Share

7. Pengorbanan

Penulis: Hanazawa Easzy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-07 22:21:51

“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”

Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.

“Siapa?”

Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.

“Joan?”

Renata menggeleng.

“Hans?”

“Bukan!”

“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”

“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.

Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.

“Tebak dong, Ra.”

Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.

“Ah, bukan mereka.”

“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.

Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.

“Taraaaa!”

Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.

“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”

“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator di mall.”

“Yup! Ponsel ini ada sama Dika.”

“Oh.”

“Cuma ‘oh’?” Renata mengejar jawabanku, duduk bersila di atas ranjangku.

“Terus harus apa? Salto, guling-guling, kayang, terus split?”

“Ya nggak, sih. Tapi minimal kan lo kaget atau gimana gitu.” Renata menggaruk belakang kepalanya sambil terus menatapku.

“Gue nggak peduli, Re. Kalaupun ponsel itu ilang, nggak ada kontak penting di sana. Sehari-hari yang hubungin gue juga cuma Madame. Nggak ada yang lain.”

“Ah, omong-omong soal Madame, kemarin ada lima panggilan dari Madame tahu, Ra! Untungnya nggak diangkat sama Dika.”

Aku menyingkap selimut dengan tangan kiri, bergegas keluar dari kamar untuk mengambil minum karena merasa haus. Obat yang diresepkan dokter semalam membuatku harus banyak minum. Entah itu fakta atau sugesti saja karena pria itu mengatakan hal yang sama.

Aku segera menggeleng, mengenyahkan setiap perhatian yang dia berikan. Sebaik apa pun sikapnya, dia tetap saja makhluk yang sudah membuatku ada di titik ini. Penghancur segalanya.

“Kenapa untung? Diangkat juga nggak apa-apa.”

“Yakin nggak papa kalau Dika tahu kerjaan kita?”

Langkahku terhenti, menolehkan wajah ke arah wanita yang ikut terhenti setengah meter di belakang. Aku bungkam, ikut sangsi dengan penuturanku sendiri. 

“Astaga, Ra. Tangan lo kenapa?”

Keheningan yang semula menyelimuti kami, segera terurai oleh teriakan hebohnya barusan.  Renata baru menyadari kalau tangan kananku terbalut perban.

“Ra, ini kenapa? Lo jatuh? Di mana? Ada luka yang lain nggak? Lo nggak papa? Kita ke dokter, ya?”

Dengan panik, Renata memindai tubuhku dari ujung kepala sampai kaki, kanan juga kiri, depan sampai belakang. Tidak ada yang luput dari pemeriksaannya.

“Gue nggak apa-apa, cuma keseleo. Udah minum obat juga, kok.”

Aku melepas tangan Renata, menggeleng untuk mengisyaratkan kalau dia tidak perlu sepanik itu. Langkahku tertuju ke arah dapur, mengambil soft drink dan bersiap membuka kalengnya.

“Ke dokter sama siapa? Madame?”

“Nggak tau, Re. Gue pingsan.”

“Hah? Kok bisa? Terus yang jagain lo siapa? Lo kan biasanya demam kalau kena air ujan.” Renata terlihat syok, membuatku urung minum. Pertanyaannya mengingatkanku pada kejadian menyebalkan yang terjadi antara aku dan pria itu.

“Lo ketemu Dika di mana?” tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Ah, oh. Itu. Di depan minimarket. Gue telepon ponsel lo jam dua pagi, tapi Dika yang angkat. Terus kita janjian buat ketemu.”

Aku mengangguk. Pantas saja Renata memakai pakaian tertutup tidak seperti biasanya.

“Oh iya, Dika titip sarapan buat lo. Katanya dia pengen ketemu kalau lo ada waktu. Sekarang dia stay di Jakarta, tinggal sama ….”

Aku melirik Renata, curiga karena gadis itu menggantung kalimatnya.

“Adrian,” lanjutnya berucap lirih.

Bahuku turun seketika bersama embusan napas keras yang keluar dari mulut. Tangan kiriku terangkat, memijat pelipis yang kembali berdenyut nyeri. Setelah tiga tahun berlalu, takdir kembali berkelindan menghubungkan kami bertiga.

Kenapa bisa kebetulan seperti ini, sih? Apa jadinya jika Dika tahu aku tidur dengan banyak pria? Apa dia akan kecewa?

“Loh, ini kok ada nasi? Lo masak, Ra?” Pertanyaan Renata memutus berbagai pertanyaan yang terus bermunculan memenuhi kepala.

“Eh, tinggal separuh nasinya. Ada notes juga nih di meja. ‘Lauknya ada di kulkas. Masukin microwave kalau mau makan’.”

Aku menelan ludah dengan paksa, bingung bagaimana menjelaskannya. Aku bahkan tidak menyadari kapan pria itu memasak. Setelah ketidaksengajaan itu, aku mendorongnya keluar dari kamar dan tidak pernah keluar dari sana. 

“Ra … Sera!”

Aku terperanjat saat Renata menyentuh pundakku, padahal sebelumnya dia berjarak beberapa langkah dariku.

“Ada apa? Siapa yang dateng ke sini semalam? Nggak mungkin Madame yang kasih catatan ini, kan?”

Aku merebut kertas mungil itu, meremasnya dan kulemparkan ke tong sampah. Langkah berikutnya, aku mengambil lauk yang ada di dalam kulkas dan melakukan hal yang sama. Terakhir, penanak nasi itu kusingkirkan sambil berteriak sekuat tenaga. 

Aku benci b*jingan itu. Aku benci semua yang berhubungan dengannya. Setiap gerak-geriknya menggoreskan luka baru di hatiku. Sebaik malaikat pun dia, sebesar apa pun pengorbanannya, dia tetaplah tersangka utama penyebab penderitaanku. Membuatku harus terusir dari orang-orang yang dulu begitu menyayangiku. Dialah akar masalahnya!

Renata memelukku, menjadi sandaran saat air mata kembali membasahi pipiku. Hanya dia yang mengerti kesulitanku. Hanya dia yang terus bersedia ada di sampingku meski semua orang memandang rendah keberadaanku. Hanya dia yang tidak menganggap kalau yang terjadi waktu itu bukan inginku.

Langit senja menjadi pemandangan yang cukup menghiburku. Aku selalu suka momen itu. Ada kehangatan yang kurasakan saat melihat hamparan berwarna oranye, tepat sebelum matahari kembali ke peraduannya.

“Ra, gue pergi dulu, ya. Ada klien yang udah nunggu.”

Aku terduduk, menatap Renata yang sudah berganti mini dress warna hijau lumut.

“Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung telepon gue.”

Aku meraih jemarinya sebelum bertanya, “Berapa klien malam ini?”

Kulihat Renata sedikit terperanjat dengan pertanyaanku. Meski setelahnya dia pura-pura tersenyum dan mengatakan pertanyaanku aneh, aku tahu kalau dia sedang coba berbohong lagi.

“Madame lempar semua klien gue ke elo, kan?”

“Ra, nggak gitu. Gue—”

“Madame nggak bakal semudah itu ngasih cuti. Karena tangan gue cedera, dia dengan senang hati ngasih gue cuti sampai sembuh. Sebagai kompensasinya, dia minta lo ambil double job sekaligus?”

Renata tidak bisa membantah. Apa yang kukatakan benar, terlihat dari anggukan yang dia tunjukkan. Aku tahu, sejak awal Madame tidak akan semudah itu memberikan kebebasan.

Saat Renata sakit, aku diam-diam harus mengambil kliennya agar dia bisa off buat istirahat total. Begitu pun sebaliknya. Mau tidak mau, sudi tidak sudi, itulah aturannya. Ada pengorbanan untuk setiap kenyamanan yang wanita itu berikan.

Dunia ini penuh dengan kepalsuan yang menipu. Gemerlapnya kehidupan wanita malam—yang menurut sebagian orang hanya bisa menghambur-hamburkan uang dari lelaki hidung belang, nyatanya tidak semudah itu.

Kami memiliki luka tersendiri. Selain ancaman penyakit yang membayangi, tekanan dari Madame dan klien yang semakin beragam, masih ada berbagai risiko lainnya ikut mengintai. Bahkan, tidak sedikit dari kami yang berakhir bunuh diri, tidak sanggup bertahan lagi.

“Re, gue udah sembuh, nggak demam lagi. Cuma tangan aja yang luka. Lo nggak perlu ambil klien gue, gue bisa layanin mereka tanpa hand job.”

“Nggak. Nggak, Ra. Gue masih sanggup, kok. Kali ini cuma tiga kayak kemarin.”

“Cuma tiga?!”

“Gue nggak apa-apa beneran. Lo harus sembuh dulu atau gue marah. Sekalinya marah, gue nggak mau temenan sama lo lagi!”

“Re!”

“No, Sera. You should take a rest. Bed rest!”

“Re! Renata!”

“Stay here!” Renata memaksaku duduk saat kucoba berdiri. “Ingat, Ra. Tetap di sini atau kita nggak akan ketemu lagi.”

Aku tidak bisa menyangkal. Itu adalah kalimat yang aku ucapkan saat meminta Renata istirahat total tempo hari. Kali ini, kata-kata tersebut berbalik menyerangku.

