“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”
Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata. “Siapa?” Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya. “Joan?” Renata menggeleng. “Hans?” “Bukan!” “Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?” “Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng. Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir. “Tebak dong, Ra.” Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni. “Ah, bukan mereka.” “Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri. Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan. “Taraaaa!” Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku. “Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?” “Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator di mall.” “Yup! Ponsel ini ada sama Dika.” “Oh.” “Cuma ‘oh’?” Renata mengejar jawabanku, duduk bersila di atas ranjangku. “Terus harus apa? Salto, guling-guling, kayang, terus split?” “Ya nggak, sih. Tapi minimal kan lo kaget atau gimana gitu.” Renata menggaruk belakang kepalanya sambil terus menatapku. “Gue nggak peduli, Re. Kalaupun ponsel itu ilang, nggak ada kontak penting di sana. Sehari-hari yang hubungin gue juga cuma Madame. Nggak ada yang lain.” “Ah, omong-omong soal Madame, kemarin ada lima panggilan dari Madame tahu, Ra! Untungnya nggak diangkat sama Dika.” Aku menyingkap selimut dengan tangan kiri, bergegas keluar dari kamar untuk mengambil minum karena merasa haus. Obat yang diresepkan dokter semalam membuatku harus banyak minum. Entah itu fakta atau sugesti saja karena pria itu mengatakan hal yang sama. Aku segera menggeleng, mengenyahkan setiap perhatian yang dia berikan. Sebaik apa pun sikapnya, dia tetap saja makhluk yang sudah membuatku ada di titik ini. Penghancur segalanya. “Kenapa untung? Diangkat juga nggak apa-apa.” “Yakin nggak papa kalau Dika tahu kerjaan kita?” Langkahku terhenti, menolehkan wajah ke arah wanita yang ikut terhenti setengah meter di belakang. Aku bungkam, ikut sangsi dengan penuturanku sendiri. “Astaga, Ra. Tangan lo kenapa?” Keheningan yang semula menyelimuti kami, segera terurai oleh teriakan hebohnya barusan. Renata baru menyadari kalau tangan kananku terbalut perban. “Ra, ini kenapa? Lo jatuh? Di mana? Ada luka yang lain nggak? Lo nggak papa? Kita ke dokter, ya?” Dengan panik, Renata memindai tubuhku dari ujung kepala sampai kaki, kanan juga kiri, depan sampai belakang. Tidak ada yang luput dari pemeriksaannya. “Gue nggak apa-apa, cuma keseleo. Udah minum obat juga, kok.” Aku melepas tangan Renata, menggeleng untuk mengisyaratkan kalau dia tidak perlu sepanik itu. Langkahku tertuju ke arah dapur, mengambil soft drink dan bersiap membuka kalengnya. “Ke dokter sama siapa? Madame?” “Nggak tau, Re. Gue pingsan.” “Hah? Kok bisa? Terus yang jagain lo siapa? Lo kan biasanya demam kalau kena air ujan.” Renata terlihat syok, membuatku urung minum. Pertanyaannya mengingatkanku pada kejadian menyebalkan yang terjadi antara aku dan pria itu. “Lo ketemu Dika di mana?” tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan. “Ah, oh. Itu. Di depan minimarket. Gue telepon ponsel lo jam dua pagi, tapi Dika yang angkat. Terus kita janjian buat ketemu.” Aku mengangguk. Pantas saja Renata memakai pakaian tertutup tidak seperti biasanya. “Oh iya, Dika titip sarapan buat lo. Katanya dia pengen ketemu kalau lo ada waktu. Sekarang dia stay di Jakarta, tinggal sama ….” Aku melirik Renata, curiga karena gadis itu menggantung kalimatnya. “Adrian,” lanjutnya berucap lirih. Bahuku turun seketika bersama embusan napas keras yang keluar dari mulut. Tangan kiriku terangkat, memijat pelipis yang kembali berdenyut nyeri. Setelah tiga tahun berlalu, takdir kembali berkelindan menghubungkan kami bertiga. Kenapa bisa kebetulan seperti ini, sih? Apa jadinya jika Dika tahu aku tidur dengan banyak pria? Apa dia akan kecewa? “Loh, ini kok ada nasi? Lo masak, Ra?” Pertanyaan Renata memutus berbagai pertanyaan yang terus bermunculan memenuhi