"Menjauhlah! Hueek, ..."Monica berlari ke kamar mandi, rasa mual menyerang hingga membuat Nathan terkejut. Ia baru saja akan berangkat ke kantor dan berpakaian rapi. "Apa aku semenjijikkan itu?" Nathan membaui ketiaknya, bahkan kerah bajunya. Hanya aroma parfum mahal yang terdeteksi di sana, tapi kenapa Monica seperti melihatnya dengan jijik.Monica membuka pintu kamar mandi, tapi ketika melihat Nathan lagi, ia kembali berlari ke dalam dan berusaha mengeluarkan isi perutnya. Nathan panik dan menggedor pintu kamar mandi. "Monica, are you okay? Jangan membuatku khawatir! Apa sebaiknya kita ke dokter saja.""Pergi, Nathan! Aku tak mau melihat wajahmu lagi."Nathan mengernyit heran. Pria setampan dirinya diusir, wajahnya menarik dari berbagai sisi, tak ada celah kurang dan cacat yang menjadi alasan untuk ditolak begini."Monica, apa salahku? Apa kau pikir aku menjijikkan?""YA! KAU SANGAT BAU. AKU TAK TAHAN DENGAN BAUMU BAHKAN MELIHAT WAJAHMU SAJA AKU ENGGAN. ENYAH, NATHAN ATAU AKU AKA
"Kau pulang selarut ini?"Nathan terkesiap, ia mulai berlari keluar dan membuat Arini jengkel. Wanita itu padahal sudah berdandan rapi, memakai baju haram dan juga aroma wewangian, tapi tingkah Nathan seperti melihat setan. Arini bangkit dari kursi dan berjalan ke arah pintu, rupanya Nathan berada di dalam mobil dan terus menatapnya dari sana."Jika kau tak keluar juga, aku akan mengeluarkan semua pakaianmu dan pergi dari sini!" ancamnya membuat Nathan bimbang.Kejadian pagi tadi di mana Monica malah ingin muntah ketika melihat wajahnya saja membuat trauma, dan sekarang ia malah menyuruh Nathan masuk, yang benar saja. Jangan sampai dia malah memuntahkan isi perutnya di baju Nathan. Suaminya masih bersikeras di dalam, akhirnya Arini yang lembut itu menghampiri Nathan dan mengetuk kaca mobil perlahan."Sayang!" panggilnya lembut.Panggilan itu membuat Nathan terkejut, hanya Arini yang memanggilnya sayang selembut itu. Ia menoleh ke arah Arini yang kini tersenyum hangat. Nathan seperti
"Bagaimana ceritanya kau bisa diadopsi oleh wanita sejahat Yuan?"Monica tengkurep di kasur, dengan posisi kedua tangan menyangga kepalanya. Pandangannya serius, rasa penasaran menggerogoti. Jika perempuan lain akan saling menjambak untuk berebut suami, lain halnya dengan Monica Arini, keduanya malah seperti dua orang saudara yang lama terpisah.Arini duduk di kursi, entah ia juga bingung kenapa bisa masuk ke keluarga ini. Yang jelas, semakin beranjak dewasa, ia semakin diabaikan seolah terbuang."Entah. Aku tak mengingat apa pun. Bahkan siapa orang tuaku saja aku tak tahu, Monica. Mereka hanya terus mengulang kalimat jika aku anak yang dibuang, dan dipungut dari keluarga miskin. Tapi siapa keluarga miskin itu pun aku tak diberitahu sampai sekarang," jelasnya rinci.Karena Nathan yang sudah menjaga jarak dari Monica, wanita itu semakin leluasa keluar masuk kamar rahasia Nathan. "Mengapa tak lari dari sini? Kau kan istri orang kaya, punya banyak uang dan pergi sejauh mungkin. Itu hal
