Di depan ruangan banyak orang yang menunggu dengan gelisah. Suasana benar-benar genting, sampai akhirnya semua tatapan tertuju pada Monica dan Nathan yang baru saja tiba.
“Kak, bagaimana keadaan ibu?” tanya Nathan getir. Seorang pria yang jauh lebih tua darinya itu memandang dan berusaha menahan rasa sedihnya sendiri. “Tenanglah! Kita semua masih menunggu keterangan dokter sekarang,” balasnya dengan satu tangan yang menepuk bahu Nathan perlahan. Monica kini terlihat lebih santai, meski sedikit gelisah, sementara dua wanita yang tak jauh darinya malah menatap sinis. “Arini, kau sudah benar-benar sembuh ternyata?” Nathan menatap istrinya yang kebingungan, menggenggam jemari lembutnya sebelum tersenyum ke arah dua wanita itu. “Tapi baru kemarin aku melihatmu terbaring sakit seperti orang mati. Bukankah terlalu cepat sampai kau bisa berdiri di hadapan kami semua sekarang?” Ambar membuatnya sedikit takut, bagaimana jika Monica tahu banyak tentang rahasianya. “Kak Ambar, tolong fokus pada kondisi ibu sekarang!” Semuanya kini terdiam, seiring dengan pintu ruangan yang kini terbuka. Wajah dokter menyembul. “Dok, bagaimana keadaannya?” Penutup wajah dibuka, memperlihatkan senyuman tipis di sana. Berarti kabar baik yang mereka terima, wanita tua itu sekarang sudah mulai stabil, dan kabar itu membuat semuanya lega. Baru saja Ambar akan masuk, dokter kini menyela dan meminta Arini dan Nathan yang boleh masuk menjenguk lebih dulu. Rasa benci dan marahnya pada Arini semakin menjadi, di matanya wanita itu pandai memanipulasi, mengandalkan paras dan sikap lembut palsu untuk merebut hati semua orang, termasuk hati suaminya. “Mengapa harus Arini? Anda tahu ‘kan kalau putri kandungnya itu saya, bukan Arini.” “Maaf, Nyonya. Tapi ini permintaan dari nyonya Yuan sendiri.” ‘Kelihatannya dia sangat membenci Arini. Tapi, tunggu! Jika Arini bukan putrinya, lalu siapa? Menantu. Ah iya, Arini adalah menantu. Tunggu! Apa!? Menantu? Jadi, dia menikahiku karena obsesinya pada mantan istrinya dulu. Sial kau, Nathan.’ “Arini, mengapa masih berdiri di situ? Masuk, Sayang!” Nathan membuyarkan lamunannya, Monica langsung masuk ketika tangannya digandeng sang suami, menghilang dari pandangan Ambar juga cara paling aman agar terhindar dari kedengkiannya. Wanita tua masih terbaring dengan tabung oksigen sebagai alat bantu pernapasan, kondisinya belum benar-benar stabil, wajah pucat dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat, rambut yang dihiasi beberapa helai warna putih tak membuat kecantikannya pudar. Bohong jika keberadaan Monica di sini karena wanita tua itu, nyatanya ia di sini karena menginginkan kebebasan tempat tinggal dan juga uang. Dan sekarang ia harus melakukan drama agar identitas aslinya tidak terbongkar, bisa saja Nathan mengambil kembali apa yang sudah ia kasih. Membayangkan saja ia tak sanggup. “Nathan, tolong temui dokter dan tanyakan obat apa saja yang harus ibu konsumsi lagi?” Suara Yuan parau dan melemah, sedikit ragu akhirnya Nathan bergegas keluar dan menggandeng tangan Monica. “Biarkan Arini di sini bersama ibu! Sudah lama sekali ibu tidak menghabiskan waktu bersama menantu kesayangan ibu ini,” ujarnya berusaha menahan Monica. Nathan menatap Monica yang hanya mengangguk patuh, seperti meyakinkan Nathan. “Aku titip ibu ya, Sayang!” Tangannya mengusap lembut pipi kiri Monica, bagai pasangan romantis, sebelah tangan Monica ikut mengusap punggung tangan Nathan lembut. “Sudah 5 tahun pernikahan dan kalian tidak pernah berubah, selalu saja membuat ibu iri,” ucap Tuan menggoda keduanya. Monica menatap punggung Nathan yang menghilang di balik pintu, sekarang ia yang kebingungan, memulai obrolan dengan orang yang baru ia temui sebenarnya tidak terlalu sulit, kalau hanya sekedar kata-kata vulgar dan menggoda lawan jenisnya, tapi ini adalah wanita tua yang sebelumnya sangat dekat dengan Arini. “Bagaimana keadaan ibu sekarang?” Monica mencoba memulai pembicaraan sembari duduk di sebelah Yuan, wanita tua itu meraih tangannya, kemudian menatap mata Monica jujur saja tindakan Yuan membuat Monica