Semua uang berada di ruangan pun terkejut, tak terkecuali Yuan sendiri. Melihat keberanian di mata Monica, ia memutuskan untuk berhenti mencari raut ketakutan yang dulu sering Arini tunjukkan padanya. Monica kembali berusaha mengendalikan diri, tetap memasang senyum dan menyuruh Yuan untuk berhenti bersikap seperti tak mengenalinya. “Ibu, aku berusaha memperbaiki semuanya. Tolong jangan memperbesar masalah yang seharusnya tidak menjadi masalah!”“Baiklah,” ucap Yuan akhirnya. Ia tak bisa terus menerus berdebat atau bahkan bertengkar dengan Monica, karena sejatinya yang ia hadapi bukan Arini. Untuk mencairkan suasana, Monica mengalihkan emosi Yuan dengan mengajaknya makan bersama. Sifatnya benar-benar jauh berbeda. Sekarang ia mulai sedikit memahami, Arini sejatinya bukan menantu kesayangan, justru dia gadis malang yang sering disiksa. Lalu, mengapa sikapnya begitu manis ketika berada di rumah sakit, bertingkah seolah ia paling mencintai Arini, dan seakan tak peduli pada darah daginy
Setelah Irish ke dapur, Nathan juga mulai beranjak dari tempatnya, membuat Monica sedikit menaruh curiga. Matanya memicing, tatapan intimidasi ia hadiahkan dan itu membuat Nathan harus memutar otak mencari alasan. “Mau ke mana?” selidik Monica.“Ke sudut mana pun yang aku mau. Ini rumahku ‘kan?” balas Nathan bersikap tak acuh. Monica memutar bola mata malas, dan memilih untuk berhenti bertanya, lagi pula arahnya bukan ke dapur. Tanpa sepengetahuan Monica, Nathan memutar balik arah dan menghampiri Irish. Ditariknya Irish agak sedikit bersembunyi, tangan kekarnya mencekal leher pelayan Monica itu dengan kejam, membuat Irish ketakutan dan hanya bisa menatap wajah jahatnya saja.“Jangan senang dulu karena berhasil menjaga jarak dariku! Aku tetap mengawasimu. Jika kau nekat membocorkan semua pada Monica, maka keluargamu yang akan jadi sasarannya. Kau paham?!” “I-iya. Tolong lepaskan aku, Tuan!”Nathan mendorong Irish, kemudian berlalu setelah puas membuatnya ketakutan. Monica uang kala
Yuan duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang sudah mulai memiliki kerutan di beberapa sisi. Memang masih terlihat cantik, tapi kerutan di wajahnya sedikit mengganggu. Pantulan wajahnya terlihat menahan amarah."Arghhh!!!" Yuan menghamburkan semua kosmetik di atas meja, membuat kamar menjadi berantakan. Kedua tangan mengepal sempurna, rasa sakit hati, dendam, dan benci berbaur menjadi satu."Awas kau, Arini! Harusnya kau tak bersikap seperti ini pada Yuan. Sepertinya dia lupa satu hal, dia bahkan pernah mencium kakiku seperti hewan. Aku berjanji pada diriku sendiri, akan membuatnya sadar akan posisi dia yang seharusnya."Yuan geram.Ia kembali teringat dengan adegan mesra putranya dan juga Arini. Sekarang dirinya seperti berhadapan dengan Arini dalam versi pemberani, terlebih Nathan yang kin cenderung berpihak pada Arini. Ia sudah tak bisa diprovokasi olehnya. Nathan benar-benar berubah, tak peduli dengan janjinya yang akan menyakiti Arini sampai wanita itu lenyap dari muka bu
Ayunan samping rumah bergerak perlahan, seiring dengan gerakan yang dibuat Monica sendiri. Pikirannya kembali menerawang jauh, ia merasa seperti ada sesuatu yang harus ia cari tahu di sini, Monica yakin kedatangannya ke tempat ini bukan sebuah kebetulan. Terlebih ia adalah orang yang penasaran dengan apa pun yang mengganjal di hatinya. Dress putih selutut tanpa lengan itu membalut tubuh indahnya, tanpa riasan membuat wajahnya semakin mirip dengan Arini yang asli, rambut panjang sepinggang sedikit bergelombang itu dimainkan angin lembut sore hari. Tiba-tiba sesuatu mengenai pelipisnya membuat Monica meringis kesakitan sambil memegang pelipisnya tadi.“Aduh!!”Siluet perempuan berlari menjauh, dan menghilang di balik gerbang.“Hey! Mau lari ke mana kau? Jangan lari!” teriaknya tapi tak mampu membuat wanita itu menghentikan larinya sama sekali. Monica terdiam terus menatap ke arah gerbang sembari berusaha mengingat sesuatu.“Sepertinya aku pernah melihat perempuan itu, tapi di mana?”