Renata berusaha menenangkanku dengan sebuah pelukan penuh kasih sayang. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak di saat dia mengorbankan tubuhnya untukku?

Bab terkait

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   8. Ingatan Pahit Masa Lalu

    “Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   9. Buah Simalakama

    Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   10. Masih Adakah Surga untuk Gadis Ternoda?

    "Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   1. Wanita Penggoda

    “Berapa tarif kamu semalam?”Aku terkekeh mendengar pertanyaan klasik yang tidak perlu kujawab. Jelas-jelas di awal dia sudah tahu hargaku. Kenapa masih pura-pura bertanya?“Berapa, ya? Yang pasti, tidak sebanyak uang yang diberikan pada istri-istri mereka,” jawabku manja, menampilkan senyum terbaik untuk menyenangkannya. Sudah menjadi keharusan bagi wanita penggoda sepertiku untuk membuat klien bahagia.Sayangnya, klien kali ini sedikit berbeda. Dia orang yang pernah menghancurkan hidupku. Orang yang sudah merenggut kesucianku, juga orang yang menjadi penyebab hancurnya pernikahanku dengan adiknya, dua minggu sebelum ijab kabul berlangsung.“Kenapa tanya? Kamu mau bayar aku berapa?” Kukedipkan sebelah mata, mendekat ke arahnya dan meletakkan tangan di salah satu bahunya. Aroma parfum yang kupakai pastilah sampai di hidung mancungnya.“Berapa yang harus kubayar supaya kamu bebas dari tempat prostisusi ini?”Tawaku mengudara.“Aku udah bebas, kok. Kamu lihat, tangan atau kakiku nggak a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   2. Anak Pembawa Sial

    “Ini yang namanya Sera? Calon istri kamu?”Aku tersenyum, menyalami wanita paruh baya yang baru datang, langsung mendekatiku dan Dika yang duduk di beranda. Seorang laki-laki menyusul di belakangnya, juga dua anak remaja yang langsung masuk membawa tas besar di punggungnya.“Salam kenal, Tante. Saya Sera.”“Masya Allah, cantiknya.”Sebuah pelukan menjadi salam perkenalan kami. Meski aku belum tahu apa hubungan wanita ini dengan kekasihku, aku membalas dekapan hangatnya.“Dika nggak salah pilih kan, Tan?”“Nggak, dong. Tante langsung setuju kalau ini, sih. Cocok sama kamu.”“Cocok? Aku ganteng kaya malaikat, dia cantik kayak bidadari surga?”“Kayak udah pernah lihat malaikat sama bidadari aja!” Aku menyikut perut Dika, memintanya jangan terlalu narsis dan sembarangan bicara.Tante Mira dan suaminya tertawa, juga Papa Adli dan Mama Nia yang sekarang berdiri di dekat kami. Mereka ikut bergabung, menyambut kerabat yang datang dari luar kota itu.“Saudara kamu banyak ya?” tanyaku saat berd

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   3. Pertemuan Tak Terduga

    “Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   4. Terusir

    “Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   5. Tamu Tak Diundang

    "Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02

Bab terbaru

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   10. Masih Adakah Surga untuk Gadis Ternoda?

    "Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   9. Buah Simalakama

    Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   8. Ingatan Pahit Masa Lalu

    “Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   7. Pengorbanan

    “Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   6. Dari Mulut ke Mulut

    “Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   5. Tamu Tak Diundang

    "Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   4. Terusir

    “Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   3. Pertemuan Tak Terduga

    “Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   2. Anak Pembawa Sial

    “Ini yang namanya Sera? Calon istri kamu?”Aku tersenyum, menyalami wanita paruh baya yang baru datang, langsung mendekatiku dan Dika yang duduk di beranda. Seorang laki-laki menyusul di belakangnya, juga dua anak remaja yang langsung masuk membawa tas besar di punggungnya.“Salam kenal, Tante. Saya Sera.”“Masya Allah, cantiknya.”Sebuah pelukan menjadi salam perkenalan kami. Meski aku belum tahu apa hubungan wanita ini dengan kekasihku, aku membalas dekapan hangatnya.“Dika nggak salah pilih kan, Tan?”“Nggak, dong. Tante langsung setuju kalau ini, sih. Cocok sama kamu.”“Cocok? Aku ganteng kaya malaikat, dia cantik kayak bidadari surga?”“Kayak udah pernah lihat malaikat sama bidadari aja!” Aku menyikut perut Dika, memintanya jangan terlalu narsis dan sembarangan bicara.Tante Mira dan suaminya tertawa, juga Papa Adli dan Mama Nia yang sekarang berdiri di dekat kami. Mereka ikut bergabung, menyambut kerabat yang datang dari luar kota itu.“Saudara kamu banyak ya?” tanyaku saat berd

DMCA.com Protection Status