“Monica, keluar kamu!”Nathan berteriak memanggil Monica, wajahnya bersungut marah. Dia adalah lelaki yang tak terima jika dipermalukan, dan Monica baru saja melakukan hal itu kepadanya. Monica yang tadinya bersiap untuk istirahat sebentar pun merasa terganggu dengan teriakan Nathan.“Heh! Di mana majikanmu?” Pelayan wanita itu hanya menunduk takut dan tak menjawab pertanyaan Nathan sama sekali. Jelas saja itu membuatnya kesal. Hampir saja dia menghampiri untuk memberinya pelajaran, suara langkah kaki menuruni tangga menghentikan aksinya.“Apa seperti ini cara tamu berkunjung ke rumah orang?” Nathan membuang napas berat, menatap Monica yang memilih duduk di kursi dan terus menatapnya.“Ada perlu apa kau ke sini?”“Siapa pria tadi?”Bukannya menjawab pertanyaan Monica, ia malah balik bertanya, dan itu langsung memancing tawa Monica. Melihat respons Monica yang seperti itu membuat Nathan semakin terpancing amarah. Dia merasa Monica sudah menginjak harga dirinya.“Jangan lupa Monica!
“Setelah ini kau akan ke mana, Arini?” tanya William.“Berbelanja. Kenapa? Kau ingin menemaniku?” tanya Monica membuat William kikuk. Arini tak pernah seberani ini sebelumnya.“Tapi, Nathan, ...”“Dia tidak bersamaku, William.”“Baiklah jika kau mengizinkan.”Keduanya berjalan beriringan. Meski banyak perubahan yang ada di dalam diri Arini, setidaknya ia senang karena Arini yang sekarang jauh lebih terbuka dan ceria, gadis yang dulunya sering berlindung di balik punggungnya jika diganggu Nathan juga Ambar, yang kerap ia gendong keliling rumah ketika menangis kencang atau sekedar menenangkannya, ketika ia disakiti Yuan dan adik-adiknya. Setelah puas berbelanja, William mengantar Monica ke tempat parkir mobil. Sebenarnya ia ingin bertanya sejak kapan Arini bisa menyetir sendiri, terlebih dulu waktunya hanya dihabiskan di dalam rumah karena ulah Nathan, tapi lebih baik dia diam, mungkin saja selama melakukan pengobatan, Nathan juga mengajarinya menyetir, bukankah tadi Arini bilang kalau
Suara mesin di dalam ruangan terdengar mencekam, dan wanita yang berstatus istrinya itu terbaring lemah dengan alat bantu pernapasan di hidungnya, belum lagi selang infus yang melekat pada punggung tangan Monica. Melihat keadaan Monica sekarang, jujur saja membangkitkan rasa sesal dalam diri Nathan.Tadi ia menemukan Monica dalam keadaan tak sadarkan diri, ternyata Monica mengalami kecelakaan kecil dengan menabrak pohon dipinggir taman, untungnya tak ada kendaraan yang lalu lalang di sekitar tempat kejadian. Sedikit perban menempel di dahi. Apa sebegitu tersiksanya dia dengan sikap Nathan semalam, sampai akhirnya tak fokus dan menabrak sesuatu begini.“Ini semua karena William!” Nathan mengepalkan kedua tangan, ia harus memberi William pelajaran agar tak mengusik Monica lagi. Setelah menitipkan Monica pada perawat, ia langsung bergegas pergi ke perusahaan William. Pagi-pagi sekali pasti kakaknya sudah bergelut dengan pekerjaannya. Pria tampan itu terus masuk tanpa menghiraukan ucapa