gugup, seperti pencuri yang baru saja tertangkap basah. “Terima kasih sudah menjengukku.” Yuan terdiam sebentar. “Siapa namamu?” Mendengar pertanyaan itu Monica semakin takut, habislah sudah riwayatnya jika Nathan tahu identitasnya mulai terbongkar. “Ibu ini bicara apa? Aku Arini, Bu.” Monica berusaha meyakinkan Yuan. “Baiklah jika tak mau berkata jujur, anggap saja kau memang benar Arini. Sekarang jawab pertanyaanku! Apa makanan yang paling Nathan suka?” Pertanyaan jebakan, Monica terdiam dan Yuan menganggapnya sudah kalah. “Sudah ku katakan hanya Arini yang tahu. Siapa namamu?” Yuan terus mendesaknya. “Apa pun yang berbau vegetarian, karena Nathan dari dulu tidak suka seafood atau sejenis daging lain, dia juga alergi udang. Arini juga masih ingat ketika mas Nathan masuk rumah sakit dan hampir mati karena alerginya itu,” jawab Monica lugas. Membuat Yuan akhirnya bernapas lega. “Lalu mengapa kau terdiam lama seperti sedang berpikir, Arini?” Monica menunduk memasang raut sedih. “Arini hanya terkejut, karena sekarang ibu sudah tidak bisa mengenali Arini lagi. Apa setelah lama tak bertemu, aku akan menjadi asing di mata ibu?” Mendengar itu membuat Yuan merasa bersalah. “Maafkan ibu, Sayang! Hanya karena melihat perubahanmu malah membuat ibu ragu.” Yuan memeluk erat Monica. Beruntung sebelum menikah, Monica sudah menghafal beberapa peraturan dan apa saja yang bersangkutan dengan Nathan, rupanya insiden ini akan terjadi, Nathan memang tidak salah memprediksi. Yuan dan Monica akhirnya terlibat obrolan panjang, tepat saat Nathan masuk dengan beberapa obat-obatan milik Yuan, ia dibuat sedikit terkejut ketika melihat kedekatan Yuan dan Monica yang tergolong singkat, Monica rupanya cepat memainkan perannya. “Ibu harus banyak istirahat, fokus untuk kesembuhan. Memangnya ibu nyaman berada di sini dan jauh dari Arini terus?” Bibirnya melengkung bak bulan sabit ke arah Yuan. “Iya, Sayang. Melihat wajahmu saja sudah membuat semangat ibu bertambah.” “Ehem, sepertinya ada yang sedang membicarakan ku, ya?” Keduanya menoleh, Monica tersenyum tipis. “Siapa juga yang membicarakanmu? Nanti besar kepala, iya ‘kan, Bu?” Yuan tertawa dan menggeleng kecil. Pemandangan seperti inilah yang ia rindukan selama terbaring di rumah sakit, dari awal bahkan sebelum ia sakit, sebenarnya Arini sudah menghilang tanpa mengabarinya sama sekali, kepergiannya juga tak diketahui, sementara Nathan terus saja berkilah kalau Arini sedang sibuk dengan bisnisnya di luar negeri seorang diri, tapi anaknya yang lain mengatakan Arini pergi dan sudah lama mati, itulah alasannya masuk ke rumah sakit sampai hari ini. Setelah puas mengobrol, mereka kembali meninggalkan Yuan untuk beristirahat. Monica berjalan di belakang Nathan, dan sedari tadi Ambar menatap wajahnya penuh kebencian. Keduanya berhenti sebentar, Ambar mengambil kesempatan itu untuk mendekati Monica, kemudian berbisik lirih. “Harusnya kau sudah mati, Arini. Tapi sepertinya semesta memang memberimu nyawa baru untuk merasakan penderitaan yang sama.” Monica menatap mata Ambar, kemudian tersenyum sinis, sebelum akhirnya ia menggandeng tangan Nathan dan pergi dari rumah sakit.“Aku begitu khawatir ketika meninggalkanmu bersama ibu, tapi rupanya kau adalah bakal aktor hebat, Monica.”Jika biasanya Monica yang terdengar cerewet, sekarang ia malah tak acuh pada pernyataan konyol Nathan, tidak penting. “Kau pasti sedang berpikir keras siapa itu Arini,” celetuknya lagi berusaha memancing Monica untuk bicara. Monica memilih memejamkan matanya, dan melipat kedua tangan di dada, dengan wajah yang ia arahkan ke arah jendela.Nathan menyerah. Ternyata seperti ini rasanya mencari topik pembicaraan, tapi yang diajak bicara adalah batu karang. Sepanjang jalan keduanya hanya bisu, tak lama mobil berhenti, otomatis membuat Monica langsung terjaga. “Tetap di sini!” perintah Nathan. Monica menguap malas, ternyata Nathan membawanya ke rumah ini, bukan kediamannya. Netranya menatap Nathan yang telah menghilang di balik pintu. Awalnya ia memang sabar menunggu, memainkan ponsel dan mencoba aplikasi baru yang belum ia tahu, sampai menonton video, Nathan belum juga keluar.“Ng
