“Aku begitu khawatir ketika meninggalkanmu bersama ibu, tapi rupanya kau adalah bakal aktor hebat, Monica.”
Jika biasanya Monica yang terdengar cerewet, sekarang ia malah tak acuh pada pernyataan konyol Nathan, tidak penting. “Kau pasti sedang berpikir keras siapa itu Arini,” celetuknya lagi berusaha memancing Monica untuk bicara. Monica memilih memejamkan matanya, dan melipat kedua tangan di dada, dengan wajah yang ia arahkan ke arah jendela. Nathan menyerah. Ternyata seperti ini rasanya mencari topik pembicaraan, tapi yang diajak bicara adalah batu karang. Sepanjang jalan keduanya hanya bisu, tak lama mobil berhenti, otomatis membuat Monica langsung terjaga. “Tetap di sini!” perintah Nathan. Monica menguap malas, ternyata Nathan membawanya ke rumah ini, bukan kediamannya. Netranya menatap Nathan yang telah menghilang di balik pintu. Awalnya ia memang sabar menunggu, memainkan ponsel dan mencoba aplikasi baru yang belum ia tahu, sampai menonton video, Nathan belum juga keluar. “Ngapain sih di dalam? Lama banget,” ketusnya jengkel. “Apa aku susul aja, ya? Membosankan!” Akhirnya setelah menimbang keputusannya, Monica memilih turun untuk menemui Nathan. Rumah terlihat kosong, pelayan yang pernah ia lihat juga tak tampak. Pandangannya menyapu sekitar, ingin berteriak memanggil Nathan juga ia enggan. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya mengitari beberapa sudut dalam rumah. Dapur, gudang, tiga kamar di lantai bawah, semua kosong dan memang tidak terkunci. Hanya tangga menuju lantai dua yang belum ia telusuri. Sedikit ragu, karena dalam surat pernyataan sebelum nikah juga ada larangan untuknya agar tidak menginjak lantai dua, apa pun alasannya. “Memangnya ada apa di lantai dua?” gumamnya penasaran. Karena rasa takut mengalahkan rasa penasarannya, Monica memutuskan untuk tetap ke lantai dua mencari Nathan. Perlahan, sebisa mungkin tak ingin menciptakan suara yang mencurigakan, seperti pencuri yang berusaha agar tidak tertangkap basah oleh pemilik rumah. Semua kamar di rumah itu terkunci, tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah kamar di ujung sana, sedikit remang-remang. Pelan ia mendekati, samar ia mendengar suara laki-laki. “Airin, harus sampai kapan kau membiarkanku seperti ini? Maaf, ini semua salahku, tapi jangan diamkan aku! Aku bahkan terus mengecup bibir pucatmu tanpa timbal balik. Ayo, Sayang buka matamu!” Itu suara Nathan. Tidak salah lagi, tapi kenapa ia menyebut nama Airin, bukankah wanita itu sudah mati, kalau masih hidup lantas kenapa ia mencari wanita yang memiliki paras yang serupa dengan Airin. Mengenal Nathan malah membuatnya bingung. “Namanya Monica. Kalian mirip, tapi aku tak bisa mencintai wanita selain dirimu. Bangun dan maki saja aku sepuasmu karena sudah menikahinya, tapi aku janji tidak akan menyentuhnya!” Monica geram, hatinya panas. Sebegitu dalam Nathan mencintai Airin, sampai Monica hanya dijadikan pajangan untuk menutupi rahasia besarnya ini!” “Tapi, aku tak bisa memegang janjiku ke depannya! Bangun dan lihat aku!” Suasana kembali hening. Monica berusaha menata hati, untuk apa sakit hati, lagi pula dari awal juga ia tak menyukai Nathan, keduanya hanya terikat perjanjian yang sama-sama menguntungkan. Tapi lagi, Monica tak bisa menahan diri, tangannya meraih gagang pintu. “Kau sudah lancang, Monica!” Suara berat itu terdengar mengerikan. Nathan berdiri menatap pigura besar di hadapan. Monica menyapu sekeliling tak ada apa pun, hanya ranjang kosong, kamar ini memang bersih dan terawat. “Kau terlalu lama, itu sebabnya aku ke sini,” ujarnya jujur. Nathan masih tetap pada posisinya. “Saya hanya menyuruhmu untuk menunggu, tapi kau malah melanggar janji dan tetap ke lantai dua. Itu fatal!” “Lagi pula apa yang membuatmu melarangku ke sini? Aku juga istrimu asal kau tahu, dan di ruangan ini juga tak ada siapa pun selain dirimu ‘kan. Atau memang ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?” “MONICA!!!” Nathan membentaknya dengan keras, membuat Monica kaget. Ini pertama kalinya ia dibentak setelah mendiang ayahnya dulu. Trauma itu datang lagi, suara cambuk terdengar menggema, refleks kedua tangan menutupi telinga, dengan posisi Monica yang tiba-tiba meringkuk di depan pintu dan terus saja menjerit. “Tidak, jangan lakukan itu! Maafkan aku, ampun!” Monica terus menjerit ketakutan, membuat Nathan ikut panik. Wajahnya berubah melunak, rasa jengkel yang tadi berubah jadi iba, langkah lebarnya lekas menghampiri Monica yang seolah tak ingin disentuh dirinya. “Monica, kau kenapa?” Nathan membuang napas kasar, sebelum akhirnya memilih mengunci pintu. Dua tangan kekarnya ia gunakan untuk menggendong Monica ke mobil. Wajah istrinya sembap, raut ketakutan yang memang tak dibuat-buat. Jika sekarang ia nekat membawa Monica pulang ke rumahnya, khawatir kondisinya akan semakin parah, akhirnya mau tak mau ia harus membawa Monica ke rumah sakit, sekaligus mencari tahu apa penyebab dari tindakannya barusan. Suara senggukan terdengar, tapi Monica masih menjerit kecil ketakutan dalam gendongan. Nathan langsung masuk dan membawanya ke ruang rawat. Dan sekarang ia memilih untuk menunggu di luar dengan cemas. “Apa yang terjadi denganmu, Monica?” Detik, menit berlalu, akhirnya wanita dengan pakaian putih itu keluar menghampiri Nathan. “Maaf, bisa ke ruangan saya sebentar? Ada hal penting yang ingin saya bahas,” ujarnya pada Nathan. Pria itu mengangguk dan mengekori langkahnya ke ruang pribadi sang dokter. “Pasien mengalami trauma masa lalu yang berat, ini masalah serius yang bisa mengganggu cara kerja otaknya. Ada beberapa hal yang membuat otaknya berhenti berpikir dan hanya berpusat pada satu titik, kondisi di mana ia hanya akan berhenti di luka masa lalu,” jelasnya membuat Nathan terkejut. Monica, wanita itu punya trauma hanya karena ia membentaknya. Ia kembali berpikir bahwa Monica tidak jauh bedanya dengan Arini. Wanita dengan trauma masa lalu, mengganggu kejiwaan dan akhirnya fungsi otaknya berhenti bekerja, sampai sekarang Arini hanya terbaring kaku di atas ranjang karena melawan sakit dan juga traumanya. Jadi dia sejahat itu. “Pak Nathan!” “Eh, iya, Dok. Terima kasih,” ujarnya kaku. Tanpa basa-basi ia pergi, mengutuk dirinya sendiri yang bersikap seceroboh ini. Nathan enggan masuk dan memilih duduk menunggu di depan, pikirannya kalut. Sementara Monica sudah terbaring lelap setelah diberi obat penenang. Nathan berdiri, mengamati wajah Monica yang tertidur lelap dengan damai. “Harusnya aku tak bersikap seperti tadi,” kutuknya pada diri sendiri. “Kenapa baru menyesal sekarang? Kau jahat! Harusnya kau tak hidup di bumi, kau jahat, menciptakan trauma berkepanjangan hanya untuk memuaskan keinginanmu. Kau tahu, Nathan, kau tak lebih dari seorang pengecut, harusnya kita tak bertemu. Aku menyesal, aku benci pernah mencintaimu. Aku membencimu, aku muak melihat wajah kotor yang penuh ambisi seperti ibumu. Kalian