“Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.
“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.
“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.
“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”
Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.
“Udah, Ma.”
“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia sakit, siapa yang mau tanggung jawab?”
Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum kelu. Kulihat Papa Aldi dan Dika menatap ke arahku dengan ekspresi khawatir, sedangkan Adrian membuang muka. Jelas-jelas tidak suka.
“Aku nggak apa-apa kok, Ma.”
Sayangnya, aku memang benar-benar sakit setelah itu. Acara takziyah ke rumah saudara jauh Dika membuatku drop dan harus dirawat di rumah sakit selama empat hari. Mama Nia memarahi Adrian habis-habisan.
Sejujurnya, aku sedikit syok dengan fakta kalau Adrian bukanlah kakak kandung Dika. Kupikir itulah yang menjadi penyebab Mama Nia seringkali bersikap ketus padanya. Rasa bencinya begitu besar, seolah jijik setiap melihatnya.
Namun, tatapan yang sama juga tertuju padaku hari itu ….
“Pak Arya, Bu Rina, saya sama suami saya datang ke sini buat batalin pernikahan anak kita. Saya nggak sudi punya mantu yang udah kotor.”
Aku meremas jariku sendiri, menundukkan kepala dalam-dalam, sama sekali tidak berani menatap orang-orang di sekitarku.
“Maksud Bu Nia gimana ya? Saya ndak ngerti, Bu.”
“Halah. Tanya sama anak ibu. Apa yang udah dia lakuin sama si sialan itu!”
Aku mendengar dengan jelas penuturan Mama Nia. Meski tak melihatnya, kuyakin wajahnya menunjukkan gurat tidak suka seperti saat menegur Adrian dulu. Sekali suka pada seseorang, dia memperlihatkannya dengan sangat jelas. Pun sebaliknya saat merasa benci.
“Nak, ada apa?” Ayah menyentuh lenganku, memberikan tatapan tidak mengerti yang justru semakin menyayat hatiku. “Kamu sama Dika bertengkar?”
“Jangan bawa-bawa anak saya, Pak. Putri Bapak itu yang udah main gila sama anak tiri saya. Sama-sama nggak tahu diri!”
Ruangan hening seketika. Bulir air mata membasahi kepalan tanganku di atas paha. Bahuku berguncang, menahan isak tangis yang tidak bisa kusembunyikan lagi.
“Sera, jelasin sama orang tuamu. Nggak usah nangis, toh kalian lakuinnya suka sama suka!”
Aku mengangkat kepalaku, tidak percaya dengan penuturan Mama Nia barusan. Suka sama suka? Apa maksudnya? Mungkinkah Adrian mengatakan demikian?
“Saya pikir kamu anak baik-baik. Nyatanya liar juga!”
“Bu Nia!” sela Ibu dengan suara agak tinggi. “Tolong jangan sembarangan menuduh. Anak saya ndak mungkin—”
“Kalian lihat sendiri buktinya,” ucapnya dingin. Nada kekecewaan terdengar jelas. Amplop coklat dibanting di atas meja. Bukan oleh Mama Nia, melainkan Papa Aldi.
Tubuhku semakin gemetar. Bayang-bayang buruk malam itu kembali terlintas. Meski sepekan telah berlalu, aku belum bisa lupa saat Adrian menjajahku. Bahkan, mungkin tidak akan pernah kulupakan seumur hidup.
“Ini apa, Nak?” tanya Ayah sembari menunjukkan potretku yang berbaring di ranjang yang sama dengan Adrian. Tubuh bagian bawah kami berdua tertutup selimut, tapi mereka jelas menilaiku dengan pandangan yang buruk. Aku pingsan saat itu, tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
“Ayah, ini ….” Aku tidak bisa menjelaskan apa pun. Dadaku sesak dengan napas tercekat.
Aku bersimpuh di depan kursi roda ayah, menggeleng berkali-kali untuk menyangkal prasangka yang kini memenuhi kepalanya. Dia menggeleng, memundurkan kursinya sambil membuang muka.
“Bu, aku … aku nggak gitu. Ini ….”
Plak!
Ibu menghempas tanganku yang berusaha meraih simpatinya. Sama dengan ayah, dia tampak tidak sudi mendengar penjelasan yang susah payah ingin kuucapkan. Bahkan sebuah tamparan mendarat di pipiku, terasa panas dan perih. Ini pertama kalinya Ibu bermain tangan pada anaknya.
“Bapak sama Ibu lihat sendiri kelakuan minus anaknya. Saya benar-benar kecewa. Saya pikir Sera gadis yang paling cocok buat anak saya, ternyata saya salah besar. Itu sebabnya kami datang ke sini.”
“Ma, Mama Nia dengerin penjelasanku dulu, Ma.” Aku mendekat ke arah Mama Nia dan Papa Aldi, berusaha mengatakan kejadian sebenarnya.
“Jangan panggil saya Mama. Jijik tau!” Mama Nia berdiri, menatapku dengan penuh kebencian. “Mulai sekarang, kita nggak ada hubungan apa-apa. Dan kamu!” tunjuknya tepat di depan muka.
“Jangan pernah muncul di hadapan Dika! Sampai mati pun saya nggak rela kalian bersama!”
Guntur menggelegar di luar sana bersama hujan yang datang tiba-tiba. Ayah masuk ke kamar dan tidak pernah keluar setelahnya. Ibu terus mendiamkanku, sama sekali tidak mau mendengar penjelasanku.
Tak cukup sampai di situ, kabar gagalnya pernikahanku seketika menjadi buah bibir semua tetangga. Mereka menatapku dengan jijik seolah aku virus mematikan yang bisa membuat mereka meregang nyawa seketika.
“Heh, Sera! Berhenti di sana. Kamu nggak boleh masuk! Lihat nggak tulisan itu?” Seorang wanita berjilbab lebar menunjuk tulisan di lantai masjid sambil menatapku tajam. “Batas suci! Artinya gadis kotor kayak kamu nggak boleh masuk,” lanjutnya dengan suara menggema.
“Astaghfirullah, Bu Marta! Tolong dijaga mulutnya.” Sasa, saudara sepupuku yang masih mau bicara setelah kejadian itu. Dia satu-satunya yang tidak menghakimiku, bahkan terus menerus menguatkanku agar tidak mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidup.
“Kenapa? Apa saya salah? Pezina seperti saudara kamu itu memang nggak pantas masuk masjid. Hilang barokahnya majlis ini kalau dia ikut masuk.”
Aku kembali menundukkan kepala, tidak berani menatap orang-orang yang mulai berkerumun di selasar masjid. Tanganku gemetar, mencengkeram ujung jilbab hitam yang menutup sampai batas perutku.
“Gayanya sok alim, pakai jilbab lebar, tapi kelakuan naudzubillah. Pura-pura mau nikah sama Dika, ternyata malah main gila sama kakaknya.”
“Bener-bener. Nggak nyangka!”
Aku tidak bisa menahan air mata yang sedari tadi tertahan. Dadaku terasa sesak, penuh oleh gemuruh dan sakit hati yang luar biasa.
“Ini nggak seperti yang ibu-ibu bayangkan. Sera ini cuma korban. Dia dipaksa sama kakak tirinya Dika. Dia juga nggak—”
“Siapa yang tahu dia dipaksa atau emang niat. Kalau polos jangan kebangetan, Sa. Nanti malah kamu dijadiin korban berikutnya.”
“Astaghfirullah, Bu!” Sasa hampir berteriak, tapi aku menahan tangannya dan menggeleng lemah. Dia cepat-cepat membawaku pulang, tidak ingin mendengar kalimat buruk lainnya.
Namun tetap saja, keluargaku dihina. Semua orang menggunjing dengan seenak jidatnya. Ayah dan ibu sama sekali tidak pernah mau kuajak bicara. Dua kakakku juga menyalahkanku. Mereka sama sekali tidak bersimpati meski sudah kujelaskan kalau aku hanya korban.
“Kamu mendingan pergi dari rumah ini, Ra.”
Aku terkesiap saat Mas Haris mengusirku. Sebagai anak sulung di keluarga ini, dia mengambil keputusan ekstrem yang membuatku membulatkan mata.
“Mas—”
“Kondisi kesehatan ayah makin buruk. Kalau kamu masih tinggal di sini, warga terus-terusan ngomongin keluarga kita.”
Aku menggeleng, tidak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang mewakili betapa hancurnya hatiku.
“Ini uang lima ratus ribu. Bawa barang-barang yang sekiranya kamu butuhin. Jaga diri baik-baik.”
Langit seolah runtuh setelah mendengar perintah itu. Bukan hanya keluarga Dika yang sudah menolak keberadaanku, bahkan keluargaku sendiri yang harusnya mengayomi, justru membuangku. Tidak ada pilihan lain kecuali menghilang dari mereka, memulai hidup di tempat baru.
