"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"
Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya.
"Udah, udah. Ayo masuk dulu."
Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.
“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut.
Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.
Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.
“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang terbuka, nggak?”
Aku tetap bungkam, hanya mengangkat kakiku ke atas sofa dan kupeluk erat-erat. Lidahku terlalu kelu untuk menyebutkan nama itu.
Cukup lama kami terdiam. Renata mengembuskan napas kasar, tidak mau memaksaku bercerita. Sosoknya menghilang setelah menerima panggilan telepon dan kembali lagi dengan box makanan di tangannya.
"Makan dulu, Ra. Gue udah pesen soto ayam kesukaan lo."
Tak hanya mengurusku yang terpuruk, Renata bahkan menyiapkan makanan juga. Dia terbiasa hidup sebatang kara sejak masih remaja. Itulah kenapa sikapnya terlihat lebih dewasa meski umur kami sama.
“Hmm, ini mantap banget kuahnya. Enak, Ra. Sambelnya juga cetar. Coba, gih.”
Satu sendok makanan yang masih menguarkan uap itu disodorkan padaku.
“Buka mulutnya. Aaaa!”
Aku tak beraksi, hanya menatap kosong ke arah televisi layar datar di depan kami. Sebuah acara reality show yang mengundang tawa, sama sekali tak membuat beban hatiku berkurang. Sebaliknya, aku merasa semakin hampa.
"Aih, kenapa sih? Lo cekcok sama Dika?”
Aku menggeleng lemah.
“Terus kenapa? Bibir lo pucat, tuh. Gue yakin perut lo juga lapar. Selain bubur ayam tadi pagi, lo belum makan apa-apa, kan?”
Lagi-lagi aku menggeleng.
“Nah, sekarang perut lo harus diisi. Walaupun hidup kita berantakan, tetep harus makan. Allah marah loh kalau kita nyiksa diri kita sendiri. Dosa. Zalim namanya!"
Seketika aku melirik ke arah gadis dengan pakaian kurang bahan itu. Apa katanya? Dosa? Bahkan pekerjaan kami berdua adalah ladang dosa.
"Kenapa? Horor gitu lihatnya?" Renata menyenggol bahuku, melahap makanan berkuah itu ke mulutnya sendiri karena mulutku tak kunjung terbuka.
“Gue tahu apa yang lo pikirin. Kenapa tiba-tiba bahas dosa, ya?” Tawa renyah menggema. “Abisnya lo kayak orang linglung gitu. Disentil dulu baru sadar.”
Aku meneguk susu coklat yang sudah agak dingin. Setidaknya itu bisa mengalihkan perhatianku dari perkara dosa yang membuatku mengingat Tuhan.
"Udah, makan nih. Bentar lagi gue mau siap-siap. Ada 3 klien malam ini. Kayaknya gue pulang pagi, deh." Renata mengatakan itu sambil menepuk box warna putih yang belum terbuka.
“Tiga, Re?” Aku menelan ludah sambil mengamati gadis yang mencuci tangan di wastafel.
“Iya. Masing-masing dua jam. Makin gila aja klien sekarang.”
Tak bisa kubayangkan betapa lelahnya Renata. Aku yang hanya menerima satu klien setiap malamnya, sering merasa pinggangku hampir patah. Benar yang dia katakan, beberapa klien benar-benar mengambil kesempatan untuk memuaskan keinginannya.
Menjadi wanita malam bukanlah pekerjaan yang mudah. Ada banyak risiko yang harus kami tanggung. Meskipun Madame Erina selalu membuat peraturan yang ketat terkait para kliennya, tetap saja itu tidak meringankan penderitaan kami setiap malamnya.
Sebuah gaun tanpa lengan dengan tali spaghetti melekat di tubuh sintal Renata. Lipstik merah delima mewarnai sepasang bibir tipisnya, senada dengan stiletto yang dipakainya. Semerbak parfum memenuhi ruangan. Cukup memabukkan dan membangkitkan keinginan pelanggan.
"Ra, ntar lo angetin sendiri kuah sotonya kalau mau makan. Gue udah bilang ke Madame kalau lo lagi nggak enak badan, ambil cuti dua hari. Baik-baik istirahat di rumah. Be stronger!"
Aku hanya mengangguk, menerima selimut putih yang menutupi kaki jenjangku. Namun, pemikiran lain seketika menyergapku.
"Kalau ada apa-apa, hubungi gue atau Madame. As soon as possible gue bakal lihat ponsel kalau kerjaan udah selesai.”
“Re,” panggilku sambil menahan tangannya.
“Ya?”
“Lo ambil tiga klien malam ini, buat gantiin gue?”
Aku melihat raut keterkejutan di wajah Renata. Namun, itu hanya terlihat dua detik saja. Detik berikutnya, dia justru tertawa.
