"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"
Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya.
"Udah, udah. Ayo masuk dulu."
Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.
“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut.
Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.
Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.
“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang terbuka, nggak?”
Aku tetap bungkam, hanya mengangkat kakiku ke atas sofa dan kupeluk erat-erat. Lidahku terlalu kelu untuk menyebutkan nama itu.
Cukup lama kami terdiam. Renata mengembuskan napas kasar, tidak mau memaksaku bercerita. Sosoknya menghilang setelah menerima panggilan telepon dan kembali lagi dengan box makanan di tangannya.
"Makan dulu, Ra. Gue udah pesen soto ayam kesukaan lo."
Tak hanya mengurusku yang terpuruk, Renata bahkan menyiapkan makanan juga. Dia terbiasa hidup sebatang kara sejak masih remaja. Itulah kenapa sikapnya terlihat lebih dewasa meski umur kami sama.
“Hmm, ini mantap banget kuahnya. Enak, Ra. Sambelnya juga cetar. Coba, gih.”
Satu sendok makanan yang masih menguarkan uap itu disodorkan padaku.
“Buka mulutnya. Aaaa!”
Aku tak beraksi, hanya menatap kosong ke arah televisi layar datar di depan kami. Sebuah acara reality show yang mengundang tawa, sama sekali tak membuat beban hatiku berkurang. Sebaliknya, aku merasa semakin hampa.
"Aih, kenapa sih? Lo cekcok sama Dika?”
Aku menggeleng lemah.
“Terus kenapa? Bibir lo pucat, tuh. Gue yakin perut lo juga lapar. Selain bubur ayam tadi pagi, lo belum makan apa-apa, kan?”
Lagi-lagi aku menggeleng.
“Nah, sekarang perut lo harus diisi. Walaupun hidup kita berantakan, tetep harus makan. Allah marah loh kalau kita nyiksa diri kita sendiri. Dosa. Zalim namanya!"
Seketika aku melirik ke arah gadis dengan pakaian kurang bahan itu. Apa katanya? Dosa? Bahkan pekerjaan kami berdua adalah ladang dosa.
"Kenapa? Horor gitu lihatnya?" Renata menyenggol bahuku, melahap makanan berkuah itu ke mulutnya sendiri karena mulutku tak kunjung terbuka.
“Gue tahu apa yang lo pikirin. Kenapa tiba-tiba bahas dosa, ya?” Tawa renyah menggema. “Abisnya lo kayak orang linglung gitu. Disentil dulu baru sadar.”
Aku meneguk susu coklat yang sudah agak dingin. Setidaknya itu bisa mengalihkan perhatianku dari perkara dosa yang membuatku mengingat Tuhan.
"Udah, makan nih. Bentar lagi gue mau siap-siap. Ada 3 klien malam ini. Kayaknya gue pulang pagi, deh." Renata mengatakan itu sambil menepuk box warna putih yang belum terbuka.
“Tiga, Re?” Aku menelan ludah sambil mengamati gadis yang mencuci tangan di wastafel.
“Iya. Masing-masing dua jam. Makin gila aja klien sekarang.”
Tak bisa kubayangkan betapa lelahnya Renata. Aku yang hanya menerima satu klien setiap malamnya, sering merasa pinggangku hampir patah. Benar yang dia katakan, beberapa klien benar-benar mengambil kesempatan untuk memuaskan keinginannya.
Menjadi wanita malam bukanlah pekerjaan yang mudah. Ada banyak risiko yang harus kami tanggung. Meskipun Madame Erina selalu membuat peraturan yang ketat terkait para kliennya, tetap saja itu tidak meringankan penderitaan kami setiap malamnya.
Sebuah gaun tanpa lengan dengan tali spaghetti melekat di tubuh sintal Renata. Lipstik merah delima mewarnai sepasang bibir tipisnya, senada dengan stiletto yang dipakainya. Semerbak parfum memenuhi ruangan. Cukup memabukkan dan membangkitkan keinginan pelanggan.
