Share

Aku Hanya Gadis Ternoda
Aku Hanya Gadis Ternoda
Penulis: Hanazawa Easzy

1. Wanita Penggoda

Penulis: Hanazawa Easzy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-02 12:58:01

“Berapa tarif kamu semalam?”

Aku terkekeh mendengar pertanyaan klasik yang tidak perlu kujawab. Jelas-jelas di awal dia sudah tahu hargaku. Kenapa masih pura-pura bertanya?

“Berapa, ya? Yang pasti, tidak sebanyak uang yang diberikan pada istri-istri mereka,” jawabku manja, menampilkan senyum terbaik untuk menyenangkannya. Sudah menjadi keharusan bagi wanita penggoda sepertiku untuk membuat klien bahagia.

Sayangnya, klien kali ini sedikit berbeda. Dia orang yang pernah menghancurkan hidupku. Orang yang sudah merenggut kesucianku, juga orang yang menjadi penyebab hancurnya pernikahanku dengan adiknya, dua minggu sebelum ijab kabul berlangsung.

“Kenapa tanya? Kamu mau bayar aku berapa?” Kukedipkan sebelah mata, mendekat ke arahnya dan meletakkan tangan di salah satu bahunya. Aroma parfum yang kupakai pastilah sampai di hidung mancungnya.

“Berapa yang harus kubayar supaya kamu bebas dari tempat prostisusi ini?”

Tawaku mengudara.

“Aku udah bebas, kok. Kamu lihat, tangan atau kakiku nggak ada yang ikat, kan?”

“Bukan itu. Kamu berhenti dari pekerjaan ini. Kita nikah.”

“Nikah?”

Tawaku lebih keras dari sebelumnya, memenuhi ruangan dengan cahaya temaram dan lilin-lilin aroma terapi yang berjajar di lantai. Kulihat rahangnya mengerat, dengan jari-jari yang tergenggam rapat. Jelas dia berusaha meredam gemuruh di dalam dadanya, juga keinginan liar sebagai seorang pria dewasa yang tengah digoda wanita dengan gaun terbuka.

Aku tahu, aku berhasil menggodanya, terlihat dari jakun yang naik turun dengan cepat. Bahkan, suaranya ikut tercekat. Cukup mengasyikkan menyiksa pria yang paling kubenci di dunia.

“Sayang, aku dibayar buat menuhin kebutuhan biologis kamu, bukan buat ngobrol hal-hal bulshit soal pernikahan. Urusan rumah tangga atau semacamnya, it's not our business. Kalau kamu mau nikah, cari gadis baik-baik di luar sana. Bukan aku.”

“Sera, ini serius. Semua kesalahanku di masa lalu—”

“Stop it!” Aku semakin mendekat ke arahnya, menempelkan jari telunjuk tepat di bibirnya.  “Kamu nggak harus jelasin apa pun, karena aku nggak mau dengar itu. Masa lalu udah berlalu. Buat apa dibahas lagi? Nggak ada gunanya. Buang-buang waktu aja.”

“Ra!”

Kali ini aku harus membekap mulutnya, mencegah kalimat lain terlontar dari sana. Meski hatiku jijik luar biasa bersentuhan dengannya, tapi aku masih bisa berpura-pura sebagai wanita manja di hadapan klienku ini.

“Baby, you want me or not?” tanyaku dengan tatapan menggoda, menjatuhkan harga diriku sendiri sebagai seorang wanita demi pekerjaan yang banyak dipandang rendah oleh orang-orang di luar sana.

Kulihat wajahnya memerah, entah menahan marah atau menyembunyikan gairah. Dengan cepat dia merogoh saku celana, mengambil sepuluh lembar uang ratusan ribu dan meletakkannya di meja dengan kasar.

Debam pintu menjadi tanda perpisahan kami malam ini. Dia pergi begitu saja, tak peduli aku belum memberikan layanan khusus padanya. Sama seperti sebelumnya, dia memintaku berhenti dari pekerjaan hina ini dan menjadi istrinya.

Sayangnya, itu hal yang mustahil. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan semuanya? Luka yang membuatku terjebak dalam lingkaran setan ini.

Ingatanku kembali pada memori buruk malam itu. Dialah penyebab kehancuran hidupku. Pria asing kedua yang kupercaya, ternyata memiliki siasat busuk di dalam hatinya.

“Ra, Dika minta aku antar kamu buat fitting gaun pengantin,” ucap iblis berwujud manusia yang menghampiri saat aku keluar dari toko bunga tempatku bekerja. Langit senja membiaskan cahaya oranye di angkasa. Satu keindahan yang paling kusuka.

“Fitting gaun pengantin? Kan harusnya besok, Mas. Bukan hari ini.”

“Nggak tahu. Kamu lihat sendiri chat-nya.”

Meski awalnya ragu, aku meraih ponsel itu. Memang benar ada pesan yang memintanya mengantarku ke butik langganan keluarga mereka.

“Masih nggak percaya?”

“Bukan gitu, Mas. Soalnya—”

“Kamu telepon Dika atau Mama. Tanya mereka, aku bohong atau nggak.”

“Maaf. Aku ... aku percaya, kok.”

Entah bodoh atau terdorong rasa tidak enak semata, aku menurut saja, masuk ke dalam mobilnya tanpa bertanya apa-apa. Sepanjang perjalanan, aku bahkan tidak berani buka suara. Hanya sesekali memandang keluar jendela, juga jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. Pria itu memang beberapa kali mengantar-jemputku saat Dika sedang sibuk dengan urusannya.

Langit semakin gelap saat aku menyadari kalau jalan yang kami lalui semakin sepi. Aku belum pernah melewatinya. 

“Mas Rian, ini kita nyasarkah, Mas?”

Aku memberanikan diri bertanya saat kulihat titik GPS di ponsel justru semakin jauh dari tujuan kami. Rasa gugup melanda, membuat rasa takut memenuhi dada.

Pria itu tetap bungkam, bahkan menambah kecepatan mobil yang membuatku mencengkeram hand grip di atas pintu. Dia seolah ingin menerbangkan mobilnya.

"Mas, berhenti! Aku mau turun!" ucapku dengan suara gemetar. Namun, hanya deru kendaraan yang terdengar. Tetap tak ada jawaban.

“Mas, ini kita mau ke mana?"

"Senang-senang," jawabnya singkat. Kulihat senyum miring di bibirnya, bersama cengkeraman tangan yang semakin erat menggenggam kemudi.

“Kamu jangan gila! Istighfar, Mas. Aku calon adik ipar kamu.”

“Justru karena itu kamu, Ra. Kamu yang paling tepat kujadikan senjata."

Kali ini tawanya membahana, membuatku semakin yakin kalau ada yang tidak beres dengan isi kepalanya.

“Mas, kita pulang sekarang!”

Namun, mobil itu tetap melaju, tidak peduli dengan protesku. Berbagai doa kulantunkan dalam dada, berharap tidak akan ada hal-hal tak terduga nantinya.

Sayang sekali, yang terjadi justru sebaliknya. Dia membawaku ke sebuah vila yang gelap gulita. Decit rem terdengar memekakkan telinga, bersama kendaraan roda empat yang terhenti seketika. Sosok pria 178 cm itu keluar dari mobil, membanting pintunya sekuat tenaga.

Ini satu-satunya kesempatanku melarikan diri. Aku segera mengambil langkah seribu, berusaha menjauhi pria yang kini melangkah memutari bagian depan mobil jeep-nya.

“Mau lari ke mana kamu?”

Dia menangkap tanganku, membuat langkahku terhenti seketika. Dia menyeretku untuk mengikutinya.

Aku terus meronta, berteriak sambil memukuli punggungnya. Namun, kedua telinganya tak lagi berfungsi. Dia dibutakan oleh kemarahan yang tidak kuketahui sebabnya.

Entah setan apa yang telah merasukinya. Dia mengangkat tubuhku seperti karung beras dan membawaku masuk ke salah satu kamar. Dengan kasar, menghempas tubuhku begitu saja. Di tengah hujan lebat yang mengguyur vila, dia melecehkan harga diriku, mengambil mahkota paling berharga, yang ku jaga untuk suamiku nantinya. Dia menikmati sesuatu yang bukan haknya dengan wajah tanpa dosa, bahkan tertawa bangga.

Aku menangis tergugu mengingat kejadian menyesakkan itu. Dia sumber malapetaka yang sudah melemparkanku ke dalam jurang nestapa, memberiku status gadis terhina dan terusir dari keluarga. 

Sekuat apa pun berpura-pura tegar, aku lunglai juga. Kakiku melemah, tidak bisa menahan bobot tubuhku sendiri. Bulir-bulir air mata menetes tanpa diminta. Dadaku terasa sesak. Rasanya, aku ingin amnesia. Melupakan semuanya.

Luka ini Adrian Mahendra Hutama penyebabnya. Sembuhkah jika aku menikam jantungnya?

Bab terkait

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   2. Anak Pembawa Sial

    “Ini yang namanya Sera? Calon istri kamu?”Aku tersenyum, menyalami wanita paruh baya yang baru datang, langsung mendekatiku dan Dika yang duduk di beranda. Seorang laki-laki menyusul di belakangnya, juga dua anak remaja yang langsung masuk membawa tas besar di punggungnya.“Salam kenal, Tante. Saya Sera.”“Masya Allah, cantiknya.”Sebuah pelukan menjadi salam perkenalan kami. Meski aku belum tahu apa hubungan wanita ini dengan kekasihku, aku membalas dekapan hangatnya.“Dika nggak salah pilih kan, Tan?”“Nggak, dong. Tante langsung setuju kalau ini, sih. Cocok sama kamu.”“Cocok? Aku ganteng kaya malaikat, dia cantik kayak bidadari surga?”“Kayak udah pernah lihat malaikat sama bidadari aja!” Aku menyikut perut Dika, memintanya jangan terlalu narsis dan sembarangan bicara.Tante Mira dan suaminya tertawa, juga Papa Adli dan Mama Nia yang sekarang berdiri di dekat kami. Mereka ikut bergabung, menyambut kerabat yang datang dari luar kota itu.“Saudara kamu banyak ya?” tanyaku saat berd

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   3. Pertemuan Tak Terduga

    “Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   4. Terusir

    “Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   5. Tamu Tak Diundang

    "Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   6. Dari Mulut ke Mulut

    “Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   7. Pengorbanan

    “Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-07
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   8. Ingatan Pahit Masa Lalu

    “Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   9. Buah Simalakama

    Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10

Bab terbaru

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Apakah Kiamat akan Segera Tiba?

    "Es kelapanya satu, Bu."Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana."Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar."Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika."Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja.""Nggak ada, Bu.”“Saya tukarkan dulu, ya.”“Nggak usah. Ambil saja kembaliannya."Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan."Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan kesada

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   10. Masih Adakah Surga untuk Gadis Ternoda?

    "Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   9. Buah Simalakama

    Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   8. Ingatan Pahit Masa Lalu

    “Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   7. Pengorbanan

    “Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   6. Dari Mulut ke Mulut

    “Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   5. Tamu Tak Diundang

    "Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   4. Terusir

    “Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   3. Pertemuan Tak Terduga

    “Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj

DMCA.com Protection Status