Ruang rawat menjadi sepi dan hening, tak ada siapa pun bahkan perawat sudah berhenti mengecek pasien di jam seperti ini. Lelah mungkin, toh Monica juga tak peduli, ia lebih suka menyendiri dan menghabiskan waktunya sendiri. Pikirannya mulai bergejolak, mencari cara agar bisa masuk ke lantai dua tanpa harus mengendap-endap bagai pencuri. Bibirnya pucat, punggung bersandar pada bantal, dengan arah pandangan ke jendela, yang sengaja tak ia tutup tirainya. Ia juga harus memastikan bahwa tingkahnya tak diawasi pelayan-pelayan Nathan, Irish saja sudah seperti Intel di rumahnya, apa lagi pelayannya yang lain. Tiba-tiba suara langkah kaki mendekati ruangannya, tanpa memalingkan wajah ia berusaha untuk tidak peduli. “Bagaimana keadaanmu, Monica?” Suara Nathan terdengar serius.“Kenapa kau ke mari?” Tanpa menjawab pertanyaan Nathan, ia malah balik bertanya. Nathan memilih duduk di kursi tepat pada sudut kamar pinggir pintu masuk.“Aku mengkhawatirkanmu,” balasnya tenang. Monica memutar bola
“Kenapa bisa ada kunci di sini?” Seingat Monica, lantainya kosong dan tak ada kunci di sekitar kamar. Tapi jika terlalu banyak berpikir, ia malah tidak jadi membuka lemari besar di kamar itu. Pelan ia membuka lemarinya, beruntungnya lagi kunci itu memang cocok untuk lemari tersebut. Hingga akhirnya ia tercengang melihat isi di dalamnya. “Oh God!” Ada deretan pakaian wanita seukuran tubuhnya, semua tersusun rapi di lemari, tak ada bau usang atau debu yang mengganggu, seperti memang sering dibersihkan dan ditata rapi. Jika Monica tebak, ini pasti baju mendiang mantan istri pertama suaminya. Ia memilih beberapa, tapi sungguh tak ada yang masuk dengan tipenya. “Sepertinya Arini adalah wanita yang anggun dan sopan. Lihat saja pakaian ini! Membosankan, ini terlalu tertutup.” Monica kembali memasukkan baju itu karena tak berminat, tapi secarik kertas jatuh dari lipatan pakaian, membuatnya tertarik untuk membaca isinya. [Pakai dan jadilah diriku! Nanti kau akan tahu sesuatu.] Monica beg
"Monica, dari mana kau dapatkan baju itu?"Nathan menatapnya dengan ekspresi marah, sementara Monica hanya terdiam dan memasang wajah tak bersalah. Pria itu menatap tajam ke arahnya, dan kini kedua tangannya mulai mencengkeram erat bahu Monica, membuat wanita itu meringis kesakitan."Jangan berlebihan seperti ini, Nathan! Lagi pula apa salahnya jika aku memakai pakaian ini?"Susah payah Monica melepas cengkeraman Nathan. Mungkin Nathan tak suka karena tindakan Monica seperti menjadi bayang-bayang mantan istrinya. Tapi tingkah Nathan malah berlebihan menurutnya, hanya pakaian yang melekat, lagi pula bukankah dia sendiri yang menyuruh Monica untuk menjadi Arini, seharusnya memakai pakaian Monica juga tak masalah 'kan?"MONICA!!" bentak Nathan memancing emosi Monica."Aku mengambilnya dari kamarku. Puas?"Nathan mengusap wajahnya frustrasi. Ia tahu jelas, Monica pasti sudah ke lantai dua. Dia mengingkari janjinya lagi dan itu sangat mengusik Nathan. Sadar jika di situ ada banyak pelayan,
Yuan memaku dengan tatapan yang begitu terkejut. Arini sudah berani melawan dan menunjukkan taringnya, bukan tatapan seperti ini yang Yuan inginkan, ia hanya ingin Arini menunjukkan tatapan bersalah dan ketakutannya sama seperti yang biasa ia tunjukkan dulu. Seperti menghadapi orang yang berbeda, ia jadi tak mengenali Arini yang kini berada di hadapannya."Maaf, Ibu mertua. Aku hanya berniat melindungi diri. Lagi pula mengapa selalu jadi kebiasaanmu untuk menyakiti menantu secantik diriku?"Monica tak peduli lagi dengan penyamarannya yang harus menjadi Arini si lemah, kali ini ia ingin berdiri di garda terdepan membalaskan sakit hati Arini dulu karena masuk ke keluarga ini.Satu hal yang mulai ia pahami. Sepertinya Arini memang dibesarkan di keluarga ini, kemudian dijodohkan dengan Nathan. Buktinya Yuan sendiri yang mengeluarkan kalimat menyesal karena tak menghabisinya sejak bayi. Menarik, pikirnya. Ia jadi punya tujuan sendiri buat mencari tahu tentang kamar rahasia Nathan, siapa t
