“Sera, lo udah gila ya?!”
Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.
“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”
Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.
“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.
“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”
Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.
“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke wajahnya.
“Yah, abisnya—”
“Pikiran lo bakal berubah kalau tahu cerita sebenarnya, Re.”
“Cerita apa? Dia psyco? Atau suka BDSM? Lo nggak apa-apa?”
Renata panik, memindai tubuhku. Dia takut ada goresan bekas tali, borgol, atau semacamnya seperti yang ada dalam bayangannya. Hal itu membuatku tertawa. Dia memang sahabat terbaikku sejak dulu.
“Fisik gue nggak apa-apa, Ra. Mental gue yang hancur!”
“Heih? Maksudnya?”
“Dia iblis yang udah ambil keperawanan gue. Lo rela gue nikah sama dia?”
“Hah?!” Raut wajah Renata berubah seperti orang linglung yang kehilangan memori di dalam kepala. Mulutnya terbuka lebar, tapi hanya bola matanya yang bergerak ke kanan kiri mencoba mencerna apa yang kukatakan.
“Adrian Mahendra Hutama,” lirihku sambil berjalan menjauhinya, menyembunyikan wajah menyedihkan dan genangan air tanpa warna yang terkumpul di pelupuk mata. “Dia klien sepesial yang dimaksud Madame Erina.”
“Ra, dia ….” Renata tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Sebuah anggukan kutunjukkan sebagai jawaban.
Hening menyelimuti kami berdua. Langkahku terhenti di depan jendela kaca, mengamati jalanan di bawah sana dengan deretan mobil yang terlihat kecil karena apartemen kami ada di lantai lima belas.
“Gue nggak tahu dari mana dia dapat akses ke Madame Erina. Udah sebulan ini, dia tiap malam dateng, duduk diem berjam-jam cuma buat liatin wajah gue. Kemarin lusa, dia tiba-tiba ajak gue nikah. Hampir aja gue lempar vas bunga di atas meja.”
“Sera, lo nggak apa-apa?”
Aku berhasil menyeka mataku saat Renata menarik tubuhku untuk saling berhadapan dengannya.
“Tadi malem dia datang lagi. Akhirnya gue nekat goda dia, bahkan sengaja pakai baju paling terbuka yang gue punya. Gue nggak bisa diem aja, Re, harus bertindak kalau nggak mau diinjak-injak. Yah, walaupun gue belum pernah se-inisiatif itu sih sebelumnya.”
“Serius?! Kalian—”
“Gaklah! Otak lo ngeres aja!” Aku menoyor kepala Renata, menyembunyikan gemuruh di dalam dada dengan tawa.
“Tapi kata Madame dia puas sama pelayanan lo, makanya nggak rela kalau lo ngelayanin cowok lain.”
“Puas dari mana? Kissing aja nggak.”
“Hah? Kok bisa?”
“Bisalah. Dia kabur duluan.”
Lagi-lagi Renata ber-hah seperti sebelumnya. Kemampuan otaknya memang tidak terlalu mumpuni untuk berpikir hal-hal kompleks semacam itu.
“Astaga, Re. Wajah lo boleh glowing shining shimmering splendid, bahkan udah masuk level nge-glazed mengilap bercahaya. Tapi kok daya pikir otak lo masih rada-rada, ya? Buat apa oon dipiara? Piara kambing, tuh. Kalau gemuk bisa dijual pas lebaran haji!”
“Maksudnya?”
Aku semakin tergelak melihat wajah kebingungan Renata. Pembahasan tawaran Madame Erina justru berakhir ambigu. Aku berlalu ke kamar, tidak memedulikan wajah bodohnya yang masih berusaha mengerti candaanku.
“Sera, tadi kita ngomongin apa, sih? Gue nggak ngerti.”
“Udah, nggak usah dipikirin. Mau ke mall, nggak?” tanyaku mengeluarkan uang dari dompet, mengipaskannya di depan muka.
“Mall? Ngapain?”
“Beli kambing buat lo piara!”
Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tawa. Terlebih sekarang Renata mengerucutkan bibirnya dengan kening berkeerut. Apa aku terlalu sering menoyor kepala dia, ya? Kemampuan berpikirnya makin menurun saja.
“Nggak lucu, ih. Kenapa jadi bahas kambing!”
“Aduh, sorry, Re. Sorry.” Aku memencet hidung untuk menghentikan tawa sebelum perutku semakin sakit. “Gue mau beli B Erl cosmetics. Krim malam gue tinggal dikit. Ntar gue traktir sekalian, deh.”
“Itu duit dari Rian?”
“Hmm … iya.”
“Lo mau pake?”
“Kenapa emangnya?”
“Kan lo benci sama dia.”
Aku tidak bisa langsung menjawab. Satu jarum tajam terasa menghunjam hatiku. Tanpa diingatkan sekalipun, aku sadar sesadar-sadarnya kalau kebencianku semakin bertambah padanya, tidak akan mudah dilupakan bagaimanapun caranya. Berapa pun uang yang dia berikan.
“Gue mau mandi dulu. Kita otw satu jam lagi, sekalian nyari sarapan. Lo mandi juga, gih.”
Aku melangkah ke arah kamar mandi, mengabaikan panggilan Renata yang mengkhawatirkan keadaanku. Punggungku bersandar di pintu setelah menguncinya, meredam gejolak yang timbul setiap mengingat kenangan buruk itu.
Tepat jam sebelas, aku dan Renata memasuki mall di kawasan M.H. Thamrin. Sama seperti biasanya, kami berkeliling keluar masuk outlet. Kalau ada yang cocok, beli. Semudah itu. Sejak menjadi pekerja malam, gaya hidupku berubah drastis. Hedonis dan boros.
Hanya dengan cara itu aku bisa pura-pura bahagia, membeli apa saja yang kusuka. Padahal sebenarnya, itu untuk menutupi luka yang tiap hari semakin besar efeknya pada kesehatan mentalku. Terlebih setelah munculnya laki-laki itu. Aku hampir gila rasanya.
“Lo mau beli lingerie, nggak?” tawarku pada Renata, iseng mengambil gaun tidur transparan warna merah muda yang ada di hanger.
“Gue?”
“Iyalah. Siapa lagi?”
“Buat apa? Lo aja sana buat godain Adrian.”
“Ih, geli!”
Aku tertawa hambar, pura-pura bisa menerima candaannya. Nyatanya, hatiku sakit luar biasa mendengar nama itu. Tak ingin membahasnya lebih lanjut, aku melangkah cepat mengembalikan gaun menjijikkan itu ke tempatnya.
Tanpa kuketahui, dari arah lain seorang pria berjalan terburu-buru dengan ponsel di telinganya. Kami sama-sama tidak menyadari satu sama lain sampai bertabrakan. Aku jatuh terduduk di lantai. Tubuhku yang kecil jelas kalah jauh dengannya yang tegap dan atletis.
“Aduh maaf, Mbak. Saya nggak sengaja.”
Tubuhku menegang seketika saat mendengar suara itu. Suara yang amat sangat kukenal. Suara yang selalu kurindukan setiap malamnya, bahkan tidak jarang membuatku tertidur lebih dulu saat dia masih bercerita melalui telepon suara. Dulu, saat kami masih bersama sebagai pasangan kekasih.
Kuyakin dia juga sama terkejutnya denganku. Matanya membola saat kami bertatap muka. Dadanya naik turun dengan cepat, kesulitan meraup oksigen yang seolah hilang dari sekitarnya.
“Se … Sera?” Suaranya tercekat di tenggorokan. Ini pertama kalinya kami bertemu sejak kejadian memilukan hari itu. Saat aku terusir dari keluargaku, juga keluarganya.
Renata segera membantuku berdiri, berusaha membawaku pergi dari sana.
“Tunggu!”
Langkahku dan Renata terhenti. Kaki kami seolah terpancang bumi, tidak bisa digerakkan sedikit pun.
“Bisa kita bicara, Ra?”
Dan di sinilah kami sekarang, duduk berhadapan di sebuah restoran. Renata entah pergi ke mana, sengaja memberikan ruang untukku dan Dika agar bicara empat mata. Pertemuan tak terduga ini sungguh tidak pernah terbayang di kepalaku sebelumnya.
“Apa kabar, Ra?”
Kali ini napasku yang tercekat, tidak bisa meloloskan kata ‘baik’ dari mulut. Nyatanya, keadaanku buruk. Amat sangat buruk.
“Aku pangling. Kamu beda.”
