“Sera, lo udah gila ya?!”
Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.
“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”
Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.
“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.
“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”
Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.
“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke wajahnya.
“Yah, abisnya—”
“Pikiran lo bakal berubah kalau tahu cerita sebenarnya, Re.”
“Cerita apa? Dia psyco? Atau suka BDSM? Lo nggak apa-apa?”
Renata panik, memindai tubuhku. Dia takut ada goresan bekas tali, borgol, atau semacamnya seperti yang ada dalam bayangannya. Hal itu membuatku tertawa. Dia memang sahabat terbaikku sejak dulu.
“Fisik gue nggak apa-apa, Ra. Mental gue yang hancur!”
“Heih? Maksudnya?”
“Dia iblis yang udah ambil keperawanan gue. Lo rela gue nikah sama dia?”
“Hah?!” Raut wajah Renata berubah seperti orang linglung yang kehilangan memori di dalam kepala. Mulutnya terbuka lebar, tapi hanya bola matanya yang bergerak ke kanan kiri mencoba mencerna apa yang kukatakan.
“Adrian Mahendra Hutama,” lirihku sambil berjalan menjauhinya, menyembunyikan wajah menyedihkan dan genangan air tanpa warna yang terkumpul di pelupuk mata. “Dia klien sepesial yang dimaksud Madame Erina.”
“Ra, dia ….” Renata tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Sebuah anggukan kutunjukkan sebagai jawaban.
Hening menyelimuti kami berdua. Langkahku terhenti di depan jendela kaca, mengamati jalanan di bawah sana dengan deretan mobil yang terlihat kecil karena apartemen kami ada di lantai lima belas.
“Gue nggak tahu dari mana dia dapat akses ke Madame Erina. Udah sebulan ini, dia tiap malam dateng, duduk diem berjam-jam cuma buat liatin wajah gue. Kemarin lusa, dia tiba-tiba ajak gue nikah. Hampir aja gue lempar vas bunga di atas meja.”
“Sera, lo nggak apa-apa?”
Aku berhasil menyeka mataku saat Renata menarik tubuhku untuk saling berhadapan dengannya.
“Tadi malem dia datang lagi. Akhirnya gue nekat goda dia, bahkan sengaja pakai baju paling terbuka yang gue punya. Gue nggak bisa diem aja, Re, harus bertindak kalau nggak mau diinjak-injak. Yah, walaupun gue belum pernah se-inisiatif itu sih sebelumnya.”
“Serius?! Kalian—”
“Gaklah! Otak lo ngeres aja!” Aku menoyor kepala Renata, menyembunyikan gemuruh di dalam dada dengan tawa.
“Tapi kata Madame dia puas sama pelayanan lo, makanya nggak rela kalau lo ngelayanin cowok lain.”
“Puas dari mana? Kissing aja nggak.”
“Hah? Kok bisa?”
“Bisalah. Dia kabur duluan.”
Lagi-lagi Renata ber-hah seperti sebelumnya. Kemampuan otaknya memang tidak terlalu mumpuni untuk berpikir hal-hal kompleks semacam itu.
“Astaga, Re. Wajah lo boleh glowing shining shimmering splendid, bahkan udah masuk level nge-glazed mengilap bercahaya. Tapi kok daya pikir otak lo masih rada-rada, ya? Buat apa oon dipiara? Piara kambing, tuh. Kalau gemuk bisa dijual pas lebaran haji!”
“Maksudnya?”
Aku semakin tergelak melihat wajah kebingungan Renata. Pembahasan tawaran Madame Erina justru berakhir ambigu. Aku berlalu ke kamar, tidak memedulikan wajah bodohnya yang masih berusaha mengerti candaanku.
“Sera, tadi kita ngomongin apa, sih? Gue nggak ngerti.”
“Udah, nggak usah dipikirin. Mau ke mall, nggak?” tanyaku mengeluarkan uang dari dompet, mengipaskannya di depan muka.
“Mall? Ngapain?”
“Beli kambing buat lo piara!”
Lagi-lagi aku tidak bisa menahan tawa. Terlebih sekarang Renata mengerucutkan bibirnya dengan kening berkeerut. Apa aku terlalu sering menoyor kepala dia, ya? Kemampuan berpikirnya makin menurun saja.
“Nggak lucu, ih. Kenapa jadi bahas kambing!”
“Aduh, sorry, Re. Sorry.” Aku memencet hidung untuk menghentikan tawa sebelum perutku semakin sakit. “Gue mau beli B Erl cosmetics. Krim malam gue tinggal dikit. Ntar gue traktir sekalian, deh.”
“Itu duit dari Rian?”
“Hmm … iya.”
“Lo mau pake?”
“Kenapa emangnya?”
“Kan lo benci sama dia.”
Aku tidak bisa langsung menjawab. Satu jarum tajam terasa menghunjam hatiku. Tanpa diingatkan sekalipun, aku sadar sesadar-sadarnya kalau kebencianku semakin bertambah padanya, tidak akan mudah dilupakan bagaimanapun caranya. Berapa pun uang yang dia berikan.
“Gue mau mandi dulu. Kita otw satu jam lagi, sekalian nyari sarapan. Lo mandi juga, gih.”
Aku melangkah ke arah kamar mandi, mengabaikan panggilan Renata yang mengkhawatirkan keadaanku. Punggungku bersandar di pintu setelah menguncinya, meredam gejolak yang timbul setiap mengingat kenangan buruk itu.
Tepat jam sebelas, aku dan Renata memasuki mall di kawasan M.H. Thamrin. Sama seperti biasanya, kami berkeliling keluar masuk outlet. Kalau ada yang cocok, beli. Semudah itu. Sejak menjadi pekerja malam, gaya hidupku berubah drastis. Hedonis dan boros.
Hanya dengan cara itu aku bisa pura-pura bahagia, membeli apa saja yang kusuka. Padahal sebenarnya, itu untuk menutupi luka yang tiap hari semakin besar efeknya pada kesehatan mentalku. Terlebih setelah munculnya laki-laki itu. Aku hampir gila rasanya.
“Lo mau beli lingerie, nggak?” tawarku pada Renata, iseng mengambil gaun tidur transparan warna merah muda yang ada di hanger.
“Gue?”
“Iyalah. Siapa lagi?”
“Buat apa? Lo aja sana buat godain Adrian.”
“Ih, geli!”
Aku tertawa hambar, pura-pura bisa menerima candaannya. Nyatanya, hatiku sakit luar biasa mendengar nama itu. Tak ingin membahasnya lebih lanjut, aku melangkah cepat mengembalikan gaun menjijikkan itu ke tempatnya.
Tanpa kuketahui, dari arah lain seorang pria berjalan terburu-buru dengan ponsel di telinganya. Kami sama-sama tidak menyadari satu sama lain sampai bertabrakan. Aku jatuh terduduk di lantai. Tubuhku yang kecil jelas kalah jauh dengannya yang tegap dan atletis.
“Aduh maaf, Mbak. Saya nggak sengaja.”
Tubuhku menegang seketika saat mendengar suara itu. Suara yang amat sangat kukenal. Suara yang selalu kurindukan setiap malamnya, bahkan tidak jarang membuatku tertidur lebih dulu saat dia masih bercerita melalui telepon suara. Dulu, saat kami masih bersama sebagai pasangan kekasih.
Kuyakin dia juga sama terkejutnya denganku. Matanya membola saat kami bertatap muka. Dadanya naik turun dengan cepat, kesulitan meraup oksigen yang seolah hilang dari sekitarnya.
“Se … Sera?” Suaranya tercekat di tenggorokan. Ini pertama kalinya kami bertemu sejak kejadian memilukan hari itu. Saat aku terusir dari keluargaku, juga keluarganya.
Renata segera membantuku berdiri, berusaha membawaku pergi dari sana.
“Tunggu!”
Langkahku dan Renata terhenti. Kaki kami seolah terpancang bumi, tidak bisa digerakkan sedikit pun.
“Bisa kita bicara, Ra?”
Dan di sinilah kami sekarang, duduk berhadapan di sebuah restoran. Renata entah pergi ke mana, sengaja memberikan ruang untukku dan Dika agar bicara empat mata. Pertemuan tak terduga ini sungguh tidak pernah terbayang di kepalaku sebelumnya.
“Apa kabar, Ra?”
Kali ini napasku yang tercekat, tidak bisa meloloskan kata ‘baik’ dari mulut. Nyatanya, keadaanku buruk. Amat sangat buruk.
“Aku pangling. Kamu beda.”
Komentar singkat itu semakin menohok ulu hatiku. Setelah kejadian memilukan itu, aku memang menanggalkan jilbab yang dulu tidak pernah lepas dari kepalaku. Sebaliknya, sekarang aku terbiasa memakai baju you can see yang memperlihatkan setiap lekuk tubuhku.
“Pakai ini, ya. Takutnya kamu masuk angin.”
Dika melepas jas yang melekat di tubuhnya, sengaja menyodorkannya padaku. Aku tahu, alasannya bukan itu. Dia hanya tidak ingin aku merendahkan diriku sendiri dan menjadi santapan liar para pria. Haruskah aku menerimanya?
“Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki
"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t
“Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir
“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator
“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
"Es kelapanya satu, Bu."Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana."Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar."Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika."Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja.""Nggak ada, Bu.”“Saya tukarkan dulu, ya.”“Nggak usah. Ambil saja kembaliannya."Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan."Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan kesada
"Es kelapanya satu, Bu."Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana."Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar."Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika."Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja.""Nggak ada, Bu.”“Saya tukarkan dulu, ya.”“Nggak usah. Ambil saja kembaliannya."Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan."Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan kesada
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator
“Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir
"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t
“Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki
“Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj