Share

4. Terusir

last update Last Updated: 2024-12-02 13:07:07

“Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.

“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.

“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.

“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”

Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.

“Udah, Ma.”

“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia sakit, siapa yang mau tanggung jawab?”

Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum kelu. Kulihat Papa Aldi dan Dika menatap ke arahku dengan ekspresi khawatir, sedangkan Adrian membuang muka. Jelas-jelas tidak suka.

“Aku nggak apa-apa kok, Ma.”

Sayangnya, aku memang benar-benar sakit setelah itu. Acara takziyah ke rumah saudara jauh Dika membuatku drop dan harus dirawat di rumah sakit selama empat hari. Mama Nia memarahi Adrian habis-habisan.

Sejujurnya, aku sedikit syok dengan fakta kalau Adrian bukanlah kakak kandung Dika. Kupikir itulah yang menjadi penyebab Mama Nia seringkali bersikap ketus padanya. Rasa bencinya begitu besar, seolah jijik setiap melihatnya.

Namun, tatapan yang sama juga tertuju padaku hari itu ….

“Pak Arya, Bu Rina, saya sama suami saya datang ke sini buat batalin pernikahan anak kita. Saya nggak sudi punya mantu yang udah kotor.”

Aku meremas jariku sendiri, menundukkan kepala dalam-dalam, sama sekali tidak berani menatap orang-orang di sekitarku.

“Maksud Bu Nia gimana ya? Saya ndak ngerti, Bu.”

“Halah. Tanya sama anak ibu. Apa yang udah dia lakuin sama si sialan itu!”

Aku mendengar dengan jelas penuturan Mama Nia. Meski tak melihatnya, kuyakin wajahnya menunjukkan gurat tidak suka seperti saat menegur Adrian dulu. Sekali suka pada seseorang, dia memperlihatkannya dengan sangat jelas. Pun sebaliknya saat merasa benci.

“Nak, ada apa?” Ayah menyentuh lenganku, memberikan tatapan tidak mengerti yang justru semakin menyayat hatiku. “Kamu sama Dika bertengkar?”

“Jangan bawa-bawa anak saya, Pak. Putri Bapak itu yang udah main gila sama anak tiri saya. Sama-sama nggak tahu diri!”

Ruangan hening seketika. Bulir air mata membasahi kepalan tanganku di atas paha. Bahuku berguncang, menahan isak tangis yang tidak bisa kusembunyikan lagi.

“Sera, jelasin sama orang tuamu. Nggak usah nangis, toh kalian lakuinnya suka sama suka!”

Aku mengangkat kepalaku, tidak percaya dengan penuturan Mama Nia barusan. Suka sama suka? Apa maksudnya? Mungkinkah Adrian mengatakan demikian?

“Saya pikir kamu anak baik-baik. Nyatanya liar juga!”

“Bu Nia!” sela Ibu dengan suara agak tinggi. “Tolong jangan sembarangan menuduh. Anak saya ndak mungkin—”

“Kalian lihat sendiri buktinya,” ucapnya dingin. Nada kekecewaan terdengar jelas. Amplop coklat dibanting di atas meja. Bukan oleh Mama Nia, melainkan Papa Aldi.

Tubuhku semakin gemetar. Bayang-bayang buruk malam itu kembali terlintas. Meski sepekan telah berlalu, aku belum bisa lupa saat Adrian menjajahku. Bahkan, mungkin tidak akan pernah kulupakan seumur hidup.

“Ini apa, Nak?” tanya Ayah sembari menunjukkan potretku yang berbaring di ranjang yang sama dengan Adrian. Tubuh bagian bawah kami berdua tertutup selimut, tapi mereka jelas menilaiku dengan pandangan yang buruk. Aku pingsan saat itu, tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.

“Ayah, ini ….” Aku tidak bisa menjelaskan apa pun. Dadaku sesak dengan napas tercekat.

Aku bersimpuh di depan kursi roda ayah, menggeleng berkali-kali untuk menyangkal prasangka yang kini memenuhi kepalanya. Dia menggeleng, memundurkan kursinya sambil membuang muka. 

“Bu, aku … aku nggak gitu. Ini ….”

Plak!

Ibu menghempas tanganku yang berusaha meraih simpatinya. Sama dengan ayah, dia tampak tidak sudi mendengar penjelasan yang susah payah ingin kuucapkan. Bahkan sebuah tamparan mendarat di pipiku, terasa panas dan perih. Ini pertama kalinya Ibu bermain tangan pada anaknya.

“Bapak sama Ibu lihat sendiri kelakuan minus anaknya. Saya benar-benar kecewa. Saya pikir Sera gadis yang paling cocok buat anak saya, ternyata saya salah besar. Itu sebabnya kami datang ke sini.”

“Ma, Mama Nia dengerin penjelasanku dulu, Ma.” Aku mendekat ke arah Mama Nia dan Papa Aldi, berusaha mengatakan kejadian sebenarnya.

“Jangan panggil saya Mama. Jijik tau!” Mama Nia berdiri, menatapku dengan penuh kebencian. “Mulai sekarang, kita nggak ada hubungan apa-apa. Dan kamu!” tunjuknya tepat di depan muka.

“Jangan pernah muncul di hadapan Dika! Sampai mati pun saya nggak rela kalian bersama!”

Guntur menggelegar di luar sana bersama hujan yang datang tiba-tiba. Ayah masuk ke kamar dan tidak pernah keluar setelahnya. Ibu terus mendiamkanku, sama sekali tidak mau mendengar penjelasanku.

Tak cukup sampai di situ, kabar gagalnya pernikahanku seketika menjadi buah bibir semua tetangga. Mereka menatapku dengan jijik seolah aku virus mematikan yang bisa membuat mereka meregang nyawa seketika.

“Heh, Sera! Berhenti di sana. Kamu nggak boleh masuk! Lihat nggak tulisan itu?” Seorang wanita berjilbab lebar menunjuk tulisan di lantai masjid sambil menatapku tajam. “Batas suci! Artinya gadis kotor kayak kamu nggak boleh masuk,” lanjutnya dengan suara menggema.

“Astaghfirullah, Bu Marta! Tolong dijaga mulutnya.” Sasa, saudara sepupuku yang masih mau bicara setelah kejadian itu. Dia satu-satunya yang tidak menghakimiku, bahkan terus menerus menguatkanku agar tidak mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidup.

“Kenapa? Apa saya salah? Pezina seperti saudara kamu itu memang nggak pantas masuk masjid. Hilang barokahnya majlis ini kalau dia ikut masuk.”

Aku kembali menundukkan kepala, tidak berani menatap orang-orang yang mulai berkerumun di selasar masjid. Tanganku gemetar, mencengkeram ujung jilbab hitam yang menutup sampai batas perutku.

“Gayanya sok alim, pakai jilbab lebar, tapi kelakuan naudzubillah. Pura-pura mau nikah sama Dika, ternyata malah main gila sama kakaknya.”

“Bener-bener. Nggak nyangka!”

Aku tidak bisa menahan air mata yang sedari tadi tertahan. Dadaku terasa sesak, penuh oleh gemuruh dan sakit hati yang luar biasa.

“Ini nggak seperti yang ibu-ibu bayangkan. Sera ini cuma korban. Dia dipaksa sama kakak tirinya Dika. Dia juga nggak—”

“Siapa yang tahu dia dipaksa atau emang niat. Kalau polos jangan kebangetan, Sa. Nanti malah kamu dijadiin korban berikutnya.”

“Astaghfirullah, Bu!” Sasa hampir berteriak, tapi aku menahan tangannya dan menggeleng lemah. Dia cepat-cepat membawaku pulang, tidak ingin mendengar kalimat buruk lainnya.

Namun tetap saja, keluargaku dihina. Semua orang menggunjing dengan seenak jidatnya. Ayah dan ibu sama sekali tidak pernah mau kuajak bicara. Dua kakakku juga menyalahkanku. Mereka sama sekali tidak bersimpati meski sudah kujelaskan kalau aku hanya korban. 

“Kamu mendingan pergi dari rumah ini, Ra.”

Aku terkesiap saat Mas Haris mengusirku. Sebagai anak sulung di keluarga ini, dia mengambil keputusan ekstrem yang membuatku membulatkan mata.

“Mas—”

“Kondisi kesehatan ayah makin buruk. Kalau kamu masih tinggal di sini, warga terus-terusan ngomongin keluarga kita.”

Aku menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang mewakili betapa hancurnya hatiku.

“Ini uang lima ratus ribu. Bawa barang-barang yang sekiranya kamu butuhin. Jaga diri baik-baik.”

Langit seolah runtuh setelah mendengar perintah itu. Bukan hanya keluarga Dika yang sudah menolak keberadaanku, bahkan keluargaku sendiri yang harusnya mengayomi, justru membuangku. Tidak ada pilihan lain kecuali menghilang dari mereka, memulai hidup di tempat baru.

“Sera!” panggil Dika sambil menggenggam tanganku, mengembalikan kesadaran yang sempat tersita kenangan masa lalu. Kulihat dia masih menyodorkan jas miliknya padaku.

Seketika aku menarik tanganku dan berlari menjauh dari sana. Tak kupedulikan panggilannya yang terus menggema. Hubungan kami sudah berakhir. Benar-benar berakhir. Tidak seharusnya aku muncul di depannya!

 

Related chapters

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   5. Tamu Tak Diundang

    "Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t

    Last Updated : 2024-12-02
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   6. Dari Mulut ke Mulut

    “Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir

    Last Updated : 2024-12-06
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   7. Pengorbanan

    “Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator

    Last Updated : 2024-12-07
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   8. Ingatan Pahit Masa Lalu

    “Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid

    Last Updated : 2024-12-08
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   9. Buah Simalakama

    Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta

    Last Updated : 2024-12-10
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   10. Masih Adakah Surga untuk Gadis Ternoda?

    "Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada

    Last Updated : 2024-12-11
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   11. Apakah Kiamat akan Segera Tiba?

    "Es kelapanya satu, Bu." Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana. "Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar." Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika. "Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja." "Nggak ada, Bu.” “Saya tukarkan dulu, ya.” “Nggak usah. Ambil saja kembaliannya." Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan. "Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan

    Last Updated : 2024-12-12
  • Aku Hanya Gadis Ternoda   12. I Want You Now

    “Sera?!” Raut wajah Renata terlihat pucat, kaget karena aku masuk tiba-tiba. Entah apa yang tengah dia bicarakan dengan pria itu. Dan matanya langsung membulat saat melihat Dika muncul di belakangku. Untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka mulutnya. Dika dan pria itu sama-sama terkejut melihat keberadaan satu sama lain. Sementara aku dan Renata, sama sekali tidak tahu apa yang harus kami lakukan.“Ra?” Dika seolah meminta konfirmasi dariku kenapa kakak tirinya ada di kamar Renata. “Mas Rian, kok bisa di sini?”“Itu ….” Aku kehilangan kata-kata, tidak bisa mencari alasan segera.“Kok nggak bilang, Mas? Tau gitu bisa bareng tadi.” Dika berjalan melewatiku, mendekat ke arah ranjang perawatan Renata.Tanpa terduga, Dika menghampiri pria itu dan berdiri di sampingnya. Dari nada bicaranya, hubungan mereka berdua tidak secanggung dulu. Entah apa saja yang telah terjadi tiga tahun terakhir. Aku sama sekali tidak bisa membayangkannya.“Re, cepet sembuh, ya.” Pria dengan kacamata tebal itu

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Masih Adakah Surga untuk Gadis Ternoda?

    "Keluar kamu, Sera!""Dasar sundal.""Pelacur!""Wanita murahan."Berbagai sumpah serapah dan kalimat caci maki jelas tertuju padaku yang hanya bisa menggigit bibir sambil meneteskan air mata. Ketakutan itu menjadi nyata. Ayah dan Ibu menerimaku dan menyadari kesalahannya, tapi tidak dengan tetangga dan ibu Marlina. Di mata mereka, aku tak ubahnya wanita hina yang tidak pantas berbagi udara yang sama dengan mereka.Dari teriakan yang terus menggema, aku juga mengerti kalau kemungkinan besar mereka sudah tahu profesiku yang sebelumnya di Jakarta. Image wanita malam tak akan mudah lepas dariku meski aku sudah memutuskan untuk bertaubat, menutup aurat, bahkan keluar dari La Luna dan membuka lembaran baru."Sera, jangan dengar apa pun." Mas Rian berhasil menarikku dari lumpur hidup yang hampir menenggelamkan tekadku menjadi pribadi yang lebih baik. Dia memelukku dengan erat, berusaha menutup telingaku dari suara yang memancing air mata kembali membasahi pipi.Satu tanganku meremas kemeja

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Suara Sumbang Tetangga

    “Apa kabar, Pa?” Suaraku terdengar sedikit bergetar, berusaha mendekat ke arah Papa Aldi untuk bersalaman dengannya dan mengabaikan Dika di belakang sana. Namun, pria itu justru mundur dua langkah, menatapku dengan pandangan jijik seperti tiga tahun lalu.“Adrian, jangan buat masalah. Ini rumah sakit,” tukas Papa Aldi sebelum melenggang pergi meninggalkan kami. Satu jarum tajam terasa menghunjam tepat di ulu hatiku.Mas Rian tiba-tiba meraih pergelangan tanganku dan menariknya ke arah pintu keluar.“Kita pulang, percuma datang ke sini.”“Tunggu, Mas.”Langkah kami terhenti saat Dika menghadang sambil merentangkan tangan. Nasi kotak miliknya tak lagi dipedulikan karena dia tidak membawa apa pun.“Jangan pergi. Seenggaknya temui Mama dulu sebentar.”“Nggak perlu,” balas Mas Rian ketus, mengabaikan tatapan beberapa perawat yang kebetulan melintas di dekat kami. Mereka pasti melihat jelas ketegangan kakak beradik ini.“Mas,” pintaku sambil menahan tangannya yang masih mencengkeram lengank

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Pulang

    “Mau apa ke sini?” tanya Mas Rian dengan nada ketus. Tampak jelas dia masih marah padaku.“Aku mau minta maaf, Mas.”“Hmm?”Tiga detik berikutnya tidak ada yang bersuara. Aku menunduk, menatap lantai marmer mengilap yang berbeda warna dengan koridor tempatku berpijak.“Aku—” Belum sempat kata berikutnya terucap, Mas Rian sudah lebih dulu menggandeng tanganku untuk masuk ke penthouse mewah miliknya. Tak cukup sampai di sana, dia bahkan mengajakku masuk ke dalam kamar.“Mas!”“Kita lanjutkan, Pak?”Aku terkesiap menatap wanita dengan setelan blouse merah dengan kombinasi batik yang tampak melekat di tubuh rampingnya. Belum lagi rok span di atas lutut yang menampakkan betis jenjangnya.Seketika itu juga aku menarik tanganku, mundur satu langkah karena tidak ingin menjadi pengganggu kebersamaan antara Mas Rian dan wanita itu. Ada perasaan tidak nyaman seperti yang kurasakan sesaat lalu di depan pintu.Sama denganku yang terkejut dengan keberadaannya, wanita itu juga terkejut karena meliha

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Pilih Aku atau Dika? (2)

    "Sera, Rian cuma nggak mau anaknya punya nasib yang sama kayak dia sewaktu kecil.”“Nasib yang sama? Apa maksudnya, Mam? Mas Rian waktu kecil ….”“Kamu tunggu di sini sebentar,” ucapnya sebelum beranjak pergi.Punggungnya tersembunyi di balik pintu kayu jati. Aku meremas jariku sendiri. Sejak resmi keluar dari La Luna, ini pertama kalinya aku datang ke tempat ini lagi. Petugas resepsionis di bawah tersenyum ramah, mengenaliku yang dulu setiap malam keluar masuk tempat ini.Sebuah album foto bersampul hitam kini terulur di depanku. Di lembar pertamanya, terlihat foto dua wanita yang memiliki fisik serupa. Bagai pinang dibelah dua.“Mau dengar cerita tentang Erika, maminya Rian sekaligus kakak kembar Mami?”Aku mengangguk, menelan ludah sambil menetralkan detak jantung yang terus meronta. Kemarin, Dion sempat bercerita tapi hanya sekilas saja. Sekarang, sebagian besar tabir kembali terbuka.“Kami empat bersaudara. Aku dan Erika yang paling tua. Awalnya kami bekerja di perusahaan asurans

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Pilih Aku atau Dika? (1)

    “Kenapa? Aku nggak layak jadi Ayah buat Aiden?”“Nggak! Bukan itu masalahnya. Aku cuma ngerasa belum saatnya dia ketemu Dika.”“Dika?!”Pria dengan setelan sweater bergambar sepasang sepatu itu menatapku dengan kening berkerut. Jelas keberatan dengan syarat yang baru kukatakan sesaat lalu, yaitu memintanya jangan membawa Aiden ke restoran.“Jadi biang masalahnya Dika lagi?”“Dika belum bisa terima kenyataan kalau aku ini calon istri kamu, Mas. Apa yang terjadi tiga tahun lalu, masih jadi ganjalan buat aku sama dia. Kalau dia tahu aku hamil, yang ada Dika makin hancur. Sementara, jangan tunjukin Aiden dulu."“Bilang aja kamu takut Dika benci kamu.”“Mas, jangan suka ambil kesimpulan sendiri, deh.”Aku kesal dengan pemikiran Mas Rian yang sering kali tidak dipikirkan matang-matang."Kalau gitu, kita jelasin sama-sama ke Dika. Bawa Aiden sekalian. Sekarang kita jemput Aiden di rumah.""No! Yang harus bicara itu aku sama Dika. Kamu cukup handle masalah kerjaan kayak sebelumnya. Secepatnya

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Bukan Cerita Cinderella

    "Sera, Mas minta maaf karena udah ...." Pria dengan kumis tipis di atas mulutnya itu kembali menundukkan kepala. Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya, kembali tertelan dengan sendirinya."Nggak apa-apa, Mas. Udah berlalu juga. Mungkin memang itu jalan yang harus aku lalui biar punya pemikiran yang lebih dewasa.""Tapi harusnya Mas percaya sama kamu, Ra."Aku tersenyum, menggeleng lemah sambil mengamati gadis berusia delapan tahun yang sibuk memakan es krimnya. Lala namanya, anak kedua Mas Haris yang dulu menangis sedu sedan saat aku pergi dari rumah. Sekarang dia terlihat semakin cantik dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Mas Haris menceritakan kedatangan ayah Aiden ke rumah kami dengan air mata berlinang. Dia benar-benar menyesal karena mengabaikanku tanpa mencari tahu fakta yang terjadi sebenarnya."Bunda!" panggil Aiden yang tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Napasnya terengah, berlari masuk dari pintu tanpa melepas sepatunya. Terlihat ekspresi heran di wajah Mas Haris. Mun

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Penerimaan dan Pengakuan

    "Cantik, sih, tapi kelakuannya kayak utusan Dajjal. GILA!"Renata masih belum bisa meredam emosinya, terus meracau sejak membawaku naik ke lantai dua. Dia masih belum terima karena Angela sudah mengungkapkan rahasia pekerjaanku sebelumnya di depan semua orang."Aw!" Aku mengaduh saat Renata menempelkan kapas yang sudah dibasahi cairan antiseptik ke muka. Pisau lipat itu sempat menggores wajahku meskipun tidak dalam. Dia minta maaf, memintaku menahan sakit.Untung saja pria itu datang tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku sekarang sudah berbaring di rumah sakit untuk mendapat perawatan."Asli heran banget gue, Ra. Bisa-bisanya Dika diem aja lihat lo disiksa gitu. Harusnya dia bantuin, dong. Yang lain sama juga. Nonton doang. Gue harus aduin hal itu ke Mas Rian, biar dipecat tuh mereka semua!"Sinta yang kebetulan berdiri di depan pintu, langsung terlihat pucat wajahnya. Dia mendekat dengan takut-takut sambil membawa botol air dingin di tangannya."Ada apa, Sin?" tanyaku sebisa mungkin.

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Bukan Pelakor (2)

    Sebuah tamparan mendarat di pipi kiriku, membuat panas dan perih segera terasa di sana. Aku menatap wanita dengan rambut pirang itu dengan kening berkerut. Siapa dia? Kenapa tiba-tiba datang dan menamparku?"Dasar pelakor! Berani-beraninya rebut calon suami orang."Aku meneguk ludah, berpikir cepat pernyataannya barusan. Perebut laki orang? Apa gadis ini tunangan yang Dion sebutkan malam itu?Orang-orang yang semula bersiap pergi, jadi menonton kami. Seorang pramusaji yang melihat keadaan itu segera naik ke lantai dua dan melaporkannya pada Dika. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi dan baru menyadari Renata sudah pasang badan di depanku, tidak terima."Maaf, Mbak. Tolong jangan buat keributan di sini, ya. Ini tempat makan, bulan tempat cari masalah.""Nggak usah ikut campur deh. Ini urusan gue sama manajer lo itu. Udah bener jadi pelacur aja di La Luna, nggak usah sok-sokan pakai baju tertutup buat goda calon suami orang. Sekali pelacur tetap pelacur!" Bahasa wanita itu mulai

  • Aku Hanya Gadis Ternoda   Bukan Pelakor

    "Ra, minta sunblock-nya dong. Punya gue nggak tahu di mana."Renata membuka pintu kamarku dengan tergesa saat aku sedang sibuk memandikan Aiden di kamar mandi. Tanpa menunggu jawabanku, dia mendekat ke arah meja rias dan duduk di sana. Kemeja slimfit warna putih melekat di tubuhnya, berpadu dengan celana jeans navy yang menonjolkan lekuk sampai mata kaki."Lo nyetok B Erl banyak banget?" tanyanya heran saat membuka laci.Aku keluar dari kamar mandi sambil menggendong Aiden dan mengeringkan rambutnya yang basah."Ayahnya Aiden yang bawain waktu itu. Katanya biar nggak perlu ke store lagi.""Widih, mantap Mas Rian. Udah bener deh lo nerima tawarannya. GM mah nggak masalah bawa skin care satu box demi ayang tercinta.""Nggak usah banyak omong. Kalau mau pakai, pakai aja. Dia bayar loh itu, nggak ambil gitu aja!"Aku mengambil bantal di belakang Aiden bersiap melemparnya ke arah Renata. Untung saja sepersekian detik terakhir aku ingat, tidak boleh memberikan contoh buruk di depan bocah du

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status