Sekali pun Monica melarang pelayannya untuk ikut campur, sepertinya perempuan palsu itu pasti masih menjalankan misi dari Nathan untuk terus mengawasi dirinya. Akhirnya setelah menyusun rencana yang matang, ia turun ke ruang makan, dan seperti biasa akan terus diawasi Irish. "Aku tak terbiasa makan sendiri. Apa kau tak keberatan jika menemaniku makan di sini?" tawar Monica dengan senyum menawannya. "Sebelumnya terima kasih, Nyonya. Tapi saya hanya babu di rumah ini, tidak sepantasnya berada di satu meja makan yang sama dengan majikan," ucapnya sembari membungkukkan badan. Monica meletakkan sendok dan garpunya asal, senyumnya memudar begitu saja, membuat Irish panik. "Kau bersikap seolah sedang di rumah suamiku. Ini rumahku dan kau harus mengikuti peraturan ku." Mau tak mau pelayan itu akhirnya menuruti perintah Monica, kemudian mengambil tempat duduk yang tak begitu jauh dari majikannya. "Sebentar! Tolong buatkan dua gelas jus jeruk untuk kita!" "Baik, Nyonya." Tanpa
Ponsel Monica berdering lagi, panggilan dari William. Wanita keras kepala itu memilih tak acuh, persetan dengan penjelasan yang tak masuk akal, ia benci karena William mengambil keputusan secara sepihak.Setelah beberapa panggilan ia lewatkan, satu pesan masuk dari William. Dengan enggan ia pun membacanya.[Aku tahu kau marah. Tapi aku sama sekali tak membebaskan Nathan, ia murni dibebaskan karena sikap baik dan juga sering disakiti di dalam sel sampai hampir mati, itu yang aku dengar dari penjelasan polisi. Awalnya aku juga tak mau menampung Nathan, tapi dia tak punya rumah dan sepeser pun harta, aku bertemu dengannya di tengah jalan dalam keadaan pingsan.]"Pembohong besar," sungut Monica. Satu pesan susulan masuk lagi.[Kau boleh memaki, atau bahkan menghancurkan wajahku. Tapi, Monica. Aku hanya bersikap sebagai seorang kakak, hanya dia yang dibebaskan, bukan ibu atau pun Ambar. Untuk keamanan dua keponakanku, aku juga tak berniat memberitahukannya pada Nathan, keputusan ada di tan
Edward, apa kau sudah menemukan informasi tentang Daddy?" Edgard masuk dan duduk di sebelah Edward, anak itu begitu sibuk dengan laptop di hadapan, sesekali membenarkan kacamata. Tangannya bergerak lancar di tombol, menemukan beberapa informasi penting yang sekiranya berguna. Edward menggeleng lemah, menciptakan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah Edgard. Edgard melipat kedua tangan di meja, kemudian menjadikannya penyangga dagu. "Kapan kita akan bertemu Daddy?" Edward terlihat serius dan belum menyerah, ia yakin masih ada petunjuk lain. Keduanya terus menjalin komunikasi dengan William dan juga Sean, yang berulang kali mengatakan jika dirinya begitu merindukan kedua cucunya tersebut. "Entah. Padahal keluarga Daddy sangat mudah dikenal, tapi mendapatkan potretnya saja terasa sulit. Apa mungkin semua informasi tentang Daddy terhapus dari media?" sahut Edward. Edgard berpikir keras. Ia tak yakin jika ayah kandung mereka mirip dengan William, bisa saja ayahnya jauh lebih