“Monica, keluar kamu!”Nathan berteriak memanggil Monica, wajahnya bersungut marah. Dia adalah lelaki yang tak terima jika dipermalukan, dan Monica baru saja melakukan hal itu kepadanya. Monica yang tadinya bersiap untuk istirahat sebentar pun merasa terganggu dengan teriakan Nathan.“Heh! Di mana majikanmu?” Pelayan wanita itu hanya menunduk takut dan tak menjawab pertanyaan Nathan sama sekali. Jelas saja itu membuatnya kesal. Hampir saja dia menghampiri untuk memberinya pelajaran, suara langkah kaki menuruni tangga menghentikan aksinya.“Apa seperti ini cara tamu berkunjung ke rumah orang?” Nathan membuang napas berat, menatap Monica yang memilih duduk di kursi dan terus menatapnya.“Ada perlu apa kau ke sini?”“Siapa pria tadi?”Bukannya menjawab pertanyaan Monica, ia malah balik bertanya, dan itu langsung memancing tawa Monica. Melihat respons Monica yang seperti itu membuat Nathan semakin terpancing amarah. Dia merasa Monica sudah menginjak harga dirinya.“Jangan lupa Monica!
“Setelah ini kau akan ke mana, Arini?” tanya William.“Berbelanja. Kenapa? Kau ingin menemaniku?” tanya Monica membuat William kikuk. Arini tak pernah seberani ini sebelumnya.“Tapi, Nathan, ...”“Dia tidak bersamaku, William.”“Baiklah jika kau mengizinkan.”Keduanya berjalan beriringan. Meski banyak perubahan yang ada di dalam diri Arini, setidaknya ia senang karena Arini yang sekarang jauh lebih terbuka dan ceria, gadis yang dulunya sering berlindung di balik punggungnya jika diganggu Nathan juga Ambar, yang kerap ia gendong keliling rumah ketika menangis kencang atau sekedar menenangkannya, ketika ia disakiti Yuan dan adik-adiknya. Setelah puas berbelanja, William mengantar Monica ke tempat parkir mobil. Sebenarnya ia ingin bertanya sejak kapan Arini bisa menyetir sendiri, terlebih dulu waktunya hanya dihabiskan di dalam rumah karena ulah Nathan, tapi lebih baik dia diam, mungkin saja selama melakukan pengobatan, Nathan juga mengajarinya menyetir, bukankah tadi Arini bilang kalau
Suara mesin di dalam ruangan terdengar mencekam, dan wanita yang berstatus istrinya itu terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan di hidungnya, belum lagi selang infus yang melekat pada punggung tangan Monica. Melihat keadaan Monica sekarang, jujur saja membangkitkan rasa sesal dalam diri Nathan.Tadi ia menemukan Monica dalam keadaan tak sadarkan diri, ternyata Monica mengalami kecelakaan kecil dengan menabrak pohon dipinggir taman, untungnya tak ada kendaraan yang lalu lalang di sekitar tempat kejadian. Sedikit perban menempel di dahi. Apa sebegitu tersiksanya dia dengan sikap Nathan semalam, sampai akhirnya tak fokus dan menabrak sesuatu begini.“Ini semua karena William!” Nathan mengepalkan kedua tangan, ia harus memberi William pelajaran agar tak mengusik Monica lagi. Setelah menitipkan Monica pada perawat, ia langsung bergegas pergi ke perusahaan William. Pagi-pagi sekali pasti kakaknya sudah bergelut dengan pekerjaannya. Pria tampan itu terus masuk tanpa menghiraukan ucapa
Ruang rawat menjadi sepi dan hening, tak ada siapa pun bahkan perawat sudah berhenti mengecek pasien di jam seperti ini. Lelah mungkin, toh Monica juga tak peduli, ia lebih suka menyendiri dan menghabiskan waktunya sendiri. Pikirannya mulai bergejolak, mencari cara agar bisa masuk ke lantai dua tanpa harus mengendap-endap bagai pencuri. Bibirnya pucat, punggung bersandar pada bantal, dengan arah pandangan ke jendela, yang sengaja tak ia tutup tirainya. Ia juga harus memastikan bahwa tingkahnya tak diawasi pelayan-pelayan Nathan, Irish saja sudah seperti Intel di rumahnya, apa lagi pelayannya yang lain. Tiba-tiba suara langkah kaki mendekati ruangannya, tanpa memalingkan wajah ia berusaha untuk tidak peduli. “Bagaimana keadaanmu, Monica?” Suara Nathan terdengar serius.“Kenapa kau ke mari?” Tanpa menjawab pertanyaan Nathan, ia malah balik bertanya. Nathan memilih duduk di kursi tepat pada sudut kamar pinggir pintu masuk.“Aku mengkhawatirkanmu,” balasnya tenang. Monica memutar bola
"Sudah siap?" Evelyn mengangguk singkat. Harusnya ia senang karena tinggal bersama kakaknya, tapi karena tak ada kabar apa pun dari dua orang yang sedang kasmaran di luar negeri, membuat semangatnya sedikit memudar, padahal ia sangat merindukan Monica. Evelyn meraih tasnya, kemudian mengekori langkah lebar Edward. Memang, di kampusnya yang sekarang tidak ada masalah apa pun, hampir semua mahasiswa hanya fokus pada tujuan kuliah, tak ada yang mengusik dirinya, dan bahkan lebih banyak yang memasang wajah ramah. Tak ada kesombongan, culas, merasa diri lebih dari yang lain, semuanya rata. Tak ada penindasan, penghinaan, pemanfaatan kuasa, semuanya berjalan netral sesuai keinginan. Para dosen juga bersikap normal, tak condong pada beberapa mahasiswa atau merasa takut pada anak didik mereka, semua diperlakukan seadil-adilnya. Dan memang, itu yang diinginkan Evelyn. Hanya saja, ia masih merasa kesepian. Andai saja, ... "Kita sudah sampai. 5 menit lagi gerbangnya tutup, kau mas
"Benar dugaanku. Ternyata kita memang ditakdirkan untuk bertemu kembali, Nathan."Maira tersenyum sinis, ia akhirnya mendapatkan satu kesempatan lagi untuk menghancurkan mereka. Entah, sepertinya ia tak pernah memiliki cinta dengan Nathan, wanita gila ini hanya terobsesi untuk mendapatkan pria tampan yang kaya raya sejak dulu, bahkan menghalalkan segala cara.Tidak sia-sia punya anak seperti Maria. Gadis bodoh itu selalu siap menjadi kacungnya kapan pun ia mau. Maira mengantongi semua informasi tentang Evelyn, yang ternyata adalah putri dari Nathan dan Monica."Sialan! Wanita itu benar-benar tamak. Ia menggeser posisi Arini demi mendapatkan Nathan. Tapi, kita lihat saja nanti, tidak akan ada yang berani berpaling dari pesona Maira, termasuk Nathan. Pria itu bagaimana pun juga pernah memuja muja diriku, bertekuk lutut di bawah pesonaku."Maira sudah merasa berbangga diri. Padahal dulu saja ia hampir mati di tangan Monica, tapi yang namanya obsesi pasti tak akan pernah pantang mundur.
