Share

Trauma yang Sama

“Aku begitu khawatir ketika meninggalkanmu bersama ibu, tapi rupanya kau adalah bakal aktor hebat, Monica.”

Jika biasanya Monica yang terdengar cerewet, sekarang ia malah tak acuh pada pernyataan konyol Nathan, tidak penting.

“Kau pasti sedang berpikir keras siapa itu Arini,” celetuknya lagi berusaha memancing Monica untuk bicara. Monica memilih memejamkan matanya, dan melipat kedua tangan di dada, dengan wajah yang ia arahkan ke arah jendela.

Nathan menyerah. Ternyata seperti ini rasanya mencari topik pembicaraan, tapi yang diajak bicara adalah batu karang. Sepanjang jalan keduanya hanya bisu, tak lama mobil berhenti, otomatis membuat Monica langsung terjaga.

“Tetap di sini!” perintah Nathan.

Monica menguap malas, ternyata Nathan membawanya ke rumah ini, bukan kediamannya. Netranya menatap Nathan yang telah menghilang di balik pintu. Awalnya ia memang sabar menunggu, memainkan ponsel dan mencoba aplikasi baru yang belum ia tahu, sampai menonton video, Nathan belum juga keluar.

“Ngapain sih di dalam? Lama banget,” ketusnya jengkel.

“Apa aku susul aja, ya? Membosankan!”

 Akhirnya setelah menimbang keputusannya, Monica memilih turun untuk menemui Nathan. Rumah terlihat kosong, pelayan yang pernah ia lihat juga tak tampak. Pandangannya menyapu sekitar, ingin berteriak memanggil Nathan juga ia enggan. Akhirnya yang bisa ia lakukan hanya mengitari beberapa sudut dalam rumah.

Dapur, gudang, tiga kamar di lantai bawah, semua kosong dan memang tidak terkunci. Hanya tangga menuju lantai dua yang belum ia telusuri. Sedikit ragu, karena dalam surat pernyataan sebelum nikah juga ada larangan untuknya agar tidak menginjak lantai dua, apa pun alasannya.

“Memangnya ada apa di lantai dua?” gumamnya penasaran.

Karena rasa takut mengalahkan rasa penasarannya, Monica memutuskan untuk tetap ke lantai dua mencari Nathan. Perlahan, sebisa mungkin tak ingin menciptakan suara yang mencurigakan, seperti pencuri yang berusaha agar tidak tertangkap basah oleh pemilik rumah.

Semua kamar di rumah itu terkunci, tapi yang lebih menarik perhatiannya adalah kamar di ujung sana, sedikit remang-remang. Pelan ia mendekati, samar ia mendengar suara laki-laki.

“Airin, harus sampai kapan kau membiarkanku seperti ini? Maaf, ini semua salahku, tapi jangan diamkan aku! Aku bahkan terus mengecup bibir pucatmu tanpa timbal balik. Ayo, Sayang buka matamu!”

Itu suara Nathan. Tidak salah lagi, tapi kenapa ia menyebut nama Airin, bukankah wanita itu sudah mati, kalau masih hidup lantas kenapa ia mencari wanita yang memiliki paras yang serupa dengan Airin. Mengenal Nathan malah membuatnya bingung.

“Namanya Monica. Kalian mirip, tapi aku tak bisa mencintai wanita selain dirimu. Bangun dan maki saja aku sepuasmu karena sudah menikahinya, tapi aku janji tidak akan menyentuhnya!”

Monica geram, hatinya panas. Sebegitu dalam Nathan mencintai Airin, sampai Monica hanya dijadikan pajangan untuk menutupi rahasia besarnya ini!”

“Tapi, aku tak bisa memegang janjiku ke depannya! Bangun dan lihat aku!”

 Suasana kembali hening. Monica berusaha menata hati, untuk apa sakit hati, lagi pula dari awal juga ia tak menyukai Nathan, keduanya hanya terikat perjanjian yang sama-sama menguntungkan. Tapi lagi, Monica tak bisa menahan diri, tangannya meraih gagang pintu.

“Kau sudah lancang, Monica!”

Suara berat itu terdengar mengerikan. Nathan berdiri menatap pigura besar di hadapan. Monica menyapu sekeliling tak ada apa pun, hanya ranjang kosong, kamar ini memang bersih dan terawat.

“Kau terlalu lama, itu sebabnya aku ke sini,” ujarnya jujur. Nathan masih tetap pada posisinya.

