“Jadi, kapan kita menikah?”
Dua pasang kaki beriringan masuk, bahkan sebelum menyentuh sofa, pertanyaan logis langsung terucap dari bibir Monica. Nathan menahan senyum, mengira jika Monica sebenarnya terlalu terburu-buru karena telah melihat kekayaannya yang terpampang jelas sekarang. “Kau sangat tidak sabaran. Sepertinya setiap wanita pasti akan silau dengan harta, jika tadinya kau menolak dengan tegas, sekarang kau justru terdengar mendesakku untuk segera menikahimu.” Monica menatap Nathan yang menurutnya terlalu percaya diri, senyum miring terlihat menjengkelkan buat Nathan, terkesan menghina dan meremehkan. “Rasa percaya dirimu cukup bagus, tapi aku tak tertarik. Tujuan awal kau membawaku ke sini kan untuk menikah, jika hanya ingin bermain-main, kau salah memilih lawan. Dan satu lagi, apa keuntungannya setelah aku menikah denganmu nanti?” Nathan sedikit takjub dengan cara berpikir Monica, tidak mudah diperdaya padahal ia banyak menghabiskan waktu di tempat liar yang minim pendidikan. Napas kasar ia embuskan, dengan tetap tenang menyuruh Monica duduk. Sekilas ia menatap ke lantai atas, kemudian melempar pandang ke arah wanita paruh baya dengan pakaian pelayan yang sedari tadi berdiri menunggu perintah. Hanya dengan kode jari, mampu membuat pelayan itu menunduk patuh dan berlalu ke lantai atas. Kecurigaan Monica semakin besar, seperti ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. “Sebelum aku jelaskan, bisakah kau duduk sebentar?” Monica melirik sebentar, kemudian mengambil tempat tepat di depan Nathan, meski segudang pertanyaan tengah bersarang di otaknya. “Besok kita akan menikah di gedung yang sedikit jauh dari sini. Dan keuntungan yang kau dapatkan nanti tak akan mengecewakan. Selain kebebasan, aku juga akan memberikanmu rumah, kendaraan, dan juga uang. Tapi dengan syarat, kau tak perlu terlalu ingin tahu masalah pribadiku, Monica.” “Itu saja?” tanya Monica santai. “Satu lagi, status pernikahan kita hanya sebatas pernikahan di atas kertas. Aku juga membebaskanmu dari semua kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh istri pada umumnya. Dan ya, siapa pun yang kau temui, tetap ingat namamu adalah Arini, bukan Monica!” Tak lama seorang pria masuk dan meletakkan map cokelat di atas meja, beserta pena. “Tanda tangan di sini jika kau setuju!” Monica tak gampang dibodohi, ia memilih membaca beberapa peraturan yang tak boleh dilanggar selama menjadi istri Nathan. Tak boleh menunjukkan identitas asli, bersikap anggun dan ramah, jangan pernah ke lantai atas tanpa seizinnya, dan tak boleh menuntut hak untuk diakui di depan publik jika misalnya publik tahu bahwa ia bukan Arini yang asli. Ada lebih banyak lagi, Monica tak memiliki hak untuk mengatur dan melarang Nathan dalam hal apa pun, begitu pun sebaliknya. “Rupanya kau banyak mau, ya. Ck! Terlalu rumit, tapi aku setuju.” Monica meraih pena, kemudian menandatangani surat perjanjian tersebut. Tadinya Monica pikir, ia akan menghabiskan waktu di rumah ini, tapi rupanya Nathan sudah menyiapkan tempat tinggalnya sendiri. Setelah perbincangan itu, ia benar-benar dibawa ke sebuah rumah mewah tapi tak lebih besar dari kediaman Nathan. Tinggal seorang diri benar-benar membuatnya bebas, setelah sekian lama akhirnya ia merasakan kebebasan ini. Monica, wanita malam yang dikenal liar dan pemberani kini terduduk lemas di belakang pintu, air mata itu benar-benar tak bisa ia tahan, antara haru, bahagia, memang sulit dijelaskan. Akhirnya kebebasan yang hanya sebatas angan kini menjadi kenyataan. Setelah puas mengenang semuanya, ia memilih mengelilingi