"Ra, ntar lo angetin sendiri kuah sotonya kalau mau makan. Gue udah bilang ke Madame kalau lo lagi nggak enak badan, ambil cuti dua hari. Baik-baik istirahat di rumah. Be stronger!"
Aku hanya mengangguk, menerima selimut putih yang menutupi kaki jenjangku. Namun, pemikiran lain seketika menyergapku.
"Kalau ada apa-apa, hubungi gue atau Madame. As soon as possible gue bakal lihat ponsel kalau kerjaan udah selesai.”
“Re,” panggilku sambil menahan tangannya.
“Ya?”
“Lo ambil tiga klien malam ini, buat gantiin gue?”
Aku melihat raut keterkejutan di wajah Renata. Namun, itu hanya terlihat dua detik saja. Detik berikutnya, dia justru tertawa.
“Mana ada! Emang gue yang mau ambil tiga, kok. Nggak usah ngerasa bersalah gitu. Toh, uangnya buat gue sendiri, bukan buat elo. Gue tuh lagi pengen beli tas yang launching awal bulan depan, makanya sekarang harus kumpulin uang banyak-banyak.”
Bukan satu dua hari aku mengenal Renata. Meskipun dia berusaha menutupi hal itu, jelas dia berkali-kali menyentuh hidungnya dengan jari. Itu tanda kalau dia berusaha menutupi kata hatinya. Dia sedang berbohong.
“Duh, udah jam tujuh lewat. Gue cabut dulu, ya. Dimakan sotonya. Kalau udah ngantuk, tidur di kamar. Jangan di sini. Pokoknya lo harus istirahat total biar nggak demam. See you, Babe!"
Renata melambaikan tangannya, bahkan menghadiahkan kiss jarak jauh saat tubuhnya hampir menghilang tertelan pintu. Aku tersenyum simpul, merasa terharu dengan pengorbanannya.
Hatiku menghangat menyadari perhatian Renata yang begitu besar. Meski kami tidak memiliki pertalian darah, dia benar-benar peduli padaku melebihi kepedulian keluargaku sendiri.
Aku menyandarkan kepala ke belakang, menyadari kantuk yang mulai menyerang. Entah berapa lama aku terlelap, sampai ketukan pintu mengembalikan kesadaranku. Jam dinding hampir menunjukkan angka delapan.
Tubuhku berkeringat banyak, bahkan membasahi piyama lengan pendek yang kupakai. Mataku terasa berat dan sedikit memanas. Sepertinya aku demam. Air hujan selalu menjadi musuh terbesarku sejak dulu.
Lagi-lagi terdengar ketukan pintu. Aku terbatuk-batuk, mendekat. Aku mengintip dari lubang kecil di tengah pintu. Tampak sosok Madame Erina berdiri di sana. Sepertinya dia datang untuk mengecek kondisiku, benar-benar sakit atau tidak.
“Ra …. Sera. Madame here. Can you hear me?”
Dengan kondisi tubuh yang tidak karuan, aku bergerak menarik handle pintu yang entah kenapa terasa berat.
"Sera, are you okay?" ulangnya saat kubuka pintu.
Suara wanita 45 tahun itu menyapa setelah melihatku muncul di hadapannya. Namun, aku terperanjat saat menyadari kalau Madame Erina tidak datang seorang diri. Dia membawa tamu tak diundang bersamanya.
Deg!
Jantungku seolah berhenti berdetak. Napasku tersekat di tenggorokan. Rasa sesak memenuhi dada bersama palu godam yang terasa menghantam kepala.
“Sera,” panggil seorang pria dengan jaket kulit warna hitam yang menatapku tanpa berkedip. Cambang tipis yang kemarin menghiasi dagunya, sekarang bersih tak bersisa. Pria itu, dengan tatapan yang tajam yang mendominasi, memandangku lekat-lekat tanpa berkedip.