“Sera!” panggil Dika sambil menggenggam tanganku, mengembalikan kesadaran yang sempat tersita kenangan masa lalu. Kulihat dia masih menyodorkan jas miliknya padaku.
Seketika aku menarik tanganku dan berlari menjauh dari sana. Tak kupedulikan panggilannya yang terus menggema. Hubungan kami sudah berakhir. Benar-benar berakhir. Tidak seharusnya aku muncul di depannya!
"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t
“Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir
“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator
“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
"Es kelapanya satu, Bu."Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana."Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar."Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika."Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja.""Nggak ada, Bu.”“Saya tukarkan dulu, ya.”“Nggak usah. Ambil saja kembaliannya."Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan."Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan kesada
“Berapa tarif kamu semalam?”Aku terkekeh mendengar pertanyaan klasik yang tidak perlu kujawab. Jelas-jelas di awal dia sudah tahu hargaku. Kenapa masih pura-pura bertanya?“Berapa, ya? Yang pasti, tidak sebanyak uang yang diberikan pada istri-istri mereka,” jawabku manja, menampilkan senyum terbaik untuk menyenangkannya. Sudah menjadi keharusan bagi wanita penggoda sepertiku untuk membuat klien bahagia.Sayangnya, klien kali ini sedikit berbeda. Dia orang yang pernah menghancurkan hidupku. Orang yang sudah merenggut kesucianku, juga orang yang menjadi penyebab hancurnya pernikahanku dengan adiknya, dua minggu sebelum ijab kabul berlangsung.“Kenapa tanya? Kamu mau bayar aku berapa?” Kukedipkan sebelah mata, mendekat ke arahnya dan meletakkan tangan di salah satu bahunya. Aroma parfum yang kupakai pastilah sampai di hidung mancungnya.“Berapa yang harus kubayar supaya kamu bebas dari tempat prostisusi ini?”Tawaku mengudara.“Aku udah bebas, kok. Kamu lihat, tangan atau kakiku nggak a
"Es kelapanya satu, Bu."Suara seorang pria berhasil menyita perhatian, membuatku menoleh seketika. Mataku membulat, menelan paksa air yang ada dalam mulut. Untung saja tidak tersedak. Aku terkejut, ingin segera pergi dari sana."Sekalian punya Mbak itu, saya yang bayar."Selembar uang pecahan seratus ribu terulur pada wanita penjual kelapa muda yang menjajakan dagangannya di pinggir jalan, tidak jauh dari rumah sakit tempat Renata dirawat. Pikiranku penuh oleh bisik iblis itu, jadi sengaja mencari udara segar di sini. Siapa sangka justru bertemu Dika."Aduh, Mas. Kegedean duitnya. Uang pas saja.""Nggak ada, Bu.”“Saya tukarkan dulu, ya.”“Nggak usah. Ambil saja kembaliannya."Lagi-lagi aku mencuri pandang ke arah pria berkacamata yang berjarak dua atau tiga meter dariku. Wajahnya terlihat lebih dewasa dan matang. Berbeda jauh dengan tiga tahun lalu saat terakhir melihatnya dari kejauhan."Aduh, jangan gitu, Mas. Saya nggak enak." Penolakan wanita paruh baya itu mengembalikan kesada
"Kapan gue boleh pulang, Ra?"Renata mengunyah suapan terakhir di mulutnya dengan ogah-ogahan. Rasanya hambar karena dimasak tanpa minyak, tanpa bumbu penyedap, ataupun MSG. Kalau aku tidak memaksanya makan, mungkin masih utuh."Nanti coba gue tanya ke dokter, ya.""Udah bosen banget nggak ngapa-ngapain gini.""Ya kalo mau salto atau kayang, boleh kok asalkan nggak nginggalin tempat tidur."Plak!"Ada-ada aja!"Renata menepuk lenganku karena gemas. Aku hanya tersenyum hambar. Meletakkan tempat makan di atas meja. Nanti akan ada petugas rumah sakit yang mengambilnya.Aku kembali duduk di dekat Renata, menempati kursi di samping ranjang setelah mengecek ponsel. Tidak ada pesan apa pun dari siapa pun. Se-mengenaskan itukah hidupku? Namun, itu tidak lebih penting dibandingkan berbagai pertanyaan di dalam kepalaku yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi semalam?"Re, sorry ya, gara-gara ambil klien gue, lo jadi gini.""Hmm? Kata siapa gara-gara lo?"Aku mengangkat bahu. Tidak ada
