“Jadi, kapan kita menikah?”
Dua pasang kaki beriringan masuk, bahkan sebelum menyentuh sofa, pertanyaan logis langsung terucap dari bibir Monica. Nathan menahan senyum, mengira jika Monica sebenarnya terlalu terburu-buru karena telah melihat kekayaannya yang terpampang jelas sekarang. “Kau sangat tidak sabaran. Sepertinya setiap wanita pasti akan silau dengan harta, jika tadinya kau menolak dengan tegas, sekarang kau justru terdengar mendesakku untuk segera menikahimu.” Monica menatap Nathan yang menurutnya terlalu percaya diri, senyum miring terlihat menjengkelkan buat Nathan, terkesan menghina dan meremehkan. “Rasa percaya dirimu cukup bagus, tapi aku tak tertarik. Tujuan awal kau membawaku ke sini kan untuk menikah, jika hanya ingin bermain-main, kau salah memilih lawan. Dan satu lagi, apa keuntungannya setelah aku menikah denganmu nanti?” Nathan sedikit takjub dengan cara berpikir Monica, tidak mudah diperdaya padahal ia banyak menghabiskan waktu di tempat liar yang minim pendidikan. Napas kasar ia embuskan, dengan tetap tenang menyuruh Monica duduk. Sekilas ia menatap ke lantai atas, kemudian melempar pandang ke arah wanita paruh baya dengan pakaian pelayan yang sedari tadi berdiri menunggu perintah. Hanya dengan kode jari, mampu membuat pelayan itu menunduk patuh dan berlalu ke lantai atas. Kecurigaan Monica semakin besar, seperti ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. “Sebelum aku jelaskan, bisakah kau duduk sebentar?” Monica melirik sebentar, kemudian mengambil tempat tepat di depan Nathan, meski segudang pertanyaan tengah bersarang di otaknya. “Besok kita akan menikah di gedung yang sedikit jauh dari sini. Dan keuntungan yang kau dapatkan nanti tak akan mengecewakan. Selain kebebasan, aku juga akan memberikanmu rumah, kendaraan, dan juga uang. Tapi dengan syarat, kau tak perlu terlalu ingin tahu masalah pribadiku, Monica.” “Itu saja?” tanya Monica santai. “Satu lagi, status pernikahan kita hanya sebatas pernikahan di atas kertas. Aku juga membebaskanmu dari semua kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh istri pada umumnya. Dan ya, siapa pun yang kau temui, tetap ingat namamu adalah Arini, bukan Monica!” Tak lama seorang pria masuk dan meletakkan map cokelat di atas meja, beserta pena. “Tanda tangan di sini jika kau setuju!” Monica tak gampang dibodohi, ia memilih membaca beberapa peraturan yang tak boleh dilanggar selama menjadi istri Nathan. Tak boleh menunjukkan identitas asli, bersikap anggun dan ramah, jangan pernah ke lantai atas tanpa seizinnya, dan tak boleh menuntut hak untuk diakui di depan publik jika misalnya publik tahu bahwa ia bukan Arini yang asli. Ada lebih banyak lagi, Monica tak memiliki hak untuk mengatur dan melarang Nathan dalam hal apa pun, begitu pun sebaliknya. “Rupanya kau banyak mau, ya. Ck! Terlalu rumit, tapi aku setuju.” Monica meraih pena, kemudian menandatangani surat perjanjian tersebut. Tadinya Monica pikir, ia akan menghabiskan waktu di rumah ini, tapi rupanya Nathan sudah menyiapkan tempat tinggalnya sendiri. Setelah perbincangan itu, ia benar-benar dibawa ke sebuah rumah mewah tapi tak lebih besar dari kediaman Nathan. Tinggal seorang diri benar-benar membuatnya bebas, setelah sekian lama akhirnya ia merasakan kebebasan ini. Monica, wanita malam yang dikenal liar dan pemberani kini terduduk lemas di belakang pintu, air mata itu benar-benar tak bisa ia tahan, antara haru, bahagia, memang sulit dijelaskan. Akhirnya kebebasan yang hanya sebatas angan kini menjadi kenyataan. Setelah puas mengenang semuanya, ia memilih mengelilingi rumah baru yang kini jadi miliknya. Dulu ia harus berusaha payah menjadi liar untuk meraup uang, berbaring di ranjang demi kepuasan pelanggan untuk mendapatkan lembar biru dan merah, tapi sekarang ia hanya perlu menjadi istri tanpa disentuh, sudah membuatnya mendapatkan segala apa yang sejak dulu tak pernah terwujud. “Tapi aku masih penasaran, siapa wanita tadi. Kelihatannya Nathan sengaja menyembunyikan wanita itu, tapi kenapa?” gumamnya penasaran. ** “Sebentar! Kau yakin tak ada yang perlu ditunggu? Yang benar saja orang kaya sepertimu melakukan pernikahan sesederhana ini?” Monica protes ketika melihat gedung mewah yang mereka tempati, hanya berisi penghulu dan beberapa saksi yang bisa dihitung jari, tak ada dekorasi mewah, atau fotografer untuk mengabadikan momen sekali seumur hidupnya, tak ada gaun mewah, hanya terusan sederhana berwarna putih, dan juga riasan yang ia poles sendiri di wajahnya. Nathan juga sama, hanya memakai jas formal sebagai pelengkap tanpa membawa mahar dan sejenisnya. Hanya sekotak cincin dan ini benar-benar membuat Monica tak habis pikir dengan isi kepala Nathan. “Kau ingin bermain-main, ya? Tak ada persiapan apa pun, apa sulitnya menghubungi pihak WO?” Nathan terdiam tak merespons, sampai akhirnya Monica terdiam memendam rasa kesalnya. “Sudah selesai protesnya?” tanyanya datar. “Kita cuman butuh kertas bukti kalau pernikahan ini benar-benar terjadi, jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Kau mungkin akan mendapatkan pernikahan impianmu tapi tidak denganku. Jadi, bagaimana? Mau tetap menikah, atau menuruti keras kepalamu yang banyak mau itu?” Mau tak mau Monica akhirnya berhenti protes, pernikahan apa adanya berjalan lancar dalam waktu singkat, tak ada suasana haru, tak ada pesta atau apa pun. Salahnya berharap lebih, ia pikir karena Nathan adalah pria kaya, pasti bisa menuruti pikiran masa kecilnya yang bermimpi menjadi ratu sehari di pelaminan mewah. Beberapa hari ia benar-benar ditinggal sendiri. Jika pengantin baru pada umumnya menghabiskan malam pertama, ia justru sudah ditinggal terpisah setelah menikah. Malam semakin larut, dan Monica masih betah duduk di jendela kamarnya. Ponsel yang ia beli sehari setelah menikah malah dibiarkan begitu saja di atas kasur. Tiba-tiba wanita dengan baju putih berdiam diri di depan gerbang. Rasa takut mendera, tapi penasarannya bisa mengalahkan rasa takut itu sendiri. “Sial! Siapa itu?” Monica bergegas keluar kamar, tapi baru selangkah mencapai pintu, ponselnya malah berdering. “Fuck! Kenapa harus menelepon di waktu yang tidak tepat begini?” makinya sebelum akhirnya meraih telepon itu. “Apa!? Tidakkah kau memiliki jam di rumah? Ini waktunya istirahat dan kau malah mengganggu waktu tidurku!” Suara deheman dari seberang sana tak membuat nyalinya ciut, ia kembali melempar pandang ke arah jendela, dan wanita tadi sudah menghilang entah ke mana. “Sialan! Dia menghilang.” “Monica, berhenti memaki dan dengarkan aku!” Monica terdiam, tapi bibirnya masih mengerucut menahan makian lain yang sekarang tertahan. “Ibu kritis. Kita harus ke rumah sakit sekarang!” “Monica, kau dengar aku?” Kabar mengejutkan membuatnya mematung sejenak, tak ada alasan lain, ia harus segera bersiap sebelum Nathan menjemputnya ke rumah. Meski sejatinya ia masih penasaran siapa yang mengintai rumahnya dari pagar barusan. Tak lama kendaraan roda empat milik Nathan tiba, tanpa basa-basi Monica turut serta mengambil tempat di samping kemudi. Raganya memang ada di sisi Nathan, tapi pikirannya masih mengarah pada wanita misterius tadi. “Ingat, jangan menunjukkan sikap yang mencurigakan! Kau harus terlihat lembut dan anggun, buang muka judesmu itu jauh-jauh!” Nathan terus mengoceh, memberi wejangan yang ternyata tak didengar Monica, ia masih terlalu sibuk dengan argumen yang diciptakan otaknya sendiri tentang sosok di depan gerbang. “Monica, kau mengerti?” Karena tak kunjung mendapat jawaban, dengan marah ia menghentikan mobil secara tiba-tiba, membuat Monica terkejut karena hampir saja terpental ke depan, jika saja tak memakai sabuk pengaman dengan baik. “Gila ya Lo? Sialan kalau ngga bisa nyetir itu ngomong lah!” maki Monica jengkel. Bukannya minta maaf, Nathan malah menatap Monica dengan tajam. Mendadak Nathan mencengkeram rahangnya, membuat sepasang mata itu mengarah tepat pada Nathan, raut marah tercetak jelas. “Kau tahu, saya tak suka diabaikan ketika sedang berbicara,” lirihnya dengan suara berat sedatar mungkin.Di depan ruangan banyak orang yang menunggu dengan gelisah. Suasana benar-benar genting, sampai akhirnya semua tatapan tertuju pada Monica dan Nathan yang baru saja tiba.“Kak, bagaimana keadaan ibu?” tanya Nathan getir. Seorang pria yang jauh lebih tua darinya itu memandang dan berusaha menahan rasa sedihnya sendiri.“Tenanglah! Kita semua masih menunggu keterangan dokter sekarang,” balasnya dengan satu tangan yang menepuk bahu Nathan perlahan. Monica kini terlihat lebih santai, meski sedikit gelisah, sementara dua wanita yang tak jauh darinya malah menatap sinis.“Arini, kau sudah benar-benar sembuh ternyata?”Nathan menatap istrinya yang kebingungan, menggenggam jemari lembutnya sebelum tersenyum ke arah dua wanita itu.“Tapi baru kemarin aku melihatmu terbaring sakit seperti orang mati. Bukankah terlalu cepat sampai kau bisa berdiri di hadapan kami semua sekarang?” Ambar membuatnya sedikit takut, bagaimana jika Monica tahu banyak tentang rahasianya.“Kak Ambar, tolong fokus pada k
“Aku begitu khawatir ketika meninggalkanmu bersama ibu, tapi rupanya kau adalah bakal aktor hebat, Monica.”Jika biasanya Monica yang terdengar cerewet, sekarang ia malah tak acuh pada pernyataan konyol Nathan, tidak penting. “Kau pasti sedang berpikir keras siapa itu Arini,” celetuknya lagi berusaha memancing Monica untuk bicara. Monica memilih memejamkan matanya, dan melipat kedua tangan di dada, dengan wajah yang ia arahkan ke arah jendela.Nathan menyerah. Ternyata seperti ini rasanya mencari topik pembicaraan, tapi yang diajak bicara adalah batu karang. Sepanjang jalan keduanya hanya bisu, tak lama mobil berhenti, otomatis membuat Monica langsung terjaga. “Tetap di sini!” perintah Nathan. Monica menguap malas, ternyata Nathan membawanya ke rumah ini, bukan kediamannya. Netranya menatap Nathan yang telah menghilang di balik pintu. Awalnya ia memang sabar menunggu, memainkan ponsel dan mencoba aplikasi baru yang belum ia tahu, sampai menonton video, Nathan belum juga keluar.“Ng