semua jahat, hina, kotor!” Nathan terkesiap, matanya terjaga. Ternyata ia hanya bermimpi. Tapi suara itu seperti suara Monica, penuh dendam, amarah, kebencian. Memikirkan Monica malah membuatnya tertidur di luar.Jemarinya bergerak, disusul netra yang perlahan terbuka memindai sekeliling, ruangan serba putih ia lihat lagi setelah menjadi istri Nathan. Bodohnya mengapa terlihat lemah di hadapan pria angkuh seperti Nathan, harusnya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri.Bayangan Nathan membentaknya harusnya adalah hal sepele, hanya saja kenapa wajah Budi yang melintas di hadapannya, bedanya Nathan tak membawa serta cambuk, atau mungkin belum. Itu yang membuatnya tak ingin mengenal lelaki lebih jauh, atau nasibnya akan memburuk di tangan laki-laki. ‘Aku yakin pasti ada seseorang selain dirinya di tempat itu,’ batinnya. Untuk melihat keadaan di luar saja ia tak bisa, jendela yang tertutup gorden itu menghalangi pandangannya. Perlahan ia bangkit, mencabut selang yang menempel di punggung tangan, lagi pula dirinya tak sakit keras.Kedua tangan menyingkap gorden, ternyata langit sudah gelap. Baru saja berdiri, suara bariton Nathan terdengar dari belakang. “Kau sudah sadar?” Sudut bibir Monica teran
Kolam belakang rumah menjadi tempat favoritnya di pagi ini, entah karena kelelahan tapi semua badannya terasa remuk, membuat tidur malamnya tenang tanpa hambatan. Secangkir kopi panas yang ia buat sendiri itu menemani. Sumpah, rasanya ia belum pernah hidup sesantai ini di rumah sendiri. Sepasang kaki jenjang menjuntai ke dalam air, ingin berenang tapi terlalu takut tenggelam. Ia ingat, terakhir berenang pun hanya ketika masih berusia 8 tahun, di sungai bersama teman sebayanya, meski berakhir dengan bekas rotan di betis mungilnya karena nekat main basah-basahan.Kehadiran Nathan ternyata mengubah hidupnya menjadi lebih baik, meski terkadang pria itu juga yang membangkitkan traumanya. Benda pipih ia arahkan pada kaki yang menjuntai indah ke dalam air jernih yang sedikit kebiruan, karena pantulan keramiknya, iseng mengunggahnya ke sosial media untuk pertama kalinya.Tiba-tiba satu pesan masuk di akunnya. [Kaki yang indah, pasti wajahnya juga tak kalah jelita.]Monica bergidik geli. Apa-
“Malam ini kayaknya aku harus ke rumah Nathan deh. Kan ngga mungkin banget harus mesan makanan cepat saji lagi. Atau aku sewa tukang masak khusus aja ya di rumah? Atau aku minta salah satu pelayan di rumah itu aja buat tinggal di sini, lagian di sana juga kebanyakan deh kayaknya,” gumamnya sendiri.Monica bersiap, merias diri seadanya dan meraih benda pipih yang tak pernah ia lepas itu. Mobil pesanannya sudah menunggu di halaman. Berhubung ia belum bisa mengemudi sendiri, terpaksa mobil pribadinya hanya berdiam diri di garasi. Sepanjang jalan ia berusaha menahan diri agar tidak merokok, mengunyah beberapa permen untuk mengalihkan kebiasaan buruknya, bisa saja di dalam mobil ini juga dilarang merokok. Tak lama mobil itu berhenti di depan gerbang rumah mewah Nathan, bangunan yang jarang ia kunjungi. Kaki jenjangnya menuntunnya ke dalam, seiring dengan gerbang yang sudah dibuka lebar mempersilahkan. Wanita cantik serupa Arini itu tak lagi sungkan, ia masuk tanpa harus merasa asing atau