"Arini! Keluar kamu!"Jam baru menunjukkan pukul 08:00 pagi, tapi teriakan Ambar sudah menggema menggemparkan seisi rumah. Saat tahu Yuan dibuat malu kemarin, Ambar berinisiatif untuk memberi Arini pelajaran.Beberapa pelayan terlihat takut, apa kejadian yang pernah menimpa Arini akan diulang ke Monica lagi. Ambar masuk dengan raut wajah dengan amarah yang menggebu, mendobrak kasar pintu, bukan selayaknya tamu, ia malah persis seperti penagih hutang yang tak punya tata krama."Tunjukkan wajah busukmu itu, Arini! Dasar tak tahu terima kasih. Sini hadapi aku kalau berani! Sampai kapan kau terus bersembunyi? Jika tak muncul sekarang, biar aku sendiri yang menyeretmu keluar!"Teriakan Ambar mengganggu tidur Monica. Ia merenggangkan ototnya yang kaku, dengan malas keluar kamar, melihat ke arah bawa di mana Ambar berada. Mendadak keduanya bertemu pandang, tapi Monica tak gentar."Sini kamu kampungan!"Monica menarik sudut bibirnya angkuh, sambil membunyikan lehernya ia turun dari tangga. Am
Nathan berlari panik ke koridor rumah sakit, langkah lebarnya menuju ruangan Ambar. Tak peduli seberapa jahat sikapnya pada Arini dulu, ia tetap saudari perempuannya. "Dokter, bagaimana keadaannya?" dedaknya pada dokter yang baru keluar dari ruangan."Pasien sudah mulai membaik. Mungkin sebentar lagi sadar," sahutnya menenangkan Nathan. Pria itu bernapas lega, setidaknya tak terjadi sesuatu pada Ambar. Tangannya entah kenapa gatal ingin menghubungi Alex, tak peduli seberapa sibuk dia dengan para gundiknya di luar, tapi ia harus tahu keadaan putrinya saat ini."Di mana?" tanyanya singkat.Hingar bingar musik terdengar menggema, memekakkan telinga, ditambah suara wanita yang sepertinya sedang bergelayut manja pada Alex. Pria tua itu memang tak berpikir panjang sebelum bertindak, tapi sejauh ini tak pernah ada berita yang memuat kabar miring tentangnya.Mungkin karena sejak awal ia tak pernah terlalu wara-wiri menunjukkan citra baik depan masyarakat, seolah kepala keluarga sudah diambi
Kendaraan roda empat tiba di pekarangan rumah Nathan. Berkat surat palsu, Monica berhasil mengelabui Nathan dan mengatakan jika ia kehilangan bayinya. Padahal ia tak hamil. Monica turun, bersikap seolah pura-pura sakit di bagian perut bawahnya."Hati-hati!"Nathan memapah dengan telaten, keduanya masuk seperti biasa akan disambut banyak pelayan. Perlahan Monica duduk di kursi, tanpa disuruh Nathan langsung memijat kakinya yang mungkin merasa pegal."Apa yang kau lakukan?" Monica berusaha menyingkirkan kakinya. Tapi, Nathan terlanjur memegang erat kaki mulus Monica agar tetap berada di tempat."Kau baru saja terluka, aku hanya meringankan sedikit rasa sakitmu," ujarnya.Ia bersikap lembut seolah suami idaman, padahal Monica selama ini mati rasa pada pria. Selain karena kekerasan yang dilakukan ayahnya, ia juga beranggapan jika pria selalu bertekuk lutut di bawah selangkangan wanita, tak ada yang setia dan tulus di muka bumi.Tapi setiap kali mendapat perlakuan baik seperti hari ini, be
"Monica, buka pintunya!" Nathan terlihat panik. Sebenarnya tadi ia baru saja ingin masuk ke kamar Arini, tapi mendadak mengurungkan niatnya karena mendengar suara berisik dari kamar Monica. Seperti ada barang jatuh. Tak ada sahutan dari dalam, akhirnya mau tak mau ia harus mendobrak pintu kamar Monica. Ruangan itu sudah terang benderang, jauh berbeda dari sebelumnya. Monica juga tak ada di atas kasur. "Monica!" Ia terus memanggil Monica. Pandangannya beralih ke jendela yang terbuka, membiarkan angin masuk dan memainkan gorden sesuka hati. Padahal tadi jendelanya tertutup, apa Monica kabur lewat jendela. Buru-buru ia masuk mendekati jendela, tiba-tiba dirinya dibuat terkejut karena melihat Monica yang tergeletak di lantai tak sadarkan diri. "Ya Tuhan, Monica! Apa yang terjadi denganmu?" Tanpa membuang waktu ia membawa Monica keluar. "Siapkan mobil!" teriaknya panik pada pesuruhnya. Semua ikutan panik dan langsung melakukan perintah Nathan. Mobil disiapkan, Nathan tak menyeti