"Aku tahu harus apa sekarang," ujarnya dengan seringai licik. Jonathan sudah berangkat ke kantor sejak pagi, sekali pun ia menuntut istri dan anaknya berhemat, ia tetap memiliki pekerjaan tetap, usahanya bukan hanya di kampus tempat anaknya berkuliah. Ia juga seorang pemilik perusahaan kecil, yang bergerak di bidang makanan ringan. Maria buru-buru ke bawah, tanpa sarapan atau sapaan selamat pagi sudah biasa, hubungannya dengan Maira memang sedingin itu sejak dulu, padahal mereka adalah ibu dan anak. Maria meraih kunci mobil hadiah ulang tahun dari Jonathan tahun lalu, ia harus buru-buru ke kampus sekarang. "Jajanmu berapa?" tanya Maira menghentikan langkah Maria. "Setengah dari biasanya," jawab Maria lanjut menuju garasi. Ternyata Jonathan tidak main-main, ia benar-benar memaksa mereka berdua untuk berhemat, bahkan Maria yang selama ini ia manja pun terkena dampaknya. Tapi baru saja Maria akan masuk ke mobil, ia kembali mencegat anak perempuannya dan berdiri di balik pintu
"Aku ngga terima kalau Jonathan bangkrut. Sialan! Jika suamiku bangkrut, lalu bagaimana nasib kami berdua?"Maira mondar-mandir di kamar, berpikir keras mencari solusi tapi seperti menemukan jalan buntu. Maira memijat pelipisnya.Jonathan memang memiliki usaha lain, tapi penghasilannya tak sebanyak yang ia dapatkan dari universitas tersebut. Jika penanam saham terbanyak mencabut kerja samanya, bagaimana kampus itu akan bertahan lama. Mengandalkan biaya kampus tiap semester per orang pun tidak cukup."Ah, sialan! Lagi pula siapa bocah ingusan itu? Sok berkuasa. Lihat saja, akan aku balas mereka."Maira turun ke lantai bawah, langkahnya seketika terhenti di tengah tangga, ia melihat Jonathan sedikit kusut, pria itu bersandar pada kursi, dengan tatapan kosong ke langit-langit rumah. Seperti ada beban besar yang dipikul saat ini. Jonathan masih bungkam, tak mengeluarkan maki dan sumpah serapah. Maira memang bernasib baik, dalam hidupnya selalu menikahi lelaki yang penyayang, ia juga tak
"Sayang, terima kasih karena telah sabar mendampingiku." Nathan membelai lembut pipi Monica.Semilir angin di pesisir pantai membuat keduanya tenang, suasana romantis terasa, seolah mereka berdua adalah pasangan pengantin baru yang tengah di mabuk asmara.Setelah berhasil menitipkan Evelyn pada kedua anak lelakinya, Nathan yang memang sudah mempersiapkan tiket keberangkatan mereka jauh-jauh hari juga tak ingin membuang waktu.Sebenarnya sebelum Monica meminta, ia sudah ingin menyampaikan niatnya tersebut. Tapi, rupanya suami istri itu memiliki ikatan batin yang teramat sangat. Monica tersipu malu, tempat romantis yang dirancang oleh Nathan, tentu saja adalah yang terbaik. Tak terasa sudut matanya malah menitikkan air mata."Sayang, ada apa?" tangan kekar itu mengusap air mata Monica dengan lembut. Sebelah tangan Monica langsung menyambut punggung tangan Nathan yang masih ada di wajahnya. Netra beningnya menatap lelaki yang telah memberinya tiga buah hati. Andai saat itu ia tak menye