Jemarinya bergerak, disusul netra yang perlahan terbuka memindai sekeliling, ruangan serba putih ia lihat lagi setelah menjadi istri Nathan. Bodohnya mengapa terlihat lemah di hadapan pria angkuh seperti Nathan, harusnya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri.Bayangan Nathan membentaknya harusnya adalah hal sepele, hanya saja kenapa wajah Budi yang melintas di hadapannya, bedanya Nathan tak membawa serta cambuk, atau mungkin belum. Itu yang membuatnya tak ingin mengenal lelaki lebih jauh, atau nasibnya akan memburuk di tangan laki-laki. ‘Aku yakin pasti ada seseorang selain dirinya di tempat itu,’ batinnya. Untuk melihat keadaan di luar saja ia tak bisa, jendela yang tertutup gorden itu menghalangi pandangannya. Perlahan ia bangkit, mencabut selang yang menempel di punggung tangan, lagi pula dirinya tak sakit keras.Kedua tangan menyingkap gorden, ternyata langit sudah gelap. Baru saja berdiri, suara bariton Nathan terdengar dari belakang. “Kau sudah sadar?” Sudut bibir Monica teran
Kolam belakang rumah menjadi tempat favoritnya di pagi ini, entah karena kelelahan tapi semua badannya terasa remuk, membuat tidur malamnya tenang tanpa hambatan. Secangkir kopi panas yang ia buat sendiri itu menemani. Sumpah, rasanya ia belum pernah hidup sesantai ini di rumah sendiri. Sepasang kaki jenjang menjuntai ke dalam air, ingin berenang tapi terlalu takut tenggelam. Ia ingat, terakhir berenang pun hanya ketika masih berusia 8 tahun, di sungai bersama teman sebayanya, meski berakhir dengan bekas rotan di betis mungilnya karena nekat main basah-basahan.Kehadiran Nathan ternyata mengubah hidupnya menjadi lebih baik, meski terkadang pria itu juga yang membangkitkan traumanya. Benda pipih ia arahkan pada kaki yang menjuntai indah ke dalam air jernih yang sedikit kebiruan, karena pantulan keramiknya, iseng mengunggahnya ke sosial media untuk pertama kalinya.Tiba-tiba satu pesan masuk di akunnya. [Kaki yang indah, pasti wajahnya juga tak kalah jelita.]Monica bergidik geli. Apa-
“Malam ini kayaknya aku harus ke rumah Nathan deh. Kan ngga mungkin banget harus mesan makanan cepat saji lagi. Atau aku sewa tukang masak khusus aja ya di rumah? Atau aku minta salah satu pelayan di rumah itu aja buat tinggal di sini, lagian di sana juga kebanyakan deh kayaknya,” gumamnya sendiri.Monica bersiap, merias diri seadanya dan meraih benda pipih yang tak pernah ia lepas itu. Mobil pesanannya sudah menunggu di halaman. Berhubung ia belum bisa mengemudi sendiri, terpaksa mobil pribadinya hanya berdiam diri di garasi. Sepanjang jalan ia berusaha menahan diri agar tidak merokok, mengunyah beberapa permen untuk mengalihkan kebiasaan buruknya, bisa saja di dalam mobil ini juga dilarang merokok. Tak lama mobil itu berhenti di depan gerbang rumah mewah Nathan, bangunan yang jarang ia kunjungi. Kaki jenjangnya menuntunnya ke dalam, seiring dengan gerbang yang sudah dibuka lebar mempersilahkan. Wanita cantik serupa Arini itu tak lagi sungkan, ia masuk tanpa harus merasa asing atau
“Ada yang kau sembunyikan dari ibu ‘kan?” selidik Yuan. Ia tetap menatap mata Nathan untuk mendeteksi kebohongan. Nathan terdiam. Khawatir jika Monica juga akan disiksa Yuan sama seperti perlakuan mereka pada Arini. Ia tahu tugasnya, tapi tidak untuk dikerjakan sekarang Nathan butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. “Apa Arini membangkang lagi?” “Ibu, diamlah! Ini bukan tentang Arini. Nathan hanya punya masalah dengan pesaing perusahaan kita. Hanya itu saja,” kilahnya meyakinkan.Yuan diam. Entah tapi ia merasa Nathan sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Sebenarnya kedatangannya ke sini juga untuk itu, ingin meluruskan kejanggalan yang terjadi waktu dirinya masih berada di rumah sakit.“Kau yakin yang bersamamu itu adalah Arini?” “Apa maksud ibu?”“Nathan. Arini dibesarkan dengan tanganku juga. Ibu tahu seperti apa Arini, dia memang masih terlihat sopan, tapi Arini bukan tipikal wanita yang banyak bicara, bagaimana cara dia tersenyum, mengajak bercanda, dari mana Ari