“Saya hanya menyuruhmu untuk menunggu, tapi kau malah melanggar janji dan tetap ke lantai dua. Itu fatal!”

“Lagi pula apa yang membuatmu melarangku ke sini? Aku juga istrimu asal kau tahu, dan di ruangan ini juga tak ada siapa pun selain dirimu ‘kan. Atau memang ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?”

“MONICA!!!”

Nathan membentaknya dengan keras, membuat Monica kaget. Ini pertama kalinya ia dibentak setelah mendiang ayahnya dulu. Trauma itu datang lagi, suara cambuk terdengar menggema, refleks kedua tangan menutupi telinga, dengan posisi Monica yang tiba-tiba meringkuk di depan pintu dan terus saja menjerit.

“Tidak, jangan lakukan itu! Maafkan aku, ampun!”

Monica terus menjerit ketakutan, membuat Nathan ikut panik. Wajahnya berubah melunak, rasa jengkel yang tadi berubah jadi iba, langkah lebarnya lekas menghampiri Monica yang seolah tak ingin disentuh dirinya.

“Monica, kau kenapa?” Nathan membuang napas kasar, sebelum akhirnya memilih mengunci pintu. Dua tangan kekarnya ia gunakan untuk menggendong Monica ke mobil. Wajah istrinya sembap, raut ketakutan yang memang tak dibuat-buat. Jika sekarang ia nekat membawa Monica pulang ke rumahnya, khawatir kondisinya akan semakin parah, akhirnya mau tak mau ia harus membawa Monica ke rumah sakit, sekaligus mencari tahu apa penyebab dari tindakannya barusan.

Suara senggukan terdengar, tapi Monica masih menjerit kecil ketakutan dalam gendongan. Nathan langsung masuk dan membawanya ke ruang rawat. Dan sekarang ia memilih untuk menunggu di luar dengan cemas.

“Apa yang terjadi denganmu, Monica?”

Detik, menit berlalu, akhirnya wanita dengan pakaian putih itu keluar menghampiri Nathan.

“Maaf, bisa ke ruangan saya sebentar? Ada hal penting yang ingin saya bahas,” ujarnya pada Nathan. Pria itu mengangguk dan mengekori langkahnya ke ruang pribadi sang dokter.

“Pasien mengalami trauma masa lalu yang berat, ini masalah serius yang bisa mengganggu cara kerja otaknya. Ada beberapa hal yang membuat otaknya berhenti berpikir dan hanya berpusat pada satu titik, kondisi di mana ia hanya akan berhenti di luka masa lalu,” jelasnya membuat Nathan terkejut.

Monica, wanita itu punya trauma hanya karena ia membentaknya. Ia kembali berpikir bahwa Monica tidak jauh bedanya dengan Arini. Wanita dengan trauma masa lalu, mengganggu kejiwaan dan akhirnya fungsi otaknya berhenti bekerja, sampai sekarang Arini hanya terbaring kaku di atas ranjang karena melawan sakit dan juga traumanya.

Jadi dia sejahat itu.

“Pak Nathan!”

“Eh, iya, Dok. Terima kasih,” ujarnya kaku. Tanpa basa-basi ia pergi, mengutuk dirinya sendiri yang bersikap seceroboh ini.

Nathan enggan masuk dan memilih duduk menunggu di depan, pikirannya kalut. Sementara Monica sudah terbaring lelap setelah diberi obat penenang. Nathan berdiri, mengamati wajah Monica yang tertidur lelap dengan damai.

“Harusnya aku tak bersikap seperti tadi,” kutuknya pada diri sendiri.

“Kenapa baru menyesal sekarang? Kau jahat! Harusnya kau tak hidup di bumi, kau jahat, menciptakan trauma berkepanjangan hanya untuk memuaskan keinginanmu. Kau tahu, Nathan, kau tak lebih dari seorang pengecut, harusnya kita tak bertemu. Aku menyesal, aku benci pernah mencintaimu. Aku membencimu, aku muak melihat wajah kotor yang penuh ambisi seperti ibumu. Kalian semua jahat, hina, kotor!”

Nathan terkesiap, matanya terjaga. Ternyata ia hanya bermimpi. Tapi suara itu seperti suara Monica, penuh dendam, amarah, kebencian. Memikirkan Monica malah membuatnya tertidur di luar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status