Komentar singkat itu semakin menohok ulu hatiku. Setelah kejadian memilukan itu, aku memang menanggalkan jilbab yang dulu tidak pernah lepas dari kepalaku. Sebaliknya, sekarang aku terbiasa memakai baju you can see yang memperlihatkan setiap lekuk tubuhku.
“Pakai ini, ya. Takutnya kamu masuk angin.”
Dika melepas jas yang melekat di tubuhnya, sengaja menyodorkannya padaku. Aku tahu, alasannya bukan itu. Dia hanya tidak ingin aku merendahkan diriku sendiri dan menjadi santapan liar para pria. Haruskah aku menerimanya?
“Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki
"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t
“Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir
“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator
“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
"Es kelapanya satu, Bu." Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana. "Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar." Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika. "Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja." "Nggak ada, Bu.” “Saya tukarkan dulu, ya.” “Nggak usah. Ambil saja kembaliannya." Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan. "Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan
"Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja
“Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun
"Cantik, sih, tapi kelakuannya kayak utusan Dajjal. GILA!"Renata masih belum bisa meredam emosinya, terus meracau sejak membawaku naik ke lantai dua. Dia masih belum terima karena Angela sudah mengungkapkan rahasia pekerjaanku sebelumnya di depan semua orang."Aw!" Aku mengaduh saat Renata menempelkan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik ke muka. Pisau lipat itu sempat menggores wajahku meskipun tidak dalam. Dia minta maaf, memintaku menahan sakit.Untung saja pria itu datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku sekarang sudah berbaring di rumah sakit untuk mendapat perawatan."Asli heran banget gue, Ra. Bisa-bisanya Dika diem aja lihat lo disiksa gitu. Harusnya dia bantuin, dong. Yang lain sama juga. Nonton doang. Gue harus aduin hal itu ke Mas Rian, biar dipecat tuh mereka semua!"Sinta yang kebetulan berdiri di depan pintu, langsung terlihat pucat wajahnya. Dia mendekat dengan takut-takut sambil membawa botol air dingin di tangannya."Ada apa, Sin?" tanyaku sebisa mungkin.
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, membuat panas dan perih segera terasa di sana. Aku menatap wanita dengan rambut pirang itu dengan kening berkerut. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba datang dan menamparku?"Dasar pelakor! Berani-beraninya rebut calon suami orang."Aku meneguk ludah, berpikir cepat pernyataannya barusan. Perebut laki orang? Apa gadis ini tunangan yang Dion sebutkan malam itu?Orang-orang yang semula bersiap pergi, jadi menonton kami. Seorang pramusaji yang melihat keadaan itu segera naik ke lantai dua dan melaporkannya pada Dika. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi dan baru menyadari Renata sudah pasang badan di depanku, tidak terima."Maaf, Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini, ya. Ini tempat makan, bulan tempat cari masalah.""Nggak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama manajer lo itu. Udah bener jadi pelacur aja di La Luna, nggak usah sok-sokan pakai baju tertutup buat goda calon suami orang. Sekali pelacur tetap pelacur!" Bahasa wanita itu mulai
"Ra, minta sunblock-nya dong. Punya gue nggak tahu di mana."Renata membuka pintu kamarku dengan tergesa saat aku sedang sibuk memandikan Aiden di kamar mandi. Tanpa menunggu jawabanku, dia mendekat ke arah meja rias dan duduk di sana. Kemeja slimfit warna putih melekat di tubuhnya, berpadu dengan celana jeans navy yang menonjolkan lekuk sampai mata kaki."Lo nyetok B Erl banyak banget?" tanyanya heran saat membuka laci.Aku keluar dari kamar mandi sambil menggendong Aiden dan mengeringkan rambutnya yang basah."Ayahnya Aiden yang bawain waktu itu. Katanya biar nggak perlu ke store lagi.""Widih, mantap Mas Rian. Udah bener deh lo nerima tawarannya. GM mah nggak masalah bawa skin care satu box demi ayang tercinta.""Nggak usah banyak omong. Kalau mau pakai, pakai aja. Dia bayar loh itu, nggak ambil gitu aja!"Aku mengambil bantal di belakang Aiden bersiap melemparnya ke arah Renata. Untung saja sepersekian detik terakhir aku ingat, tidak boleh memberikan contoh buruk di depan bocah du