rumah baru yang kini jadi miliknya. Dulu ia harus berusaha payah menjadi liar untuk meraup uang, berbaring di ranjang demi kepuasan pelanggan untuk mendapatkan lembar biru dan merah, tapi sekarang ia hanya perlu menjadi istri tanpa disentuh, sudah membuatnya mendapatkan segala apa yang sejak dulu tak pernah terwujud. “Tapi aku masih penasaran, siapa wanita tadi. Kelihatannya Nathan sengaja menyembunyikan wanita itu, tapi kenapa?” gumamnya penasaran. ** “Sebentar! Kau yakin tak ada yang perlu ditunggu? Yang benar saja orang kaya sepertimu melakukan pernikahan sesederhana ini?” Monica protes ketika melihat gedung mewah yang mereka tempati, hanya berisi penghulu dan beberapa saksi yang bisa dihitung jari, tak ada dekorasi mewah, atau fotografer untuk mengabadikan momen sekali seumur hidupnya, tak ada gaun mewah, hanya terusan sederhana berwarna putih, dan juga riasan yang ia poles sendiri di wajahnya. Nathan juga sama, hanya memakai jas formal sebagai pelengkap tanpa membawa mahar dan sejenisnya. Hanya sekotak cincin dan ini benar-benar membuat Monica tak habis pikir dengan isi kepala Nathan. “Kau ingin bermain-main, ya? Tak ada persiapan apa pun, apa sulitnya menghubungi pihak WO?” Nathan terdiam tak merespons, sampai akhirnya Monica terdiam memendam rasa kesalnya. “Sudah selesai protesnya?” tanyanya datar. “Kita cuman butuh kertas bukti kalau pernikahan ini benar-benar terjadi, jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Kau mungkin akan mendapatkan pernikahan impianmu tapi tidak denganku. Jadi, bagaimana? Mau tetap menikah, atau menuruti keras kepalamu yang banyak mau itu?” Mau tak mau Monica akhirnya berhenti protes, pernikahan apa adanya berjalan lancar dalam waktu singkat, tak ada suasana haru, tak ada pesta atau apa pun. Salahnya berharap lebih, ia pikir karena Nathan adalah pria kaya, pasti bisa menuruti pikiran masa kecilnya yang bermimpi menjadi ratu sehari di pelaminan mewah. Beberapa hari ia benar-benar ditinggal sendiri. Jika pengantin baru pada umumnya menghabiskan malam pertama, ia justru sudah ditinggal terpisah setelah menikah. Malam semakin larut, dan Monica masih betah duduk di jendela kamarnya. Ponsel yang ia beli sehari setelah menikah malah dibiarkan begitu saja di atas kasur. Tiba-tiba wanita dengan baju putih berdiam diri di depan gerbang. Rasa takut mendera, tapi penasarannya bisa mengalahkan rasa takut itu sendiri. “Sial! Siapa itu?” Monica bergegas keluar kamar, tapi baru selangkah mencapai pintu, ponselnya malah berdering. “Fuck! Kenapa harus menelepon di waktu yang tidak tepat begini?” makinya sebelum akhirnya meraih telepon itu. “Apa!? Tidakkah kau memiliki jam di rumah? Ini waktunya istirahat dan kau malah mengganggu waktu tidurku!” Suara deheman dari seberang sana tak membuat nyalinya ciut, ia kembali melempar pandang ke arah jendela, dan wanita tadi sudah menghilang entah ke mana. “Sialan! Dia menghilang.” “Monica, berhenti memaki dan dengarkan aku!” Monica terdiam, tapi bibirnya masih mengerucut menahan makian lain yang sekarang tertahan. “Ibu kritis. Kita harus ke rumah sakit sekarang!” “Monica, kau dengar aku?” Kabar mengejutkan membuatnya mematung sejenak, tak ada alasan lain, ia harus segera bersiap sebelum Nathan menjemputnya ke rumah. Meski sejatinya ia masih penasaran siapa yang mengintai rumahnya dari pagar barusan. Tak lama kendaraan roda empat milik Nathan tiba, tanpa basa-basi Monica turut serta mengambil tempat di samping kemudi. Raganya memang ada di sisi Nathan, tapi pikirannya masih mengarah pada wanita misterius tadi. “Ingat, jangan menunjukkan sikap yang mencurigakan! Kau harus terlihat lembut dan anggun, buang muka judesmu itu jauh-jauh!” Nathan terus mengoceh, memberi wejangan yang ternyata tak didengar Monica, ia masih terlalu sibuk dengan argumen yang diciptakan otaknya sendiri tentang sosok di depan gerbang. “Monica, kau mengerti?” Karena tak kunjung mendapat jawaban, dengan marah ia menghentikan mobil secara tiba-tiba, membuat Monica terkejut karena hampir saja terpental ke depan, jika saja tak memakai sabuk pengaman dengan baik. “Gila ya Lo? Sialan kalau ngga bisa nyetir itu ngomong lah!” maki Monica jengkel. Bukannya minta maaf, Nathan malah menatap Monica dengan tajam. Mendadak Nathan mencengkeram rahangnya, membuat sepasang mata itu mengarah tepat pada Nathan, raut marah tercetak jelas. “Kau tahu, saya tak suka diabaikan ketika sedang berbicara,” lirihnya dengan suara berat sedatar mungkin.Di depan ruangan banyak orang yang menunggu dengan gelisah. Suasana benar-benar genting, sampai akhirnya semua tatapan tertuju pada Monica dan Nathan yang baru saja tiba.“Kak, bagaimana keadaan ibu?” tanya Nathan getir. Seorang pria yang jauh lebih tua darinya itu memandang dan berusaha menahan rasa sedihnya sendiri.“Tenanglah! Kita semua masih menunggu keterangan dokter sekarang,” balasnya dengan satu tangan yang menepuk bahu Nathan perlahan. Monica kini terlihat lebih santai, meski sedikit gelisah, sementara dua wanita yang tak jauh darinya malah menatap sinis.“Arini, kau sudah benar-benar sembuh ternyata?”Nathan menatap istrinya yang kebingungan, menggenggam jemari lembutnya sebelum tersenyum ke arah dua wanita itu.“Tapi baru kemarin aku melihatmu terbaring sakit seperti orang mati. Bukankah terlalu cepat sampai kau bisa berdiri di hadapan kami semua sekarang?” Ambar membuatnya sedikit takut, bagaimana jika Monica tahu banyak tentang rahasianya.“Kak Ambar, tolong fokus pada k
“Aku begitu khawatir ketika meninggalkanmu bersama ibu, tapi rupanya kau adalah bakal aktor hebat, Monica.”Jika biasanya Monica yang terdengar cerewet, sekarang ia malah tak acuh pada pernyataan konyol Nathan, tidak penting. “Kau pasti sedang berpikir keras siapa itu Arini,” celetuknya lagi berusaha memancing Monica untuk bicara. Monica memilih memejamkan matanya, dan melipat kedua tangan di dada, dengan wajah yang ia arahkan ke arah jendela.Nathan menyerah. Ternyata seperti ini rasanya mencari topik pembicaraan, tapi yang diajak bicara adalah batu karang. Sepanjang jalan keduanya hanya bisu, tak lama mobil berhenti, otomatis membuat Monica langsung terjaga. “Tetap di sini!” perintah Nathan. Monica menguap malas, ternyata Nathan membawanya ke rumah ini, bukan kediamannya. Netranya menatap Nathan yang telah menghilang di balik pintu. Awalnya ia memang sabar menunggu, memainkan ponsel dan mencoba aplikasi baru yang belum ia tahu, sampai menonton video, Nathan belum juga keluar.“Ng
Jemarinya bergerak, disusul netra yang perlahan terbuka memindai sekeliling, ruangan serba putih ia lihat lagi setelah menjadi istri Nathan. Bodohnya mengapa terlihat lemah di hadapan pria angkuh seperti Nathan, harusnya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri.Bayangan Nathan membentaknya harusnya adalah hal sepele, hanya saja kenapa wajah Budi yang melintas di hadapannya, bedanya Nathan tak membawa serta cambuk, atau mungkin belum. Itu yang membuatnya tak ingin mengenal lelaki lebih jauh, atau nasibnya akan memburuk di tangan laki-laki. ‘Aku yakin pasti ada seseorang selain dirinya di tempat itu,’ batinnya. Untuk melihat keadaan di luar saja ia tak bisa, jendela yang tertutup gorden itu menghalangi pandangannya. Perlahan ia bangkit, mencabut selang yang menempel di punggung tangan, lagi pula dirinya tak sakit keras.Kedua tangan menyingkap gorden, ternyata langit sudah gelap. Baru saja berdiri, suara bariton Nathan terdengar dari belakang. “Kau sudah sadar?” Sudut bibir Monica teran
Kolam belakang rumah menjadi tempat favoritnya di pagi ini, entah karena kelelahan tapi semua badannya terasa remuk, membuat tidur malamnya tenang tanpa hambatan. Secangkir kopi panas yang ia buat sendiri itu menemani. Sumpah, rasanya ia belum pernah hidup sesantai ini di rumah sendiri. Sepasang kaki jenjang menjuntai ke dalam air, ingin berenang tapi terlalu takut tenggelam. Ia ingat, terakhir berenang pun hanya ketika masih berusia 8 tahun, di sungai bersama teman sebayanya, meski berakhir dengan bekas rotan di betis mungilnya karena nekat main basah-basahan.Kehadiran Nathan ternyata mengubah hidupnya menjadi lebih baik, meski terkadang pria itu juga yang membangkitkan traumanya. Benda pipih ia arahkan pada kaki yang menjuntai indah ke dalam air jernih yang sedikit kebiruan, karena pantulan keramiknya, iseng mengunggahnya ke sosial media untuk pertama kalinya.Tiba-tiba satu pesan masuk di akunnya. [Kaki yang indah, pasti wajahnya juga tak kalah jelita.]Monica bergidik geli. Apa-
“Malam ini kayaknya aku harus ke rumah Nathan deh. Kan ngga mungkin banget harus mesan makanan cepat saji lagi. Atau aku sewa tukang masak khusus aja ya di rumah? Atau aku minta salah satu pelayan di rumah itu aja buat tinggal di sini, lagian di sana juga kebanyakan deh kayaknya,” gumamnya sendiri.Monica bersiap, merias diri seadanya dan meraih benda pipih yang tak pernah ia lepas itu. Mobil pesanannya sudah menunggu di halaman. Berhubung ia belum bisa mengemudi sendiri, terpaksa mobil pribadinya hanya berdiam diri di garasi. Sepanjang jalan ia berusaha menahan diri agar tidak merokok, mengunyah beberapa permen untuk mengalihkan kebiasaan buruknya, bisa saja di dalam mobil ini juga dilarang merokok. Tak lama mobil itu berhenti di depan gerbang rumah mewah Nathan, bangunan yang jarang ia kunjungi. Kaki jenjangnya menuntunnya ke dalam, seiring dengan gerbang yang sudah dibuka lebar mempersilahkan. Wanita cantik serupa Arini itu tak lagi sungkan, ia masuk tanpa harus merasa asing atau
“Ada yang kau sembunyikan dari ibu ‘kan?” selidik Yuan. Ia tetap menatap mata Nathan untuk mendeteksi kebohongan. Nathan terdiam. Khawatir jika Monica juga akan disiksa Yuan sama seperti perlakuan mereka pada Arini. Ia tahu tugasnya, tapi tidak untuk dikerjakan sekarang Nathan butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. “Apa Arini membangkang lagi?” “Ibu, diamlah! Ini bukan tentang Arini. Nathan hanya punya masalah dengan pesaing perusahaan kita. Hanya itu saja,” kilahnya meyakinkan.Yuan diam. Entah tapi ia merasa Nathan sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Sebenarnya kedatangannya ke sini juga untuk itu, ingin meluruskan kejanggalan yang terjadi waktu dirinya masih berada di rumah sakit.“Kau yakin yang bersamamu itu adalah Arini?” “Apa maksud ibu?”“Nathan. Arini dibesarkan dengan tanganku juga. Ibu tahu seperti apa Arini, dia memang masih terlihat sopan, tapi Arini bukan tipikal wanita yang banyak bicara, bagaimana cara dia tersenyum, mengajak bercanda, dari mana Ari
Langit pekat sedikit menarik, membuat sepasang netra itu hanya memfokuskan pandangannya ke satu arah meski tak ada sedikit cahaya pun yang terlihat di cakrawala. Balkon atas diterpa angin sedingin salju, tapi gadis itu masih bergeming berdiri sembari mengeratkan pakaian tebalnya. “Ibu, entah seperti apa rupamu. Mungkin aku hanya akan merasakan rindu tanpa temu. Kata mereka ibu berhati lembut, bertutur kata halus, pribadi yang sabar dan patuh.” Tak terasa dua sudut matanya berair, untuk ke sekian kalinya ia lemah jika sudah mengingat ibunya, terlebih jika kenangan pahit itu terputar bak film lawas yang penuh derita, gadis kecil yang bermain saja seperti melakukan dosa besar, berapa banyak luka yang disembuhkan sendiri, mendapat tatapan iba dan kasihan dari tetangga.Sosok pria yang harusnya mengayomi dan menjadi cinta pertamanya, malah menuduh dirinya pembunuh dan pembawa sial, anak terkutuk yang mengancam nyawa hingga bidadarinya terbujur kaku, rasanya tidak pantas seorang bayi yang
Semua uang berada di ruangan pun terkejut, tak terkecuali Yuan sendiri. Melihat keberanian di mata Monica, ia memutuskan untuk berhenti mencari raut ketakutan yang dulu sering Arini tunjukkan padanya. Monica kembali berusaha mengendalikan diri, tetap memasang senyum dan menyuruh Yuan untuk berhenti bersikap seperti tak mengenalinya. “Ibu, aku berusaha memperbaiki semuanya. Tolong jangan memperbesar masalah yang seharusnya tidak menjadi masalah!”“Baiklah,” ucap Yuan akhirnya. Ia tak bisa terus menerus berdebat atau bahkan bertengkar dengan Monica, karena sejatinya yang ia hadapi bukan Arini. Untuk mencairkan suasana, Monica mengalihkan emosi Yuan dengan mengajaknya makan bersama. Sifatnya benar-benar jauh berbeda. Sekarang ia mulai sedikit memahami, Arini sejatinya bukan menantu kesayangan, justru dia gadis malang yang sering disiksa. Lalu, mengapa sikapnya begitu manis ketika berada di rumah sakit, bertingkah seolah ia paling mencintai Arini, dan seakan tak peduli pada darah daginy
"Kak, kau mau ke mana?"Sudah tujuh hari sejak pemakaman Budi, Monica dan anaknya memang menginap di desa Bunga, William sendiri yang mengambil semua barang bawaan Monica di hotel dekat rumah sakit kala itu, atas permintaan Monica sendiri.Wanita itu sedang sibuk berkemas, ia menatap Arini sekilas, kemudian lanjut mengemasi beberapa barang yang menurutnya penting."Aku akan kembali ke Amerika hari ini, pekerjaanku tak bisa ditinggal begitu saja," sahut Monica dengan tangannya yang masih sangat sibuk.Ia memasukkan beberapa produk kecantikan, tapi urung. Ia memilih untuk meninggalkan beberapa produk miliknya di meja rias Arini. Menginap beberapa hari, Monica memang menempati kamar Arini, sementara adiknya dan William menempati kamar tamu."Memangnya tak bisa bertahan sampai empat puluh hari?" tanya Arini terdengar menawarkan.Monica tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Ia mendekati Arini yang kini berpindah ke kasur."Tidak bisa, Arini. Toko kosmetik yang aku kelola cukup ramai, dan s
"Aku pikir kau tidak akan datang, tapi akhirnya kakak sudah berada di sini. Meskipun aku sedikit kesal, kenapa tidak memberitahu kami? William pasti akan menjemput kalian di bandara," cerocos Arini, ketika keduanya duduk di kursi tunggu.Monica tersenyum tipis."Tidak perlu. Memangnya aku kedutaan Indonesia yang harus dijemput?" sahut Monica berkelakar. Arini memajukan bibir bawahnya kesal."Oh iya, Kak. Apa mereka tahu?" Monica menatap penasaran."Tahu apa?" "Tentang siapa ayahnya."Monica terdiam sebentar, kemudian menggeleng cepat."Untuk apa memberitahu mereka? Lagi pula setelah mereka tahu, apa yang akan mereka dapatkan? Kau tahu kan seperti apa Nathan? Sudah, jangan bahas namanya di sini! Anak-anak akan mendengarnya nanti. Mereka kembali juga untuk bertemu ayah, bukan pria brengsek itu!" William dari tadi sibuk dengan ponselnya, di sisi kiri kanan ada Edward dan Edgard yang sedari tadi tak melunturkan senyum mereka, di layar pipih mereka berbicara bebas dengan Adam dan Allea
"Mommy, are you okay?" Kedua putranya menatap panik ke arah Monica, wanita itu memijat pelipis, rasa pusing masih terasa di kepala, tapi Monica masih berusaha tersenyum agar tak membuat anak-anaknya semakin khawatir. "Mommy tidak apa-apa, Sayang. Oh iya mengapa sepagi ini sudah pulang?" tanya Monica. "Kami tidak bisa fokus jika Mommy kenapa-kenapa." Putranya begitu peduli dengannya, padahal ia ingat sejak kecil mereka berdua tidak terlalu dimanjakan dengan kasih sayang dari Monica. "Mommy, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" selidik Edgard. "Tidak ada, Mommy hanya kelelahan," dustanya untuk ke sekian kali. "Berhentilah berbohong, Mommy! Kakek sedang sakit di Indonesia. Keputusan juga ada di tangan Mommy, akan kembali ke sana seorang diri, atau tetap berada di sini bersama kami," ujar Edward mantap. Mendengar itu Monica mengernyit heran. "Apa yang kau katakan? Bagaimana bisa Mommy meninggalkan kalian sendirian?" Edward tahu tahu Monica tidak akan pernah memb
"Mommy, apa yang terjadi denganmu?"Edward dan Edgard bergegas masuk menghampiri Monica, mereka begitu terkejut ketika mendapati sang ibu tengah menangis. Wanita yang berusaha terlihat tegar menampilkan senyum palsunya."Mommy hanya terharu, akhirnya Mommy sudah bisa memperkenalkan kalian kepada kakek di Indonesia," dustanya yang jelas bisa terbaca.Kedua putranya terdiam sebentar, mereka tentu saja tidak percaya begitu saja."Ada sesuatu yang Mommy sembunyikan dari kami?" selidik Edward. Putranya itu memang paling peka dan perasa, ia yakin ada kalimat yang menyakiti hati ibunya."Sudahlah, Nak. Jangan dipikirkan! Mungkin ini salah Mommy karena telah menyembunyikan kalian terlalu lama. Tapi percayalah, Sayang! Mereka sudah menerima kalian, jika memang kalian berdua ingin ke sana, Mommy tidak akan keberatan. Kita akan ke Indonesia."Monica mengusap pipinya yang semula berembun, ia tersenyum tipis sebelum akhirnya keluar dari kamar putranya. Setelah Monica pergi, Edward menatap Edgard.
"Nak, kau ke mana saja? Mengapa memutuskan kontak selama lima tahun belakangan. Kau baik-baik saja, 'kan di sana?"Suara Budi terdengar sedikit gemetar, ia mengusap layar pipih yang menunjukkan wajah Monica. Anak perempuannya yang menghilang lima tahun belakangan tanpa sebab.[Ayah!]Suara Monica juga lirih seperti menahan tangis, wajahnya memerah menahan haru. Monica sesekali melempar pandang ke arah samping. [Maaf, Ayah.]"Tolong jangan menghilang seperti ini lagi, putriku! Kau tidak tahu Arini sering menangis diam-diam ketika malam hari karena mengingatmu. Apa pun masalahmu, jangan menghilang begitu saja!"Monica mengangguk sesekali."Bagaimana kabar ayah, Arini, Allea, dan Adam?""Semuanya sehat, Nak. Hanya saja Adam sedang tidak enak badan sekarang. Kau tahu, hari ini Arini mengantar Allea ke sekolah, mungkin sebentar lagi akan pulang."Suasana hening sebentar. Monica menatap kedua putranya yang masih bersembunyi di balik layar. Edward dan Edgard sudah tumbuh menjadi remaja yang