Langkahku terasa berat begitu keluar dari kamar dokter orthopedi yang menangani Renata. Hasil rontgen menunjukkan jari tengah dan jari telunjuk Renata retak, entah karena terbentur apa. Butuh beberapa pekan sampai sembuh total.Rasa bersalahku semakin bertambah. Jika saja aku tidak mengambil libur, Renata tidak harus melayani tiga pria sekaligus. Dia tidak perlu bertemu pria kasar itu. Dan seandainya ada pekerjaan yang lebih baik, kami tidak perlu bertahan di tempat ini."Sera," panggil Madame Erina yang berhasil menghentikan langkahku. Kami berpapasan di koridor, tidak jauh dari ruangan VIP tempat Renata dirawat. Itu termasuk dalam fasilitas yang Madame sediakan untuk anak-anaknya. "Bagaimana keadaan Renata? Apa kata dokter?""Jarinya retak, Mam. Untuk sementara harus bed rest.”Kulihat wajah Madame sedikit terkejut. Isi kepalanya pasti penuh oleh berbagai pikiran. Dua mesin penghasil uangnya tidak bisa bekerja.“Mam,” lirihku untuk meminta atensi yang sempat tertunduk menatap lanta
“Sera, kamu sudah lama nunggu?”Suara Madame Erina berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel di tangan. Aku gegas berdiri mendekat ke arah wanita dengan dandanan yang selalu tebal dan meriah. Tampaknya dia baru menemui klien di luar sana. Entah siapa.“Mam, ada yang ingin aku omongin,” ucapku setelah menelan ludah dengan paksa.“Kebetulan, saya juga perlu bicara sama kamu. Ayo naik.”Aku mengikuti Madame Erina memasuki lift, meninggalkan ruang tunggu lobi apartemen yang sempat menahanku sepuluh menit yang lalu. Setelah kupikirkan semalaman, aku tidak bisa membiarkan Renata menanggung beban kerja selama aku pemulihan.Dengan tarifku, aku cukup melayani satu pria saja. Tapi jika tugas itu dilimpahkan pada Renata, setidaknya dia harus mendapatkan dua klien tambahan. Sama seperti prinsip jualan lainnya, barang baru masih lebih mahal dibandingkan stok lama. “Are you okay? Udah sembuh beneran? Kamu nggak bisa tidur semalam?”Lamunanku terputus. Madame menoleh, mengamati wajahku yang tid
“Seraa … tahu nggak gue abis ketemu siapa?”Renata menundukkan badan, menatap wajahku sambil mengedip-ngedipkan mata.“Siapa?”Gadis dengan setelan pakaian training itu terus menunggu, membuatku harus mengingat-ingat nama mantan pacarnya.“Joan?”Renata menggeleng.“Hans?”“Bukan!”“Barly, si bartender ganteng di kelab Ocean?”“Hmm!” Lagi-lagi dia menggeleng.Aku menarik napas dalam-dalam, kembali berpikir.“Tebak dong, Ra.”Renata tetap menggeleng saat kusebutkan nama Devan, Sony, Attar dan Doni.“Ah, bukan mereka.”“Kalau bukan mereka, terus siapa? Paijo?” ketusku, melempar bantal dengan tangan kiri.Ekspresi Renata langsung berubah setelah mendengar nama yang terakhir. Raut wajahnya yang semula semringah, langsung redup seketika. Dia memiliki standar yang cukup unik dalam mencari pacar, harus punya nama yang tidak kampungan.“Taraaaa!”Renata menyodorkan ponsel warna silver milikku.“Coba inget-inget, lo ninggalin ponsel lo di mana?”“Nggak tahu. Terakhir dipake waktu naik elevator