“Ada yang kau sembunyikan dari ibu ‘kan?” selidik Yuan. Ia tetap menatap mata Nathan untuk mendeteksi kebohongan. Nathan terdiam. Khawatir jika Monica juga akan disiksa Yuan sama seperti perlakuan mereka pada Arini. Ia tahu tugasnya, tapi tidak untuk dikerjakan sekarang Nathan butuh waktu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. “Apa Arini membangkang lagi?” “Ibu, diamlah! Ini bukan tentang Arini. Nathan hanya punya masalah dengan pesaing perusahaan kita. Hanya itu saja,” kilahnya meyakinkan.Yuan diam. Entah tapi ia merasa Nathan sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Sebenarnya kedatangannya ke sini juga untuk itu, ingin meluruskan kejanggalan yang terjadi waktu dirinya masih berada di rumah sakit.“Kau yakin yang bersamamu itu adalah Arini?” “Apa maksud ibu?”“Nathan. Arini dibesarkan dengan tanganku juga. Ibu tahu seperti apa Arini, dia memang masih terlihat sopan, tapi Arini bukan tipikal wanita yang banyak bicara, bagaimana cara dia tersenyum, mengajak bercanda, dari mana Ari
Langit pekat sedikit menarik, membuat sepasang netra itu hanya memfokuskan pandangannya ke satu arah meski tak ada sedikit cahaya pun yang terlihat di cakrawala. Balkon atas diterpa angin sedingin salju, tapi gadis itu masih bergeming berdiri sembari mengeratkan pakaian tebalnya. “Ibu, entah seperti apa rupamu. Mungkin aku hanya akan merasakan rindu tanpa temu. Kata mereka ibu berhati lembut, bertutur kata halus, pribadi yang sabar dan patuh.” Tak terasa dua sudut matanya berair, untuk ke sekian kalinya ia lemah jika sudah mengingat ibunya, terlebih jika kenangan pahit itu terputar bak film lawas yang penuh derita, gadis kecil yang bermain saja seperti melakukan dosa besar, berapa banyak luka yang disembuhkan sendiri, mendapat tatapan iba dan kasihan dari tetangga.Sosok pria yang harusnya mengayomi dan menjadi cinta pertamanya, malah menuduh dirinya pembunuh dan pembawa sial, anak terkutuk yang mengancam nyawa hingga bidadarinya terbujur kaku, rasanya tidak pantas seorang bayi yang
Semua uang berada di ruangan pun terkejut, tak terkecuali Yuan sendiri. Melihat keberanian di mata Monica, ia memutuskan untuk berhenti mencari raut ketakutan yang dulu sering Arini tunjukkan padanya. Monica kembali berusaha mengendalikan diri, tetap memasang senyum dan menyuruh Yuan untuk berhenti bersikap seperti tak mengenalinya. “Ibu, aku berusaha memperbaiki semuanya. Tolong jangan memperbesar masalah yang seharusnya tidak menjadi masalah!”“Baiklah,” ucap Yuan akhirnya. Ia tak bisa terus menerus berdebat atau bahkan bertengkar dengan Monica, karena sejatinya yang ia hadapi bukan Arini. Untuk mencairkan suasana, Monica mengalihkan emosi Yuan dengan mengajaknya makan bersama. Sifatnya benar-benar jauh berbeda. Sekarang ia mulai sedikit memahami, Arini sejatinya bukan menantu kesayangan, justru dia gadis malang yang sering disiksa. Lalu, mengapa sikapnya begitu manis ketika berada di rumah sakit, bertingkah seolah ia paling mencintai Arini, dan seakan tak peduli pada darah daginy
Setelah Irish ke dapur, Nathan juga mulai beranjak dari tempatnya, membuat Monica sedikit menaruh curiga. Matanya memicing, tatapan intimidasi ia hadiahkan dan itu membuat Nathan harus memutar otak mencari alasan. “Mau ke mana?” selidik Monica.“Ke sudut mana pun yang aku mau. Ini rumahku ‘kan?” balas Nathan bersikap tak acuh. Monica memutar bola mata malas, dan memilih untuk berhenti bertanya, lagi pula arahnya bukan ke dapur. Tanpa sepengetahuan Monica, Nathan memutar balik arah dan menghampiri Irish. Ditariknya Irish agak sedikit bersembunyi, tangan kekarnya mencekal leher pelayan Monica itu dengan kejam, membuat Irish ketakutan dan hanya bisa menatap wajah jahatnya saja.“Jangan senang dulu karena berhasil menjaga jarak dariku! Aku tetap mengawasimu. Jika kau nekat membocorkan semua pada Monica, maka keluargamu yang akan jadi sasarannya. Kau paham?!” “I-iya. Tolong lepaskan aku, Tuan!”Nathan mendorong Irish, kemudian berlalu setelah puas membuatnya ketakutan. Monica uang kala
Yuan duduk di depan meja rias, menatap wajahnya yang sudah mulai memiliki kerutan di beberapa sisi. Memang masih terlihat cantik, tapi kerutan di wajahnya sedikit mengganggu. Pantulan wajahnya terlihat menahan amarah."Arghhh!!!" Yuan menghamburkan semua kosmetik di atas meja, membuat kamar menjadi berantakan. Kedua tangan mengepal sempurna, rasa sakit hati, dendam, dan benci berbaur menjadi satu."Awas kau, Arini! Harusnya kau tak bersikap seperti ini pada Yuan. Sepertinya dia lupa satu hal, dia bahkan pernah mencium kakiku seperti hewan. Aku berjanji pada diriku sendiri, akan membuatnya sadar akan posisi dia yang seharusnya."Yuan geram.Ia kembali teringat dengan adegan mesra putranya dan juga Arini. Sekarang dirinya seperti berhadapan dengan Arini dalam versi pemberani, terlebih Nathan yang kin cenderung berpihak pada Arini. Ia sudah tak bisa diprovokasi olehnya. Nathan benar-benar berubah, tak peduli dengan janjinya yang akan menyakiti Arini sampai wanita itu lenyap dari muka bu
Ponsel Monica berdering lagi, panggilan dari William. Wanita keras kepala itu memilih tak acuh, persetan dengan penjelasan yang tak masuk akal, ia benci karena William mengambil keputusan secara sepihak.Setelah beberapa panggilan ia lewatkan, satu pesan masuk dari William. Dengan enggan ia pun membacanya.[Aku tahu kau marah. Tapi aku sama sekali tak membebaskan Nathan, ia murni dibebaskan karena sikap baik dan juga sering disakiti di dalam sel sampai hampir mati, itu yang aku dengar dari penjelasan polisi. Awalnya aku juga tak mau menampung Nathan, tapi dia tak punya rumah dan sepeser pun harta, aku bertemu dengannya di tengah jalan dalam keadaan pingsan.]"Pembohong besar," sungut Monica. Satu pesan susulan masuk lagi.[Kau boleh memaki, atau bahkan menghancurkan wajahku. Tapi, Monica. Aku hanya bersikap sebagai seorang kakak, hanya dia yang dibebaskan, bukan ibu atau pun Ambar. Untuk keamanan dua keponakanku, aku juga tak berniat memberitahukannya pada Nathan, keputusan ada di tan
Edward, apa kau sudah menemukan informasi tentang Daddy?" Edgard masuk dan duduk di sebelah Edward, anak itu begitu sibuk dengan laptop di hadapan, sesekali membenarkan kacamata. Tangannya bergerak lancar di tombol, menemukan beberapa informasi penting yang sekiranya berguna. Edward menggeleng lemah, menciptakan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah Edgard. Edgard melipat kedua tangan di meja, kemudian menjadikannya penyangga dagu. "Kapan kita akan bertemu Daddy?" Edward terlihat serius dan belum menyerah, ia yakin masih ada petunjuk lain. Keduanya terus menjalin komunikasi dengan William dan juga Sean, yang berulang kali mengatakan jika dirinya begitu merindukan kedua cucunya tersebut. "Entah. Padahal keluarga Daddy sangat mudah dikenal, tapi mendapatkan potretnya saja terasa sulit. Apa mungkin semua informasi tentang Daddy terhapus dari media?" sahut Edward. Edgard berpikir keras. Ia tak yakin jika ayah kandung mereka mirip dengan William, bisa saja ayahnya jauh lebih
"Baguslah kau sudah bangun. Setelah ini aku akan mengantarmu kembali ke kantor polisi, aku juga tak ingin menampung buronan terlalu lama," ujar William yang berdiri sembari bersandar pada pintu. Nathan menoleh, tak menyangka ia sekarang berada di rumah kakak kandungnya. Sedari tadi dia berusaha mencari tempat berlindung, dan takdir masih memihak padanya, ia bertemu dengan salah satu keluarga, setidaknya Nathan bersyukur karena tak akan terlantar di jalanan. Melihat Nathan yang tersenyum malah membuat William muak, ia tak pernah melihat adik laki-lakinya itu tersenyum bahkan untuk menghormati dirinya yang lebih tua saja tidak ia lakukan. Sejak kecil Nathan adalah adik yang menyebalkan, yang selalu menempatkannya ke dalam masalah. "Kau pikir dengan senyum palsu mu itu bisa merayuku? Lupakan dan cepat pergi dari sini!" usirnya terang-terangan. "Kak, ..." William terkejut. Pertama kalinya ia mendengar panggilan Kakak dari bibir Nathan. Tapi William tak boleh terkecoh, bisa saja ini a
"Saudara Nathan, Anda dibebaskan!"Nathan yang masih terbatuk darah itu terlihat lemas, tak terhitung sudah ribuan kali ia dihajar selama di tahan, padahal ia sudah kerap berganti ruangan sel, tapi semuanya terasa mengancam nyawa. Nathan bahkan tak pernah melakukan perlawanan, ia sama sekali tak diberi kesempatan untuk membela diri, dan itu juga yang membuatnya masa tahanannya dikurangi, atau Nathan akan benar-benar mati konyol di dalam sel."Nasib baik kau bisa keluar dari sini. Tapi kau tahu, namamu sudah buruk di luar sana."Pria kekar itu kembali menghantam wajahnya, sebelum petugas kepolisian menarik Nathan keluar. Ia pingsan, dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Sementara Yuan, tiga tahun yang lalu ia mati di dalam sel karena kesehatan fisiknya menurun, dan Nathan belum mengetahui kebenaran tersebut karena sel mereka terpisah. Cukup lama ia terbaring, setelah dilakukan serangkaian perawatan, Nathan terbangun dengan suara batuknya. Ya, paru-parunya bermasalah dan harus seger
"Edward, apa kau sudah menemukan informasi tentang Daddy?" Edgard masuk dan duduk di sebelah Edward, anak itu begitu sibuk dengan laptop di hadapan, sesekali membenarkan kacamata. Tangannya bergerak lancar di tombol, menemukan beberapa informasi penting yang sekiranya berguna. Edward menggeleng lemah, menciptakan raut kecewa yang terlihat jelas di wajah Edgard. Edgard melipat kedua tangan di meja, kemudian menjadikannya penyangga dagu. "Kapan kita akan bertemu Daddy?" Edward terlihat serius dan belum menyerah, ia yakin masih ada petunjuk lain. Keduanya terus menjalin komunikasi dengan William dan juga Sean, yang berulang kali mengatakan jika dirinya begitu merindukan kedua cucunya tersebut. "Entah. Padahal keluarga Daddy sangat mudah dikenal, tapi mendapatkan potretnya saja terasa sulit. Apa mungkin semua informasi tentang Daddy terhapus dari media?" sahut Edward. Edgard berpikir keras. Ia tak yakin jika ayah kandung mereka mirip dengan William, bisa saja ayahnya jauh lebih
6 Bulan kemudian ... Ruang operasi menampakkan beberapa orang yang terlihat sibuk, dengan kepanikan luar biasa. Pasien wanita terbaring lemah tak sadarkan diri setelah disuntikan bius. Banyak darah yang terbuang dan membuatnya membutuhkan transfusi darah. Untungnya tidak terlalu sulit. Setelah satu masalah selesai, operasi persalinan mulai dilakukan, semuanya siap dengan tugas masing-masing. Tak ada keluarga yang menunggu, pasien itu datang seorang diri dan mengurus semuanya sendiri. Waktu operasi memakan waktu selama dua jam, dua bayi kembar berhasil diselamatkan. Beberapa orang di ruangan itu bernapas lega, sebelum akhirnya memindahkan pasien tersebut ke ruang rawat khusus selama masa pemulihan. Perawat pria masuk untuk mengecek kondisinya, menyuntikkan sesuatu pada cairan infus dan menatap pasiennya cukup lama. "Kau memang wanita yang hebat. Aku harap, setelah ini kau hanya akan mendapatkan kebahagian yang tak berujung," ujarnya lirih. Di balik masker bibirnya terseny
Kedatangan Sean dan William tentu saja disambut baik oleh Budi, pria itu turut senang ketika mengetahui kedatangan keduanya yang bermaksud untuk melamar Arini. Dari yang ia dengar dari anak-anaknya, Sean dan William adalah orang baik yang mengasingkan diri dan juga kerap melindungi Arini.Budi beruntung hal-hal baik masih menimpa dirinya, andai saja Arumi masih hidup, pasti istrinya akan sangat bahagia. Arini pun tak keberatan dan menerima lamaran William, meski mereka berdua juga heran ke mana perginya Monica, William hanya memberitahu jika Monica sedang ada urusan bisnis di luar negeri selama beberapa tahun ke depan, dan tidak bisa diganggu untuk sementara waktu.Satu bulan setelah kedatangan William, mereka benar-benar menikah, dan memutuskan untuk tetap menetap di desa, lagi pula William juga menyukai suasana di sana, meski sesekali mengurus pekerjaan di kota, ia tetap tak lupa pada tanggung jawabnya."Sayang, masak apa hari ini?"Tangan kekar William melingkar di pinggang ramping
"Selamat, ya! Usia kehamilan Anda sudah memasuki tiga bulan." Bagaimana tersambar petir, ini kabar yang tidak ingin ia dengar. Monica semakin panik, tapi berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan emosinya sendiri. Ingin marah pada siapa? Nathan? Pria itu sudah mendekam di penjara. "Dokter yakin ini hasil akhirnya?" Dokter tersebut tersenyum. Ia malah menawarkan tes USG, akhirnya Monica menyetujui. Dan hasilnya, ia bisa melihat dengan jelas wujud makhluk kecil di dalam perutnya. Refleks ia menangis, membuat dokter berpikir jika Monica hanya terharu. Ia pergi, dengan perasaan yang entah. Karena tak percaya, ia memutuskan untuk mengecek kandungannya di beberapa rumah sakit kota dan hasilnya tetap sama. Di dalam mobil pikirannya entah ke mana. Monica meremas kuat perutnya, berharap makhluk tak berdosa itu segera pergi dan hancur di dalam sana. Ia memukul beberapa kali tapi berakhir dengan suara tangis yang menggema di seisi mobil. Malam semakin larut, sementara dirinya ma
Pintu tiba-tiba terbuka, beberapa orang berseragam datang menerobos masuk secara paksa ke ruangan Nathan. "Apa-apaan ini? Kalian bersikap tidak sopan di tempatku," bentak Nathan garang. "Angkat tangan dan jangan bergerak! Anda ditangkap atas kasus penganiayaan yang dilakukan terhadap saudari Arini." Nathan langsung menoleh cepat ke arah Monica. Wanita itu memasang wajah sedih dan juga air mata palsunya. "Pak, ini pasti hanya salah paham. Tolong jangan tangkap suami saya!" "Maaf, Bu. Barang bukti sudah ada di kantor polisi. Jika ingin menjelaskan lebih lanjut, silahkan ke kantor polisi. "Sayang, apa ini rencanamu?" Monica yang tadinya nangis malah tersenyum miring. Buru-buru ia mengganti ekspresi dan berbicara mengiba pada beberapa anggota itu. "Bolehkah saya memeluknya dulu?" Mereka saling adu tatap seperti meminta persetujuan, atau mungkin keheranan. Karena sebagai korban, Monica dianggap terlalu baik pada suaminya. "Baiklah. Satu menit!" Monica tersenyum antus