"Dokter, kondisi pasien semakin kritis."Netra Nathan yang hampir terpejam mendadak terjaga. Sedari tadi ia hanya menunggu di luar, tak peduli seberapa lama dan lelah punggungnya, ia merasa tanggung jawab Monica ada pada dirinya, ia yang membawa Monica ke dalam bahaya seperti ini.Asisten dokter yang baru saja keluar itu kembali masuk dengan seorang dokter, wajah panik terlintas di sana. Ingin bertanya lebih lanjut tapi pintunya buru-buru ditutup, mau tak mau Nathan hanya bisa melihat dari balik jendela.Monica terbaring dengan beberapa selang yang terpasang, ia berjuang sendiri bertaruh nyawa karena ulah penjahat, yang sampai detik ini tak Nathan ketahui keberadaannya. Dengan diketatkannya penjagaan, membuat Arini semakin memusuhi Monica, ia berpikir jika Monica sudah mengambil semua darinya, merasa tak adil karena tak diperlakukan serupa, juga mempersulit geraknya untuk bebas keluar masuk menemui Monica untuk memberi pelajaran, bahkan menyiksanya sampai tiada.Hampir satu jam ia me
Ponsel Monica berdering lagi, panggilan dari William. Wanita keras kepala itu memilih tak acuh, persetan dengan penjelasan yang tak masuk akal, ia benci karena William mengambil keputusan secara sepihak.Setelah beberapa panggilan ia lewatkan, satu pesan masuk dari William. Dengan enggan ia pun membacanya.[Aku tahu kau marah. Tapi aku sama sekali tak membebaskan Nathan, ia murni dibebaskan karena sikap baik dan juga sering disakiti di dalam sel sampai hampir mati, itu yang aku dengar dari penjelasan polisi. Awalnya aku juga tak mau menampung Nathan, tapi dia tak punya rumah dan sepeser pun harta, aku bertemu dengannya di tengah jalan dalam keadaan pingsan.]"Pembohong besar," sungut Monica. Satu pesan susulan masuk lagi.[Kau boleh memaki, atau bahkan menghancurkan wajahku. Tapi, Monica. Aku hanya bersikap sebagai seorang kakak, hanya dia yang dibebaskan, bukan ibu atau pun Ambar. Untuk keamanan dua keponakanku, aku juga tak berniat memberitahukannya pada Nathan, keputusan ada di tan
Edward, apa kau sudah menemukan informasi tentang Daddy?" Edgard masuk dan duduk di sebelah Edward, anak itu begitu sibuk dengan laptop di hadapan, sesekali membenarkan kacamata. Tangannya bergerak lancar di tombol, menemukan beberapa informasi penting yang sekiranya berguna. Edward menggeleng lemah, menciptakan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah Edgard. Edgard melipat kedua tangan di meja, kemudian menjadikannya penyangga dagu. "Kapan kita akan bertemu Daddy?" Edward terlihat serius dan belum menyerah, ia yakin masih ada petunjuk lain. Keduanya terus menjalin komunikasi dengan William dan juga Sean, yang berulang kali mengatakan jika dirinya begitu merindukan kedua cucunya tersebut. "Entah. Padahal keluarga Daddy sangat mudah dikenal, tapi mendapatkan potretnya saja terasa sulit. Apa mungkin semua informasi tentang Daddy terhapus dari media?" sahut Edward. Edgard berpikir keras. Ia tak yakin jika ayah kandung mereka mirip dengan William, bisa saja ayahnya jauh lebih