“Udah bangun?”Suara berat seorang pria membuat kesadaranku terkumpul seketika. Kulihat punggung pria yang duduk sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya.“Pakai baju kamu. Aku antar pulang.”Masih tanpa menoleh, dia melemparkan plastik bening berisi gamis dan jilbab dengan merek yang sama seperti yang biasa kupakai. Seketika aku mengingat apa yang dia lakukan sampai membuatku pingsan ketakutan. Tanganku menarik selimut putih sampai ke atas kepala, menyembunyikan auratku yang dibuka dengan paksa. Tanpa tersisa sehelai benang pun.“Buat apa ditutupi? Aku udah lihat semuanya. Not bad!”Tubuhku gemetar hebat mendengar tawa sumbang pria itu. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Bulir air mata membasahi wajahku, bersama rasa sakit luar biasa yang merenggut akal sehatku.Kulempar gelas, ponsel, vas bunga, bahkan telepon di atas nakas ke arah pria yang telah merenggut kesucianku. Mahkota yang kujaga untuk calon suamiku—Bagas Mahardika Hutama, dicabik-cabik sebegitu kejamnya oleh kakak tir
"Ya ampun, Sera! Kok bisa pulang ujan-ujanan gini, sih?"Renata mengerutkan keningnya saat melihatku datang dengan tubuh basah kuyup. Bukannya menjawab, aku justru berlari memeluknya. Tak kupedulikan apa yang dia pikirkan. Aku butuh sandaran dan hanya dia yang mau menerimaku apa adanya."Udah, udah. Ayo masuk dulu."Renata membawaku ke kamar mandi dan menyalakan shower air hangat. Seperti anak kecil, dia membilas tubuhku dari ujung kepala.“Udah tahu kalau ujan-ujanan langsung demam, kok nekat, sih? Kan bisa neduh dulu di mana gitu,” omelnya sambil meratakan sampo ke rambutku, memijatnya dengan lembut. Aku yang duduk di bangku plastik, terus diam membisu menatap pantulan wajahku yang pucat di cermin.Segelas susu coklat hangat segera tersaji di depanku setelah memakai baju. Renata sibuk mengeringkan rambut dengan hairdryer di tangannya, tentu saja sambil terus mengomel. Dia benar-benar sahabat yang bisa merangkap jadi sosok ibu.“Dika ngomong apa tadi? Dia komentarin baju kamu yang t
“Pakai ini,” pinta Dika saat aku memeluk lenganku sendiri. Dia melepas jaket dan memberikannya padaku. Aku menunduk, berterima kasih sambil menundukkan kepala. Sama seperti gadis lainnya saat dimabuk asmara: malu, berdebar, dan memerah pipinya.“Maaf, Sayang. Kamu jadi kedinginan seperti ini,” ucap Mama Nia yang langsung menggenggam tanganku. Kebetulan kami duduk bersisian. Dia membenahi ujung jilbabku.“Nggak apa-apa, Ma,” jawabku canggung. Sejak resmi bertunangan dengan Dika, wanita paruh baya itu memang memintaku memanggilnya Mama. Dia ingin aku menganggapnya seperti ibuku sendiri.“Adrian, lain kali cek dulu mobilnya kalau mau pergi jauh. Bisa-bisanya ban bocor tapi nggak ketahuan. Mana nggak bawa gantinya lagi!”Kulihat pria dengan kemeja merah marun itu tak menjawab, menundukkan kepala sekilas.“Udah, Ma.”“Udah gimana? Mobil bocor, ujan, bentar lagi gelap, cuma bisa neduh di gubuk reyot gini. Tahu gitu mending pergi besok aja. Kasian Sera sampai pucat kedinginan. Kalau dia saki
“Sera, lo udah gila ya?!”Sebuah tepukan mendarat di punggung, membuat kopi di mulutku menyembur. Untung saja tidak ada orang di depanku, hanya membasahi paha dan betis saja. Tanganku cepat menarik tisu untuk membersihkannya.“Gila! Gila! Gila! Lo bener-bener gila!”Gadis dengan hot pants dan tank top hitam itu berjalan mondar-mandir sambil menggerak-gerakkan tangannya ke sana kemari. Kepalanya bergoyang, mulutnya komat-kamit meracau tidak jelas. Aku masa bodoh, tidak mendengarkannya.“Udah?” tanyaku lima menit berikutnya saat boneka Mampang itu berhenti bergerak. Tubuhnya lunglai di sampingku, berbagi sofa yang sama.“Gila banget lo nolak tawaran bebas dari Madame Erina. Kalo itu gue, langsung gue terima detik itu juga. Gila asli!”Aku terkekeh mendengar pendapat Renata yang sibuk menjambak rambutnya sendiri. Madame Erina pasti memintanya untuk membujukku. Aku yakin itu.“Kalo gue gila, berarti lo selama ini tinggal sama orang gila, dong?” ketusku sambil melempar gumpalan tisu ke waj