Langit pekat sedikit menarik, membuat sepasang netra itu hanya memfokuskan pandangannya ke satu arah meski tak ada sedikit cahaya pun yang terlihat di cakrawala. Balkon atas diterpa angin sedingin salju, tapi gadis itu masih bergeming berdiri sembari mengeratkan pakaian tebalnya. “Ibu, entah seperti apa rupamu. Mungkin aku hanya akan merasakan rindu tanpa temu. Kata mereka ibu berhati lembut, bertutur kata halus, pribadi yang sabar dan patuh.” Tak terasa dua sudut matanya berair, untuk ke sekian kalinya ia lemah jika sudah mengingat ibunya, terlebih jika kenangan pahit itu terputar bak film lawas yang penuh derita, gadis kecil yang bermain saja seperti melakukan dosa besar, berapa banyak luka yang disembuhkan sendiri, mendapat tatapan iba dan kasihan dari tetangga.Sosok pria yang harusnya mengayomi dan menjadi cinta pertamanya, malah menuduh dirinya pembunuh dan pembawa sial, anak terkutuk yang mengancam nyawa hingga bidadarinya terbujur kaku, rasanya tidak pantas seorang bayi yang
Semua uang berada di ruangan pun terkejut, tak terkecuali Yuan sendiri. Melihat keberanian di mata Monica, ia memutuskan untuk berhenti mencari raut ketakutan yang dulu sering Arini tunjukkan padanya. Monica kembali berusaha mengendalikan diri, tetap memasang senyum dan menyuruh Yuan untuk berhenti bersikap seperti tak mengenalinya. “Ibu, aku berusaha memperbaiki semuanya. Tolong jangan memperbesar masalah yang seharusnya tidak menjadi masalah!”“Baiklah,” ucap Yuan akhirnya. Ia tak bisa terus menerus berdebat atau bahkan bertengkar dengan Monica, karena sejatinya yang ia hadapi bukan Arini. Untuk mencairkan suasana, Monica mengalihkan emosi Yuan dengan mengajaknya makan bersama. Sifatnya benar-benar jauh berbeda. Sekarang ia mulai sedikit memahami, Arini sejatinya bukan menantu kesayangan, justru dia gadis malang yang sering disiksa. Lalu, mengapa sikapnya begitu manis ketika berada di rumah sakit, bertingkah seolah ia paling mencintai Arini, dan seakan tak peduli pada darah daginy
Monica terlihat fokus membaca contoh laporan yang dibuat Nathan, suaminya begitu telaten mengajari karena ingin memanfaatkan waktu saat tak ada kesibukan."Perhatikan laporan yang ingin kau tulis, sumbernya, dan juga cara penulisannya. Dalam membuat laporan juga dibutuhkan reset nyata, bukan karangan semata!"Monica mengangguk antusias. Takdir baik berpihak padanya. Dari pelacur menjadi asisten di perusahaan besar tanpa mengenyam pendidikan. Tanpa ijazah, tanpa pengalaman kerja, yang dibutuhkan hanya nekat dan tidak tahu diri. Eh.Baru saja Nathan ingin menjelaskan lebih lanjut, ponselnya berdering. Nama secret tertera di layar, membuat Monica sedikit bisa melihat dengan sudut matanya yang lincah. Rupanya Nathan bukan pria setia, mengapa ada nomor dengan nama seperti itu?Nathan berusaha abai, tapi telepon itu terasa mengganggu, membuat Monica mau tak mau angkat suara. Ia muak mendengar suara ponsel yang berulang, membuat kepalanya pening."Angkat! Siapa tahu penting," tutur Monica.