"Baguslah kau sudah bangun. Setelah ini aku akan mengantarmu kembali ke kantor polisi, aku juga tak ingin menampung buronan terlalu lama," ujar William yang berdiri sembari bersandar pada pintu. Nathan menoleh, tak menyangka ia sekarang berada di rumah kakak kandungnya. Sedari tadi dia berusaha mencari tempat berlindung, dan takdir masih memihak padanya, ia bertemu dengan salah satu keluarga, setidaknya Nathan bersyukur karena tak akan terlantar di jalanan. Melihat Nathan yang tersenyum malah membuat William muak, ia tak pernah melihat adik laki-lakinya itu tersenyum bahkan untuk menghormati dirinya yang lebih tua saja tidak ia lakukan. Sejak kecil Nathan adalah adik yang menyebalkan, yang selalu menempatkannya ke dalam masalah. "Kau pikir dengan senyum palsu mu itu bisa merayuku? Lupakan dan cepat pergi dari sini!" usirnya terang-terangan. "Kak, ..." William terkejut. Pertama kalinya ia mendengar panggilan Kakak dari bibir Nathan. Tapi William tak boleh terkecoh, bisa saja ini a
"Saudara Nathan, Anda dibebaskan!"Nathan yang masih terbatuk darah itu terlihat lemas, tak terhitung sudah ribuan kali ia dihajar selama di tahan, padahal ia sudah kerap berganti ruangan sel, tapi semuanya terasa mengancam nyawa. Nathan bahkan tak pernah melakukan perlawanan, ia sama sekali tak diberi kesempatan untuk membela diri, dan itu juga yang membuatnya masa tahanannya dikurangi, atau Nathan akan benar-benar mati konyol di dalam sel."Nasib baik kau bisa keluar dari sini. Tapi kau tahu, namamu sudah buruk di luar sana."Pria kekar itu kembali menghantam wajahnya, sebelum petugas kepolisian menarik Nathan keluar. Ia pingsan, dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sementara Yuan, tiga tahun yang lalu ia mati di dalam sel karena kesehatan fisiknya menurun, dan Nathan belum mengetahui kebenaran tersebut karena sel mereka terpisah. Cukup lama ia terbaring, setelah dilakukan serangkaian perawatan, Nathan terbangun dengan suara batuknya. Ya, paru-parunya bermasalah dan harus seger
"Edward, apa kau sudah menemukan informasi tentang Daddy?" Edgard masuk dan duduk di sebelah Edward, anak itu begitu sibuk dengan laptop di hadapan, sesekali membenarkan kacamata. Tangannya bergerak lancar di tombol, menemukan beberapa informasi penting yang sekiranya berguna. Edward menggeleng lemah, menciptakan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah Edgard. Edgard melipat kedua tangan di meja, kemudian menjadikannya penyangga dagu. "Kapan kita akan bertemu Daddy?" Edward terlihat serius dan belum menyerah, ia yakin masih ada petunjuk lain. Keduanya terus menjalin komunikasi dengan William dan juga Sean, yang berulang kali mengatakan jika dirinya begitu merindukan kedua cucunya tersebut. "Entah. Padahal keluarga Daddy sangat mudah dikenal, tapi mendapatkan potretnya saja terasa sulit. Apa mungkin semua informasi tentang Daddy terhapus dari media?" sahut Edward. Edgard berpikir keras. Ia tak yakin jika ayah kandung mereka mirip dengan William, bisa saja ayahnya jauh lebih
6 Bulan kemudian ... Ruang operasi menampakkan beberapa orang yang terlihat sibuk, dengan kepanikan luar biasa. Pasien wanita terbaring lemah tak sadarkan diri setelah disuntikan bius. Banyak darah yang terbuang dan membuatnya membutuhkan transfusi darah. Untungnya tidak terlalu sulit. Setelah satu masalah selesai, operasi persalinan mulai dilakukan, semuanya siap dengan tugas masing-masing. Tak ada keluarga yang menunggu, pasien itu datang seorang diri dan mengurus semuanya sendiri. Waktu operasi memakan waktu selama dua jam, dua bayi kembar berhasil diselamatkan. Beberapa orang di ruangan itu bernapas lega, sebelum akhirnya memindahkan pasien tersebut ke ruang rawat khusus selama masa pemulihan. Perawat pria masuk untuk mengecek kondisinya, menyuntikkan sesuatu pada cairan infus dan menatap pasiennya cukup lama. "Kau memang wanita yang hebat. Aku harap, setelah ini kau hanya akan mendapatkan kebahagian yang tak berujung," ujarnya lirih. Di balik masker bibirnya terseny