Detik itu juga aku mundur satu langkah, berusaha menutup pintu yang menghubungkan kami bertiga. Aku sama sekali tidak ingin melihat wajahnya. Makhluk yang membuatku ingin mengakhiri hidup berkali-kali, tak terhitung jumlahnya.
Sekuat tenaga aku menahan pintu itu, berusaha menutupnya seperti semula. Tidak peduli raut keheranan di wajah Madame Erina, aku hanya tidak ingin bertemu si bedebah sialan.
“SERA!”
Brak!
Tenagaku jelas kalah jauh dibandingkan pria itu. Dia berhasil mendobrak pintu, membuat tubuhku yang lemas terhempas. Kepalaku terantuk sesuatu. Samar-samar kudengar seseorang memanggil namaku sebelum semua berubah jadi gelap gulita. Aku pingsan.
“Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir
“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator
“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
"Es kelapanya satu, Bu."Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana."Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar."Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika."Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja.""Nggak ada, Bu.”“Saya tukarkan dulu, ya.”“Nggak usah. Ambil saja kembaliannya."Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan."Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan kesada
“Berapa tarif kamu semalam?”Aku terkekeh mendengar pertanyaan klasik yang tidak perlu kujawab. Jelas-jelas di awal dia sudah tahu hargaku. Kenapa masih pura-pura bertanya?“Berapa, ya? Yang pasti, tidak sebanyak uang yang diberikan pada istri-istri mereka,” jawabku manja, menampilkan senyum terbaik untuk menyenangkannya. Sudah menjadi keharusan bagi wanita penggoda sepertiku untuk membuat klien bahagia.Sayangnya, klien kali ini sedikit berbeda. Dia orang yang pernah menghancurkan hidupku. Orang yang sudah merenggut kesucianku, juga orang yang menjadi penyebab hancurnya pernikahanku dengan adiknya, dua minggu sebelum ijab kabul berlangsung.“Kenapa tanya? Kamu mau bayar aku berapa?” Kukedipkan sebelah mata, mendekat ke arahnya dan meletakkan tangan di salah satu bahunya. Aroma parfum yang kupakai pastilah sampai di hidung mancungnya.“Berapa yang harus kubayar supaya kamu bebas dari tempat prostisusi ini?”Tawaku mengudara.“Aku udah bebas, kok. Kamu lihat, tangan atau kakiku nggak a
“Ini yang namanya Sera? Calon istri kamu?”Aku tersenyum, menyalami wanita paruh baya yang baru datang, langsung mendekatiku dan Dika yang duduk di beranda. Seorang laki-laki menyusul di belakangnya, juga dua anak remaja yang langsung masuk membawa tas besar di punggungnya.“Salam kenal, Tante. Saya Sera.”“Masya Allah, cantiknya.”Sebuah pelukan menjadi salam perkenalan kami. Meski aku belum tahu apa hubungan wanita ini dengan kekasihku, aku membalas dekapan hangatnya.“Dika nggak salah pilih kan, Tan?”“Nggak, dong. Tante langsung setuju kalau ini, sih. Cocok sama kamu.”“Cocok? Aku ganteng kaya malaikat, dia cantik kayak bidadari surga?”“Kayak udah pernah lihat malaikat sama bidadari aja!” Aku menyikut perut Dika, memintanya jangan terlalu narsis dan sembarangan bicara.Tante Mira dan suaminya tertawa, juga Papa Adli dan Mama Nia yang sekarang berdiri di dekat kami. Mereka ikut bergabung, menyambut kerabat yang datang dari luar kota itu.“Saudara kamu banyak ya?” tanyaku saat berd
"Es kelapanya satu, Bu."Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana."Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar."Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika."Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja.""Nggak ada, Bu.”“Saya tukarkan dulu, ya.”“Nggak usah. Ambil saja kembaliannya."Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan."Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan kesada
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator
“Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir
"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t
“Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki
“Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj