Beranda / Romansa / Aku Hanya Gadis Ternoda / 8. Ingatan Pahit Masa Lalu

Share

8. Ingatan Pahit Masa Lalu

Penulis: Hanazawa Easzy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-08 08:36:41

“Sera, kamu sudah lama nunggu?”

Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.

“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.

“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”

Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.

Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama.

“Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”

Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tidak lagi pucat seperti kemarin. Namun, aku yakin lingkaran hitam justru terlihat jelas. Tebakannya benar, aku memang sama sekali tidak terpejam semalam karena terus memikirkan Renata. Apa dia baik-baik saja? Dua malam berturut-turut melayani tiga klien.

“I’m okay.” Aku memaksakan tersenyum meskipun mungkin terlihat aneh.

“Baguslah.”

Kulihat wanita itu sibuk dengan ponselnya, kemudian tersenyum dengan binar bahagia memenuhi wajah. Tatap matanya menunjukkan kalau dia memiliki rencana tersembunyi, tapi aku tidak tahu apa itu.

Denting lift membuyarkan prasangka yang hampir merebut akal sehatku. Koridor lengang dengan dinding warna merah muda menyambut kami berdua. Ah, bertiga dengan seorang pengawal. Pria dewasa bertubuh kekar dengan belati di pinggangnya selalu menyertai Madame ke mana pun dia pergi.

“Renata di kamar berapa, Mam?” tanyaku saat melewati pintu hitam bernomor 1107. Itu ruangan favoritnya saat menerima klien.

Untuk menjaga keamanan anak-anaknya, Madame Erina memang hanya memperbolehkan kami melayani klien di apartemen miliknya. TIdak heran jika kami memiliki standar harga yang cukup tinggi, untuk menunjang fasilitas-fasilitas mewah ini.

“Sean,” panggil Madame sambil menghentikan langkahnya.

“Nona Renata memang ada di dalam,” ucap pengawal itu setelah memeriksa ponselnya. Di sana ada semacam daftar kamar dan penghuni yang bisa diakses secara realtime.

“Open the door, please.”

Seolah mengerti dengan jalan pikiranku, Madame Erina meminta pria di belakangnya untuk membuka akses masuk ruangan itu. Sebuah card lock ditempelkan di pintu sebelum Sean menarik handle-nya ke bawah.

“Kamu punya waktu lima menit, Ra. Saya tunggu di ruangan saya.”

“Thanks, Mam.”

“My pleasure, Honey.”

Ekor mataku mengantarkan sosok Madame Erina yang terus menjauh dari tempatku berdiri. Dia memasuki ruangan di ujung koridor, unit apartemen yang digunakan sebagai jantung bisnis yang menghidupi kami. Tempat di mana kami menandatangani kontrak kerja sama maupun dokumen semacamnya.

Aku mengepalkan tangan, meredam luapan emosi yang datang kembali. Aku masih mengingat jelas saat pertama kali datang ke tempat itu. Renata yang mengajakku.

“Buat gadis ternoda kaya kita, nggak ada pekerjaan yang lebih cocok dibandingkan jadi wanita malam, Ra. Mau kamu jungkir balik kerja 24 jam sehari sekalipun, tetap nggak bisa nyamain pendapatan sebagai wanita panggilan.”

Aku menarik tanganku, menggeleng cepat. Meskipun aku tidak suci lagi, bukan berarti boleh menjerumuskan diriku dalam kubangan lumpur dosa. Itu yang kupikirkan saat itu.

“Ayolah, Ra. Gue udah denger semua dari Sasa. Lo gagal nikah, terus diusir sama keluarga lo. Mas Haris, kakak yang seharusnya bisa lindungin, malah lepas tangan, kan?”

“Re, kerja apa aja aku mau. Asalkan jangan itu.”

Aku masih polos saat itu, memanggilnya dengan aku-kamu, bukan lo-gue.

“Mau kerja apa di Jakarta pakai ijazah SMA? Asisten rumah tangga? Lo nggak punya basic skill yang bisa mendukung hidup di sini. ART-pun harus ada sertifikat keahliannya. Selain di toko bunga punya nyokapnya Dika, lo nggak pernah kerja di tempat lain, kan?”

Aku menunduk dalam. Semua yang Sera katakan benar.

“Tenang aja, Ra. Ini bisnis yang aman, kita kerja dapat jaminan.”

Aku tetap menggeleng meski tidak berani menatap wajah Renata. Tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk profesi ini. Salah tetaplah salah. Halal dan haram tidak bisa dicampur aduk. Itu pegangan dalam hatiku.

“Buat pemula kayak lo, nggak langsung layanin klien, kok. Lo cuma disewa buat dengerin keluh kesah mereka. Ada semacam layanan konseling gitu, deh. Kayak curhat. Klien yang lagi marah sama pasangannya, ngobrol sama kita buat keluarin unek-uneknya. Cuma itu doang.”

Mendengar hal itu, aku memberanikan diri menatap Renata.

“Lagian, tempat Madame Erina ini nggak kayak tempat lain yang ngerugiin pekerjanya. Ada jenjang karirnya, Ra. Kalau kita dapat Sugar Daddy, kita bisa bebas. Kontrak bakal diperbarui setahun sekali. Kalau kita udah dapat kerjaan lain, kita bisa keluar tanpa ada halangan.”

“Oh, iya. Semua klien yang datang ke sana, udah jalanin tes kesehatan. Gue nggak tahu tes apa aja. Selain itu, kita juga wajib jalanin tes di rumah sakit setiap beberapa bulan sekali. Kalau ada tanda-tanda kita kena penyakit menular s*ksual, langsung dapat pengobatan. Pokoknya aman dan bersih, Ra!”

Setiap kalimat yang Renata ucapkan saat itu berhasil mengikis keraguanku. Pertama melepas jilbab, aku sungguh merasa amat sangat berdosa. Namun, lama kelamaan aku tidak lagi memikirkannya. Tuntutan profesi, itu pembenaran untuk keputusan yang saat itu kuambil.

Banyak klien yang senang mengobrol denganku. Seperti kata Renata, mereka sekadar membagi keluh kesahnya. Namun, uang yang kudapatkan tidak sebanyak yang dihasilkan oleh Renata. Hingga keadaan memaksaku terperosok ke kubangan lumpur itu lebih dalam lagi.

Ayah jatuh di kamar mandi dan harus operasi dengan biaya yang tidak sedikit. Satu-satunya jalan adalah dengan meminjam uang ke Madame Erina. Dia bersedia memberikannya dengan syarat aku mau menjadi sumber daya utamanya.

“Kamu nggak perlu khawatir tentang uang, semua bisa dibicarakan. Selama kamu bisa menghasilkan keuntungan untuk tempat ini, Madame dengan senang hati membantumu. Tapi ingat, ada perngorbanan untuk setiap pencapaian.”

Dengan tangan gemetar, aku menandatangani kontrak itu. Pelanggan pertamaku bukan orang lain, melainkan anak Madame Erina yang baru pulang dari Amerika. Namanya Dion. Aku terlibat dengannya selama satu bulan, sampai dia bosan.

Madame tidak mempermasalahkanku yang tidak berpengalaman. Justru itulah yang dia cari. Dia tidak ingin barang baru diberikan pada sembarang klien. Putranya jadi orang pertama yang menyentuhku setelah si bedebah itu.

Akhirnya, aku tenggelam dalam gemerlapnya dunia dan semua kemewahan yang ada. Prinsip yang dulu kupertahankan, menguap entah ke mana. Yang kubutuhkan adalah materi untuk menyambung nyawa, bukan pembenaran agamis semata.

Ingatan pahit itu terlintas di kepala tanpa diminta, membuatku harus memejamkan mata selama beberapa detik lamanya. Semakin dilupakan, aku justru semakin tertekan.

“Stop it, Ra,” lirihku mengaburkan cubitan hati kecil yang meronta. “Nggak ada gunanya inget hal-hal busuk yang udah berlalu. Hidup harus terus berjalan.”

Aku mangatur napas sambil meredam gemuruh yang hampir membuatku kesulitan bernapas. Kakiku terus bergerak memasuki unit apartemen tempat Renata berada. Setidaknya, aku harus memastikan kalau dia baik-baik saja setelah melewati malam yang tidak biasa.

Namun, harapanku runtuh detik itu juga. Mataku membola, menatap tubuh dengan luka lebam di pipi dan darah mengering di sudut bibirnya. Tak hanya itu, sebuah dasi mengikat kedua pergelangan tangan Renata, membuatnya tidak berdaya.

“Re! Renata!” Aku menepuk-nepuk pipinya, berharap dia membuka mata. “Bangun, Re.”

Kepalaku menoleh ke sana kemari, mencari apa saja untuk bisa membangunkannya. Aku membasahi tangan dan meraup wajah Renata sambil terus memanggil namanya, tapi tetap tidak ada jawaban. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah meminta bantuan.

“Mam … Mam cepet ke sini. Renata pingsan. Dia … dia jadi korban kekerasan!”

Bab terkait

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   9. Buah Simalakama

    Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   10. Masih Adakah Surga untuk Gadis Ternoda?

    "Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   1. Wanita Penggoda

    “Berapa tarif kamu semalam?”Aku terkekeh mendengar pertanyaan klasik yang tidak perlu kujawab. Jelas-jelas di awal dia sudah tahu hargaku. Kenapa masih pura-pura bertanya?“Berapa, ya? Yang pasti, tidak sebanyak uang yang diberikan pada istri-istri mereka,” jawabku manja, menampilkan senyum terbaik untuk menyenangkannya. Sudah menjadi keharusan bagi wanita penggoda sepertiku untuk membuat klien bahagia.Sayangnya, klien kali ini sedikit berbeda. Dia orang yang pernah menghancurkan hidupku. Orang yang sudah merenggut kesucianku, juga orang yang menjadi penyebab hancurnya pernikahanku dengan adiknya, dua minggu sebelum ijab kabul berlangsung.“Kenapa tanya? Kamu mau bayar aku berapa?” Kukedipkan sebelah mata, mendekat ke arahnya dan meletakkan tangan di salah satu bahunya. Aroma parfum yang kupakai pastilah sampai di hidung mancungnya.“Berapa yang harus kubayar supaya kamu bebas dari tempat prostisusi ini?”Tawaku mengudara.“Aku udah bebas, kok. Kamu lihat, tangan atau kakiku nggak a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   2. Anak Pembawa Sial

    “Ini yang namanya Sera? Calon istri kamu?”Aku tersenyum, menyalami wanita paruh baya yang baru datang, langsung mendekatiku dan Dika yang duduk di beranda. Seorang laki-laki menyusul di belakangnya, juga dua anak remaja yang langsung masuk membawa tas besar di punggungnya.“Salam kenal, Tante. Saya Sera.”“Masya Allah, cantiknya.”Sebuah pelukan menjadi salam perkenalan kami. Meski aku belum tahu apa hubungan wanita ini dengan kekasihku, aku membalas dekapan hangatnya.“Dika nggak salah pilih kan, Tan?”“Nggak, dong. Tante langsung setuju kalau ini, sih. Cocok sama kamu.”“Cocok? Aku ganteng kaya malaikat, dia cantik kayak bidadari surga?”“Kayak udah pernah lihat malaikat sama bidadari aja!” Aku menyikut perut Dika, memintanya jangan terlalu narsis dan sembarangan bicara.Tante Mira dan suaminya tertawa, juga Papa Adli dan Mama Nia yang sekarang berdiri di dekat kami. Mereka ikut bergabung, menyambut kerabat yang datang dari luar kota itu.“Saudara kamu banyak ya?” tanyaku saat berd

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   3. Pertemuan Tak Terduga

    “Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   4. Terusir

    “Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   5. Tamu Tak Diundang

    "Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   6. Dari Mulut ke Mulut

    “Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-06

Bab terbaru

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   10. Masih Adakah Surga untuk Gadis Ternoda?

    "Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   9. Buah Simalakama

    Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   8. Ingatan Pahit Masa Lalu

    “Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   7. Pengorbanan

    “Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   6. Dari Mulut ke Mulut

    “Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   5. Tamu Tak Diundang

    "Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   4. Terusir

    “Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   3. Pertemuan Tak Terduga

    “Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   2. Anak Pembawa Sial

    “Ini yang namanya Sera? Calon istri kamu?”Aku tersenyum, menyalami wanita paruh baya yang baru datang, langsung mendekatiku dan Dika yang duduk di beranda. Seorang laki-laki menyusul di belakangnya, juga dua anak remaja yang langsung masuk membawa tas besar di punggungnya.“Salam kenal, Tante. Saya Sera.”“Masya Allah, cantiknya.”Sebuah pelukan menjadi salam perkenalan kami. Meski aku belum tahu apa hubungan wanita ini dengan kekasihku, aku membalas dekapan hangatnya.“Dika nggak salah pilih kan, Tan?”“Nggak, dong. Tante langsung setuju kalau ini, sih. Cocok sama kamu.”“Cocok? Aku ganteng kaya malaikat, dia cantik kayak bidadari surga?”“Kayak udah pernah lihat malaikat sama bidadari aja!” Aku menyikut perut Dika, memintanya jangan terlalu narsis dan sembarangan bicara.Tante Mira dan suaminya tertawa, juga Papa Adli dan Mama Nia yang sekarang berdiri di dekat kami. Mereka ikut bergabung, menyambut kerabat yang datang dari luar kota itu.“Saudara kamu banyak ya?” tanyaku saat berd

DMCA.com Protection Status