Kedatangan Sean dan William tentu saja disambut baik oleh Budi, pria itu turut senang ketika mengetahui kedatangan keduanya yang bermaksud untuk melamar Arini. Dari yang ia dengar dari anak-anaknya, Sean dan William adalah orang baik yang mengasingkan diri dan juga kerap melindungi Arini.Budi beruntung hal-hal baik masih menimpa dirinya, andai saja Arumi masih hidup, pasti istrinya akan sangat bahagia. Arini pun tak keberatan dan menerima lamaran William, meski mereka berdua juga heran ke mana perginya Monica, William hanya memberitahu jika Monica sedang ada urusan bisnis di luar negeri selama beberapa tahun ke depan, dan tidak bisa diganggu untuk sementara waktu.Satu bulan setelah kedatangan William, mereka benar-benar menikah, dan memutuskan untuk tetap menetap di desa, lagi pula William juga menyukai suasana di sana, meski sesekali mengurus pekerjaan di kota, ia tetap tak lupa pada tanggung jawabnya."Sayang, masak apa hari ini?"Tangan kekar William melingkar di pinggang ramping
"Selamat, ya! Usia kehamilan Anda sudah memasuki tiga bulan." Bagaimana tersambar petir, ini kabar yang tidak ingin ia dengar. Monica semakin panik, tapi berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan emosinya sendiri. Ingin marah pada siapa? Nathan? Pria itu sudah mendekam di penjara. "Dokter yakin ini hasil akhirnya?" Dokter tersebut tersenyum. Ia malah menawarkan tes USG, akhirnya Monica menyetujui. Dan hasilnya, ia bisa melihat dengan jelas wujud makhluk kecil di dalam perutnya. Refleks ia menangis, membuat dokter berpikir jika Monica hanya terharu. Ia pergi, dengan perasaan yang entah. Karena tak percaya, ia memutuskan untuk mengecek kandungannya di beberapa rumah sakit kota dan hasilnya tetap sama. Di dalam mobil pikirannya entah ke mana. Monica meremas kuat perutnya, berharap makhluk tak berdosa itu segera pergi dan hancur di dalam sana. Ia memukul beberapa kali tapi berakhir dengan suara tangis yang menggema di seisi mobil. Malam semakin larut, sementara dirinya ma
Pintu tiba-tiba terbuka, beberapa orang berseragam datang menerobos masuk secara paksa ke ruangan Nathan. "Apa-apaan ini? Kalian bersikap tidak sopan di tempatku," bentak Nathan garang. "Angkat tangan dan jangan bergerak! Anda ditangkap atas kasus penganiayaan yang dilakukan terhadap saudari Arini." Nathan langsung menoleh cepat ke arah Monica. Wanita itu memasang wajah sedih dan juga air mata palsunya. "Pak, ini pasti hanya salah paham. Tolong jangan tangkap suami saya!" "Maaf, Bu. Barang bukti sudah ada di kantor polisi. Jika ingin menjelaskan lebih lanjut, silahkan ke kantor polisi. "Sayang, apa ini rencanamu?" Monica yang tadinya nangis malah tersenyum miring. Buru-buru ia mengganti ekspresi dan berbicara mengiba pada beberapa anggota itu. "Bolehkah saya memeluknya dulu?" Mereka saling adu tatap seperti meminta persetujuan, atau mungkin keheranan. Karena sebagai korban, Monica dianggap terlalu baik pada suaminya. "Baiklah. Satu menit!" Monica tersenyum antus