“Mana ada! Emang gue yang mau ambil tiga, kok. Nggak usah ngerasa bersalah gitu. Toh, uangnya buat gue sendiri, bukan buat elo. Gue tuh lagi pengen beli tas yang launching awal bulan depan, makanya sekarang harus kumpulin uang banyak-banyak.”
Bukan satu dua hari aku mengenal Renata. Meskipun dia berusaha menutupi hal itu, jelas dia berkali-kali menyentuh hidungnya dengan jari. Itu tanda kalau dia berusaha menutupi kata hatinya. Dia sedang berbohong.
“Duh, udah jam tujuh lewat. Gue cabut dulu, ya. Dimakan sotonya. Kalau udah ngantuk, tidur di kamar. Jangan di sini. Pokoknya lo harus istirahat total biar nggak demam. See you, Babe!"
Renata melambaikan tangannya, bahkan menghadiahkan kiss jarak jauh saat tubuhnya hampir menghilang tertelan pintu. Aku tersenyum simpul, merasa terharu dengan pengorbanannya.
Hatiku menghangat menyadari perhatian Renata yang begitu besar. Meski kami tidak memiliki pertalian darah, dia benar-benar peduli padaku melebihi kepedulian keluargaku sendiri.
Aku menyandarkan kepala ke belakang, menyadari kantuk yang mulai menyerang. Entah berapa lama aku terlelap, sampai ketukan pintu mengembalikan kesadaranku. Jam dinding hampir menunjukkan angka delapan.
Tubuhku berkeringat banyak, bahkan membasahi piyama lengan pendek yang kupakai. Mataku terasa berat dan sedikit memanas. Sepertinya aku demam. Air hujan selalu menjadi musuh terbesarku sejak dulu.
Lagi-lagi terdengar ketukan pintu. Aku terbatuk-batuk, mendekat. Aku mengintip dari lubang kecil di tengah pintu. Tampak sosok Madame Erina berdiri di sana. Sepertinya dia datang untuk mengecek kondisiku, benar-benar sakit atau tidak.
“Ra …. Sera. Madame here. Can you hear me?”
Dengan kondisi tubuh yang tidak karuan, aku bergerak menarik handle pintu yang entah kenapa terasa berat.
"Sera, are you okay?" ulangnya saat kubuka pintu.
Suara wanita 45 tahun itu menyapa setelah melihatku muncul di hadapannya. Namun, aku terperanjat saat menyadari kalau Madame Erina tidak datang seorang diri. Dia membawa tamu tak diundang bersamanya.
Deg!
Jantungku seolah berhenti berdetak. Napasku tersekat di tenggorokan. Rasa sesak memenuhi dada bersama palu godam yang terasa menghantam kepala.
“Sera,” panggil seorang pria dengan jaket kulit warna hitam yang menatapku tanpa berkedip. Cambang tipis yang kemarin menghiasi dagunya, sekarang bersih tak bersisa. Pria itu, dengan tatapan yang tajam yang mendominasi, memandangku lekat-lekat tanpa berkedip.
Detik itu juga aku mundur satu langkah, berusaha menutup pintu yang menghubungkan kami bertiga. Aku sama sekali tidak ingin melihat wajahnya. Makhluk yang membuatku ingin mengakhiri hidup berkali-kali, tak terhitung jumlahnya.
Sekuat tenaga aku menahan pintu itu, berusaha menutupnya seperti semula. Tidak peduli raut keheranan di wajah Madame Erina, aku hanya tidak ingin bertemu si bedebah sialan.
“SERA!”
Brak!
Tenagaku jelas kalah jauh dibandingkan pria itu. Dia berhasil mendobrak pintu, membuat tubuhku yang lemas terhempas. Kepalaku terantuk sesuatu. Samar-samar kudengar seseorang memanggil namaku sebelum semua berubah jadi gelap gulita. Aku pingsan.
“Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir
“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator
“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
"Es kelapanya satu, Bu." Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana. "Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar." Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika. "Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja." "Nggak ada, Bu.” “Saya tukarkan dulu, ya.” “Nggak usah. Ambil saja kembaliannya." Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan. "Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan
“Sera?!” Raut wajah Renata terlihat pucat, kaget karena aku masuk tiba-tiba. Entah apa yang tengah dia bicarakan dengan pria itu. Dan matanya langsung membulat saat melihat Dika muncul di belakangku. Untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka mulutnya. Dika dan pria itu sama-sama terkejut melihat keberadaan satu sama lain. Sementara aku dan Renata, sama sekali tidak tahu apa yang harus kami lakukan.“Ra?” Dika seolah meminta konfirmasi dariku kenapa kakak tirinya ada di kamar Renata. “Mas Rian, kok bisa di sini?”“Itu ….” Aku kehilangan kata-kata, tidak bisa mencari alasan segera.“Kok nggak bilang, Mas? Tau gitu bisa bareng tadi.” Dika berjalan melewatiku, mendekat ke arah ranjang perawatan Renata.Tanpa terduga, Dika menghampiri pria itu dan berdiri di sampingnya. Dari nada bicaranya, hubungan mereka berdua tidak secanggung dulu. Entah apa saja yang telah terjadi tiga tahun terakhir. Aku sama sekali tidak bisa membayangkannya.“Re, cepet sembuh, ya.” Pria dengan kacamata tebal itu
“Kenapa nggak nolak?” tanya pria yang tiba-tiba mengunci kedua tanganku di samping badan setelah memaksa tubuhku rebah di atas ranjang. Tatapan mengejek tampak dari sorot matanya bersama seringai miring yang begitu menyebalkan.“Emang ada penjual yang bisa nolak ‘dagangan’nya dibeli?”Pria itu terkekeh, membuang wajahnya ke sembarang arah selama dua atau tiga detik sebelum kembali memenjara tatapannya padaku.“Kamu kelihatan semakin menggoda kalau seperti ini, Sera Adriana. Aku suka!”Kali ini aku yang membuang muka ke samping, menatap tirai warna kelabu yang menutupi sebagian jendela kaca. Langit senja tampak begitu cerah di luar sana, berbanding terbalik dengan masa depanku yang suram. Pria itu akan menjamah tubuhku.“Masih marah? Sakit banget tangannya?”Jemari pria itu mengelus tangan kananku yang tertutup perban, meniup dan menciumnya. Aku terkesiap, memelotot menatap gerakan seduktif yang dilakukan dengan sengaja. Dia terus mengikis jarak antara kami berdua.“Wajah kamu merah, R
"Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja
“Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun
"Cantik, sih, tapi kelakuannya kayak utusan Dajjal. GILA!"Renata masih belum bisa meredam emosinya, terus meracau sejak membawaku naik ke lantai dua. Dia masih belum terima karena Angela sudah mengungkapkan rahasia pekerjaanku sebelumnya di depan semua orang."Aw!" Aku mengaduh saat Renata menempelkan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik ke muka. Pisau lipat itu sempat menggores wajahku meskipun tidak dalam. Dia minta maaf, memintaku menahan sakit.Untung saja pria itu datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku sekarang sudah berbaring di rumah sakit untuk mendapat perawatan."Asli heran banget gue, Ra. Bisa-bisanya Dika diem aja lihat lo disiksa gitu. Harusnya dia bantuin, dong. Yang lain sama juga. Nonton doang. Gue harus aduin hal itu ke Mas Rian, biar dipecat tuh mereka semua!"Sinta yang kebetulan berdiri di depan pintu, langsung terlihat pucat wajahnya. Dia mendekat dengan takut-takut sambil membawa botol air dingin di tangannya."Ada apa, Sin?" tanyaku sebisa mungkin.
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, membuat panas dan perih segera terasa di sana. Aku menatap wanita dengan rambut pirang itu dengan kening berkerut. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba datang dan menamparku?"Dasar pelakor! Berani-beraninya rebut calon suami orang."Aku meneguk ludah, berpikir cepat pernyataannya barusan. Perebut laki orang? Apa gadis ini tunangan yang Dion sebutkan malam itu?Orang-orang yang semula bersiap pergi, jadi menonton kami. Seorang pramusaji yang melihat keadaan itu segera naik ke lantai dua dan melaporkannya pada Dika. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi dan baru menyadari Renata sudah pasang badan di depanku, tidak terima."Maaf, Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini, ya. Ini tempat makan, bulan tempat cari masalah.""Nggak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama manajer lo itu. Udah bener jadi pelacur aja di La Luna, nggak usah sok-sokan pakai baju tertutup buat goda calon suami orang. Sekali pelacur tetap pelacur!" Bahasa wanita itu mulai
"Ra, minta sunblock-nya dong. Punya gue nggak tahu di mana."Renata membuka pintu kamarku dengan tergesa saat aku sedang sibuk memandikan Aiden di kamar mandi. Tanpa menunggu jawabanku, dia mendekat ke arah meja rias dan duduk di sana. Kemeja slimfit warna putih melekat di tubuhnya, berpadu dengan celana jeans navy yang menonjolkan lekuk sampai mata kaki."Lo nyetok B Erl banyak banget?" tanyanya heran saat membuka laci.Aku keluar dari kamar mandi sambil menggendong Aiden dan mengeringkan rambutnya yang basah."Ayahnya Aiden yang bawain waktu itu. Katanya biar nggak perlu ke store lagi.""Widih, mantap Mas Rian. Udah bener deh lo nerima tawarannya. GM mah nggak masalah bawa skin care satu box demi ayang tercinta.""Nggak usah banyak omong. Kalau mau pakai, pakai aja. Dia bayar loh itu, nggak ambil gitu aja!"Aku mengambil bantal di belakang Aiden bersiap melemparnya ke arah Renata. Untung saja sepersekian detik terakhir aku ingat, tidak boleh memberikan contoh buruk di depan bocah du