“Jadi, kapan kita menikah?”
Dua pasang kaki beriringan masuk, bahkan sebelum menyentuh sofa, pertanyaan logis langsung terucap dari bibir Monica. Nathan menahan senyum, mengira jika Monica sebenarnya terlalu terburu-buru karena telah melihat kekayaannya yang terpampang jelas sekarang. “Kau sangat tidak sabaran. Sepertinya setiap wanita pasti akan silau dengan harta, jika tadinya kau menolak dengan tegas, sekarang kau justru terdengar mendesakku untuk segera menikahimu.” Monica menatap Nathan yang menurutnya terlalu percaya diri, senyum miring terlihat menjengkelkan buat Nathan, terkesan menghina dan meremehkan. “Rasa percaya dirimu cukup bagus, tapi aku tak tertarik. Tujuan awal kau membawaku ke sini kan untuk menikah, jika hanya ingin bermain-main, kau salah memilih lawan. Dan satu lagi, apa keuntungannya setelah aku menikah denganmu nanti?” Nathan sedikit takjub dengan cara berpikir Monica, tidak mudah diperdaya padahal ia banyak menghabiskan waktu di tempat liar yang minim pendidikan. Napas kasar ia embuskan, dengan tetap tenang menyuruh Monica duduk. Sekilas ia menatap ke lantai atas, kemudian melempar pandang ke arah wanita paruh baya dengan pakaian pelayan yang sedari tadi berdiri menunggu perintah. Hanya dengan kode jari, mampu membuat pelayan itu menunduk patuh dan berlalu ke lantai atas. Kecurigaan Monica semakin besar, seperti ada sesuatu yang disembunyikan di rumah ini. “Sebelum aku jelaskan, bisakah kau duduk sebentar?” Monica melirik sebentar, kemudian mengambil tempat tepat di depan Nathan, meski segudang pertanyaan tengah bersarang di otaknya. “Besok kita akan menikah di gedung yang sedikit jauh dari sini. Dan keuntungan yang kau dapatkan nanti tak akan mengecewakan. Selain kebebasan, aku juga akan memberikanmu rumah, kendaraan, dan juga uang. Tapi dengan syarat, kau tak perlu terlalu ingin tahu masalah pribadiku, Monica.” “Itu saja?” tanya Monica santai. “Satu lagi, status pernikahan kita hanya sebatas pernikahan di atas kertas. Aku juga membebaskanmu dari semua kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh istri pada umumnya. Dan ya, siapa pun yang kau temui, tetap ingat namamu adalah Arini, bukan Monica!” Tak lama seorang pria masuk dan meletakkan map cokelat di atas meja, beserta pena. “Tanda tangan di sini jika kau setuju!” Monica tak gampang dibodohi, ia memilih membaca beberapa peraturan yang tak boleh dilanggar selama menjadi istri Nathan. Tak boleh menunjukkan identitas asli, bersikap anggun dan ramah, jangan pernah ke lantai atas tanpa seizinnya, dan tak boleh menuntut hak untuk diakui di depan publik jika misalnya publik tahu bahwa ia bukan Arini yang asli. Ada lebih banyak lagi, Monica tak memiliki hak untuk mengatur dan melarang Nathan dalam hal apa pun, begitu pun sebaliknya. “Rupanya kau banyak mau, ya. Ck! Terlalu rumit, tapi aku setuju.” Monica meraih pena, kemudian menandatangani surat perjanjian tersebut. Tadinya Monica pikir, ia akan menghabiskan waktu di rumah ini, tapi rupanya Nathan sudah menyiapkan tempat tinggalnya sendiri. Setelah perbincangan itu, ia benar-benar dibawa ke sebuah rumah mewah tapi tak lebih besar dari kediaman Nathan. Tinggal seorang diri benar-benar membuatnya bebas, setelah sekian lama akhirnya ia merasakan kebebasan ini. Monica, wanita malam yang dikenal liar dan pemberani kini terduduk lemas di belakang pintu, air mata itu benar-benar tak bisa ia tahan, antara haru, bahagia, memang sulit dijelaskan. Akhirnya kebebasan yang hanya sebatas angan kini menjadi kenyataan. Setelah puas mengenang semuanya, ia memilih mengelilingi rumah baru yang kini jadi miliknya. Dulu ia harus berusaha payah menjadi liar untuk meraup uang, berbaring di ranjang demi kepuasan pelanggan untuk mendapatkan lembar biru dan merah, tapi sekarang ia hanya perlu menjadi istri tanpa disentuh, sudah membuatnya mendapatkan segala apa yang sejak dulu tak pernah terwujud. “Tapi aku masih penasaran, siapa wanita tadi. Kelihatannya Nathan sengaja menyembunyikan wanita itu, tapi kenapa?” gumamnya penasaran. ** “Sebentar! Kau yakin tak ada yang perlu ditunggu? Yang benar saja orang kaya sepertimu melakukan pernikahan sesederhana ini?” Monica protes ketika melihat gedung mewah yang mereka tempati, hanya berisi penghulu dan beberapa saksi yang bisa dihitung jari, tak ada dekorasi mewah, atau fotografer untuk mengabadikan momen sekali seumur hidupnya, tak ada gaun mewah, hanya terusan sederhana berwarna putih, dan juga riasan yang ia poles sendiri di wajahnya. Nathan juga sama, hanya memakai jas formal sebagai pelengkap tanpa membawa mahar dan sejenisnya. Hanya sekotak cincin dan ini benar-benar membuat Monica tak habis pikir dengan isi kepala Nathan. “Kau ingin bermain-main, ya? Tak ada persiapan apa pun, apa sulitnya menghubungi pihak WO?” Nathan terdiam tak merespons, sampai akhirnya Monica terdiam memendam rasa kesalnya. “Sudah selesai protesnya?” tanyanya datar. “Kita cuman butuh kertas bukti kalau pernikahan ini benar-benar terjadi, jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Kau mungkin akan mendapatkan pernikahan impianmu tapi tidak denganku. Jadi, bagaimana? Mau tetap menikah, atau menuruti keras kepalamu yang banyak mau itu?” Mau tak mau Monica akhirnya berhenti protes, pernikahan apa adanya berjalan lancar dalam waktu singkat, tak ada suasana haru, tak ada pesta atau apa pun. Salahnya berharap lebih, ia pikir karena Nathan adalah pria kaya, pasti bisa menuruti pikiran masa kecilnya yang bermimpi menjadi ratu sehari di pelaminan mewah. Beberapa hari ia benar-benar ditinggal sendiri. Jika pengantin baru pada umumnya menghabiskan malam pertama, ia justru sudah ditinggal terpisah setelah menikah. Malam semakin larut, dan Monica masih betah duduk di jendela kamarnya. Ponsel yang ia beli sehari setelah menikah malah dibiarkan begitu saja di atas kasur. Tiba-tiba wanita dengan baju putih berdiam diri di depan gerbang. Rasa takut mendera, tapi penasarannya bisa mengalahkan rasa takut itu sendiri. “Sial! Siapa itu?” Monica bergegas keluar kamar, tapi baru selangkah mencapai pintu, ponselnya malah berdering. “Fuck! Kenapa harus menelepon di waktu yang tidak tepat begini?” makinya sebelum akhirnya meraih telepon itu. “Apa!? Tidakkah kau memiliki jam di rumah? Ini waktunya istirahat dan kau malah mengganggu waktu tidurku!” Suara deheman dari seberang sana tak membuat nyalinya ciut, ia kembali melempar pandang ke arah jendela, dan wanita tadi sudah menghilang entah ke mana. “Sialan! Dia menghilang.” “Monica, berhenti memaki dan dengarkan aku!” Monica terdiam, tapi bibirnya masih mengerucut menahan makian lain yang sekarang tertahan. “Ibu kritis. Kita harus ke rumah sakit sekarang!” “Monica, kau dengar aku?” Kabar mengejutkan membuatnya mematung sejenak, tak ada alasan lain, ia harus segera bersiap sebelum Nathan menjemputnya ke rumah. Meski sejatinya ia masih penasaran siapa yang mengintai rumahnya dari pagar barusan. Tak lama kendaraan roda empat milik Nathan tiba, tanpa basa-basi Monica turut serta mengambil tempat di samping kemudi. Raganya memang ada di sisi Nathan, tapi pikirannya masih mengarah pada wanita misterius tadi. “Ingat, jangan menunjukkan sikap yang mencurigakan! Kau harus terlihat lembut dan anggun, buang muka judesmu itu jauh-jauh!” Nathan terus mengoceh, memberi wejangan yang ternyata tak didengar Monica, ia masih terlalu sibuk dengan argumen yang diciptakan otaknya sendiri tentang sosok di depan gerbang. “Monica, kau mengerti?” Karena tak kunjung mendapat jawaban, dengan marah ia menghentikan mobil secara tiba-tiba, membuat Monica terkejut karena hampir saja terpental ke depan, jika saja tak memakai sabuk pengaman dengan baik. “Gila ya Lo? Sialan kalau ngga bisa nyetir itu ngomong lah!” maki Monica jengkel. Bukannya minta maaf, Nathan malah menatap Monica dengan tajam. Mendadak Nathan mencengkeram rahangnya, membuat sepasang mata itu mengarah tepat pada Nathan, raut marah tercetak jelas. “Kau tahu, saya tak suka diabaikan ketika sedang berbicara,” lirihnya dengan suara berat sedatar mungkin.Di depan ruangan banyak orang yang menunggu dengan gelisah. Suasana benar-benar genting, sampai akhirnya semua tatapan tertuju pada Monica dan Nathan yang baru saja tiba.“Kak, bagaimana keadaan ibu?” tanya Nathan getir. Seorang pria yang jauh lebih tua darinya itu memandang dan berusaha menahan rasa sedihnya sendiri.“Tenanglah! Kita semua masih menunggu keterangan dokter sekarang,” balasnya dengan satu tangan yang menepuk bahu Nathan perlahan. Monica kini terlihat lebih santai, meski sedikit gelisah, sementara dua wanita yang tak jauh darinya malah menatap sinis.“Arini, kau sudah benar-benar sembuh ternyata?”Nathan menatap istrinya yang kebingungan, menggenggam jemari lembutnya sebelum tersenyum ke arah dua wanita itu.“Tapi baru kemarin aku melihatmu terbaring sakit seperti orang mati. Bukankah terlalu cepat sampai kau bisa berdiri di hadapan kami semua sekarang?” Ambar membuatnya sedikit takut, bagaimana jika Monica tahu banyak tentang rahasianya.“Kak Ambar, tolong fokus pada k
“Aku begitu khawatir ketika meninggalkanmu bersama ibu, tapi rupanya kau adalah bakal aktor hebat, Monica.”Jika biasanya Monica yang terdengar cerewet, sekarang ia malah tak acuh pada pernyataan konyol Nathan, tidak penting. “Kau pasti sedang berpikir keras siapa itu Arini,” celetuknya lagi berusaha memancing Monica untuk bicara. Monica memilih memejamkan matanya, dan melipat kedua tangan di dada, dengan wajah yang ia arahkan ke arah jendela.Nathan menyerah. Ternyata seperti ini rasanya mencari topik pembicaraan, tapi yang diajak bicara adalah batu karang. Sepanjang jalan keduanya hanya bisu, tak lama mobil berhenti, otomatis membuat Monica langsung terjaga. “Tetap di sini!” perintah Nathan. Monica menguap malas, ternyata Nathan membawanya ke rumah ini, bukan kediamannya. Netranya menatap Nathan yang telah menghilang di balik pintu. Awalnya ia memang sabar menunggu, memainkan ponsel dan mencoba aplikasi baru yang belum ia tahu, sampai menonton video, Nathan belum juga keluar.“Ng
Jemarinya bergerak, disusul netra yang perlahan terbuka memindai sekeliling, ruangan serba putih ia lihat lagi setelah menjadi istri Nathan. Bodohnya mengapa terlihat lemah di hadapan pria angkuh seperti Nathan, harusnya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri.Bayangan Nathan membentaknya harusnya adalah hal sepele, hanya saja kenapa wajah Budi yang melintas di hadapannya, bedanya Nathan tak membawa serta cambuk, atau mungkin belum. Itu yang membuatnya tak ingin mengenal lelaki lebih jauh, atau nasibnya akan memburuk di tangan laki-laki. ‘Aku yakin pasti ada seseorang selain dirinya di tempat itu,’ batinnya. Untuk melihat keadaan di luar saja ia tak bisa, jendela yang tertutup gorden itu menghalangi pandangannya. Perlahan ia bangkit, mencabut selang yang menempel di punggung tangan, lagi pula dirinya tak sakit keras.Kedua tangan menyingkap gorden, ternyata langit sudah gelap. Baru saja berdiri, suara bariton Nathan terdengar dari belakang. “Kau sudah sadar?” Sudut bibir Monica teran
“Monica, ada panggilan di kamar 310.”“Madam, sepertinya aku sedang tidak ingin melayani siapa pun malam ini,” balasnya sembari mematikan rokok. Wanita dewasa dengan dandanan glamor itu membuang napas berat, mengambil ponsel dan berbicara beberapa kata sebelum akhirnya kembali fokus pada Monica. Gadis cantik kesayangan rumah bordilnya itu hanya terdiam sembari menunggu kelanjutan dari keputusan akhir Madam.“Aku sudah membuat tawaran, tapi pelanggan di kamar itu hanya menginginkan dirimu,” ujarnya membujuk Monica. Sementara gadis itu masih bungkam, badannya seperti remuk, suasana hati yang kacau membuatnya terlalu malas untuk bertempur di atas ranjang seperti biasa.“Tolong pikiran lagi, Monica! Dia berani membayar mahal atas dirimu. Tolong jangan sia-siakan kesempatan ini!”Ternyata benar, seistimewa apa pun perlakuan Madam padanya, tetap saja kalah jika dibandingkan dengan uang, rupiah memiliki tempat tersendiri di dalam diri Madam, bukankah harusnya ia juga sadar bahwa keberadaan
“Saya ingin membelinya!”Madam yang tadi sedang sibuk menghitung rupiah mendadak terdiam, menatap bergantian ke arah Monica dan Nathan. Wajah tampan pria itu terlihat dingin, tanpa basa-basi melempar beberapa gepok uang ke atas meja, semakin membuat mata Madam terbelalak. Luar biasa pesona Monica, pria tampan seperti Nathan bisa bertekuk lutut di bawah pesonanya, pikir Madam.“Tuan, tolong baca peraturan yang sudah tertera di sini!” Madam memberikan map hijau ke arah Nathan.“Di sini sudah tertera keputusan mutlak, bahwa semua wanita yang ada di sini tak bisa dibeli, jika tuan masih menginginkannya tidak masalah, bukankah tuan bisa kembali ke tempat ini kapan saja?”Nathan masih menatap datar, ia tak tertarik dengan peraturan sampah yang menurutnya tidak masuk akal. Dengan berani, tangan kekarnya merobek kertas itu, membuat semua yang ada di sana begitu terkejut. Tatapan dinginnya seperti hendak menerkam Madam, ia benci penolakan, ia tak menyukai protes dalam bentuk apa pun.“Hei! Apa