalah orang yang ditunjuk langsung oleh Sean, hanya saja sekuat apa pun Edward, ia tetap was-was dan memiliki firasat bahwa Edward dalam bahaya, mungkin karena mereka adalah kembar, jadi bisa merasakan kesakitan satu sama lain meski dari jarak jauh sekali pun. "Ayo, Tuan!" Sopir pribadi membuka pintu mobil. Tapi kaki Edgard rasanya berat, ia kembali menghubungi Edward meski nihil. Lokasi kejadiannya pun ada di sebuah pulau, bagaimana bisa William dan Edward berjuang sendirian mencari dalang dari sindikat perdagangan manusia tersebut. "Sepuluh meni
"Jadi, kamu ngerasa jadi Mommy itu melelahkan?"Evelyn mengangguk mantap."Ok, Mommy bahas satu persatu. Jadi ibu itu menyenangkan, bisa mengurus rumah, anak, suami, itu hal yang menyenangkan. Daddy juga ngga pernah maksa Mommy buat ngerjain semuanya, lihat kan Daddy sesekali bantuin. Pernah juga bahkan sering Daddy nyuruh Mommy nyari ART, biar mommy cuman fokus ngurus Daddy sama kalian, tapi Mommy ngga mau. Intinya menikah dan menjadi istri itu menyenangkan. Dulu, Mommy juga ngga bisa apa-apa, yang pintar masak itu Tante Arini, tapi lambat Laun Mommy belajar tapi Daddy ngga pernah maksa."Evelyn masih terdiam menyimak."Intinya yang paling penting adalah, menikahlah dengan lelaki yang tepat, agar rumah tangga tidak menjadi beban untukmu. Dan menurut Mommy Leo baik, Leo pilihan yang tepat, dia juga anak tunggal, dia sayang banget sama kamu. Waktu kamu masih bayi aja, dia pernah nyium pipi kamu, terus ngomong nanti mau kalau udah gede mau jadi suami kamu.""Hah? Masa gitu sih, Mom?""I
"Ya Tuhan, Tasya mengirim pesan ini?"Edgard hampir saja terjungkal dari kasur, geraknya terlalu over sampai ia tak sadar diri sudah bergerak seabsurd ini. Edgard memang sengaja pulang lebih awal dan mampir di rumah Edward, saat Tasya pulang. Ia menunggu Edward dengan tidak sabaran. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan tentunya, dan meminta pendapat bagaimana dengan keputusan besar yang akan ia ambil, apa sudah benar. Kamar Edward menjadi markas ternyaman. Ia membaca pesan berulang kali dan tersenyum senang. Akhirnya kembali membuka file gambar yang hanya berisi foto Tasya. Gadis yang memikat hatinya sejak lama.Suara gemuruh mobil berhenti di depan rumah membuatnya semakin bersemangat, itu Edward, kakaknya yang kehilangan jodoh entah ke mana.Ia sedikit terkejut melihat mobil Edgard terparkir di sana. Akhirnya, pria itu masuk ke kamar, dan sedikit terkejut melihat adik kembarnya tersenyum sendiri sembari menatap kaca."Heh, apa yang terjadi denganmu?"Edgard tak menjawab dan lang