"Sayang, sepagi ini kau sudah rapi. Mau ke mana?" tanya Nathan saat putrinya duduk di meja makan. "Kuliah, Dad. Ini juga sepuluh menit lagi gerbangnya tutup," balas Evelyn mengunyah roti isinya. "Kakakmu belum memberitahumu, ya. Kau baru saja dipindahkan ke kampus lain. Fasilitasnya juga tak kalah lengkap, dan pastinya tak ada orang toxic di sana." Evelyn merengut. Mengapa mendadak sekali? Ia bahkan tidak tahu apa pun tentang ini. Apa pendapatnya tidak lagi dibutuhkan, pikir Evelyn galau. "Jadi, hari ini kau hanya perlu beristirahat di rumah. Setelah perpindahanmu selesai nanti, besok kau sudah mulai berkuliah di kampus baru." "Dad, tapi aku berhak memilih kampus mana yang ku suka, 'kan?" Nathan diam saja dan memilih untuk membiarkan Monica yang berbicara. "Sayang, Momy tahu keputusan ada di tanganmu, tapi untuk saat ini, kedua kakakmu lah yang lebih berhak menentukan mana yang terbaik untuk adiknya. Buktinya kampus yang kau pilih kemarin, justru tidak menyenangkan dan sangat
"Dasar anak bodoh! Memalukan! Bisa-bisanya kau mencari masalah hanya karena lelaki. Ngga tahu diri banget, ya! Udah disekolahin tinggi-tinggi, malah mikirin laki-laki. Bahkan lebih memalukan lagi, kau bisa kalah telak sama bocah baru kemarin. Ingat umurmu berapa? Kau tiga tahun di atasnya, Maria!" Maria menunduk takut. "Kamu mikir ngga sih, harusnya bisa memanfaatkan kebaikan ayahmu yang sudah mau menerima dirimu si anak haram. Bukan malah seperti wanita murahan, bukannya belajar dengan baik." Maira, ibu kandung Maria. Jika membaca cerita dari awal, pasti tahu siapa Maira dan apa keterkaitannya dengan keluarga Nathan. Maira ingin rasanya menghukum Maria, membuatnya malu sejak masih dalam kandungan. Ia terkatung-katung dengan perut besar di jalanan, sempat menjadi gembel setelah ditendang dari keluarga William, mendekati Nathan mustahil, sampai akhirnya ia bertemu salah satu pria kaya yang sebenarnya sudah memiliki istri. Maira dibawa dan dinikahi oleh pria kaya itu, bahkan
"Mengapa kau bolos di mata kuliah kedua?" Evelyn si manja itu kini terdiam. Duduk berhadapan dengan Edward dan membicarakan hal yang serius tidak pernah terpikirkan, sungguh Evelyn juga takut dengan mode serius sang kakak. Pemuda itu melipat tangan di dada, tatapan intimidasi mengarah pada adik perempuannya. Monica hanya berpura-pura tidak melihat apa pun. Itulah peraturan di rumah, jika ada yang berbuat salah, maka ia harus bertanggung jawab dengan kesalahan yang sudah ia perbuat, seperti Evelyn saat ini. "Evelyn, kakak bicara denganmu," tekannya masih membuat Evelyn menunduk takut. "A-aku, baru saja membuat masalah di kampus, jadi, ..." "Jadi kau berpikir untuk melarikan diri?" potong Edward cepat. "Mommy dan Daddy juga tidak pernah mengajarkan kita untuk lari dari masalah," lanjutnya kemudian. Ia menatap arloji di tangan, kemudian merogoh ponsel di kantong celana. Edward masih diam di tempat sembari menunggu teleponnya diangkat. [Halo, Pak. Kami baru saja ingin menghubungi
Evelyn membereskan buku-bukunya dan bergegas keluar ruangan, di depan pintu Yura sudah menunggu dengan kedua tangan yang terbuka lebar, tentu saja hal itu membuat Evelyn bergidik geli. "Yura, jangan bertingkah seolah kita tak bertemu sepekan!" ketusnya sembari berjalan keluar, Yura menyusul dan turut mengambil langkah di sisinya. "Kau jelas tak merindukanku ya, Evelyn? Jahat deh." "Jangan lebay, Yura!" Keduanya berjalan menuju kantin, Evelyn tidak membeli apa pun, ia hanya menemani Yura makan, sementara dirinya akan menghabiskan bekal miliknya sendiri. Monica selalu memastikan setiap anaknya mendapatkan gizi yang baik. Beruntung dari ketiga anak, tak ada yang membantah, Monica lebih tahu segalanya dibandingkan mereka. "Oh iya, nomor itu gimana?" selidik Yura. Evelyn menepuk jidatnya pelan. "Oh astaga! Aku lupa. Sebentar!" Evelyn mengambil ponsel dari kantong celana, dan menghidupkannya. "Orang itu sangat mengganggu, jadi aku mematikan ponselku sebentar." Yura memesa