"Baguslah kau sudah bangun. Setelah ini aku akan mengantarmu kembali ke kantor polisi, aku juga tak ingin menampung buronan terlalu lama," ujar William yang berdiri sembari bersandar pada pintu. Nathan menoleh, tak menyangka ia sekarang berada di rumah kakak kandungnya. Sedari tadi dia berusaha mencari tempat berlindung, dan takdir masih memihak padanya, ia bertemu dengan salah satu keluarga, setidaknya Nathan bersyukur karena tak akan terlantar di jalanan. Melihat Nathan yang tersenyum malah membuat William muak, ia tak pernah melihat adik laki-lakinya itu tersenyum bahkan untuk menghormati dirinya yang lebih tua saja tidak ia lakukan. Sejak kecil Nathan adalah adik yang menyebalkan, yang selalu menempatkannya ke dalam masalah. "Kau pikir dengan senyum palsu mu itu bisa merayuku? Lupakan dan cepat pergi dari sini!" usirnya terang-terangan. "Kak, ..." William terkejut. Pertama kalinya ia mendengar panggilan Kakak dari bibir Nathan. Tapi William tak boleh terkecoh, bisa saja ini a
"Saudara Nathan, Anda dibebaskan!"Nathan yang masih terbatuk darah itu terlihat lemas, tak terhitung sudah ribuan kali ia dihajar selama di tahan, padahal ia sudah kerap berganti ruangan sel, tapi semuanya terasa mengancam nyawa. Nathan bahkan tak pernah melakukan perlawanan, ia sama sekali tak diberi kesempatan untuk membela diri, dan itu juga yang membuatnya masa tahanannya dikurangi, atau Nathan akan benar-benar mati konyol di dalam sel."Nasib baik kau bisa keluar dari sini. Tapi kau tahu, namamu sudah buruk di luar sana."Pria kekar itu kembali menghantam wajahnya, sebelum petugas kepolisian menarik Nathan keluar. Ia pingsan, dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sementara Yuan, tiga tahun yang lalu ia mati di dalam sel karena kesehatan fisiknya menurun, dan Nathan belum mengetahui kebenaran tersebut karena sel mereka terpisah. Cukup lama ia terbaring, setelah dilakukan serangkaian perawatan, Nathan terbangun dengan suara batuknya. Ya, paru-parunya bermasalah dan harus seger
"Edward, apa kau sudah menemukan informasi tentang Daddy?" Edgard masuk dan duduk di sebelah Edward, anak itu begitu sibuk dengan laptop di hadapan, sesekali membenarkan kacamata. Tangannya bergerak lancar di tombol, menemukan beberapa informasi penting yang sekiranya berguna. Edward menggeleng lemah, menciptakan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah Edgard. Edgard melipat kedua tangan di meja, kemudian menjadikannya penyangga dagu. "Kapan kita akan bertemu Daddy?" Edward terlihat serius dan belum menyerah, ia yakin masih ada petunjuk lain. Keduanya terus menjalin komunikasi dengan William dan juga Sean, yang berulang kali mengatakan jika dirinya begitu merindukan kedua cucunya tersebut. "Entah. Padahal keluarga Daddy sangat mudah dikenal, tapi mendapatkan potretnya saja terasa sulit. Apa mungkin semua informasi tentang Daddy terhapus dari media?" sahut Edward. Edgard berpikir keras. Ia tak yakin jika ayah kandung mereka mirip dengan William, bisa saja ayahnya jauh lebih
6 Bulan kemudian ... Ruang operasi menampakkan beberapa orang yang terlihat sibuk, dengan kepanikan luar biasa. Pasien wanita terbaring lemah tak sadarkan diri setelah disuntikan bius. Banyak darah yang terbuang dan membuatnya membutuhkan transfusi darah. Untungnya tidak terlalu sulit. Setelah satu masalah selesai, operasi persalinan mulai dilakukan, semuanya siap dengan tugas masing-masing. Tak ada keluarga yang menunggu, pasien itu datang seorang diri dan mengurus semuanya sendiri. Waktu operasi memakan waktu selama dua jam, dua bayi kembar berhasil diselamatkan. Beberapa orang di ruangan itu bernapas lega, sebelum akhirnya memindahkan pasien tersebut ke ruang rawat khusus selama masa pemulihan. Perawat pria masuk untuk mengecek kondisinya, menyuntikkan sesuatu pada cairan infus dan menatap pasiennya cukup lama. "Kau memang wanita yang hebat. Aku harap, setelah ini kau hanya akan mendapatkan kebahagian yang tak berujung," ujarnya lirih. Di balik masker bibirnya terseny