Jemarinya bergerak, disusul netra yang perlahan terbuka memindai sekeliling, ruangan serba putih ia lihat lagi setelah menjadi istri Nathan. Bodohnya mengapa terlihat lemah di hadapan pria angkuh seperti Nathan, harusnya ia bisa mengendalikan dirinya sendiri.Bayangan Nathan membentaknya harusnya adalah hal sepele, hanya saja kenapa wajah Budi yang melintas di hadapannya, bedanya Nathan tak membawa serta cambuk, atau mungkin belum. Itu yang membuatnya tak ingin mengenal lelaki lebih jauh, atau nasibnya akan memburuk di tangan laki-laki. ‘Aku yakin pasti ada seseorang selain dirinya di tempat itu,’ batinnya. Untuk melihat keadaan di luar saja ia tak bisa, jendela yang tertutup gorden itu menghalangi pandangannya. Perlahan ia bangkit, mencabut selang yang menempel di punggung tangan, lagi pula dirinya tak sakit keras.Kedua tangan menyingkap gorden, ternyata langit sudah gelap. Baru saja berdiri, suara bariton Nathan terdengar dari belakang. “Kau sudah sadar?” Sudut bibir Monica teran
“Monica, ada panggilan di kamar 310.”“Madam, sepertinya aku sedang tidak ingin melayani siapa pun malam ini,” balasnya sembari mematikan rokok. Wanita dewasa dengan dandanan glamor itu membuang napas berat, mengambil ponsel dan berbicara beberapa kata sebelum akhirnya kembali fokus pada Monica. Gadis cantik kesayangan rumah bordilnya itu hanya terdiam sembari menunggu kelanjutan dari keputusan akhir Madam.“Aku sudah membuat tawaran, tapi pelanggan di kamar itu hanya menginginkan dirimu,” ujarnya membujuk Monica. Sementara gadis itu masih bungkam, badannya seperti remuk, suasana hati yang kacau membuatnya terlalu malas untuk bertempur di atas ranjang seperti biasa.“Tolong pikiran lagi, Monica! Dia berani membayar mahal atas dirimu. Tolong jangan sia-siakan kesempatan ini!”Ternyata benar, seistimewa apa pun perlakuan Madam padanya, tetap saja kalah jika dibandingkan dengan uang, rupiah memiliki tempat tersendiri di dalam diri Madam, bukankah harusnya ia juga sadar bahwa keberadaan
“Saya ingin membelinya!”Madam yang tadi sedang sibuk menghitung rupiah mendadak terdiam, menatap bergantian ke arah Monica dan Nathan. Wajah tampan pria itu terlihat dingin, tanpa basa-basi melempar beberapa gepok uang ke atas meja, semakin membuat mata Madam terbelalak. Luar biasa pesona Monica, pria tampan seperti Nathan bisa bertekuk lutut di bawah pesonanya, pikir Madam.“Tuan, tolong baca peraturan yang sudah tertera di sini!” Madam memberikan map hijau ke arah Nathan.“Di sini sudah tertera keputusan mutlak, bahwa semua wanita yang ada di sini tak bisa dibeli, jika tuan masih menginginkannya tidak masalah, bukankah tuan bisa kembali ke tempat ini kapan saja?”Nathan masih menatap datar, ia tak tertarik dengan peraturan sampah yang menurutnya tidak masuk akal. Dengan berani, tangan kekarnya merobek kertas itu, membuat semua yang ada di sana begitu terkejut. Tatapan dinginnya seperti hendak menerkam Madam, ia benci penolakan, ia tak menyukai protes dalam bentuk apa pun.“Hei! Apa
“Jadi, kapan kita menikah?”Dua pasang kaki beriringan masuk, bahkan sebelum menyentuh sofa, pertanyaan logis langsung terucap dari bibir Monica. Nathan menahan senyum, mengira jika Monica sebenarnya terlalu terburu-buru karena telah melihat kekayaannya yang terpampang jelas sekarang.“Kau sangat tidak sabaran. Sepertinya setiap wanita pasti akan silau dengan harta, jika tadinya kau menolak dengan tegas, sekarang kau justru terdengar mendesakku untuk segera menikahimu.”Monica menatap Nathan yang menurutnya terlalu percaya diri, senyum miring terlihat menjengkelkan buat Nathan, terkesan menghina dan meremehkan.“Rasa percaya dirimu cukup bagus, tapi aku tak tertarik. Tujuan awal kau membawaku ke sini kan untuk menikah, jika hanya ingin bermain-main, kau salah memilih lawan. Dan satu lagi, apa keuntungannya setelah aku menikah denganmu nanti?”Nathan sedikit takjub dengan cara berpikir Monica, tidak mudah diperdaya padahal ia banyak menghabiskan waktu di tempat liar yang minim pendidik