"Hem, sebaiknya kita mengobrol di dalam."Yuan setuju dan tak keberatan masuk, pintu tetap dibiarkan terbuka. Sebenarnya sedari tadi ia terus menyisir sekeliling mencari keberadaan salah satu putri Budi.Pasti anak itu sudah dewasa, tapi di mana dia sekarang? Yuan tersenyum tipis ketika Budi menyuguhkan segelas air putih, ia ternyata masih ingat jika Yuan tak terlalu menyukai minuman manis."Kau masih terlihat cantik, Yuan.""Aku sudah menua. Memiliki tiga anak yang sudah dewasa pastinya sangat tidak mungkin jika aku masih terlihat muda dan cantik," ujar Yuan panjang lebar.Suasana mendadak canggung, semua larut dalam masa lalu. Dulu dia menolak Yuan yang sempurna demi Arumi. Kecantikan Arumi dan sikap cerianya membius Budi, membuatnya menutup mata dari Yuan si cantik dari keluarga kaya, yang juga memiliki hati yang baik.Tapi saat dia menikah, sikap Yuan menjadi jahat. Jika mengingat itu, membuat Budi merasa bersalah pada Yuan."Bagaimana kabar putriku?""Maaf, Budi. Dia bukan lagi p
"Hei, dari tadi kau terus melamun sambil tersenyum. Ada apa?"Yuan dengan dress selutut juga pita rambut di atas kepala tersenyum malu, wajahnya memerah. Ia menyembunyikan sesuatu sembari menatap sungai kecil di hadapannya. Kakinya berselonjor, memamerkan sepatu putih yang khas dengan kulitnya yang bersih.Dari semua orang yang berada di desa Bunga, ia adalah satu-satunya yang terlahir dari keluarga berada, sawah dan ladang hampir semua milik keluarganya, tapi beruntung untuk memilih teman, orang tua Yuan tak pernah mengatur dan mengekang terlalu jauh.Yuan, dari namanya saja sudah banyak yang tahu ia memiliki keturunan campuran cina, dari nenek moyangnya. Yang memiliki harta kekayaan lebih banyak dari warga asli pribumi. "Ah kamu ngga asik. Sekarang main rahasia-rahasia ya sama aku," seloroh Arumi mengambil tempat di sisi Yuan. Arumi gadis desa yang terkenal dengan kecantikan aslinya, juga tutur kata lembut, periang, dan lentera di keluarga kecilnya. Ia selalu bisa membuat siapa pu
BRAK!!!Nathan melempar kertas ke atas meja, duduk bersandar sambil melipat kakinya angkuh, ia menatap jengah ke arah Zon yang seolah kebingungan."Apa ini, Pak?""Surat pemecatan. Kau dipecat secara tidak terhormat! Bahkan pesangon untuk semua jerih payahmu hangus."Netra Zon terbelalak kaget. Ia baru saja keluar dari gudang dengan kepala linglung tapi sudah diberi kejutan tak terduga. Tadi yang ia ingat adalah, dirinya tengah menggagahi Monica, tapi mendadak kesadarannya hilang, ia tak ingat kejadian setelahnya."Apa saya membuat kesalahan, Pak? Sementara selama ini saya mengabdi penuh untuk bapak dan perusahaan ini," ucapnya memberi pembelaan. Nathan tersenyum sinis, dan Monica berpura-pura tuli di kursi sudut ruangan sana. Ia asik dengan benda pipih di tangan, sedikit pun tak memandang Zon, seolah tak pernah terjadi apa pun pada mereka. Jika mengingat benda tumpul yang sempat menyentuh bibir bawahnya, Monica bergidik dan langsung merasa jijik, beruntung tak jadi masuk dan menga
"Maksud, Bu Arini?"Monica menyapu sekeliling. Kemudian tersenyum tipis."Lupakan. Oh iya, sudah cukup berkelilingnya."Zon mendesah kecewa, ia gagal menikmati momen indah bersama Monica, tak tahu saja wanita itu sudah merencanakan sesuatu. Monica kembali ke ruangan Nathan, dan meraih ponselnya."Sudah dapat buktinya?" Lirikan tajam Monica arahkan pada Nathan."Jangan memecah fokusku! Urus perusahaanmu saja dulu."Nathan mencibir dan lanjut menyibukkan diri. Tak lama telepon kantor berbunyi, ada pengantar paket atas nama Nathan. Pria itu menoleh ke arah Monica, yang kini mengangguk pelan. Setelah itu, pintu ruangannya di ketuk, paket tanpa informasi barang itu diantar masuk.Monica mengambilnya, dan membuka dengan senang."Aku harap kau tak menciptakan keributan di sini," tegur Nathan."Diam!"Monica kembali sibuk dengan paketnya, ia kemudian mengeluarkan sebotol parfum tanpa merk, kemudian mengantonginya."Apa itu?""Nanti kau akan tahu. Oh iya, perintahkan Zon ke gudang lantai palin
Mobil mewah milik Nathan tiba di kantor, jika biasanya ia akan turun ketika pintu mobil dibuka, sekarang ia keluar sendiri. Nathan berdiri sebentar merapikan jas, sebelum akhirnya berjalan ke arah samping kemudi. Tangannya membuka pintu mobil. Kaki jenjang mulus milik Monica muncul lebih dulu, rambut panjang yang diatur sedemikian rupa sangat cocok dengan wajahnya, kacamata hitam menutupi mata cantik Monica, riasan glamor tak membuat cantiknya luntur, wajahnya bersinar dan berjalan dengan anggun di sisi Nathan. Layaknya pasangan yang menikah karena cinta, Monica berjalan sembari menggamit lengan Nathan mesra. "Siapa dia?" "Ibu Arini? Hah? Benarkah?" "Ya Tuhan cantik sekali!" Bisik-bisik itu terdengar jelas, tapi mereka memilih tak acuh, bahkan sapaan terus bersahutan, tapi tak satu pun dari mereka yang membalas sapaan tersebut. Beberapa karyawan terlihat heran, ia tak seperti yang diceritakan Yuan. Menurut Yuan, Arini pemalu sampai tak ingin menunjukkan dirinya pada med
"Dokter, kondisi pasien semakin kritis."Netra Nathan yang hampir terpejam mendadak terjaga. Sedari tadi ia hanya menunggu di luar, tak peduli seberapa lama dan lelah punggungnya, ia merasa tanggung jawab Monica ada pada dirinya, ia yang membawa Monica ke dalam bahaya seperti ini.Asisten dokter yang baru saja keluar itu kembali masuk dengan seorang dokter, wajah panik terlintas di sana. Ingin bertanya lebih lanjut tapi pintunya buru-buru ditutup, mau tak mau Nathan hanya bisa melihat dari balik jendela.Monica terbaring dengan beberapa selang yang terpasang, ia berjuang sendiri bertaruh nyawa karena ulah penjahat, yang sampai detik ini tak Nathan ketahui keberadaannya. Dengan diketatkannya penjagaan, membuat Arini semakin memusuhi Monica, ia berpikir jika Monica sudah mengambil semua darinya, merasa tak adil karena tak diperlakukan serupa, juga mempersulit geraknya untuk bebas keluar masuk menemui Monica untuk memberi pelajaran, bahkan menyiksanya sampai tiada.Hampir satu jam ia me
"Monica, buka pintunya!" Nathan terlihat panik. Sebenarnya tadi ia baru saja ingin masuk ke kamar Arini, tapi mendadak mengurungkan niatnya karena mendengar suara berisik dari kamar Monica. Seperti ada barang jatuh. Tak ada sahutan dari dalam, akhirnya mau tak mau ia harus mendobrak pintu kamar Monica. Ruangan itu sudah terang benderang, jauh berbeda dari sebelumnya. Monica juga tak ada di atas kasur. "Monica!" Ia terus memanggil Monica. Pandangannya beralih ke jendela yang terbuka, membiarkan angin masuk dan memainkan gorden sesuka hati. Padahal tadi jendelanya tertutup, apa Monica kabur lewat jendela. Buru-buru ia masuk mendekati jendela, tiba-tiba dirinya dibuat terkejut karena melihat Monica yang tergeletak di lantai tak sadarkan diri. "Ya Tuhan, Monica! Apa yang terjadi denganmu?" Tanpa membuang waktu ia membawa Monica keluar. "Siapkan mobil!" teriaknya panik pada pesuruhnya. Semua ikutan panik dan langsung melakukan perintah Nathan. Mobil disiapkan, Nathan tak menyeti
Kendaraan roda empat tiba di pekarangan rumah Nathan. Berkat surat palsu, Monica berhasil mengelabui Nathan dan mengatakan jika ia kehilangan bayinya. Padahal ia tak hamil. Monica turun, bersikap seolah pura-pura sakit di bagian perut bawahnya."Hati-hati!"Nathan memapah dengan telaten, keduanya masuk seperti biasa akan disambut banyak pelayan. Perlahan Monica duduk di kursi, tanpa disuruh Nathan langsung memijat kakinya yang mungkin merasa pegal."Apa yang kau lakukan?" Monica berusaha menyingkirkan kakinya. Tapi, Nathan terlanjur memegang erat kaki mulus Monica agar tetap berada di tempat."Kau baru saja terluka, aku hanya meringankan sedikit rasa sakitmu," ujarnya.Ia bersikap lembut seolah suami idaman, padahal Monica selama ini mati rasa pada pria. Selain karena kekerasan yang dilakukan ayahnya, ia juga beranggapan jika pria selalu bertekuk lutut di bawah selangkangan wanita, tak ada yang setia dan tulus di muka bumi.Tapi setiap kali mendapat perlakuan baik seperti hari ini, be