Kedatangan Sean dan William tentu saja disambut baik oleh Budi, pria itu turut senang ketika mengetahui kedatangan keduanya yang bermaksud untuk melamar Arini. Dari yang ia dengar dari anak-anaknya, Sean dan William adalah orang baik yang mengasingkan diri dan juga kerap melindungi Arini.Budi beruntung hal-hal baik masih menimpa dirinya, andai saja Arumi masih hidup, pasti istrinya akan sangat bahagia. Arini pun tak keberatan dan menerima lamaran William, meski mereka berdua juga heran ke mana perginya Monica, William hanya memberitahu jika Monica sedang ada urusan bisnis di luar negeri selama beberapa tahun ke depan, dan tidak bisa diganggu untuk sementara waktu.Satu bulan setelah kedatangan William, mereka benar-benar menikah, dan memutuskan untuk tetap menetap di desa, lagi pula William juga menyukai suasana di sana, meski sesekali mengurus pekerjaan di kota, ia tetap tak lupa pada tanggung jawabnya."Sayang, masak apa hari ini?"Tangan kekar William melingkar di pinggang ramping
"Selamat, ya! Usia kehamilan Anda sudah memasuki tiga bulan." Bagaimana tersambar petir, ini kabar yang tidak ingin ia dengar. Monica semakin panik, tapi berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan emosinya sendiri. Ingin marah pada siapa? Nathan? Pria itu sudah mendekam di penjara. "Dokter yakin ini hasil akhirnya?" Dokter tersebut tersenyum. Ia malah menawarkan tes USG, akhirnya Monica menyetujui. Dan hasilnya, ia bisa melihat dengan jelas wujud makhluk kecil di dalam perutnya. Refleks ia menangis, membuat dokter berpikir jika Monica hanya terharu. Ia pergi, dengan perasaan yang entah. Karena tak percaya, ia memutuskan untuk mengecek kandungannya di beberapa rumah sakit kota dan hasilnya tetap sama. Di dalam mobil pikirannya entah ke mana. Monica meremas kuat perutnya, berharap makhluk tak berdosa itu segera pergi dan hancur di dalam sana. Ia memukul beberapa kali tapi berakhir dengan suara tangis yang menggema di seisi mobil. Malam semakin larut, sementara dirinya ma
Pintu tiba-tiba terbuka, beberapa orang berseragam datang menerobos masuk secara paksa ke ruangan Nathan. "Apa-apaan ini? Kalian bersikap tidak sopan di tempatku," bentak Nathan garang. "Angkat tangan dan jangan bergerak! Anda ditangkap atas kasus penganiayaan yang dilakukan terhadap saudari Arini." Nathan langsung menoleh cepat ke arah Monica. Wanita itu memasang wajah sedih dan juga air mata palsunya. "Pak, ini pasti hanya salah paham. Tolong jangan tangkap suami saya!" "Maaf, Bu. Barang bukti sudah ada di kantor polisi. Jika ingin menjelaskan lebih lanjut, silahkan ke kantor polisi. "Sayang, apa ini rencanamu?" Monica yang tadinya nangis malah tersenyum miring. Buru-buru ia mengganti ekspresi dan berbicara mengiba pada beberapa anggota itu. "Bolehkah saya memeluknya dulu?" Mereka saling adu tatap seperti meminta persetujuan, atau mungkin keheranan. Karena sebagai korban, Monica dianggap terlalu baik pada suaminya. "Baiklah. Satu menit!" Monica tersenyum antus