Ternyata Maira masih memakai cara licik. Ia tak benar-benar pergi. Setelah memastikan keadaan aman, ia segera berjalan mengendap dan mengintip dari celah jendela kaca. Nathan masih menikmati makanan pemberiannya, ia yakin sebentar lagi obat yang ia taburkan akan bekerja. Dan benar saja, Nathan memegang kepalanya, rasa pusing mendera begitu saja, pandangannya kabur, dan akhirnya ia tertidur dengan posisi duduk. Makanan tadi terjatuh dari meja, ia benar-benar gila, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. "Dasar bodoh! Ia bahkan tak curiga jika aku sudah membubuhi racun di makanannya." Ia langsung bergegas masuk. Kemudian mengangkat wajah Nathan yang sudah tidak sadarkan diri. Maira seperti terbosesi pada Nathan, ia langsung memapah Nathan ke kursi, membuka kancing atas baju pria itu yang memamerkan dada bidangnya. "Kau terlihat semakin tampan, Sayang." Maira lalu mendekat dan mengecup lembut bibirnya, jemarinya mulai mengusap area badan dan turun ke bawah
"Sialan! Kenapa wanita itu kembali lagi?Sepertinya ada sesuatu yang direncanakan."Nathan terus berpikir keras, dia yakin kemunculan Maira pasti memiliki alasan tersendiri."Apa jangan-jangan dia tahu aku sudah sukses, itu sebabnya ia kembali. Tidak mungkin! Dia punya alasan yang lebih dari itu."Nathan bangkit dan menatap ke luar jendela. Ternyata Maira sudah pergi, setelah cukup lama menunggu, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, pikirannya sedang berantakan sekarang memikirkan Monica.Ada rahasia apa antara Monica, William dan Arini. Langkah lebarnya berjalan keluar dari ruangan, ia langsung menuju garasi perusahaan kemudian mengeluarkan mobilnya, memang hanya mobilnya yang ditempatkan di tempat yang berbeda. Kendaraan roda empat itu berlalu meninggalkan pelataran kantor.Baru setengah jalan, ia malah melihat sosok yang tidak asing di depan mata, wanita itu Maira. Dia sedang berdiri sembari merentangkan tangannya di tengah jalan, menghadang laju mobilnya. Mau tak mau Nathan terpa
Mommy mau tahu alasan kalian berdua mau ke Indonesia,” tanya Monica menatap kedua anaknya bergantian.Edgard terdiam, jika ia berkata jujur ingin bertemu ayah, pasti ibunya akan marah besar dan berubah pikiran. Edward juga sama diamnya, mereka memiliki jawaban yang serupa. Tiba-tiba pintu kamar diketuk beberapa kali. Ketiganya memalingkan wajah ke arah pintu, mendapati Abraham yang berdiri sembari menggenggam tangan satu anak perempuan cantik berusia empat tahun.Netranya biru, dengan rambut panjang sedikit kuning keemasan, juga kulit putih bersih. Mata cantiknya berkedip sesekali, tangannya langsung terlepas dari genggaman Abraham, tanpa persetujuan siapa pun ia masuk dan memeluk Monica dengan erat, kemudian menatap bersahabat ke arah dua anak kembar yang terlihat tak terlalu antusias.“Hai. Aku Sandrina,” ucapnya dengan suara yang lucu. Wajahnya menggemaskan, tapi tak membuat dua anak Monica tertarik.“Abraham, kau tak memberitahuku jika Sandrina sudah sebesar ini sekarang. Terakhi
"Tadinya aku ingin membawa mereka ke Indonesia, tapi sepertinya aku berubah pikiran." William terdiam sebentar. Belum sempat William bertanya alasannya, Monica kembali bersuara. "Nathan masih bersamamu. Aku hanya tidak ingin mereka tahu siapa ayahnya." "Apa kau sudah memikirkannya dengan matang?" tanya William. "Tentu. Aku tidak mau putraku disentuh pria brengsek itu. Setidaknya mereka akan tetap aman dan tidak mewarisi sifat buruk Nathan sedikit pun." William ingin protes. Tapi percuma saja karena yang ia hadapi adalah Monica, wanita si keras kepala. "Sebentar lagi ulang tahun mereka yang ke-enam, dan hadiah yang aku persiapkan adalah tiket kepulangan mereka ke Indonesia, hanya saja kau terlalu membebaskan Nathan berkeliaran dan itu mengancam keamanan dua anakku." "Monica, aku tahu kau pasti lebih tahu hal terburuk yang akan terjadi ke depannya. Tapi tolong jangan egois, Nathan tetap ayahnya. Atau begini saja, menikahlah dengan pria mana pun agar mereka bisa merasakan