Sekali pun Monica melarang pelayannya untuk ikut campur, sepertinya perempuan palsu itu pasti masih menjalankan misi dari Nathan untuk terus mengawasi dirinya. Akhirnya setelah menyusun rencana yang matang, ia turun ke ruang makan, dan seperti biasa akan terus diawasi Irish. "Aku tak terbiasa makan sendiri. Apa kau tak keberatan jika menemaniku makan di sini?" tawar Monica dengan senyum menawannya. "Sebelumnya terima kasih, Nyonya. Tapi saya hanya babu di rumah ini, tidak sepantasnya berada di satu meja makan yang sama dengan majikan," ucapnya sembari membungkukkan badan. Monica meletakkan sendok dan garpunya asal, senyumnya memudar begitu saja, membuat Irish panik. "Kau bersikap seolah sedang di rumah suamiku. Ini rumahku dan kau harus mengikuti peraturan ku." Mau tak mau pelayan itu akhirnya menuruti perintah Monica, kemudian mengambil tempat duduk yang tak begitu jauh dari majikannya. "Sebentar! Tolong buatkan dua gelas jus jeruk untuk kita!" "Baik, Nyonya." Tanpa
Duduk bersandar di balik pintu, dengan kedua kaki yang menjuntai ke depan, tatapannya tak lepas dari ranjang pesakitan di hadapan. Mata setajam elang itu kini menatap sendu, bingung, rasa bersalah, juga bersarang jadi satu.Ucapan William dan Monica bergantian masuk ke otaknya. Setelah kondisi Arini yang memburuk, ia lebih memilih untuk menyembunyikan Arini demi kesembuhan istrinya. Berusaha menjauhkan Arini dari keluarga yang menyakiti, ia juga mulai sadar bahwa Arini memang pantas untuk dicintai dan dilindungi.Hatinya mendadak berontak ketika tahu Yuan mengerahkan banyak orang untuk mencari tahu keberadaan Arini waktu itu, beruntung ia bisa mengatasi dan membuat orang suruhan itu menjadi pengkhianat tanpa sepengetahuan Yuan, hingga akhirnya Arini tetap aman di dalam rumahnya sendiri. Sayangnya Yuan yang pandai terus melakukan banyak cara, sampai akhirnya berpura-pura sakit keras agar Nathan mau membawa Arini pulang."Sayang, maaf karena aku terlambat sadar jika kau sangat berharga.
"Entah apa yang kau pikirkan, Nathan? Kau sudah membuat kesalahan dan menyangkal dengan hasil yang kau tanam. Jujur saja, ternyata kau lebih menjijikkan dari para pria bejad di luar sana. Jika memang tak ingin bertanggung jawab, maka ku lenyapkan saja bayi ini bersamaku. Layaknya Arini, aku pun juga tak tahan hidup di keluargamu, apa lagi memiliki suami yang tak berperasaan sepertimu!" Monica bersiap mengacungkan sebilah pisau itu ke perut, tapi dengan aksi heroik Nathan, ia berhasil menghalau pisau itu dengan tangannya. Darah segar mengucur di sana, ada rasa tak tega ketika melihat Monica akan melenyapkan janinnya. Dua pasang netra bertemu tatap, Monica dengan mata sembabnya, dan Nathan dengan tatapan sendunya. "Jangan lakukan itu! Kau akan menyakiti bayi kita," ucapnya lirih. Pisau itu berhasil direbut Nathan, entah keinginan dari mana, mendadak Nathan meraih Monica ke dekapannya, membiarkan Monica menenangkan diri di dada bidangnya. "Maaf, Monica. Jangan lakukan apa pun lagi!
"Menjauhlah! Hueek, ..."Monica berlari ke kamar mandi, rasa mual menyerang hingga membuat Nathan terkejut. Ia baru saja akan berangkat ke kantor dan berpakaian rapi. "Apa aku semenjijikkan itu?" Nathan membaui ketiaknya, bahkan kerah bajunya. Hanya aroma parfum mahal yang terdeteksi di sana, tapi kenapa Monica seperti melihatnya dengan jijik.Monica membuka pintu kamar mandi, tapi ketika melihat Nathan lagi, ia kembali berlari ke dalam dan berusaha mengeluarkan isi perutnya. Nathan panik dan menggedor pintu kamar mandi. "Monica, are you okay? Jangan membuatku khawatir! Apa sebaiknya kita ke dokter saja.""Pergi, Nathan! Aku tak mau melihat wajahmu lagi."Nathan mengernyit heran. Pria setampan dirinya diusir, wajahnya menarik dari berbagai sisi, tak ada celah kurang dan cacat yang menjadi alasan untuk ditolak begini."Monica, apa salahku? Apa kau pikir aku menjijikkan?""YA! KAU SANGAT BAU. AKU TAK TAHAN DENGAN BAUMU BAHKAN MELIHAT WAJAHMU SAJA AKU ENGGAN. ENYAH, NATHAN ATAU AKU AKA
"Kau pulang selarut ini?"Nathan terkesiap, ia mulai berlari keluar dan membuat Arini jengkel. Wanita itu padahal sudah berdandan rapi, memakai baju haram dan juga aroma wewangian, tapi tingkah Nathan seperti melihat setan. Arini bangkit dari kursi dan berjalan ke arah pintu, rupanya Nathan berada di dalam mobil dan terus menatapnya dari sana."Jika kau tak keluar juga, aku akan mengeluarkan semua pakaianmu dan pergi dari sini!" ancamnya membuat Nathan bimbang.Kejadian pagi tadi di mana Monica malah ingin muntah ketika melihat wajahnya saja membuat trauma, dan sekarang ia malah menyuruh Nathan masuk, yang benar saja. Jangan sampai dia malah memuntahkan isi perutnya di baju Nathan. Suaminya masih bersikeras di dalam, akhirnya Arini yang lembut itu menghampiri Nathan dan mengetuk kaca mobil perlahan."Sayang!" panggilnya lembut.Panggilan itu membuat Nathan terkejut, hanya Arini yang memanggilnya sayang selembut itu. Ia menoleh ke arah Arini yang kini tersenyum hangat. Nathan seperti
"Bagaimana ceritanya kau bisa diadopsi oleh wanita sejahat Yuan?"Monica tengkurep di kasur, dengan posisi kedua tangan menyangga kepalanya. Pandangannya serius, rasa penasaran menggerogoti. Jika perempuan lain akan saling menjambak untuk berebut suami, lain halnya dengan Monica Arini, keduanya malah seperti dua orang saudara yang lama terpisah.Arini duduk di kursi, entah ia juga bingung kenapa bisa masuk ke keluarga ini. Yang jelas, semakin beranjak dewasa, ia semakin diabaikan seolah terbuang."Entah. Aku tak mengingat apa pun. Bahkan siapa orang tuaku saja aku tak tahu, Monica. Mereka hanya terus mengulang kalimat jika aku anak yang dibuang, dan dipungut dari keluarga miskin. Tapi siapa keluarga miskin itu pun aku tak diberitahu sampai sekarang," jelasnya rinci.Karena Nathan yang sudah menjaga jarak dari Monica, wanita itu semakin leluasa keluar masuk kamar rahasia Nathan. "Mengapa tak lari dari sini? Kau kan istri orang kaya, punya banyak uang dan pergi sejauh mungkin. Itu hal
"Arini! Keluar kamu!"Jam baru menunjukkan pukul 08:00 pagi, tapi teriakan Ambar sudah menggema menggemparkan seisi rumah. Saat tahu Yuan dibuat malu kemarin, Ambar berinisiatif untuk memberi Arini pelajaran.Beberapa pelayan terlihat takut, apa kejadian yang pernah menimpa Arini akan diulang ke Monica lagi. Ambar masuk dengan raut wajah dengan amarah yang menggebu, mendobrak kasar pintu, bukan selayaknya tamu, ia malah persis seperti penagih hutang yang tak punya tata krama."Tunjukkan wajah busukmu itu, Arini! Dasar tak tahu terima kasih. Sini hadapi aku kalau berani! Sampai kapan kau terus bersembunyi? Jika tak muncul sekarang, biar aku sendiri yang menyeretmu keluar!"Teriakan Ambar mengganggu tidur Monica. Ia merenggangkan ototnya yang kaku, dengan malas keluar kamar, melihat ke arah bawa di mana Ambar berada. Mendadak keduanya bertemu pandang, tapi Monica tak gentar."Sini kamu kampungan!"Monica menarik sudut bibirnya angkuh, sambil membunyikan lehernya ia turun dari tangga. Am
Nathan berlari panik ke koridor rumah sakit, langkah lebarnya menuju ruangan Ambar. Tak peduli seberapa jahat sikapnya pada Arini dulu, ia tetap saudari perempuannya. "Dokter, bagaimana keadaannya?" dedaknya pada dokter yang baru keluar dari ruangan."Pasien sudah mulai membaik. Mungkin sebentar lagi sadar," sahutnya menenangkan Nathan. Pria itu bernapas lega, setidaknya tak terjadi sesuatu pada Ambar. Tangannya entah kenapa gatal ingin menghubungi Alex, tak peduli seberapa sibuk dia dengan para gundiknya di luar, tapi ia harus tahu keadaan putrinya saat ini."Di mana?" tanyanya singkat.Hingar bingar musik terdengar menggema, memekakkan telinga, ditambah suara wanita yang sepertinya sedang bergelayut manja pada Alex. Pria tua itu memang tak berpikir panjang sebelum bertindak, tapi sejauh ini tak pernah ada berita yang memuat kabar miring tentangnya.Mungkin karena sejak awal ia tak pernah terlalu wara-wiri menunjukkan citra baik depan masyarakat, seolah kepala keluarga sudah diambi
"Jadi, kau sudah memiliki teman di sana? Tidak. adil! Di kampus kita aku benar-benar sendirian." Yura memasang wajah cemberut, ketika mendengar jika Evelyn mengajaknya ke gunung esok pagi bersama dua teman lelakinya. "Jangan khawatir! Kau tetap sahabat terbaikku, Yura. Oh iya, persiapkan apa saja malam ini, besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke gunung bersama Dean dan Yudi, mereka juga yang menyuruhku untuk mengajakmu," timpal Evelyn. "Ini terlalu buru-buru, aku tidak akan sempat mempersiapkan apa pun, Evelyn." Evelyn meletakkan telunjuknya di bibir, meraih benda pipih dan menghubungi asisten rumah tangga Yura. Ia berbicara panjang lebar yang berisi perintah. Setelahnya Evelyn tersenyum lega. "Wah! Evelyn. Aku bahkan tidak berpikir ke situ," ucap Yura kagum. "Bukankah sejak dulu dirimu memang lelet dalam berpikir?" "Ih, tapi, kan, ..." "Sudahlah jangan protes! Sebenarnya banyak yang ingin ku ceritakan, tapi perutku lapar. Makan dulu, yuk!" Evelyn langsung menarik p
[Evelyn, mungkin setelah membaca surat ini, aku sudah tidak ada di rumah. Maaf, aku banyak merahasiakan semuanya padamu, aku juga tidak bermaksud untuk menjadi orang yang tertutup. Aku tahu kau sahabat terbaikku sejak kecil, tapi aku yang terlalu kesulitan untuk membuka diri lebih dalam denganmu.Sejak kau pindah kampus, aku kesepian, lalu memutuskan untuk pindah ke luar negeri dan tinggal bersama keluarga papa di sana. Semoga kamu mendapatkan teman yang lebih baik dari aku! Salam dari sahabatmu, Yura.]Netra Evelyn basah.Ia tidak menyangka jika Yura setega ini. Pergi tanpa mengabari, padahal sebelumnya mereka baik-baik saja. Jika hanya perihal kepindahan, bukankah Yura juga tahu alasan Evelyn pindah kampus, kalau mau ikut pindah juga, kan tidak ada salahnya pindah dan bergabung bersama Evelyn di kampus yang sama lagi, bukan seperti ini caranya."Yura kok jahat banget, Te. Bahkan nomornya juga ngga aktif, dia ngga sayang lagi sama aku."Evelyn sesenggukan. Edgard berusaha menghibur
"Sudah siap?" Evelyn mengangguk singkat. Harusnya ia senang karena tinggal bersama kakaknya, tapi karena tak ada kabar apa pun dari dua orang yang sedang kasmaran di luar negeri, membuat semangatnya sedikit memudar, padahal ia sangat merindukan Monica. Evelyn meraih tasnya, kemudian mengekori langkah lebar Edward. Memang, di kampusnya yang sekarang tidak ada masalah apa pun, hampir semua mahasiswa hanya fokus pada tujuan kuliah, tak ada yang mengusik dirinya, dan bahkan lebih banyak yang memasang wajah ramah. Tak ada kesombongan, culas, merasa diri lebih dari yang lain, semuanya rata. Tak ada penindasan, penghinaan, pemanfaatan kuasa, semuanya berjalan netral sesuai keinginan. Para dosen juga bersikap normal, tak condong pada beberapa mahasiswa atau merasa takut pada anak didik mereka, semua diperlakukan seadil-adilnya. Dan memang, itu yang diinginkan Evelyn. Hanya saja, ia masih merasa kesepian. Andai saja, ... "Kita sudah sampai. 5 menit lagi gerbangnya tutup, kau mas
"Benar dugaanku. Ternyata kita memang ditakdirkan untuk bertemu kembali, Nathan."Maira tersenyum sinis, ia akhirnya mendapatkan satu kesempatan lagi untuk menghancurkan mereka. Entah, sepertinya ia tak pernah memiliki cinta dengan Nathan, wanita gila ini hanya terobsesi untuk mendapatkan pria tampan yang kaya raya sejak dulu, bahkan menghalalkan segala cara.Tidak sia-sia punya anak seperti Maria. Gadis bodoh itu selalu siap menjadi kacungnya kapan pun ia mau. Maira mengantongi semua informasi tentang Evelyn, yang ternyata adalah putri dari Nathan dan Monica."Sialan! Wanita itu benar-benar tamak. Ia menggeser posisi Arini demi mendapatkan Nathan. Tapi, kita lihat saja nanti, tidak akan ada yang berani berpaling dari pesona Maira, termasuk Nathan. Pria itu bagaimana pun juga pernah memuja muja diriku, bertekuk lutut di bawah pesonaku."Maira sudah merasa berbangga diri. Padahal dulu saja ia hampir mati di tangan Monica, tapi yang namanya obsesi pasti tak akan pernah pantang mundur.
"Aku tahu harus apa sekarang," ujarnya dengan seringai licik. Jonathan sudah berangkat ke kantor sejak pagi, sekali pun ia menuntut istri dan anaknya berhemat, ia tetap memiliki pekerjaan tetap, usahanya bukan hanya di kampus tempat anaknya berkuliah. Ia juga seorang pemilik perusahaan kecil, yang bergerak di bidang makanan ringan. Maria buru-buru ke bawah, tanpa sarapan atau sapaan selamat pagi sudah biasa, hubungannya dengan Maira memang sedingin itu sejak dulu, padahal mereka adalah ibu dan anak. Maria meraih kunci mobil hadiah ulang tahun dari Jonathan tahun lalu, ia harus buru-buru ke kampus sekarang. "Jajanmu berapa?" tanya Maira menghentikan langkah Maria. "Setengah dari biasanya," jawab Maria lanjut menuju garasi. Ternyata Jonathan tidak main-main, ia benar-benar memaksa mereka berdua untuk berhemat, bahkan Maria yang selama ini ia manja pun terkena dampaknya. Tapi baru saja Maria akan masuk ke mobil, ia kembali mencegat anak perempuannya dan berdiri di balik pintu
"Aku ngga terima kalau Jonathan bangkrut. Sialan! Jika suamiku bangkrut, lalu bagaimana nasib kami berdua?"Maira mondar-mandir di kamar, berpikir keras mencari solusi tapi seperti menemukan jalan buntu. Maira memijat pelipisnya.Jonathan memang memiliki usaha lain, tapi penghasilannya tak sebanyak yang ia dapatkan dari universitas tersebut. Jika penanam saham terbanyak mencabut kerja samanya, bagaimana kampus itu akan bertahan lama. Mengandalkan biaya kampus tiap semester per orang pun tidak cukup."Ah, sialan! Lagi pula siapa bocah ingusan itu? Sok berkuasa. Lihat saja, akan aku balas mereka."Maira turun ke lantai bawah, langkahnya seketika terhenti di tengah tangga, ia melihat Jonathan sedikit kusut, pria itu bersandar pada kursi, dengan tatapan kosong ke langit-langit rumah. Seperti ada beban besar yang dipikul saat ini. Jonathan masih bungkam, tak mengeluarkan maki dan sumpah serapah. Maira memang bernasib baik, dalam hidupnya selalu menikahi lelaki yang penyayang, ia juga tak
"Sayang, terima kasih karena telah sabar mendampingiku." Nathan membelai lembut pipi Monica.Semilir angin di pesisir pantai membuat keduanya tenang, suasana romantis terasa, seolah mereka berdua adalah pasangan pengantin baru yang tengah di mabuk asmara.Setelah berhasil menitipkan Evelyn pada kedua anak lelakinya, Nathan yang memang sudah mempersiapkan tiket keberangkatan mereka jauh-jauh hari juga tak ingin membuang waktu.Sebenarnya sebelum Monica meminta, ia sudah ingin menyampaikan niatnya tersebut. Tapi, rupanya suami istri itu memiliki ikatan batin yang teramat sangat. Monica tersipu malu, tempat romantis yang dirancang oleh Nathan, tentu saja adalah yang terbaik. Tak terasa sudut matanya malah menitikkan air mata."Sayang, ada apa?" tangan kekar itu mengusap air mata Monica dengan lembut. Sebelah tangan Monica langsung menyambut punggung tangan Nathan yang masih ada di wajahnya. Netra beningnya menatap lelaki yang telah memberinya tiga buah hati. Andai saat itu ia tak menye
"Sayang, sepagi ini kau sudah rapi. Mau ke mana?" tanya Nathan saat putrinya duduk di meja makan. "Kuliah, Dad. Ini juga sepuluh menit lagi gerbangnya tutup," balas Evelyn mengunyah roti isinya. "Kakakmu belum memberitahumu, ya. Kau baru saja dipindahkan ke kampus lain. Fasilitasnya juga tak kalah lengkap, dan pastinya tak ada orang toxic di sana." Evelyn merengut. Mengapa mendadak sekali? Ia bahkan tidak tahu apa pun tentang ini. Apa pendapatnya tidak lagi dibutuhkan, pikir Evelyn galau. "Jadi, hari ini kau hanya perlu beristirahat di rumah. Setelah perpindahanmu selesai nanti, besok kau sudah mulai berkuliah di kampus baru." "Dad, tapi aku berhak memilih kampus mana yang ku suka, 'kan?" Nathan diam saja dan memilih untuk membiarkan Monica yang berbicara. "Sayang, Momy tahu keputusan ada di tanganmu, tapi untuk saat ini, kedua kakakmu lah yang lebih berhak menentukan mana yang terbaik untuk adiknya. Buktinya kampus yang kau pilih kemarin, justru tidak menyenangkan dan sangat
"Dasar anak bodoh! Memalukan! Bisa-bisanya kau mencari masalah hanya karena lelaki. Ngga tahu diri banget, ya! Udah disekolahin tinggi-tinggi, malah mikirin laki-laki. Bahkan lebih memalukan lagi, kau bisa kalah telak sama bocah baru kemarin. Ingat umurmu berapa? Kau tiga tahun di atasnya, Maria!" Maria menunduk takut. "Kamu mikir ngga sih, harusnya bisa memanfaatkan kebaikan ayahmu yang sudah mau menerima dirimu si anak haram. Bukan malah seperti wanita murahan, bukannya belajar dengan baik." Maira, ibu kandung Maria. Jika membaca cerita dari awal, pasti tahu siapa Maira dan apa keterkaitannya dengan keluarga Nathan. Maira ingin rasanya menghukum Maria, membuatnya malu sejak masih dalam kandungan. Ia terkatung-katung dengan perut besar di jalanan, sempat menjadi gembel setelah ditendang dari keluarga William, mendekati Nathan mustahil, sampai akhirnya ia bertemu salah satu pria kaya yang sebenarnya sudah memiliki istri. Maira dibawa dan dinikahi oleh pria kaya itu, bahkan