kepala. “Eh, tinggal separuh nasinya. Ada notes juga nih di meja. ‘Lauknya ada di kulkas. Masukin microwave kalau mau makan’.” Aku menelan ludah dengan paksa, bingung bagaimana menjelaskannya. Aku bahkan tidak menyadari kapan pria itu memasak. Setelah ketidaksengajaan itu, aku mendorongnya keluar dari kamar dan tidak pernah keluar dari sana. “Ra … Sera!” Aku terperanjat saat Renata menyentuh pundakku, padahal sebelumnya dia berjarak beberapa langkah dariku. “Ada apa? Siapa yang dateng ke sini semalam? Nggak mungkin Madame yang kasih catatan ini, kan?” Aku merebut kertas mungil itu, meremasnya dan kulemparkan ke tong sampah. Langkah berikutnya, aku mengambil lauk yang ada di dalam kulkas dan melakukan hal yang sama. Terakhir, penanak nasi itu kusingkirkan sambil berteriak sekuat tenaga. Aku benci b*jingan itu. Aku benci semua yang berhubungan dengannya. Setiap gerak-geriknya menggoreskan luka baru di hatiku. Sebaik malaikat pun dia, sebesar apa pun pengorbanannya, dia tetaplah tersangka utama penyebab penderitaanku. Membuatku harus terusir dari orang-orang yang dulu begitu menyayangiku. Dialah akar masalahnya! Renata memelukku, menjadi sandaran saat air mata kembali membasahi pipiku. Hanya dia yang mengerti kesulitanku. Hanya dia yang terus bersedia ada di sampingku meski semua orang memandang rendah keberadaanku. Hanya dia yang tidak menganggap kalau yang terjadi waktu itu bukan inginku. Langit senja menjadi pemandangan yang cukup menghiburku. Aku selalu suka momen itu. Ada kehangatan yang kurasakan saat melihat hamparan berwarna oranye, tepat sebelum matahari kembali ke peraduannya. “Ra, gue pergi dulu, ya. Ada klien yang udah nunggu.” Aku terduduk, menatap Renata yang sudah berganti mini dress warna hijau lumut. “Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung telepon gue.” Aku meraih jemarinya sebelum bertanya, “Berapa klien malam ini?” Kulihat Renata sedikit terperanjat dengan pertanyaanku. Meski setelahnya dia pura-pura tersenyum dan mengatakan pertanyaanku aneh, aku tahu kalau dia sedang coba berbohong lagi. “Madame lempar semua klien gue ke elo, kan?” “Ra, nggak gitu. Gue—” “Madame nggak bakal semudah itu ngasih cuti. Karena tangan gue cedera, dia dengan senang hati ngasih gue cuti sampai sembuh. Sebagai kompensasinya, dia minta lo ambil double job sekaligus?” Renata tidak bisa membantah. Apa yang kukatakan benar, terlihat dari anggukan yang dia tunjukkan. Aku tahu, sejak awal Madame tidak akan semudah itu memberikan kebebasan. Saat Renata sakit, aku diam-diam harus mengambil kliennya agar dia bisa off buat istirahat total. Begitu pun sebaliknya. Mau tidak mau, sudi tidak sudi, itulah aturannya. Ada pengorbanan untuk setiap kenyamanan yang wanita itu berikan. Dunia ini penuh dengan kepalsuan yang menipu. Gemerlapnya kehidupan wanita malam—yang menurut sebagian orang hanya bisa menghambur-hamburkan uang dari lelaki hidung belang, nyatanya tidak semudah itu. Kami memiliki luka tersendiri. Selain ancaman penyakit yang membayangi, tekanan dari Madame dan klien yang semakin beragam, masih ada berbagai risiko lainnya ikut mengintai. Bahkan, tidak sedikit dari kami yang berakhir bunuh diri, tidak sanggup bertahan lagi. “Re, gue udah sembuh, nggak demam lagi. Cuma tangan aja yang luka. Lo nggak perlu ambil klien gue, gue bisa layanin mereka tanpa hand job.” “Nggak. Nggak, Ra. Gue masih sanggup, kok. Kali ini cuma tiga kayak kemarin.” “Cuma tiga?!” “Gue nggak apa-apa beneran. Lo harus sembuh dulu atau gue marah. Sekalinya marah, gue nggak mau temenan sama lo lagi!” “Re!” “No, Sera. You should take a rest. Bed rest!” “Re! Renata!” “Stay here!” Renata memaksaku duduk saat kucoba berdiri. “Ingat, Ra. Tetap di sini atau kita nggak akan ketemu lagi.” Aku tidak bisa menyangkal. Itu adalah kalimat yang aku ucapkan saat meminta Renata istirahat total tempo hari. Kali ini, kata-kata tersebut berbalik menyerangku. Renata berusaha menenangkanku dengan sebuah pelukan penuh kasih sayang. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa tidur nyenyak di saat dia mengorbankan tubuhnya untukku?“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
"Es kelapanya satu, Bu." Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana. "Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar." Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika. "Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja." "Nggak ada, Bu.” “Saya tukarkan dulu, ya.” “Nggak usah. Ambil saja kembaliannya." Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan. "Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan
“Sera?!” Raut wajah Renata terlihat pucat, kaget karena aku masuk tiba-tiba. Entah apa yang tengah dia bicarakan dengan pria itu. Dan matanya langsung membulat saat melihat Dika muncul di belakangku. Untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka mulutnya. Dika dan pria itu sama-sama terkejut melihat keberadaan satu sama lain. Sementara aku dan Renata, sama sekali tidak tahu apa yang harus kami lakukan.“Ra?” Dika seolah meminta konfirmasi dariku kenapa kakak tirinya ada di kamar Renata. “Mas Rian, kok bisa di sini?”“Itu ….” Aku kehilangan kata-kata, tidak bisa mencari alasan segera.“Kok nggak bilang, Mas? Tau gitu bisa bareng tadi.” Dika berjalan melewatiku, mendekat ke arah ranjang perawatan Renata.Tanpa terduga, Dika menghampiri pria itu dan berdiri di sampingnya. Dari nada bicaranya, hubungan mereka berdua tidak secanggung dulu. Entah apa saja yang telah terjadi tiga tahun terakhir. Aku sama sekali tidak bisa membayangkannya.“Re, cepet sembuh, ya.” Pria dengan kacamata tebal itu
“Kenapa nggak nolak?” tanya pria yang tiba-tiba mengunci kedua tanganku di samping badan setelah memaksa tubuhku rebah di atas ranjang. Tatapan mengejek tampak dari sorot matanya bersama seringai miring yang begitu menyebalkan.“Emang ada penjual yang bisa nolak ‘dagangan’nya dibeli?”Pria itu terkekeh, membuang wajahnya ke sembarang arah selama dua atau tiga detik sebelum kembali memenjara tatapannya padaku.“Kamu kelihatan semakin menggoda kalau seperti ini, Sera Adriana. Aku suka!”Kali ini aku yang membuang muka ke samping, menatap tirai warna kelabu yang menutupi sebagian jendela kaca. Langit senja tampak begitu cerah di luar sana, berbanding terbalik dengan masa depanku yang suram. Pria itu akan menjamah tubuhku.“Masih marah? Sakit banget tangannya?”Jemari pria itu mengelus tangan kananku yang tertutup perban, meniup dan menciumnya. Aku terkesiap, memelotot menatap gerakan seduktif yang dilakukan dengan sengaja. Dia terus mengikis jarak antara kami berdua.“Wajah kamu merah, R
“Dia ngomong gitu, Ra?”Aku mengangguk, mengambil bungkusan keripik kentang dari tangan Renata dan mulai melahapnya. Setelah terdiam selama hampir satu jam, pria itu membuka pintu dan membiarkanku pergi tanpa berucap sepatah kata pun.“Aneh.”“Banget!”“Di keluarga Hutama, dia anak angkat atau anak tiri, sih sebenarnya? Heran gue!”Kedua bahuku naik detik itu juga, tidak tahu.“Lo nggak pernah tanya ke Dika soal hubungan mereka? Kan lo bilang dari pertama kali ketemu, sikap Mama Nia udah beda. Cuma tante siapa tuh yang peduli sama Mas Rian.”“Tante Mira.”“Nah, iya itu.”“Gue nggak kepikiran ke situ, Re. Walaupun nggak nyaman denger dia dibentak-bentak, tapi itu bukan urusan gue. Selain Dika, gue hampir nggak peduli yang lainnya.”“Haha. Emang bener kalo orang lagi jatuh cinta tuh dunia serasa milik berdua. Yang lain ngontrak aja!” Tawa Renata menggema, membuatku mencubit punggung tangannya.“Eh, gue pernah nanya sih kenapa Mama sama Papa keliatan banget nggak suka sama anak sulungnya
"The best decision ever, Sera, Renata!" Suara Madame Erina terdengar begitu gembira, bahkan sampai bertepuk tangan. Katanya keputusan terbaik sepanjang masa.Ya, setelah dipikirkan berkali-kali, kami dengan berat hati menyetujui permintaan pria itu. Aku rela ‘dipelihara’ oleh orang yang sudah menghancurkan masa depanku. Orang yang secara tidak langsung menjerumuskanku menjalani pekerjaan ini."Gimana, Rian? Ada yang mau kamu tambahkan selain pasal di kontrak itu?""No. It's enough.""Sera?" Tatapan Madame beralih padaku.Aku menggeleng, enggan bicara apa pun. Segala keraguan yang sempat jadi beban, kusembunyikan dalam-dalam. Untuk sekarang, lepas saja dulu dari Madame Erina dan seluruh jaringan prostitusi yang dimilikinya. Meskipun risikonya, aku harus menelan masa lalu pahit dan pura-pura aku baik-baik saja."Renata, what would you say?"Kulihat Renata menatapku, Madame, pria itu, dan Sean bergantian. Entah apa yang ada di kepalanya. Dia pasti merasa terbebani karena sudah 'menjualku
"Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja
“Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank
“Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha
"Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans
“Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya
"Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun
"Cantik, sih, tapi kelakuannya kayak utusan Dajjal. GILA!"Renata masih belum bisa meredam emosinya, terus meracau sejak membawaku naik ke lantai dua. Dia masih belum terima karena Angela sudah mengungkapkan rahasia pekerjaanku sebelumnya di depan semua orang."Aw!" Aku mengaduh saat Renata menempelkan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik ke muka. Pisau lipat itu sempat menggores wajahku meskipun tidak dalam. Dia minta maaf, memintaku menahan sakit.Untung saja pria itu datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku sekarang sudah berbaring di rumah sakit untuk mendapat perawatan."Asli heran banget gue, Ra. Bisa-bisanya Dika diem aja lihat lo disiksa gitu. Harusnya dia bantuin, dong. Yang lain sama juga. Nonton doang. Gue harus aduin hal itu ke Mas Rian, biar dipecat tuh mereka semua!"Sinta yang kebetulan berdiri di depan pintu, langsung terlihat pucat wajahnya. Dia mendekat dengan takut-takut sambil membawa botol air dingin di tangannya."Ada apa, Sin?" tanyaku sebisa mungkin.
Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, membuat panas dan perih segera terasa di sana. Aku menatap wanita dengan rambut pirang itu dengan kening berkerut. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba datang dan menamparku?"Dasar pelakor! Berani-beraninya rebut calon suami orang."Aku meneguk ludah, berpikir cepat pernyataannya barusan. Perebut laki orang? Apa gadis ini tunangan yang Dion sebutkan malam itu?Orang-orang yang semula bersiap pergi, jadi menonton kami. Seorang pramusaji yang melihat keadaan itu segera naik ke lantai dua dan melaporkannya pada Dika. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi dan baru menyadari Renata sudah pasang badan di depanku, tidak terima."Maaf, Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini, ya. Ini tempat makan, bulan tempat cari masalah.""Nggak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama manajer lo itu. Udah bener jadi pelacur aja di La Luna, nggak usah sok-sokan pakai baju tertutup buat goda calon suami orang. Sekali pelacur tetap pelacur!" Bahasa wanita itu mulai
"Ra, minta sunblock-nya dong. Punya gue nggak tahu di mana."Renata membuka pintu kamarku dengan tergesa saat aku sedang sibuk memandikan Aiden di kamar mandi. Tanpa menunggu jawabanku, dia mendekat ke arah meja rias dan duduk di sana. Kemeja slimfit warna putih melekat di tubuhnya, berpadu dengan celana jeans navy yang menonjolkan lekuk sampai mata kaki."Lo nyetok B Erl banyak banget?" tanyanya heran saat membuka laci.Aku keluar dari kamar mandi sambil menggendong Aiden dan mengeringkan rambutnya yang basah."Ayahnya Aiden yang bawain waktu itu. Katanya biar nggak perlu ke store lagi.""Widih, mantap Mas Rian. Udah bener deh lo nerima tawarannya. GM mah nggak masalah bawa skin care satu box demi ayang tercinta.""Nggak usah banyak omong. Kalau mau pakai, pakai aja. Dia bayar loh itu, nggak ambil gitu aja!"Aku mengambil bantal di belakang Aiden bersiap melemparnya ke arah Renata. Untung saja sepersekian detik terakhir aku ingat, tidak boleh memberikan contoh buruk di depan bocah du